PART 28

"Bumi, tolong dong, jangan seenak udelmu gitu. Inget! Aku ini masih gadis unyu, kamu kalau ganti baju di kamar mandi bisa 'kan!" cecarku saat masuk kamar dan melihat Bumi sedang ganti pakaian.

"Eh ... eh, maaf," ucapnya sambil meraih celana panjang dan bergegas keluar kamar.

Sebenarnya Bumi juga nggak yang telanjang juga, masih ada boxer dan oblong. Cuma aku memang baru pengin iseng sama ini cowok. Membuat Bumi tersipu malu itu mengasyikkan, kulit wajahnya 'kan putih tuh, jadi kelihatan pink-pink lucu gitu. Kayak cewek pakai blush on. Aku terkikik geli melihat tingkah malunya.

Padahal sudah hampir sebulan kami tinggal bareng, tapi dia masih suka sungkan. Kalau untuk ngobrol, Bumi sudah mulai santai, tapi kalau adegan kayak tadi, biasanya dia lari ngibrit.

Wajar saja, Bumi hanya menganggapku sebagai adik, nggak pernah sekali pun dia memandangku sebagai wanita seperti Kumala. Pernah sekali aku berpura-pura menjadi Kumala, tapi dia tahu. Dan membuatku terpaksa menjalani hukuman nggak boleh menampakkan diri selama dua hari.

Sebenarnya, kehidupan kami benar-benar terasa aneh. Aku membuat kesepakatan dengan Kumala tentang jadwal penampakan kami. Jatahku di siang hari, saat Bumi pergi kerja. Sedangkan Kumala, tentu saja sore hingga pagi tiba. Khusus Sabtu-Minggu, aku hanya keluar saat ada janji dengan pemasok Butik atau ada pekerjaan di sana.

Namun, tak jarang aku membiarkan Kumala mendominasi di siang hari. Dia harus mulai membiasakan diri untuk hidup seutuhnya. Kumala harus belajar menjadi lebih kuat dan tegar.

Sampai sekarang, aku masih bekerja di Butik. Aku meminta Kirana untuk mengajari Kumala tentang bagaimana menjalankan bisnis. Jadi, dia bisa menggantikanku saat aku harus pergi.

Kami juga masih rutin menjalani psikoterapi dengan Bu Laksmi. Dan, mulai minggu kemarin, aku telah menjalani terapi hipnosis. Terapi ini bertujuan untuk mengisi alam bawah sadar Kumala agar melepaskanku. Dan, aku sedikit demi sedikit mulai melemah. Kepribadianku mulai memburam. Terkadang kepribadian Kumala yang menggerakkanku.

Selama ini Kumala belum mengetahui niat terselubungku. Sehingga membuatnya sangat kooperatif, dia menerima segala saran yang diberikan oleh Bu Laksmi. Dia juga menuruti setiap instruksi yang harus dilakukannya.

Aku ingin Kumala menerima seluruh ingatanku, tapi di saat yang sama, dia harus melepaskanku. Aku tidak sanggup jika harus hidup dalam bayangan selamanya. Aku ingin mengaktualisasikan diri, tapi itu tidak mungkin terjadi.

Jauh di lubuk hatiku, aku ingin berkeluarga. Menikah dan memiliki keturunan dari pria yang kucintai. Namun, ini juga tidak mungkin terwujud.

Aku pun tidak tega harus melihat Kumala menjalani dua jiwa yang berseberangan. Dia belum sepenuhnya bahagia jika masih bergantung padaku.

Aku adalah refleksi dari keinginan terpendam Kumala akan sebuah hidup bahagia. Selama dia masih mempertahanku, maka diri Kumala yang asli berarti belum bahagia. Dengan kata lain, aku ini batu sandungan.

Aku mengernyitkan hidung, masih saja aku merasa nyeri saat menyadari siapa diriku sesungguhnya.

Jika aku ingin lepas, harus kupastikan jiwa Kumala sudah terlepas dari trauma masa lalunya. Dan, hanya Kumala sendiri yang bisa melakukannya. Ya, begitulah. Aku adalah sosok yang diciptakannya, maka dia sendiri pula lah yang harus melenyapkanku.

Aku menarik napas panjang. Ayo, Vanessa, semangat!!! Kamu pasti bisa meyakinkan Kumala hari ini. Go go go!

