PART 7

Tahun 2012

"Se-setrip dua?" Aku tidak percaya dengan apa yang tertera pada benda pipih sepanjang jari telunjuk dalam genggamanku. "Pas-pasti ada yang salah. Bi-bisa saja alatnya rusak, kan?"

Tanganku bergetar, hingga benda kecil itu terjatuh ke lantai kamar mandi. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana ini? Tubuhku merosot, kedua kaki ini tak dapat lagi menjadi tumpuan.

Aku hamil? Tidak mungkin! Kupegang perut yang masih rata. Berusaha mencari perubahan di sana, tapi belum kutemukan sedikit pun tanda kehidupan dalam rahimku.

Apa benar, aku akan menjadi ibu?

Ya, Tuhan, apa lagi ini? Kenapa aku bisa hamil? Bagaimana kalau Mas Adira sampai tahu?

"Mala! Kumala! Ngapain kamu lama banget di kamar mandi? Tidur?!"

Aku bergegas keluar dari kamar mandi. Mencari asal suara yang berasal dari ruang keluarga.

"Ngapain aja kamu? Mana kopi sama sarapanku?" Mas Adira terlihat masih mengantuk, duduk di sofa dengan menaikkan kedua kaki ke meja kaca.

Aku menjawab dengan tergagap, "Ma-maaf, Mas. Itu, anu ... ta-tadi Mala sakit perut."

Mas Adira mendorong meja dengan kakinya. "Halah ... alasan! Kamu sudah bosan tinggal di sini, hah!" bentaknya.

Aku menunduk menyembunyikan tetesan air mata. Mas Adira paling tidak suka melihatku menangis, membuatnya semakin marah.

"Kamu nangis lagi? Dasar cewek cengeng! Dikit-dikit nangis. Sepet mataku ngelihat kamu!" dampratnya. "Sekarang kamu mau nangis di situ atau bikinin aku kopi? Apa perlu aku pukul lagi?!"

"Ma-maaf, Mas. Ma-mala buatkan sekarang." Dengan terburu-buru aku menuju dapur untuk menyeduh kopi dan membuat sarapan. Jangan sampai Mas Adira lebih marah lagi.

Rasa sakit akibat sabetan ikat pinggang dua hari lalu, masih terasa. Bilur-bilur merah masih tercetak jelas di punggung. Aku tidak pernah menduga Mas Adira berubah. Bukan seperti dirinya yang kukenal.

Sampai sekarang, masih terngiang betapa mantapnya Mas Adira saat melamarku kepada Bunda. Hingga awal tahun ini–dua bulan lalu–saat Mas Adira mengucapkan Ijab Qabul pun masih terasa keseriusannya.

Tangis haru dan bahagia serta harapan akan kehidupan tenteram dan damai berubah menjadi tangisan sedih. Dengan drastis, sikap Mas Adira berubah setelah malam pertama kami yang gagal.

Aku tidak pernah mengira bahwa peristiwa pemerkosaan yang kualami, ternyata masih membekas dalam ingatanku. Saat Mas Adira mulai menyentuhku, entah apa yang terjadi, tapi aku secara refleks mendorongnya. Tubuhku menolak setiap sentuhan walau Mas Adira melakukannya selembut mungkin. Hingga akhirnya kejujuran ku ungkapkan di saat yang tak tepat.

Memang kuakui aku salah, karena tak pernah secara gamblang menjelaskan tentang pemerkosaan yang pernah kualami. Aku pikir Mas Adira bukanlah orang yang begitu mementingkan arti selembar selaput dara. Aku pikir cinta Mas Adira padaku cukup besar untuk membuatnya mencintaiku apa adanya. Namun ternyata aku salah.

Seharusnya dari awal aku harus jujur. Seharusnya aku terbuka. Tetapi aku takut. Aku takut Mas Adira pergi. Aku takut kehilangan kesempatan untuk bahagia. Aku takut terluka.

Lagi-lagi aku salah. Sampai kapan pun aku tak akan melupakan sorot matanya yang tampak teramat jijik saat menatapku. Seolah aku ini seonggok bangkai tikus di pinggir jalan. Apa salahku? Aku diperkosa. Kesucianmu direnggut secara paksa oleh ayah tiriku. Namun, tatapan Mas Adira menyiratkan bahwa aku ini wanita kotor.

