PART 6

Tahun 2011

"Nasi kucingnya tiga, es teh krampul satu, kopi joz satu, sate usus tiga, tempe bacem dua sama apollo cokelat empat."

Aku mengetik pesanan dan menjumlahkannya. "Se-semuanya tigapuluh empat ribu, Mbak."

Aku menghitung kembali uang yang diberikan pelanggan. Lalu memasukkan uang ke mesin kasir, dan menyerahkan kembaliannya. Tidak lupa mengucapkan, "Te-terima kasih."

Sudah setahun lebih aku bekerja di sebuah kafedangan sebagai kasir. Kafedangan itu semacam kafe dengan konsep wedangan, atau malah wedangan konsep kafe, ya? Yah, intinya begitulah.

Wedangan kalau di Solo namanya hek, tempatnya remang-remang di gerobak kecil. Yang dijual nasi kucing, bermacam-macam sate, gorengan, bacem. Minumannya pun semacam teh krampul, jahe gepuk, kopi joz, wedang ronde. Pembeli biasanya duduk di tikar atau kursi depan gerobak.

Namun, di Jogja sedikit berbeda, di sini persis seperti kafe. Bahkan aku pernah melihat ada hiburan live music-nya. Walau tempatnya modern, tapi yang dijual menu khas wedangan. Kalau orang bilang 'tempat bintang lima, harga kaki lima'. Biasanya kafedangan dijadikan tempat nongkrong mahasiswa-mahasiswi. Selain tempatnya nyaman, harganya pun ramah di kantong.

Di warung kami yang jadi maskot adalah kopi joz dan apollo coklat. Kadang banyak pelanggan yang belum tahu apa itu kopi joz, sehingga kami seringkali menjelaskan kepada mereka. Sebenarnya kopi joz itu sama seperti kopi hitam biasa, yang membuat unik adalah dengan dicemplungkannya secuil bara api ke dalam segelas kopi panas, sehingga bersuara 'jozzz'. Sedangkan apollo adalah jadah isi coklat, dan sebelum disajikan akan dibakar terlebih dahulu.

Awalnya aku juga tidak tahu ada tempat seperti ini di Jogja. Kebetulan waktu itu aku baru mencari pekerjaan, karena Bunda terus-terusan memaksaku untuk bekerja. Beliau juga sering menyindirku sebagai benalu.

Nah, Bu Atik—pemilik warung makan yang sering kukunjungi—bilang kalau keponakannya baru keluar dari tempat kerjanya. Mungkin posisinya belum terisi, jadi aku disuruh melamar kerja ke sini.

Untung Bu Claris—pemilik tempat ini—orangnya baik. Dia tidak mempermasalahkan diriku yang hanya lulusan SMA. Katanya yang penting jujur dan bisa dipercaya.

Pertama kerja bahkan sampai sekarang pun aku masih gugup dan takut kalau harus melayani gerombolan pemuda. Terkadang ada beberapa yang jahil dan suka merayu. Bukannya senang, tapi aku malah takut.

Entahlah, mungkin ada yang salah dengan kejiwaanku. Aku merasa berbeda dari gadis pada umumnya. Seperti misalnya, gadis di depanku yang dengan percaya diri dan terlihat nyaman bergandengan tangan dengan seorang cowok. Duduk bersebelahan. Guyonan, ketawa-ketiwi. Terlihar begitu menikmati kebersamaan mereka.

Sedangkan aku? Berkenalan dengan cowok saja sudah membuatku lari ketakutan. Sebenarnya aku juga ingin seperti mereka. Namun, berkali-kali kucoba tetap saja gagal. Aku tidak bisa bergaul dengan laki-laki. Selalu ada was-was dan ketidaknyamanan dari dalam diriku.

"Idiiih ... Mala ngelamunin apa? Pamali, lho, Magrib begini bengong. Bisa kesambet setan lewat," ujar Mbak Leli, salah satu pramusaji.

Aku tersenyum mendengar gurauannya. "Ma-mala sudah sering kerasukan, Mbak."

"Iiih, ini anak dikasih tahu malah bercanda," katanya lagi.

"Bu–bukan begitu, Mbak. Be-beneran Mala sering kerasukan," bantahku.

"Aku rela, ikhlas Lillahi Ta'ala kalo kerasukan setan model Rain utowo mas ganteng Leonardo Dikaprio," tukas Mbak Eka dari dalam dapur.

"Kalian ini ... mbuh, lho, kalau beneran kesambet," ujar Mbak Leli dongkol.