Aku mengepalkan kedua tanganku dan mengangkatnya ke atas. Kubulatkan tekad, hari ini semua orang harus tahu tentang pengunduran diriku.

Ya, mungkin saja mereka trenyuh, terus bikin pesta perpisahan gitu. Asal mereka nggak menyiapkan pemakaman untukku. Aku nggak mau di hari kepergianku, mereka menangis. Aku mau semua tersenyum, mengingatku sambil tertawa.

Ya, hari ini aku sudah membuat janji dengan Bu Laksmi. Aku memintanya untuk menjelaskan keinginanku pada Kumala. Dan, hari ini, tanggal 16 Juni–hari di mana aku lahir–aku ingin mengakhiri segalanya.

Kulihat jam mununjukkan pukul 10.02, berarti sebentar lagi Bryan dan Kirana datang. Aku bergegas mengambil baju dari dalam lemari. Ini juga salah satu kesepakatanku dan Kumala, aku bebas menggunakan pakaian apa pun yang kumau. Asal–syarat dari Bumi lebih tepatnya–nggak melanggar norma kesopanan.

Benar saja, belum ada lima menit, aku sudah mendengar deru mobil modifikasi milik Bryan. Aku sengaja mengajak mereka berdua untuk menemui Bu Laksmi. Bagaimana pun juga, mereka adalah orang-orang yang kusayangi. Mereka berhak tahu akan keputusanku.

"Ness, aku masuk ya," ucap Kirana sambil mengetuk pintu kamarku.

"Masuk, Na. Nggak dikunci kok!" teriakku dari dalam kamar.

Aku sedang memoles lipstik ke bibir, saat Kirana masuk. Kulirik sekilas tampilannya dengan ekor mataku. Not bad. Gaun full skirt berwarna putih susu selutut, dengan corak mawar hitam membuatnya tampak lebih langsing. Pilihan bajunya sekarang sudah berkembang, nggak kayak Kumala yang masih setia dengan celana dan kemeja.

Kalau Kumala malah lebih parah, dulu dia setia dengan celana jin buluk, eh sekarang berganti ke celana kain. Kumala bener-bener cocok banget jadi pasangannya Bumi. Katrok. Kuno.

Sedangkan aku memilih atasan batik dengan model tunik umbrella berwarna ungu, yang kupadankan dengan celana legging hitam. Hari ini, aku ingin terlihat memesona. Aku ingin mereka mengingatku sebagai Vanessa yang ceria dan cantik.

"Wiiih, mau ke menong, Cyin? Pake dress segala, pesta?" godaku saat Kirana ikut mematut penampilannya di depan cermin.

"Mau cari lekong, Cyin. Aku mau melepas status jomlo. Kamu sendiri, kayak yang mau dilamar. Dandan maksimal."

"Alhamdulillah Ya Allah, Kau beri hidayah pada perawan satu ini. Nah, gitu dong, cari pacar," ucapku.

"Tadi aku ketemu Bumi di depan, dia tambah ganteng, ya. Kok bisa, cowok kulitnya putih bersih kayak gitu. Mukanya berseri–"

"Berseri, bersih sehat rapi indah," ucapku asal memotong perkataan Kirana.

"Apaan, tuh?" Kirana melihatku aneh.

Aku tertawa. "Slogannya kota Solo."

"Beneran, deh, Ness. Apa kamu nggak ciblok demen* sama tuh cowok?" (ciblok=jatuh, demen=suka, jatuh cinta)

Aku mengendikkan bahu. Hatiku sepenuhnya telah menjadi milik Bryan, Na. Tentu saja aku nggak mengungkapkannya ke Kirana. Aku nggak mau menambah beban pikiran ke cewek susah move on satu ini.

"Vanessa, kamu sudah siap belum?" tanya Mami yang sudah berdiri di ambang pintu.

"Udah, Mi." Aku meraih tas cangklong lalu bergegas menyusul Mami, dan Kirana yang sudah lebih dulu keluar rumah.

Satu kemajuan yang membuatku senang, Bryan sudah berdamai dengan Bumi. Aku merekam semuanya sedetail mungkin. Bahkan, Bryan nggak keberatan kita semua berangkat naik mobil yang sama.

