PART 26
Lamat-lamat aku mendengar seseorang bicara padaku. Suara itu menuntunku menuju ujung lorong penuh cahaya. Perlahan aku bisa merasakan udara dingin menusuk kulit.
Indra penciumanku kembali berfungsi, apa ini parfum atau pengharum ruangan? Begitu segar. Aku dapat merasakan jariku menyentuh sesuatu yang empuk dan lembut.
"Apa kamu bisa mendengar suaraku? Anggukkan kepalamu jika bisa."
Aku berusaha menggerakkan kepala, entah berhasil atau tidak. Suara itu kembali memerintahku untuk menggerakkan jari. Kurasa kali ini berhasil. Lalu, ia menyuruhku untuk membuka mata secara perlahan.
Apa ini? Kenapa ada potongan-potongan adegan yang berkelebat di benakku. Memori siapakah ini? Begitu bahagia, penuh keceriaan, sangat berwarna, hangat, kehidupan yang selalu kuimpikan.
Siapa itu? Seorang gadis yang selalu tertawa, berada di tengah orang-orang yang menyayanginya. Kenangan ini seolah milikku, aku bisa mengingat detail tiap peristiwa.
Rasa-rasanya aku menemukan kepingan puzzle yang hilang, lalu menyatukannya kembali. Semua terasa pas, saling melengkapi. Aku bisa merasakan kasih sayang yang dia berikan padaku, sungguh membuat seluruh tubuhku hangat.
"Vanessa," gumamku saat menyadari siapa gadis yang kini mengisi kekosongan di jiwaku.
"Kumala, apa kau bisa mendengarku?"
Perlahan aku membuka mata. Mengerjap berkali-kali agar mataku terbiasa dengan cahaya di ruangan ini. Pertama kali kulihat adalah seorang wanita yang tengah duduk di sebelahku.
"Berbaringlah dulu, Kumala. Buatlah dirimu senyaman dan sesantai mungkin," ucapnya saat aku beringsut dari tidurku.
Aku mengangguk, dan kembali membaringkan tubuh di atas sofa. Rupanya ini aromaterapi, pantas saja harumnya begitu menenangkan. Di mana aku sekarang? Kuamati seluruh ruangan.
"Kamu sudah merasa nyaman sekarang?" wanita itu bertanya dengan lembut padaku.
"Su-sudah, Bu," jawabku seraya mengamatinya. Aku cukup terkejut, walau baru pertama kali melihatnya, aku merasa sudah kenal dengan wanita di sebelahku.
"Tolong sebutkan namamu, bisa?" pintanya.
"Ku-kumala Putri," jawabku dengan tergagap.
"Kumala, apa kamu membutuhkan sesuatu? Apa kamu ingin minum dulu?" tanyanya lagi padaku.
Aku menggeleng, aku tidak butuh apa pun. Aku hanya ingin penjelasan.
"Baiklah, jadi kita bisa melanjutkannya?" Aku mengangguk, dan dia melanjutkan lagi. "Perkenalkan Kumala, saya Laksmi Pratiwi, saya seorang Psikolog. Beberapa waktu lalu, Bu Mira dan Vanessa menemui saya. Kamu sudah tahu tentang Vanessa?"
"Su-sudah, Bu."
"Bisa kamu ceritakan pada saya apa yang kamu ketahui tentang Vanessa?" pintanya.
"Ta-tapi Mala belum paham ada apa dengan Mala dan Vanessa. Apa itu kepribadian ganda? Apa itu artinya Mala ... gila? Kenapa di tubuh Mala bi-bisa ada Vanessa? Ke-kenapa Mala tidak ingat banyak hal? Kenapa sekarang ada ingatan yang ... yang bukan milik Mala? Ke-kenapa semua ini bisa terjadi?" aku membombardir Bu Laksmi dengan pertanyaan yang tak kumengerti.
Bu Laksmi tersenyum. "Mala, GID atau kepribadian ganda itu berbeda dengan gila atau scizophrenia. Memang kamu mengalami gangguan jiwa, tapi bukan gila. Kamu menjadi seperti ini, akibat dari trauma yang kamu alami sejak masa kanak-kanak dan remaja.
"Alam bawah sadarmu menolak peristiwa-peristiwa tersebut, kamu merasa terancam, sehingga cara pertahanan dirimu dengan menciptakan sosok Vanessa." Bu Laksmi dengan sabar menjelaskan padaku.