Malam itu Mas Adira meninggalkanku seorang diri di kamar pengantin kami. Membiarkanku menghabiskan malam dengan isak tangis.

Kupikir sikap Mas Adira akan berubah seiring terkikisnya kekecewaan Mas Adira kepadaku. Kupikir dia bisa menerima dan memaafkanku. Kupikir dia bisa memahami bahwa aku hanyalah korban.

Namun aku salah. Setelah berganti hari pun sikapnya benar-benar berubah. Tak ada lagi Mas Adira yang perhatian, murah senyum, humoris dan penuh kasih sayang. Memang di depan bunda sikapnya kembali seperti semula, tapi setelah tidak ada siapa pun sikapnya berganti dengan sekejap.

Terlebih setelah kami pindah ke rumah ini—rumah pribadi Mas Adira. Sejak hari pertama aku menginjakkan kaki di sini, tak sekalipun aku tidur di dalam kamar yang sama dengan Mas Adira. Aku menempati kamar tamu.

Mas Adira memperlakukanku seperti seorang asisten rumah tangga, yang harus menuruti setiap perintahnya tanpa membantah sedikit pun. Tak terkecuali malam itu, saat dia kembali menuntut haknya sebagai seorang suami.

Kejadian lima tahun lalu terulang. Aku merasa tubuh ini hanyalah seonggok daging pemuas nafsu para lelaki tak berperasaan. Tak ada kelembutan sama sekali. Rasa sakit, pedih dan nyeri itu kembali terasa di hatiku. Bahkan terasa lebih parah. Kenapa aku diperlakukan seperti ini oleh suamiku sendiri? Apa kesalahan yang telah kulakukan?

Bukan hanya itu, tidak jarang Mas Adira melabuhkan tangannya di pipiku. Terkadang tangan itu digantikan oleh ikat pinggang atau gagang sapu. Umpatan, cacian dan kata kasar selalu menjadi inti dari komunikasinya kepadaku.

"Mala!"

Aku berjingkat kaget, kala mendengar nada suaranya yang begitu sarat emosi. Dengan tergopoh-gopoh aku meninggalkan dapur.

"INI APA?!" Mas Adira melempar sesuatu tepat di wajahku.

Mataku membelalak, benda itu terjatuh di ujung ibu jari kakiku. Benda pipih kecil dengan dua garis merah.

"I-itu ... i-itu ...." Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Sama sekali lupa, testpack itu masih tertinggal di kamar mandi.

"Jangan cuma ita-itu saja! Kamu hamil?" bentaknya. Membuatku melangkah mundur.

Aku meremas ujung kaus, menunduk sedalam mungkin demi menghindari tatapan Mas Adira. Aku harus bagaimana? Bohong atau jujur? Tapi, tidak mungkin bagiku untuk bohong. Mas Adira melihat sendiri hasil alat itu.

"Kamu melacur di mana?! Goblok banget sampai bisa hamil!"

Sakit. Dadaku terasa nyeri teramat sangat. Aku memang sudah tidak semurni gadis surga, tubuh ini pernah dirajah. Namun, tak pernah sekalipun aku menjajakan diri.

"Mas, Ma-mala ndak–" Aku berusaha membela diri, tapi dengan cepat Mas Adira memotongnya.

"Tidak apa? Tidak melacur? Yang benar saja, mana bisa kamu hamil sendiri! Dasar pelacur!" Mas Adira tertawa sinis.

Seburuk itukah diriku di matanya? Memang kami baru melakukannya sekali. Aku sendiri pun bingung, bagaimana mungkin aku bisa hamil. Melihat reaksinya seperti ini, entah mengapa aku sangsi, Mas Adira mau mengakui janin ini sebagai anaknya.

Mas Adira terdiam cukup lama. Aku memberanikan diri untuk melihat apa yang sedang dilakukannya. Mata itu menyipit, dahinya sedikit berkerut.

"Jangan bilang kalau itu anakku," desisnya seraya mendekat perlahan.

Reflek, aku kembali melangkah mundur. Mas Adira terlihat seperti ular yang siap mematok mangsanya, bergerak perlahan mengirimkan aura tanda bahaya. Aku memicingkan mata, saat menyadari sudah tak dapat menghindar lagi. Terpepet di tembok.

"Mas, Mala mo-mohon jangan ...." aku meminta agar dia tak melanjutkan apa pun rencananya.