Bumi menyetir di depan, ditemani Bryan. Sedangkan aku, Mami dan Kirana duduk di belakang. Kusandarkan kepala di bahu kiri Mami, kupeluk pinggangnya.

Mami melihatku sambil mengernyitkan dahi. "Kenapa, Nessa? Apa kamu sakit?"

Aku mendongakkan kepala menatap Mamiku tersayang, wajahnya sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda kedewasaan–aku nggak tega bilang tua–tapi kini ada kelembutan di matanya.

Aku menggeleng sambil tersenyum, lalu kembali menundukkan kepala. Aku nggak mau, Mami melihat mataku yang mulai merebak. Semuanya terasa begitu indah di mataku. Sangat sesuai dengan yang kuharapkan.

"Aku pengin dipeluk Mami," pintaku lirih.

Tanpa bertanya, Mami mengabulkan permintaanku. Seandainya waktu berhenti berputar, aku ingin selamanya seperti ini. Ada Mami, Bryan–sebagai suamiku–, Bumi sebagai kakakku dan Kirana sahabat terbaikku. Aku tersenyum miring, tentu saja itu cuma angan-angan.

***

"A-apa maksudnya? Ba-bagaimana mungkin Vanessa melakukan ini?" Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang kudengar dari Bu Laksmi.

"Tolong jelaskan pada saya, Bu. Kenapa Ibu bisa berkata seperti itu?" Kudengar suara Bunda sama tak percayanya denganku.

"Sekarang Vanessa mana? Kenapa dia malah lari? Kenapa malah Kumala yang di sini?" Kirana pun terlihat sangat terkejut.

Bagaimana tidak, baru saja Bu Laksmi mengatakan pada kami semua bahwa Vanessa berniat untuk menghilang. Aku yakin, Bu Laksmi pasti bercanda.

"Mohon tenang, semuanya. Saya akan menjelaskan. Beberapa waktu lalu, Vanessa menemui saya. Secara pribadi, dia meminta saya untuk menghapus dirinya dari dalam tubuh Kumala.

"Dalam kasus GID, seperti Kumala, jalan tengah yang umum dilakukan adalah, dengan mengintegrasikan seluruh alter dan inang menjadi satu. Karena biasanya, ego si alter ini sama kuatnya untuk menguasai tubuh si inang, sehingga diambil jalan tengah seperti yang sudah dijalani Kumala dan Vanessa Akhir-akhir ini.

"Nah, ada kasus tertentu, inang maupun alter tidak mau menerima dan menyatu satu sama lain. Hal itu menyebabkan mereka selalu bertukar tempat dan tidak ada penyelesaian.

"Dalam kasus Vanessa, dia sendiri yang mengalah. Dia merasa, menjadi halangan Kumala untuk bahagia. Memang, selama masih ada Vanessa, itu berarti masih ada ganjalan dalam diri Kumala. Kumala masih membutuhkan seseorang sebagai tameng di saat dia lemah. Itu akan menjadikan diri Kumala selalu lemah.

"Vanessa ingin Kumala menjadi satu pribadi yang utuh. Dia akan memberikan seluruh ingatan yang dimilikinya. Itu yang Vanessa ingin sampaikan pada kalian semua."

Dengan lancarnya Bu Laksmi menjelaskan hal seperti ini pada kami. Seperti tidak ada beban sama sekali. Sedangkan bagiku, Bunda dan Kirana, berita ini bagai petir di siang bolong. Membuat kami mematung.

"Kenapa bukan Vanessa sendiri yang bilang? Tadi pas berangkat jelas-jelas itu Vanessa, kenapa begitu masuk ke ruang ini jadi berubah Kumala?" Kirana pertama tersadar dari kagetnya.

"Vanessa tidak bisa menjelaskan secara runtut, oleh karena itu dia ingin saya yang memberitahu kepada kalian." Bu Laksmi berdiri lalu mengambil cermin setinggi tubuh orang dewasa.

Aku tidak tahu untuk apa, yang jelas cermin itu diletakkannya tepat di samping kananku.

"Lihatlah ke dalam cermin, Mala," ujar Bu Laksmi yang berdiri di belakangku.

Bunda dan Kirana menggeser duduknya, sehingga aku leluasa untuk duduk tepat di depan cermin. Mungkinkah Vanessa ingin menunjukkan dirinya, dengan diriku masih tetap sadar?