Aku merasa kurang nyaman dengan posisi rebahan seperti ini. Perlahan aku beringsut untuk duduk berhadapan dengan Bu Laksmi. Aku melihat di pojok ruangan, Bunda sedang duduk sambil menatapku. Sejak kapan Bunda di sana?
"Ke-kenapa Mala ndak sadar ada Vanessa dalam diri Mala, Bu? Kenapa orang-orang bi-bisa tahu? Ke-kenapa mereka ndak mengatakan pada Mala?" Aku menatap tajam Bunda, entah kenapa ada emosi membuncah di dadaku.
Bunda menundukkan wajah, bahunya bergetar, kedua tangannya ditangkupkan pada wajahnya. Apa Bunda menangis? Kenapa?
"Bagi penderita GID, biasanya si inang–dalam kasus ini adalah kamu–tidak menyadari hadirnya benalu–Vanessa. Namun, kebalikannya, Vanessa bisa mengetahui semua tentang dirimu."
"La-lalu kenapa baru saja Mala bisa melihat ingatan Vanessa? Kenapa Vanessa bisa sebahagia itu, Bu? Sedangkan Mala ...."
Bu Laksmi menggenggam tanganku. "Dengarkan Ibu, Sayang. Wajar kalau kamu merasa aneh dan muncul perasaan mau pun emosi yang tidak bisa kamu kontrol. Itu merupakan efek dari proses integrasi antara dirimu dan Vanessa."
Aku mengerut bingung. "In-intregasi?"
"Integrasi itu proses penyatuan antara dirimu dan Vanessa. Namun, keberhasilan ini semua bergantung pada dirimu, Mala. Kalau kamu menolak, maka selamanya dalam tubuhmu akan ada dua pribadi."
Tergantung diriku? "La-lalu kalau Mala menerimanya, ba-bagaimana, Bu?" Aku menarik tanganku yang masih berada dalam genggamannya.
"Maka, ingatan Vanessa sepenuhnya menjadi milikmu. Kalian bisa hidup berdampingan, saling berbagi tubuh, saling melengkapi, berusaha untuk berkompromi, mencari solusi bersama, dan tentu saja dengan integrasi ini kalian bisa saling menyembuhkan."
Aku suka caranya menjelaskan, ekspresinya lembut dan ramah, senyum tak pernah hilang dari wajah Bu Laksmi. Membuatku merasa nyaman.
"Lalu, apa yang harus Ma-mala lakukan supaya ... supaya berhasil, Bu?" Sepertinya itu solusi terbaik bagi kami.
"Memaafkan, Mala."
"Me-memaafkan siapa, Bu?"
"Orang-orang yang telah menyakitimu, memaafkan segala amarahmu dan kamu harus menerima dirimu sendiri. Kamu harus berdamai dengan masa lalu. Dengan begitu, kamu akan bisa menerima Vanessa."
"Ma-mala sudah ndak marah, Bu Laksmi. Mala su-sudah melupakan semuanya!" tegasku padanya dan diriku sendiri.
Tentu saja aku sudah lupa, sudah bertahun berlalu buat apa aku mengingatnya lagi.
"Mala," panggil Bu Laksmi lembut, seulas senyum merekah menambah elok rupanya. "Bukan melupakan, tapi memaafkan. Semakin kamu berusaha untuk melupakan, maka alam bawah sadarmu semakin terluka. Namun, begitu kamu memaafkan, menerima dirimu apa adanya, maka lukamu akan mengering."
Aku merasakan emosi yang bergejolak dari dalam diriku. Bagaimana mungkin Bu Laksmi menyuruhku untuk memaafkan, dia tidak mengalami sendiri apa yang aku rasakan. Jadi mana mungkin dia tahu. Coba kalau Bu Laksmi yang berada di posisiku, dia pasti tak akan sanggup mengucapkan kata maaf.
"Keluarkan, Mala," ucapnya sembari menyentuh lenganku, aku segera menepisnya. "Luapkan semua kemarahan, kekecewaan, dan segala ganjalan yang ada pada dirimu. Jangan kamu tahan dan pendam, Mala. Cobalah untuk menjadi lebih berani.
