PART 25
"Selamat pagi, Kumala," ucapku di depan cermin.
Seperti saran Bu Laksmi, aku harus sering berkomunikasi dengan Kumala, dengan berbagai cara. Salah satunya, ya, dengan sekadar ngasih salam. Walau aku cuma bercerita tentang kejadian hari ini atau kembali mengenang masa lalu yang menyenangkan, itu sudah cukup. Sampai-sampai Kirana sering tertawa mengejek, setiap melihatku ngomong sendirian. Kayak orang setengah waras, katanya. Aku tahu dia cuma bercanda, karena Kirana sendiri juga sering ngajak bicara Kumala.
Bumi yang awalnya merasa canggung pun, sekarang sudah bisa bersikap biasa. Dia menempatkan diri sebagai seorang kakak bagiku. Nggak pernah sekalipun Bumi memandang diriku sebagai Kumala. Dia bisa menerima perbedaan perilaku antara diriku dan Kumala.
Yang membuatku kepikiran malahan Bryan. Dia jadi semakin sering datang ke rumah. Sikapnya sangat cemburuan terhadap Bumi. Padahal tidak ada hubungan istimewa antara aku dan Bryan. Setiap kali Bumi mengantar kami–aku dan Mami–untuk terapi, Bryan selalu ikut.
Seperti pagi ini, Bryan sudah duduk di teras, menatap tajam Bumi yang duduk di sebelahnya. Apalagi kalau aku terlihat ngobrol sama Bumi, langsung nyelip di tengah, kayak anak kecil gitu.
"Bunda sudah siap, Ness?" Bumi bertanya padaku yang baru menemui mereka.
Aku menunjuk Mami dengan daguku. "Tuh, baru ngunci kamar."
Aku menatap Bryan setengah kesal, padahal aku sengaja nggak bilang kalau hari ini ada terapi, tapi kok, ya, bisa tahu. "Bry, beneran mau nganterin aku? Hari ini sesi terapi bakal lama, lho. Kata Bu Laksmi bisa sampai empat lima jam," ujarku, semoga dia bisa membaca sinyal ketidaknyamananku.
"Nggak pa-pa, Sa. Nanti aku bisa nunggu sambil ngerjain tugas kantor."
Aku mengendikkan bahu. "Terserah deh, yang penting aku udah ngingetin kamu."
Aku memakai sepatu teplekku, saat Mami mengunci pintu depan. "Sudah siap, Mi? Berangkat sekarang, yuk," ajakku sembari berjalan menuju mobil Bumi.
Bryan menggenggam pergelangan kiriku, membuat langkahku terhenti. Aku menatapnya bingung.
"Sa, kamu naik mobilku saja." Bryan menarik lembut tanganku menuju mobilnya.
Sekilas kulihat Bumi menatap kami dengan pandangan yang nggak bisa kuartikan. "Mami bareng Bumi, ya. Aku semobil sama Bryan," ucapku.
Sebenarnya bisa saja kami berangkat semobil, tapi Bryan pasti menolak. Aku nggak mau pagi-pagi sudah adu pendapat. Ngerusak perasaan saja.
"Hari ini rencana Bu Laksmi apa, Sa? Kenapa Bumi datang?" tanya Bryan dengan nada kurang suka, saat kami sudah berada di dalam mobil.
Jarak antara rumahku ke tempat praktek Bu Laksmi sekitar dua puluhan menit. Itu pun kalau jalanan lancar. Jadi, aku nggak mau selama perjalanan diisi dengan perdebatan kami.
"Bryan, kamu tahu 'kan alasannya. Dia memegang kunci penting di dalam memori Kumala yang hilang. Dia harus datang di sesi ini." Nada suaraku sedikit meninggi.
Wajahnya berubah keruh, membuatku pening saja. "Maaf, Sa. Aku sadar, akhir-akhir ini sikapku membuatmu kurang nyaman. Kita memang sudah berkompromi untuk menekan perasaan kita, tapi ini sulit bagiku. Apalagi Bumi sering wira-wiri ke rumahmu. Aku mulai takut kehilanganmu, Sa. Aku merasa tersingkir dari hidupmu," ucapnya lirih.
Aku tahu bagaimana tersiksanya Bryan, sehingga berpengaruh pada tingkah lakunya seperti ini. Namun, aku bisa apa. Secara hukum, Bumi masih suamiku. Dia lebih berhak terhadap tubuhku. Walau hatiku tetap milik Bryan.
