PART 4

Tahun 2009

"Aneh."

Aku merasa ada yang tidak beres dengan rambut dan wajahku. Lagi. Aku turun dari tempat tidur, melihat pantulan diriku di cermin. Rambut lurusku sudah berubah jadi model keriting spiral dan berponi. Kulihat catok keriting tergeletak begitu saja di meja rias. Kapan aku memakainya? Dan ini ... kapan aku dandan? Sejak kapan aku memakai lipstik dan eye shadow?

Entah apa yang terjadi. Akhir-akhir ini aku merasa kehilangan beberapa potong ingatan. Kalau tidak salah ingat, mulai tujuh tahun lalu aku jadi sering lupa. Pernah suatu waktu aku terbangun di teras depan. Pernah juga aku merasakan seperti deja vu. Dan belakangan ini, seolah ada sosok asing yang wira-wiri di ingatanku. Tapi anehnya, aku sama sekali tidak mengenalnya.

Aku memindai lagi penampilan yang terpantul dalam cermin. Dari mana kudapatkan gaun seperti ini? Gaun merah cabai, dengan rok melebar mulai bagian perut. Sangat cantik. Bahannya halus, kelihatan mahal. Untuk apa aku berias seperti ini? Seperti bukan diriku.

Segera kulepas gaun, menggantinya dengan celana dan kaus yang biasa kupakai. Menyimpan gaun itu di dalam lemari, keburu Bunda melihatnya. Aku juga menghapus riasan. Menyisir rambut dengan cepat, hingga ikal-ikal indah itu kembali lurus.

"I-ini baru Mala yang sebenarnya," gumamku sembari balik menatap sepasang mata dari dalam cermin. Aku terkejut. Ada senyum di bibir itu, tapi bukan senyumku.

"Mala!" Aku berjingkat mendengar suara Bunda yang kini sudah berdiri di ambang pintu kamar. "Mau sampai kapan kamu ndekem di kamar terus? Bunda bosen lihat kamu klumbrak-klumbruk kaya gombal basah."

"Ma-maaf, nggg ... ada apa, Bund?"

"Kamu membolos sekolah lagi?" Menurutku itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. "Sudah enam bulan lebih, Mala! Kamu masih nggak berubah. Apa kamu pikir kalau kamu seperti ini bisa mengubah masa lalumu?"

Lagi-lagi Bunda mengungkit kejadian laknat itu. Enam bulan, tapi buatku seperti baru semalam. Hingga saat ini pun aku masih sering bermimpi buruk. Lagipula, untuk apa aku sekolah? Toh masa depanku sudah hancur. Segiat apa pun aku berusaha, aku tetaplah sampah.

"Mala! Kamu dengerin Bunda nggak? Besok kamu harus masuk sekolah. Bunda nggak mau dipanggil gurumu lagi gara-gara kamu sering mbolos. Lagian kamu itu ke mana? Pagi izin berangkat sekolah, tapi gurumu bilang kamu nggak masuk. Kamu itu sudah kelas 3 SMA, sebentar lagi ujian. Maumu apa, keluyuran nggak jelas, hah?"

"Ma-mala juga ndak tahu, Bund. Mala bingung," ucapku lirih. Entah bagaimana aku harus menjelaskan pada Bunda tentang keanehan yang kurasakan. Aku sendiri bingung.

"Halah! Alasan saja. Mana mungkin kamu nggak tahu? Memange kamu kerasukan?! Dari kecil kamu sudah aneh."

"Ta-tapi, Bund, Mala benar-benar ndak ingat."

"Mala," panggil Bunda lirih, "kamu nggak gila 'kan? Bunda malu kalau kamu sampai gila," lanjutnya.

Aku terkejut, kenapa Bunda sampai berpikir aku gila. Seaneh itukah sikapku?

"Dengar, Mala. Bunda itu juga pusing. Malu. Sudah dua kali Bunda cerai, semuanya karena perempuan lain." Sekilas aku melihat sorot menyalahkan dalam tatapan Bunda.

"Pe-perempuan lain? Maksud Bunda ba-bagaimana?"

"Pikir saja sendiri," gumamnya.

Hatiku memanas. "Tapi, Mala bukan perempuan lain, Bund. Ma-mala ndak menggoda la-laki-laki itu." Menyebut namanya saja membuatku takut.

"Sama saja tho. Menggoda atau tidak, Kusnandar tetep nidurin kamu. Bunda, malu kalau orang-orang sampai tahu perbuatan bejatmu sama Kusnandar. Untung saja kamu nggak sampai hamil."

