PART 5
Tahun 2010
"Mala!"
Aku sedang memasukkan baju terakhir ke dalam kardus saat Bunda memanggil. Aku bergegas keluar kamar mencari keberadaan Bunda.
"Njih, Bund," ucapku setelah menemukannya sedang berjongkok di depan lemari dapur.
Bunda menoleh sejenak sebelum kembali melakukan aktivitasnya. "Ngapain kamu di kamar terus? Itu beresin gelas-gelas, masukin ke kardus!"
"Ki-kita bawa semua, Bund?" Aku mengambil sebuah kardus kosong, mengisinya dengan gumpalan koran—gunanya agar gelas tidak saling bersinggungan dan pecah.
Bunda menatapku dengan aneh. "Apa kamu pikir kita bisa beli semuanya di Jogja? Uang sisa jual rumah ini nggak banyak, Mala. Kita harus ngirit. Untung dua orang brengsek itu nggak tau kalau kita jual rumah. Kalau tahu pasti ribut minta jatah. Padahal ini rumah warisanku. Awas saja kalo mereka sampai ke sini."
"Ng, Bu-bunda ndak bilang sama Ayah kalau kita pindah?" tanyaku penasaran. Aku menoleh, demi mendengar jawaban Bunda.
"Buat apa? Biar dia bisa gangguin kita lagi begitu? Kamu juga jangan sampai ngomong sama ayahmu!" perintahnya sambil memasukkan satu set piring keramik ke kardus stereoform.
"Oh ... i–iya, Bund." Aku kembali mengepak gelas, menyelimutinya dengan kain dan koran. Memastikan tidak ada yang terlewat.
Ya, lusa kami akan pindah ke Jogja. Meninggalkan kota Solo yang penuh kenangan pahit di hidupku. Setelah hampir setahun lalu aku meminta Bunda untuk pindah, baru sekarang hal itu dapat terwujud. Kebetulan kantor cabang di Jogja memerlukan tenaga administrasi tambahan. Sehingga, saat Bunda mengajukan mutasi pun segera dikabulkan.
Jogja. Kota yang seperti apakah? Sampai lebih dari delapan belas tahun, belum pernah sekalipun aku pergi jauh meninggalkan Solo. Padahal kota Jogja hanya dua jam perjalanan dari sini.
Aku pernah melihat Jogja dari televisi. Sepertinya tak jauh beda dengan Solo. Kalau di Solo ada pasar Klewer, maka sepertinya di Jogja ada pasar Beringharjo. Sama-sama menjual aneka jenis kain dan pakaian. Hanya saja di Jogja kelihatannya lebih ramai, karena, kan, kota pelajar. Tentu lebih banyak anak mudanya dibanding Solo.
"Besok ambil kue pesanan Bunda di toko biasa, Mala. Bagikan ke tetangga sambil pamitan," ucap Bunda sembari menyerahkan nota pengambilan kue kepadaku.
"Bu-bunda ndak ikut pamitan?" Kuambil nota itu, lalu kusimpan dalam saku celana. Nanti di kamar akan kumasukkan dompet biar tidak hilang.
"Kamu saja. Bunda besok harus ke kantor untuk mengambil berkas. Kemaren pas arisan RT, Bunda sudah pamit. Palingan Bunda pamit lagi ke Budhe Paidi."
Aku kembali membereskan alat-alat masak yang masih tertinggal. Sedangkan Bunda sibuk menumpuk kardus-kardus di ruang tamu. Sebagian barang kami jual—ada yang kami rongsokan, ada pula yang kami jual sepaket dengan rumah. Karena rumah di Jogja lebih kecil, jadi tidak mungkin jika semua barang kami bawa. Cukup beberapa barang yang memang kami butuhkan.
***
"Iya, Pak, itu juga tolong dimasukkan truk. Kardus yang itu hati-hati, isinya pecah belah. Mala, barang-barangmu sudah semua belum?" tanya Bunda sembari memberi instruksi pada tukang angkut.