"Lihatlah," kata Bu Laksmi seraya menepuk bahuku, kemudian dia beringsut untuk duduk di kursinya.

Aku teringat saat Vanessa pertama kali menunjukkan diri padaku, dia juga memilih cermin sebagai media kami untuk berinteraksi. Kusentuh permukaan cermin yang dingin. Keluarlah, Vanessa. Jelaskan pada kami semua.

Kulihat dia tersenyum. Ya, aku sudah bisa membedakan mimik wajah kami. Bisa-bisanya dia tersenyum, padahal kami semua sangat tegang. Bahkan Mas Bumi dan Mas Bryan pun memajukan kursinya, agar bisa melihat ke dalam cermin.

"Idiiih, wajah kalian kek orang nahan pup!" ejek Vanessa sambil menunjuk kami melalui cermin. Aku masih saja heran, bagaimana mungkin aku tidak sadar saat dia mengangkat tanganku?

"Dasar gemblung!" damprat Kirana kesal.

"Jangan cemberut, Na. Pipimu kelihatan tembam!" Vanessa masih saja bercanda di saat seperti ini.

"Nessa, a-apa benar yang dikatakan Bu Laksmi?" tanyaku lirih.

Vanessa tersenyum, memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Iya," jawabnya singkat.

"Kenapa? Apa aku berbuat salah padamu? Apa kamu tidak bahagia? Atau karena apa? Tolong, katakan, Ness," pintaku.

Wajahnya berubah teduh, sangat tenang. "Kamu nggak salah, La. Aku sangaaat bahagia. Aku sayang banget sama kamu, karena itu aku melakukan ini. Aku pengin kamu merasakan kebahagiaan seutuhnya. Kamu tahu, La? Bahagia itu bukan hanya tentang tertawa. Bahagia adalah saat di mana kamu bisa merasakan sedih, tangis, marah, kecewa, benci, kesal, haru dan berbagai perasaan yang ada bersama dengan orang-orang yang kamu sayangi.

"Aku sudah banyak merasakan kebahagiaan, La. Tapi bagaimana denganmu? Selama ini kebahagiaanmu semu. Coba aku tanya, apa yang akan kamu lakukan kalau Kusnandar ada di depanmu sekarang?"

Mataku membeliak. Aku menggeleng berulang-ulang. Tanpa sadar, aku meremas kuat pegangan kursi.

"Kalian lihat? Kumala masih berusaha lari. Kamu belum bisa memaafkan dirimu sendiri, kamu belum bisa berdamai dengan masa lalumu, kamu juga belum merasakan ketenangan. Apa ini yang kamu sebut bahagia?" Aku terkesiap dengan pertanyaan Vanessa. Benar, aku belum benar-benar bisa memaafkan.

"Bukan, La! Itu bukan bahagia. Lalu bagaimana kalau kamu harus kehilangan Mami atau Bumi? Aku yakin 100%, kamu bakal sembunyi lagi. Kamu nggak bisa nerima kenyataan. Dan lagi-lagi, aku yang kamu jadikan tameng. Aku yang harus menggantikan posisimu.

"Aku bisa saja menerima hal seperti itu. Aku senang karena masih bisa merasakan nikmat dunia. Walau itu artinya aku harus menekan segala keinginanku.

"Aku bisa saja melakukan segala hal semauku sendiri, aku nggak perlu memikirkan kehidupanmu yang kacau karena ulahku. Misalnya, aku menikah dengan Bryan. Tapi itu artinya kita berdua egois, hanya memikirkan diri sendiri."

Aku menutup mulut dengan kedua tanganku, seegois itukah diriku?

"Aku ingin kamu hidup yang sehidup-hidupnya, La. Buang aku. Hapus aku dari kepribadianmu. Bahagialah untukmu dan untukku."

Tangisku benar-benar pecah. Aku tak bisa membayangkan harus membunuh Vanessa, pribadiku yang lain.

"Tapi ... tapi, bagaimana aku bisa melakukannya? Bu-bukankah aku dan kamu sudah jadi satu kesatuan? Aku ndak mungkin hidup tanpamu. Bagaimana aku bisa hidup kalau kamu ndak ada, Ness. Aku sama siapa?" ucapku dalam sela tangis.