Mas Adira tersenyum miring, mendesakku semakin menempel ke tembok. "Berani-beraninya kamu hamil!" bentaknya seraya menjambak kuat rambutku ke belakang.

"Aaaahhhhh ... sakiiiit!!!" pekikku tertahan.

"Dengar, Mala! Aku tidak akan pernah mengakui anak itu sebagai anakku. Jadi, lebih baik kamu gugurkan!" ucapnya tegas.

Astaga. Kenapa Mas Adira berkata seperti itu? Bukankah janin ini juga darah dagingnya?

"Mas, to-tolong lepaskan Mala. Ki-kita bisa bicara," pintaku sembari memegangi tangannya yang masih menjambak rambutku.

"Tidak akan pernah ada kita. Dan tidak ada yang perlu dibicarakan. Toh, seminggu lagi aku bakal ceraikan kamu." Mas Adira melepaskan betotan di rambutku secara tiba-tiba. Membuat kepalaku terhuyung menabrak tembok.

"Ce-cerai? Ma-maksud Mas Dira bagaimana?" Mungkin aku salah dengar karena benturan di kepala.

"Mala ... Mala. Apa kamu pikir aku sudi hidup dengan barang bekas sepertimu?" Mas Adira tertawa lepas sebelum berkata, "Dengar, aku muak melihatmu!"

"Barang bekas? Muak?" Aku hanya mampu membeo ucapannya.

Aku mendengarnya mendengkus kesal. "Apa kamu pikir, aku sudi menerima pelacur macam kamu jadi istriku?" Terdapat jeda beberapa saat, lalu dia kembali berkata, "Dengar, aku ini lelaki baik-baik dari keluarga baik-baik, sedangkan kamu wanita tak tahu malu. Penggoda suami ibumu sendiri. Cari saja laki-laki yang sekotor dirimu. Pelacur!"

Bagai dijatuhi benda berton-ton, itu yang kurasakan sekarang. Kata-kata yang dia ucapkan seperti petir yang menggelegar mengenai kepalaku. Otak ini mendadak mati fungsi, ucapannya menggema dalam kepala. Mata ini mulai berkabut, bulir air mata menggenang di pelupuk mataku.

"Pelacur?" ulangku.

"Apa namanya untuk wanita sepertimu selain pelacur? Wanita suci? Bunda Maria? Hah, jangan mimpi! Secepatnya aku akan menceraikanmu."

"Tapi ... tapi ...."

Serangan panik melanda diriku. Keringat dingin mulai mengucur deras. Tubuh ini tak henti-hentinya bergetar. Kran di pelupuk mataku rusak, bendungan yang selama dua bulan ini sudah rembes, kini ambrol. Tak terbendung lagi.

"Tega .... Kamu tega, Mas." Aku menggumam lirih, "Ba-bagaimana dengan janin ini? Bagaimana dengan Mala?"

"Pikirkan saja sendiri. Gugurkan atau besarkan sendiri, terserah kamu! Aku tidak ada urusan." Mas Adira berbalik, meninggalkanku yang masih bersimpuh di sini.

"Ah, iya. Aku ingatkan, jangan pernah kamu dan anak itu mengganggu hidupku. Setelah pengadilan memutuskan kita bercerai, aku tidak mau melihat muka jelekmu lagi!" lanjutnya.

Aku hanya mematung dalam diam. Otak ini masih berusaha mencerna setiap patah kata dari bibir lelaki tak berhati itu. Tubuh ini bagai raga tak bernyawa. Hingga terdengar deru motor menjauhi rumah.

Aku memukul dada berulang, menangis meraung. Kenapa hidupku seperti ini? Kenapa?!

Aku meremas, memukul dan meninju perut kuat-kuat, berharap janin ini tak ada dalam perut.

Tuhan .... Kenapa semua ini terjadi pada hidupku? Apa salahku sehingga Engkau tega membuat hidupku seperti ini?

Apa aku tak pantas bahagia?

Sebenci itukah Engkau padaku?

Apa yang harus aku lakukan? Apa?!

Katakan! Jawab aku Tuhan?

***

Kumalaaa ... maafkan diriku yang ndak berhenti menganiaya dirimu...
Hiks hiks hiks

Kapan dirimu seneng, Nduk?

Semoga di part selanjutnya yaaa...

Jangan lupa, kritik dan sarannya...

Lup u pul...

Solo, 27 Januari 2017

Edit,
Solo, 31 Juli 2018

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top