"Nggg ... se-sebagian belum naik, Bund. Ma-masih kurang kardus bu-buku sama baju."
"Sudah kamu siapin belum? Biar diangkut sekalian sama bapak-bapaknya ini. Coba cek lagi ke dalam rumah, ada yang kelupaan tidak," perintah Bunda.
Aku meneliti lagi barang yang masih di dalam rumah. Hanya kurang beberapa kardus. Aku lihat di dapur dan ruang makan sudah bersih.
Aku masuk ke kamar Bunda. Sesaat, kejadian delapan tahun lalu kembali berputar dalam benakku. Di kamar inilah, aku mengenal arti ketidaksetiaan. Tentang bagaimana ikatan perkawinan digadaikan demi secuil nafsu. Kosong. Bagaikan hatiku yang hampa sejak saat itu.
Aku menutup pintu kamar Bunda, beserta lembar kelam di masa lalu. Aku harus melupakannya. Tidak akan membiarkan ingatan buruk itu terus menghantui.
Pandanganku beralih pada pintu kamarku yang tertutup. Sampai kapan pun, tidak akan kubuka lagi. Terlalu menyakitkan. Aku janji pada diriku sendiri, semua kenangan buruk ini akan kukubur dalam-dalam.
Setelah memastikan tidak ada lagi barang yang tertinggal di dalam rumah, aku kembali ke depan untuk membantu Bunda. Memasukkan kardus ke dalam truk, memastikan semua tertata rapi.
Tak terasa hari sudah menjelang siang. Rencananya setelah makan siang–sekitar pukul 13.00, kami akan berangkat ke Jogja, supaya tidak kemalaman.
Bunda menyerahkan segepok kunci rumah pada Pak Broto–pembeli rumah kami–sebelum kami naik ke mobil Pakdhe Paidi. Kemarin waktu berpamitan ke rumah Pakdhe Paidi, beliau melarang kami untuk menyewa mobil. Beliau sendiri yang akan mengantar kami. Bahkan Bunda pun tidak dapat menolak niatan Pakdhe.
"Uwes durung, Mir? Ojo nganti ono sing keri," nasihat Pakdhe.
"Sampun, Mas. Ini cuma tinggal baju sehari-hari. Njagani kalau belum sempet buka kardus."
"Kowe piye, Nduk? Barangmu wes mlebu kabeh?" Pakdhe ganti bertanya padaku.
"Sampun, Pakdhe." Aku sudah duduk di kursi tengah dengan Bunda. Sedangkan Pakdhe menyetir di depan, ditemani Budhe Paidi.
"Yo wes, mangkat saiki wae yo," ucapnya.
Aku menatap sekali lagi pada rumah yang telah memayungiku dari hujan dan panas selama ini. Rumah tempat aku dibesarkan. Rumah yang memberi kehidupan sekaligus menorehkan luka. Rumah yang tak pernah terasa seperti rumah bagiku.
***
"La, arep mampir opo ora?"
Suara Pakdhe Paidi menyadarkanku dari lamunan. Pandanganku menyapu pada kemegahan candi Prambanan. Walaupun dari kejauhan, tapi sudah terlihat gagah. Menjulang tinggi, memamerkan kesombongannya.
"Mboten, Mas. Besok kapan-kapan saja Mala biar main ke sini sendiri," jawab Bunda.
Kuembuskan napas perlahan, aku mana bisa memprotes keputusan Bunda. Aku tidak berhak. Walau sebenarnya aku ingin sekali melihat dari dekat salah satu objek wisata yang sering kudengar dari teman-temanku.
Tak terasa kami sudah masuk ring road utara. Rumah yang Bunda beli berada di Jalan Kaliurang km 12, tapi jangan bayangkan rumah kami dekat dengan wisata Kaliurang. Kata Bunda masih jauh. Rumah kami di Umbul Martani, dekat dengan salah satu Universitas swasta di Jogja.