"Ekspresikan perasaanmu, marahlah kalau kamu sedang marah. Kamu bisa mengungkapkannya dengan berteriak, marah-marah, melempar barang atau memukul sesuatu. Kalau kamu sedih dan kecewa, menangislah. Kalau kamu senang, tertawalah.
"Lampiaskan emosimu, Mala. Buang semua sampah tak berguna dari pikiranmu. Itu akan membuatmu jauh lebih tenang."
Marah? Bunda bisa marah kalau aku teriak-teriak. Menangis? Bunda paling tidak suka melihatku menangis, terlalu cengeng. Tertawa? Apa yang harus aku tertawakan? Apa iya, aku harus menertawakan hidupku yang hancur ini?
"Kumala." Bu Laksmi berdiri lalu mengajakku mengikutinya. Ke tempat Bunda? Ada apa? Aku menghentikan langkahku di tengah jalan.
"Kemarilah," panggil Bu Laksmi sambil melambaikan tangannya.
Langkahku begitu berat, aku takut. Apa yang akan Bunda katakan padaku? Aku pasti sudah membuatnya malu, dengan bersikap seperti orang gila seperti ini. Hubunganku dan Bunda memang sudah membaik, tapi bukan berarti beliau akan memahamiku.
Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan selama ini, apa yang telah kulupakan, sampai Bunda membawaku ke Psikolog. Aku tahu kalau aku yang salah. Namun, di mana letak salahku?
"Ma-maafkan Mala, Bunda. Mala ndak ta-tahu kenapa bisa seperti ini. Ma-msla sudah mbikin Bunda malu. Ma-maaf, Bunda." Aku tidak berani lagi melangkah, hanya menunduk pasrah.
Mataku membelalak, aku begitu terkejut saat tubuhku ditarik ke dalam pelukan Bunda. Tubuhku didekapnya erat, hingga dapat kurasakan tubuh Bunda bergetar hebat.
Bunda menangis meraung sambil terus memelukku. Aku masih terpaku dalam keterkejutan.
"Maafkan Bunda, Mala. Bunda yang salah ... Bunda yang sudah menyebabkanmu seperti ini. Bunda sudah sangat berdosa padamu! Bunda yang seharusnya mendapat hukuman dari Tuhan. Bukan kamu!" pekik Bunda dengan nada sarat emosi.
"Bunda yang sudah gila ... Bunda yang tidak waras. Bisa-bisanya Bunda menyia-nyiakanmu ... putri Bunda satu-satunya. Bunda ... Bunda sangat menyayangimu. Bunda mohon, ampuni Bunda, Mala ...." Tubuh Bunda merosot, terduduk di lantai sambil memeluk kedua kakiku.
Apakah ini benar Bundaku? Apa aku hanya mimpi? Nyatakah ini semua? Bertahun-tahun aku mendamba pelukan dan kasih sayang Bunda, apakah ini saatnya?
Kuremas kuat-kuat dadaku, aku tak tahan akan rasa sakit yang ada di dalam sana. Gumpalan kapas yang selama dua puluh tahun menyumpal seluruh pembuluh darahku, rasanya menggelegak, bersiap menyembur bersama dengan lava emosi yang bertahun-tahun kupendam.
Aku pun luruh, terduduk di depan Bunda. Lelehan air mataku melebihi derasnya air terjun Grojogan Sewu. Aku berteriak meraung, memukul diriku sendiri. Semua lahar panas di dadaku membeludak.
Bunda merangkul pundakku. Kami sama-sama menangis. Ternyata tak hanya aku yang terluka. Bunda pun merasakan hal yang sama. Ternyata tak hanya aku yang sakit. Bunda pun lebih tersakiti oleh perbuatannya kepadaku.
Entah berapa lama kami menangis di lantai, aku pun tak peduli. Bunda melepaskan pelukannya di bahuku. Tangis Bunda sudah mereda, menyisakan isak yang mulai jarang terdengar. Tubuhku masih gemetar, tapi sudah tak sedahsyat tadi, saat Bu Laksmi memberiku sekotak tisu. Sedari tadi, beliau tidak menginterupsi kami sedikit pun. Bu Laksmi membiarkanku dan Bunda melepas belenggu jiwa kami.
Bu Laksmi memapahku untuk duduk di sofa. Entah kapan dia menata sofa seperti ini, sehingga kami bertiga duduk membentuk lingkaran.