"Kamu nggak lihat mereka, La?" Vanessa menunjuk Bunda, Mas Bumi, Kirana dan Bryan.

"Apa arti mereka bagimu? Mereka selalu ada untukmu. Aku yakin, tanpa diminta pun mereka akan membantumu. Mereka orang-orang yang menyayangimu. Buka hatimu, La, cobalah untuk percaya pada orang lain. Mencoba untuk tidak memercayai orang lain itu sangat menyiksa. Jangan siksa dirimu, percayalah pada mereka yang menyayangimu, itu akan menyembuhkan luka."

"Aku ... aku yang membuatmu ada, Ness. Ndak mungkin aku ...." Aku tak sanggup melanjutkan ucapanku.

Vanessa menghela napas panjang. "Kumala, aku ini hidup untuk menyelamatkanmu. Dan, sudah menjadi takdirku, untuk pergi demi menyelamatkanmu. Karena aku diciptakan untuk itu."

Kudengar isak tangis di sepenjuru ruangan. "Semua orang menyayangimu, aku akan melukai mereka semua."

Vanessa tersenyum dalam tangisku. "Kalau mereka benar-benar sayang sama aku, maka nggak mungkin kan kalau mereka menghalangiku untuk pergi. Ingat, La! Aku dan kamu adalah satu. Kamu bahagia maka aku bahagia. Aku jamin, nggak akan ada yang menyalahkanmu.

"Aku bisa pergi, hanya dengan persetujuan dan keikhlasanmu, La. Jadi, kumohon ... kumohon bunuhlah aku, alter egomu ini." Vanessa menangis, aku tahu itu. Itu bukan air mataku, itu miliknya.

Entah kekuatan dari mana yang kudapat, aku menganggukkan kepala. "Aku ... aku akan berusaha semampuku untuk bahagia, Nessa. Terima kasih untuk semua yang kamu lakukan untukku. Terima kasih untuk semua kasih sayangmu. Terima kasih untuk pengorbananmu. Terima kasih telah menjadi malaikat pelindungku. Terima kasih ... terima kasih ...." Beribu kata terima kasih pun tak cukup untuk menggambarkan betapa aku bersyukur atas kehadiran Vanessa.

"Maafkan aku, Nessa ... maaf karena membuatmu harus berkorban, maaf karena kamu harus membunuh rasa cintamu pada Bryan. Maaf karena aku mengikhlaskanmu ... maaf ...." Aku menangis tersedu-sedu, sungguh sakit saat harus mengucapkan kata ikhlas.

Kupeluk cermin besar dihadapanku, seandainya aku bisa memelukmu, seandainya kamu nyata. Kita tidak perlu seperti ini. Aku tidak perlu membunuhmu.

Aku menangis histeris membayangkan tak ada lagi sosok Vanessa. Tidak! Aku tidak bisa.

"Kamu harus bisa, La. Bunuh aku dan bahagialah untukku."

Lagi-lagi aku masuk ke dimensi alam bawah sadarku. Aku bisa bicara berdua dengan Vanessa. Suaramu ini, suara yang selalu menguatkanku. Suara yang tidak mungkin lagi kudengar, bila aku melepaskanmu pergi.

"Suara Bumi lebih indah, La. Nyanyian penghiburan Mami jauh lebih merdu dibanding diriku."

Benarkah ini harus kulakukan, Nessa?

"Tentu saja. Jangan takut, La. Aku ini kamu ciptakan di dalam pikiranmu. Jadi, selama kamu ingat akan ketegaranku, kamu akan tegar. Saat kamu ingat senyumku, kamu akan tersenyum. Saat kamu ingat keberanianku, kamu akan berani. Aku tidak lagi hadir secara nyata, tapi aku tetap hidup di setiap aliran darahmu. Karena aku dan kamu nggak akan terpisahkan."

***

Belum tamaaat....
Dan maaf, ngeditnya masih amburadul...

Kira-kira endingnya bagaimana ya?
Hayooo, mana tim Vanessa?
Mana tim Kumala?
Siapa yang harus pergi hayooo....

Kira-kira Kumala beneran bakal mengikhlaskan Vanessa nggak ya?

Jawabannya ada di part 29 besok...
Hohoho...

Solo, 17 Februari 2017

Edit,
Solo, 26 September 2018

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top