Tidak ada yang bakal percaya. Aku sendiri pun masih belum yakin apa yang merasuki diri ini. Memang tidak sering, tapi cukup membuatku bingung.

Bagaimana tidak, terkadang tanpa sadar aku sudah berada di sebuah tempat tanpa ingat kapan aku ke sana, bagaimana caraku ke sana dan untuk apa aku ke sana. Terkadang, hmmm ... kalau ini lebih sering. Rambutku berubah keriting spiral. Wajahku ber-make up. Dan baju yang kupakai pun aneh.

Keseharian, aku lebih senang dengan celana jin yang dipadupadankan dengan kaus atau kemeja. Tentunya dengan pilihan warna yang terbatas pada biru dongker, hitam dan abu-abu. Namun, saat aku kerasukan, tiba-tiba aku memakai gaun atau rok dengan atasan full colour.

"Ssst ... lihat, tuh cowok ganteng banget. Ya ampuuun, cowok putih kece kayak ada manis-manisnya gitu," bisik Mbak Eka yang sudah berada tepat di belakangku.

"Nah, bener itu. Kaya Nicky Tirta. Iiish, coba kalau aku belum nikah. Udah kuembat tuh cowok," tambah Mbak Leli.

"Eh, dia ke sini tuh." Mbak Eka menjawil lenganku.

Aku sama sekali tidak paham dengan apa yang mereka ributkan. Karena bagiku, hanya ada satu tipe cowok di dunia. Monster. Hanya satu kata itu yang mewakili mereka.

"Mbak, aku nasi mercon dua, gombal dua, tempe bacem satu, kikil satu sama jahe gepuk satu. Kalau boleh tahu namanya siapa, Mbak?"

"Eh?" Aku merasa ada yang salah, "nggg ... ma–maaf, Mas?"

Di belakang punggung, Mbak Eka sibuk mencubiti pinggangku. Sedangkan si masnya senyum-senyum di depanku.

"Se-semuanya delapan belas ribu, Mas," ucapku setelah berhasil kembali dari kebingungan sembari menunduk. Aku menghindari tatapan laki-laki itu.

Dia memberikan selembar uang seratus ribuan. "Aku Adira. Kamu?"

Aku masih sibuk menghitung uang kembalian, saat laki-laki itu bertanya suatu hal yang tidak kupahami.

"Kem-kembaliannya delapanpuluh dua ribu, Mas," ucapku datar, masih menunduk.

Kali ini aku benar-benar terkejut dengan sikap pria di depanku. Bukannya mengambil uang kembalian, dia malah menjabat tanganku. Reflek aku menengadah, menatap tepat di manik lelaki bernama Adira.

"Dan, namamu?"

Kutarik paksa telapak tangan yang masih erat digenggam Adira. Kuteguk saliva yang selalu muncul saat kecemasanku memuncak. Apa sebenarnya mau lelaki ini?

"Mala. Kumala Putri."

Astaga! Aku melirik tajam pada Mbak Eka, yang dengan lancangnya memberitahukan namaku.

"Nggak tanya namaku, Mas? Aku Eka Prasetya Wati. Panggil aja Eka. Boleh kok, kalau mau manggil honey atau sayang atau beb gitu. Aku nggak keberatan." lanjut Mbak Eka centil.

Adira terkikik geli melihat tingkah Mbak Eka yang cenderung memalukan.

"Boleh tau nomer hp-mu?" tanyanya lagi.

Aku menyikut tepat di perut Mbak Eka, saat kulihat dia membuka mulut. "Hmmm ... ma-maaf, Mas. An-antriannya panjang," sahutku dengan suara serak. Aku berharap dia sadar akan penolakanku.

"Oke, Mala. Sampai ketemu besok ya. Bye," katanya sembari melambaikan tangan.

"Wuooow!!! Mala ... si Nicky Tirta ngajak kamu kenalan!" seru Mbak Eka histeris yang mengundang perhatian beberapa pengunjung.

"Cieee ... ciieee ...," goda Mbak Dwi yang tidak tahu sejak kapan menguping.

"Ssstttt ... a-apaan sih, Mbak? I-itu cuma orang iseng. Mbak Dwi juga ma-malah ikut-ikutan." Aku mempersilakan pengunjung lain yang akan membayar.

"Kita lihat besok. Kalau dia ke sini lagi, berarti dia nggak iseng," ucap Mbak Eka.