Bunda meremas jemariku, membuatku menatapnya. Oh Tuhan, mata itu yang selalu kurindukan. Mata penuh cinta tanpa pamrih. Mata yang mampu merengkuhku dalam kehangatan.
Bu Laksmi mempersilakanku dan Bunda untuk minum. Rupanya tadi aku benar-benar tak sadar, tangisku begitu hebatnya, hingga tidak tahu kapan teh hangat ini tersaji di atas meja.
Aku menyesap perlahan, hangat dan manis. Memulihkan tenagaku yang tersita. Kuletakkan kembali cangkir teh ke atas meja.
"Maaf, Bu Laksmi. Saya tadi ...." Bunda menunduk, tampak malu pada Bu Laksmi.
Bu Laksmi tersenyum tenang, tidak terkejut sama sekali dengan kelakuan kami. "Saya senang melihatnya, Bu. Dengan menangis, itu artinya, perasaan Bu Mira dan Kumala yang tadinya selalu ditekan, kini terbebas. Menangis itu juga salah satu cara untuk menyembuhkan jiwa kita, Bu."
Benar juga, bagi seorang Psikolog, tentu sudah biasa melihat orang menggila seperti kami tadi. Dan memang benar, aku merasa sangat berbeda.
"Bagaimana, Mala, merasa lebih baik sekarang?" tanya Bu Laksmi sembari menepuk bahu kiriku.
Aku mengangguk, agak ragu. Masih banyak pertanyaan dalam benakku.
"Katakan semuanya, Mala. Ungkapkan semua yang menjadi ganjalanmu. Ceritakan perasaanmu terhadap semua hal yang kau alami."
Bu Laksmi menjelaskan padaku, dengan bercerita, akan membantu untuk menerima dan memaafkan. Dengan bercerita, aku bisa membagi bebanku pada orang lain, sehingga beban di dadaku berkurang.
Dengan terbata-bata kuungkapkan seluruh perasaan sedih, marah dan kecewa yang kurasakan saat Ayah dan Bunda bertengkar. Rasa takutku yang teramat sangat pada Ayah. Rasa marahku, saat Ayah berbuat kasar pada Bunda. Rasa sedih dan kecewa akan sikap Ayah yang semena-mena pada kami.
Tangisku kembali meraung, saat kuungkap kemarahan dan kekecewaanku atas sikap Bunda. Saat itu, aku merasa dibuang oleh mereka berdua. Aku tak lagi dicintai oleh mereka. Ayah, hanya memikirkan dirinya sendiri. Bunda, mendiamkanku.
Belum pulih keterkejutanku atas perselingkuhan Ayah, aku harus menghadapi kenyataan pahit akan sikap dingin Bunda. Kebahagiaanku berakhir saat itu juga. Aku tidak ingin menghadapi kenyataan pahit, aku lari, aku mencari kebahagiaan semu.
Bu Laksmi berkata, hal itulah yang akhirnya menyebabkan kepribadianku terpecah. Aku menciptakan sosok gadis periang, penuh semangat. Gadis yang selalu hidup dalam kebahagiaan. Sosok yang sebenarnya merupakan refleksi dari alam bawah sadarku. Sedikit demi sedikit, sosok itu semakin kuat dibanding diriku. Hingga membuatku, yang lemah ini memudar. Karena aku terlalu banyak bersembunyi, aku terlalu keras berusaha menekan perasaan, aku terlalu lemah untuk menghadapi kenyataan.
Bu Laksmi pun bercerita tentang penyesalan yang dirasakan Vanessa. Dia tak bisa membantu saat Kusnandar melakukan perbuatan bejatnya padaku.
Aku selalu menyalahkan diri atas peristiwa itu. Aku yang tidak bisa menjaga diri. Aku yang menyebabkan Bunda terluka untuk kedua kalinya. Aku yang terlalu lemah untuk melawan. Lagi-lagi tangisku pecah. Rasa sakit itu kembali kurasakan.
Bu Laksmi membiarkanku rebahan di sofa panjang, saat tubuhku limbung. Bunda berniat mengakhiri sesi terapiku, tapi aku menolak. Ada dorongan kuat dari dalam yang harus segera dilepaskan. Aku tak lagi kuat menahannya terlalu lama.