"Bunda, Ma-mala juga ndak mengharap kejadian itu menimpa Mala. A-apa salah Mala sampai Bunda sebenci ini sama Mala? Mala juga sakit, Mala yang ... Mala yang jadi korban pe-pemerkosaan itu." Aku berusaha membela diri.

Mata Bunda menyipit, menatap tajam. "Kamu mau tahu apa salahmu?" Ada jeda sejenak, sebelum Bunda melanjutkan, "Karena darah Dewo mengalir di tubuhmu! Semua karena dosa ayahmu pada Bunda."

Mungkin seperti ini rasanya kalau tubuh disiram dengan air keras. Panas, sakit, terbakar, dan kaku. Terlebih di dada.

Begitukah pemikiran Bunda terhadapku? Bunda yang sangat aku sayangi, ternyata menyimpan kebencian padaku. Lalu apa yang harus kulakukan supaya Bunda bahagia?

"Ingat, Mala. Besok kamu harus sekolah," ucap Bunda sebelum keluar kamar.

Aku menarik napas panjang. Ternyata sebenci ini Bunda padaku. Pantas saja setelah kejadian laknat itu, Bunda sama sekali tidak terlihat membelaku. Bahkan tidak berusaha melaporkan perbuatan Kusnandar ke polisi. Bunda terkesan tidak peduli, hanya menggugat cerai lelaki itu.

Apakah salah, kalau aku terlahir sebagai putri seorang Dewo? Apakah aku yang salah, kalau Kusnandar gelap mata dan akhirnya memperkosaku? Kenapa Bunda menyalahkanku? Padahal aku pun merasa sakit yang sama, malahan beribu kali lebih sakit.

***

Berat rasanya untuk melangkahkan kaki ke sekolah. Bagi orang sepertiku, kehidupan sekolah sungguh membuat tertekan. Di saat aku tidak ingin diganggu, mereka bilang aku sombong. Di saat aku berusaha mendekat, mereka bilang kalau aku kecentilan.

Bagiku, sekolah seperti hutan belantara. Dan aku tersesat di dalamnya. Mungkin bagi Charles Darwin, bukan yang paling kuat yang bisa bertahan hidup, bukan juga yang paling pintar. Yang paling bisa bertahan hidup adalah yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan. Namun sayangnya, aku bukan orang yang kuat, tidak pula pintar dan kurang bisa beradaptasi dengan perubahan.

Jam pulang sekolah seperti inilah saat dimana aku merasa terlepas dari jeratan. Tidak perlu lagi hidup dalam kemunafikan. Aku bisa kembali masuk dalam kotak besi yang melindungiku dari rasa sakit.

Aku menyalangkan mata. Lelaki itu! Dia berdiri di depan pintu gerbang. Kenapa dia ada di sini? Apa yang dia cari? Aku membalikkan tubuh, menghindarinya.

"Mau ke mana, Mala? Kamu nggak kangen sama Om?"

Laki-laki itu berhasil menangkap tanganku. Kilatan peristiwa itu kembali muncul.

"Lepas!!!" teriakku dengan lantang, tak memedulikan lagi tatap penasaran dari orang-orang.

"Jangan jual mahal. Kamu belum lupa malam kita bersama 'kan? Apa Om ingatkan lagi? Om tidak keberatan."

Aku masih berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya. Beberapa orang mencuri dengar. Aku yakin, besok seluruh sekolah membicarakanku.

"Kamu harus ikut Om sampai Mira ngasih duit yang aku minta," desisnya tepat di telingaku. Aku dapat merasakan lidahnya membelai cupingku.

"Tidak!" Aku menginjak ujung sepatunya tanpa ampun.

"Dasar sampah! Wanita jalang tak tahu malu!" Berbagai sumpah serapah dilontarkannya.

Tidak mungkin. Aku tidak mau menurutinya. Sangat kecil kemungkinannya Bunda menuruti permintaan laki-laki ini. Aku harus bisa lari darinya.

Kusentakkan dengan kuat cekalannya di pergelangan tanganku. Kemudian berlari sekencang mungkin, tidak mengacuhkan teriakannya yang mengumpat memanggil namaku.

Aku terus berlari. Takut, marah, sedih semua menggelora di dalam diriku. Beberapa kali aku menabrak orang yang tengah berjalan di trotoar. Sebagian hanya menoleh dan memandang aneh padaku. Sebagian lain mengumpat kasar.