"Jangan percaya gitu aja, La. Kalau dia ke sini lebih dari sepuluh kali, itu baru boleh kamu kasih nomer HP. Idep-idep promosi, kan," celetuk Mbak Leli yang lewat depan kasir.

"Pikiranmu mesti ke duit mulu, Lel." Sekarang Mbak Dwi bukan cuma menguping, tapi sudah ikut menimbrung di meja kasir.

"Heh, wajar, Dwi. Mosok harganya Mala cuma, bayar berapa tadi, La?" Mbak Leli melongok ke catatan pendapatan di mejaku. "Tuuuh, cuma delapan belas ribu. Jangan mau!"

"Ja-jangan di sini, dong. A-anu, nanti gangguin pelanggan yang mau bayar," bisikku.

"Dasar matre!" Mbak Dwi kembali melangkah menuju gerobak saji, mengecek makanan yang perlu ditambah.

"Dasar cewek nggak tahu perkembangan jaman!" balas Mbak Leli.

Aku hanya tersenyum simpul, menanggapi guyonan mereka. Di sini memang seperti itu, orang-orangnya asyik. Aku nyaman berada di tengah mereka. Walau pun terkadang suka ikut campur urusan orang lain.

***

"Kalau pulang jam berapa, La?"

Mas Adira lagi. Sudah tujuh belas hari berturut-turut dia ke sini. Tidak ada bosannya. Aku sampai bingung harus mengatakan apa lagi untuk menghindarinya. Masa aku harus mengusir atau melarangnya datang ke kafe? Bisa-bisa aku kena omel Bu Bos.

"Haaai, Mas Adira. Habis potong rambut, ya? Tambah ganteng," goda Mbak Eka sambil lalu. Syukurlah, Mbak Eka lewat di depan meja kasir.

"Tuh, Eka saja tahu kalau aku habis potong. Kamu nggak memperhatiin, ya?" Dia mengusap rambutnya yang dipotong model undercut.

Kuakui, Mas Adira memang tampan. Dan, aku sadar diri, mana ada orang seganteng itu mau mendekatiku? Oleh karena itu, selama ini aku selalu menghindar.

"Dia malu, Mas. Mala mah gitu orangnya. Pemalu dan gugupan," timpal Mbak Eka.

Aku menundukkan kepala, pura-pura sibuk menghitung uang di dalam laci kasir. Saat ini, wajahku pasti sudah memerah seperti kepiting rebus.

"Jadi, kalau malem pulang jam berapa?" ulangnya lagi.

Aduh, aku jawab apa ini? Kenapa dia tanya jam berapa aku pulang? Iseng? Atau jangan-jangan ... mau berbuat jahat. Aku bergidik ngeri. Tidak. Jangan sampai dia tahu jam pulangku.

"Kalau gitu, aku tunggu sepulangmu saja lah. Ntar aku antar pulang, ya."

Hah? Mas Adira bilang apa barusan? Ngantar pulang? Kenapa? Sepintas, aku melihat dia menatapku sembari tersenyum.

"Ma–maaf, Ma-mala permisi ke belakang dulu. Mbak Eka, ni-nitip meja kasir sebentar ya."

Lebih baik melarikan diri dari situasi canggung seperti itu. Setelah memastikan pintu kamar mandi terkunci, aku memegang kedua pipi yang entah mengapa terasa hangat. Ada apa ini? Kenapa jadi deg-degan?

Baru kali ini aku merasa malu, takut sekaligus senang. Benarkah apa yang tadi dia katakan? Mau mengantar aku pulang? Bolehkah aku sedikit berharap? Bagaimana ini?

Namun, kalau ternyata dia punya niat jahat bagaimana? Bisa saja dia sejenis dengan Kusnandar, kan?

Kubasuh wajah berkali-kali guna melunturkan bayang-bayang masa lalu yang selalu berusaha kuhapus dari ingatanku.

Aku harus berubah. Aku tidak mungkin terus-terusan bergelut dengan masa lalu, kan? Mungkin ini saatnya aku harus membuka diri dengan lelaki.

***

Ddddrrrtt ddrrtttt

Tumben ada SMS. Dari siapa? Aku mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja rias.