Bu Laksmi membelai lengan kananku, dengan tersenyum lembut dia berkata bahwa semua yang terjadi bukan salahku. Aku hanyalah korban dari orang-orang sakit jiwa. Ya, dia berkata baik Kusnandar maupun Adira, mereka sama-sama memiliki gangguan jiwa. Ada keabnormalan pada diri mereka.
Bu Laksmi kembali menyuruhku untuk mencoba memaafkan perbuatan mereka. Namun, bagaimana mungkin?
Kusnandar telah merenggut kesucianku, menghancurkan masa depanku. Sehingga saat Adira mendekatiku, dengan mudahnya aku menerima. Aku merasa, diriku yang hanya sampah ini tak mungkin lagi mendapat kesempatan untuk menikah. Namun, ternyata ada Adira yang dengan mulut manisnya mencoba meyakinkanku.
Aku tak habis pikir, kenapa Adira tega berbuat hal seperti itu padaku. Hanya karena aku sudah kotor, dia bisa mencampakkanku.
"Adira pun sakit, Mala. Dia pun korban dari masa lalunya. Dari ceritamu, saya bisa melihat adanya kerendahan diri pada Adira. Dia perlu untuk membuktikan kemampuan dirinya pada lingkungan. Dia ingin diakui. Bukan hanya materi yang dikejarnya, tapi kepuasan batinnya."
Benarkah seperti itu? Namun, itu bukan alasan dia bisa melakukan hal tak bermoral.
Amarahku masih terlalu besar untuk memaafkan mereka. Tidak. Aku belum sanggup.
Bu Laksmi tersenyum dan menenangkanku. "Semua berproses, Mala. Tidak mungkin dalam waktu singkat kamu bisa memaafkan. Kita lakukan bersama-sama, sebisa mungkin saya akan membantumu sembuh."
Tak terasa sudah empat jam lebih kami berada di ruangan ini. Bu Laksmi memutuskan untuk mengakhiri terapi hari ini, dan menjadwalkannya lagi lusa.
Bu Laksmi mengantar kami ke pintu, menepuk pelan pundakku, dan menyuruhku untuk beristirahat. Bunda kembali mengucapkan terima kasih sembari membuka pintu.
Senyumku mendadak lenyap, mataku terpaku pada sesosok pria yang tengah duduk di ruang tunggu. Mas Bumi?
Kurasakan tubuhku kembali menggigil, aku masih bisa merasakan saat Bunda dan Bu Laksmi menopang kedua lenganku. Ingatan itu serta merta membuatku tersentak.
"Mas Bumi di kamar mandi ...."
" ... baru aja kami bangun ...."
"Riz, ke sini ...."
"Anaknya nggak selamat!"
Aku menjambak rambutku kuat-kuat. Telingaku berdenging, sakit sekali.
"TIDAK!!!" Aku bisa mendengar suaraku sendiri melengking hebat.
Mataku membelalak maksimal, menatap ngeri pada Mas Bumi yang menghampiriku. Tidak! Aku tidak mau bertemu dengannya!
Aku mundur selangkah, masih kurasakan Bunda dan Bu Laksmi memegangiku. Napasku memburu kencang.
Sesosok bocah tembam yang sedang tertawa, berlari-lari di dalam rumah, berkelebat dalam benakku.
"Mamaaaa ...."
Bisa kudengar suaranya memanggilku. Satria! Oh Tuhan! Anakku ....
Tukang bakso itu ... pohon besar itu ... Satria!
"Tidak ... tidak mungkin! Satria, Bunda! Satria!" aku berteriak histeris sambil menggoyang-goyangkan tubuh Bunda.
Aku melihat kesedihan di mata Bunda. Aku menggeleng lemah. Tidak mungkin ... tidak mungkin Satria pergi.
"SATRIA!!!"
Terakhir yang kudengar adalah suara Bunda memanggil namaku. Setelah itu, semua kembali gelap.
***
Ngos ngos ngos ....
Aku ngedit sambil lari-lari ....
Iyaaa, aku tahu ....
Tak ada feel, narasi tak mengalir pun ....
😭😭😭😭
Oleh karena itu, plis koment dan kritsar nya yaaa...
Makasih sebelumnya....
😘😘😘😘
Solo, 15 Februari 2017
Edit,
Solo, 21 September 2018
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top