Begitu masuk ke gang, terasa hawa anak kampus. Aku melihat banyak rumah kost, tempat makan maupun kafe untuk sekadar nongkrong. Ada rasa was-was berlebih yang menyelimuti diriku. Berbagai pertanyaan 'bagaimana kalau' seolah tidak berhenti mengalir dalam benakku.
Untung saja setelah memasuki gang berikutnya, sepanjang jalan menuju rumah kami tidak terlihat ada rumah kost. Mobil kami terhenti di depan sebuah rumah berpagar putih, bercat biru dengan sebuah pohon mangga yang tengah berbunga di halaman depan. Mungil, tapi terlihat nyaman.
Bunda sudah terlebih dahulu turun dan masuk ke rumah. Sedangkan aku memilih untuk menurunkan barang-barang sebelum mendengar teriakan Bunda. Tak selang berapa lama, truk pengangkut barang kami tiba.
"Mala, kamu beli minum di warung seberang jalan sana. Kasihan itu bapak-bapaknya, haus. Sekalian beli nasi bungkus, buat makan sore," perintah Bunda setelah aku meletakkan semua barang yang kami bawa di mobil ke dalam rumah.
"Ta-tapi, Bund ... Mala–"
"Sudah sana berangkat. Cuman ke warung, Mala." Bunda sudah tampak geram.
Warung yang Bunda maksud tadi memang tidak jauh. Kira-kira dua ratus meter dari rumah. Aku lumayan khawatir kalau ramai, ternyata sepi. Hanya ada dua orang pengunjung, itu pun sudah bapak-bapak. Mungkin karena jam nanggung, jadi sepi.
"Mbaknya yang baru pindah ke rumah biru itu, ya?" tanya ibu pemilik warung seraya membungkuskan nasi.
"I-iya, Bu." Aku duduk di kursi panjang sembari menunggu pesananku siap.
Kulihat sekeliling warung. Tidak terlalu besar, paling muat sepuluh orang, itu pun dengan berhimpit-himpitan. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Lantainya berupa cor-coran semen yang diratakan seadanya.
"Wah, tetangga baru rupanya. Kenalkan, saya Bu Atik."
Aku mengangguk, lalu memperkenalkan diri, "Sa-saya Kumala, Bu."
"Besok-besok kalau mau pesan jajan atau katering, bisa ke Ibu. Di sini nerima pesanan partai besar juga. Kalau tetangga pasti harga khusus," promonya.
"I-iya, Bu. Na-nanti Mala sampaikan ke Bunda. Te-terima kasih, Bu," ucapku.
"Semoga kerasan ya, Mbak."
Ibunya ramah. Semoga saja penduduk di daerah sini sepertinya semua. Walau sebenarnya aku sendiri sangsi untuk mengobrol dengan mereka.
Setelah pesananku selesai dibuat, aku bergegas pulang sambil mengamati sekeliling rumah. Menjelang sore, hawa mulai dingin. Beberapa anak terlihat bermain di sebuah halaman luas, tak jauh dari rumahku. Ada yang main kelereng, beberapa bocah perempuan asyik bermain congklak. Aku tersenyum melihat tingkah menggemaskan itu.
"Semoga kita betah di sini."
Serta merta kuhentikan langkah. Siapa? Sepertinya tadi ada yang bicara. Aku menengok kanan kiri. Tak ada orang yang kukenal. Mungkin hanya perasaanku saja.
***
Wuaaah ... bersyukur banget masih bisa edit-edit tipis. Walau dengan hasil yang ala kadarnya.
Maafin aku yo kalau part ini ndak ada feel-nya. Pendek pula...
Cuma komentar, kritik dan saran yang jadi mood booster kuuu...
Ayo dooong, kasih aku masukan ya... Pliiis...
Makasih untuk semua yang sudah mau mampir sampai part 5...
Semangaaattt!!!
Solo, 25 Januari 2017
Edit
Solo, 25 Juli 2018
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top