Mas Adira
081234567***
——————————————————

La, nanti berangkat ke warung jam berapa? Aku jemput ya. Mumpung hari Minggu, aku mau kenalan sama Bunda.
12:22

Nanti jam tiga sore, Mas.
Kenalan sama Bunda ....
Ng ... kenapa, Mas?
12:25

Hehehe...
Kamu aneh, La. Kan kita sudah kenal tiga bulan lebih. Sudah sewajarnya kalau aku kenal sama bundamu. Kan tidak selamanya hubungan kita seperti ini terus.
12:30

Maksudnya apa, Mas?
Mala ndak paham.
12:33

Nanti aku jelasin di rumah deh. See U, Hon. Love U ....
12:35

Aku masih menatap layar handphone. Love You? Hubungan? Ada apa sebenernya? Aku benar-benar bingung. Memang tiga bulan ini kami dekat, tapi hanya sekedar teman. Mas Adira sering mengirim pesan atau telpon, walau hanya sekedar tanya kabar. Dan memang seringkali dia menjemputku sepulang kerja. Namun seingatku, kami tidak pacaran. Astaga, mana mungkin kami pacaran.

Mas Adira termasuk lelaki idaman wanita. Dia bekerja di sebuah Bank swasta, bagian legal. Kulitnya yang putih di tambah wajah tampannya, tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum hawa. Dia juga lulusan sebuah universitas negeri di Jogjakarta. Kami sungguh berbeda.

Jadi, apa maksud SMS-nya tadi? Apa dia hanya mempermainkanku? Jujur, aku sedikit berharap.

***

"Saya serius dengan Kumala, Tante. Jadi, saya mohon kepada Tante untuk merestui kami."

Tadi pukul 14.00, Mas Adira sudah memamerkan senyum di depan pintu rumahku. Dan sekarang, di sinilah kami bertiga berada, di ruang tamu.

Lagi-lagi aku dibuat terkejut olehnya. Tanpa kuduga, Mas Adira mengatakan keseriusannya pada Bunda. Aku sungguh tidak menyangka, Mas Adira berpikir sejauh ini. Apakah ini artinya aku boleh berharap akan secuil kebahagiaan?

"Nak Adira serius dengan putri Tante? Sudah tahu 'kan bagaimana sifat Kumala? Dia itu tertutup sekali, pemalu, bahkan kalau ngomong gagap. Bagi Tante, kalau Nak Adira mau menerima semua kekurangan Kumala, dan Kumala juga setuju, Tante tidak masalah."

"Saya menerima Kumala apa adanya, Tante. Oleh karena itu, saya langsung bicara ke Tante tentang niat saya." Mas Adira tersenyum menatapku.

"Kamu sendiri gimana, Mala?" Bunda ganti bertanya padaku. Mencari jawaban dari balik manik mataku. Entah mengapa, aku merasa ada semburat rasa lega di mata Bunda.

Dengan tergagap aku pun menjawab, "Ma–mala terserah Bunda saja."

"Lhoh, gimana tho? Lha kamu suka apa tidak sama Nak Adira?" Bunda terlihat bingung dengan jawabanku yang terkesan tidak jelas.

Aku tidak bakal sanggup untuk mengeluarkan suara. Terlalu malu. Aku hanya mampu mengangguk samar sembari menunduk. Terdengar desahan lega dari Mas Adira. Lalu sesaat kemudian, aku merasakan dia menggenggam tangan kiriku.

"Makasih, La," bisiknya tepat di telinga kiriku.

"Dan rencana Nak Adira apa? Mau pacaran dulu kan?"

Aku melihat Mas Adira menatap ke Bunda dengan serius, bahkan rahangnya terlihat mengeras. "Rencana saya, tidak pacaran terlalu lama, Tant. Kalau Tante dan Kumala setuju, maka awal tahun depan saya berniat meminang Kumala untuk jadi istri saya."

Aku terkesiap, tidak menyangka sebegitu seriusnya Mas Adira padaku. Aku sudah sangat bersyukur, Tuhan memberi sedikit kebahagiaan dengan perhatian Mas Adira. Namun, ternyata Tuhan sangat bermurah hati dengan pernyataan Mas Adira baru saja. Benarkah masih ada lelaki yang mau menjadikan barang bekas sepertiku ini menjadi istri?

Tanpa sadar, air mata telah jatuh berlinang dari balik kelopak mataku tanpa bisa dicegah. Terima kasih, ya, Tuhan. Semoga ini bukanlah mimpi di siang hari. Tak pernah sekalipun aku bermimpi bisa menjadi seorang istri, tapi Mas Adira membangun kembali mimpi itu.


***

Yeeeaaah!!!
Satu part lagiii...


Semoga tidak terlalu mengecewakan...

Ampun kesupen, komen, kritik dan sarannya Yo...

Matur nuwun....

Solo, 26 Januari 2017

Edit,
Solo, 29 Juli 2018

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top