Aku tidak peduli. Tega sekali dia berbuat hal seperti itu. Mempermalukanku di depan sekolah. Mereka akan berpikir bahwa aku adalah wanita penggoda, mau tidur dengan siapa saja. Mereka tidak mungkin menaruh simpati padaku.

Hah! Jangankan mereka, Bunda saja berpikir aku ini perempuan penggoda suaminya. Perempuan lain yang mau tidur dengan lelaki itu. Perempuan yang menghancurkan rumah tangganya. Dan perempuan yang pantas menerima karma atas perbuatan Ayah. Aku ini sampah. Tidak ada harganya sama sekali.

Aku sudah tidak sanggup hidup lagi. Tidak dengan pandangan miring orang terhadap diriku. Dan sekarang, di sinilah aku berdiri. Di tengah rel kereta api.

Hidupku sudah tidak lagi berguna. Sudah tidak ada lagi yang menyayangiku. Masa laluku begitu suram. Saat ini aku hancur. Dan tak lagi punya masa depan.

Lamat-lamat aku mendengar suara kereta api dari kejauhan. Aku memejamkan mata. Suara mesin menderu semakin dekat. Seiring dengan detak jantungku yang kian kencang.

"Bertahanlah, Kumala! Ada aku di sini! Kumohon, bertahanlah! Aku selalu ada di saat kamu lemah! Jangan bodoh cuma gara-gara cowok gak tahu diri! Sadar, Mala!"

Aku mendengar seseorang berteriak di telingaku. Membuatku membelalak. Kereta itu hanya tinggal beberapa ratus meter dari tempatku berdiri. Siapa yang tadi teriak?

Klakson kereta terdengar nyaring. Aku masih terpaku di tempat. Apa yang harus kulakukan?

"Kumala, jangan bodoh! Kalau kamu mati maka aku juga mati! Pergi dari sana, Kumala. Kumohon!"

Sekonyong-konyong, aku melompat dari atas rel, menjatuhkan diri di rerumputan tepat sebelum kereta melintas. Seluruh tubuhku bergetar hebat. Apa yang tadi kupikirkan? Kenapa aku ingin bunuh diri?

Siapa yang berteriak? Apakah aku berhalusinasi? Atau itu suara hatiku yang belum siap untuk mati? Namun suara itu terdengar sangat familier. Seolah aku telah mengenalnya seumur hidupku.

***

"Astaga, Mala! Kamu nggak sekolah lagi hari ini?"

Aku sedang duduk meringkuk di atas kasur, saat Bunda masuk ke dalam kamar. Tak perlu melihat langsung, cukup mendengar pun sudah tahu seberapa marah Bunda padaku.

"Mala! Sekarang apa alasanmu? Lihat orang tua kalau baru diajak ngomong!"

Aku mendengkus pelan, dengan berat mengangkat kepala menatap Bunda di ambang pintu.

"Ma-maaf, Bund. Mala ta-takut ke sekolah," jelasku.

Bunda tampak berkerut keheranan. "Ada apa lagi ini? Kamu buat ulah apa lagi?"

"Kemarin dia datang ke sekolah, Bund. Dia ... dia, berbuat ulah di sana. Mala takut, Bund. Ma-mala malu."

"Dia lagi," desis Bunda frustrasi. "Dia minta uang ke Bunda, tapi nggak Bunda kasih. Dia ngancam Bunda."

"Bunda, ndak bisakah kita pergi dari sini? Ndak bisakah kita pindah?" pintaku dengan sangat pada Bunda.

"Jangan aneh-aneh, Mala. Di sini Bunda sudah dapet posisi. Kalau pindah, Bunda harus cari kerja lagi."

"Apa Bunda ndak bisa ngajuin pindah kantor? Mala mohon, Bund. Mala ndak sanggup lagi di sini. Terlalu sakit, Bund." Sudah lama aku tidak menangis di depan Bunda, tapi kali ini pengecualian. Air mataku seolah lepas dari kungkungannya selama bertahun-tahun, mengalir deras.

Bunda masih berdiri di ambang pintu hingga tangisku reda, menyisakan sedikit isak lirih.

"Selesaikan dulu sekolahmu. Nanti Bunda pikirkan lagi," ucapnya sesaat sebelum berbalik ke luar kamar.

***

24 Januari 2017

Edit
Solo, 23 Juli 2018

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top