"Bry ...," panggilku lembut. "Maafin aku, ya. Aku yang udah bikin perasaanmu kacau kayak gini. Seandainya dulu aku nggak lancang untuk masuk ke hidupmu, tentu semuanya berbeda."
Aku benar-benar menyesali kebodohanku dulu, kupikir aku berhak untuk merasakan cinta, tapi ternyata aku salah. Selamanya aku hanya sebuah bayang-bayang, dan tidak ada ceritanya sosok fiksi sepertiku bisa happily ever after.
Bryan meremas lembut kedua tanganku yang bertaut, dia menoleh sekilas lalu kembali berkonsentrasi pada jalan. "Aku sama sekali nggak menyesal sudah mengenalmu, Sa. Aku masih berharap kita bisa menikah, memiliki anak-anak yang lucu, dan hidup bersama sampai Tuhan yang memisahkan kita. Aku harap kamu ngerti, Sa, mengubur semua impian itu nggak mudah."
Aku menarik tanganku kasar. "Apa kamu pikir aku nggak berat, Bry? Kalau proses ini berhasil, seumur hidup aku harus selalu berada dalam bayang-bayang Kumala. Aku harus menerima kenyataan bahwa Bumi itu suamiku. Aku nggak bakal bisa bertindak semauku lagi, aku harus memikirkan Kumala! Kamu pikir itu gampang?" aku memekik keras, mengeluarkan segala uneg-uneg yang ada.
Aku menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Lebih baik aku mati, Bry. Aku memilih mati dari pada hidup seperti itu. Dan itu keputusanku, Bry. Begitu Kumala sembuh, aku akan menghilang. Aku sudah meminta hal ini pada Bu Laksmi. Tidak ada seorang pun yang bisa menghentikanku, karena ini keinginanku." Aku lebih melembutkan suaraku, tidak ada gunanya aku teriak-teriak nggak jelas seperti tadi.
"Sasa." Bryan begitu terkejut dengan apa yang kukatakan. Bryan melambatkan laju mobilnya, dia menoleh ke arahku.
"Aku kenal bagaimana Kumala, Bry. Dia nggak akan bisa membiarkanku menderita, dia akan menghilang lagi. Dan aku nggak mau hal itu terjadi. Aku sudah cukup bersyukur dengan kebahagian yang kudapat selama ini. Sudah waktunya untuk Kumala merasakan kebahagiaan.
"Karena itu, aku mengalah. Aku akan pergi, Bry. Jadi, kumohon ... kumohon dengan sangat, lepaskan aku. Raihlah kebahagiaanmu sendiri, Bry. Aku sungguh ingin melihatmu menemukan wanita baik-baik, yang akan menjadi ibu dari anak-anakmu kelak."
"Sa." Suaranya membuatku lemah. Aku nggak boleh menangis, aku harus kuat demi semua orang.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Jangan ngelihatin aku kayak gitu, Bry. Aku nggak mau dikasihani, aku maunya kalian semua mengingatku sebagai Vanessa yang ceria, yang selalu memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Oh iya, aku nggak mau kamu bersikap kayak tadi lagi, Bry.
"Nggak usah cemburu sama Bumi. Dia nggak pernah nganggep aku ini istrinya, dia udah kayak kakak laki-lakiku. Jadi wajar kalau dia perhatian sama aku." Aku menutup pidatoku dengan tepukan lembut di bahunya.
Nggak terasa mobil kami sudah masuk ke halaman tempat praktek Bu Laksmi. "Please, jangan bilang siapa-siapa tentang keputusanku tadi, ya, Bry. Baru kamu dan Bu Laksmi yang tahu," pintaku saat kami akan turun dari mobil.
Bryan menahan lenganku. "Aku akan berusaha mengabulkan semua permintaanmu, Sa. Hanya saja, biarkan aku seperti ini–menjadi orang yang selalu ada untukmu–di saat-saat terakhirmu. Biarkan aku merekam sebanyak mungkin kenangan tentangmu. Aku akan berusaha untuk merelakanmu, Sa."
Aku mengangguk setuju. Anggap saja ini upah yang kudapat. Nggak dosa kan kalau aku mengambil sedikit kesenangan sebelum semuanya berakhir.
Mami dan Bumi sudah duduk di ruang tunggu. Untung Bu Laksmi juga belum datang, jadi aku nggak begitu telat. Khusus hari ini, jadwal Bu Laksmi hanya untukku.
"Bu Mira dan Mbak Vanessa dipersilakan masuk ruang sebelah. Bu Laksmi sudah di dalam." Asisten Bu Laksmi menunjukkan ruangan yang dimaksud.
"Lhoh, nggak di tempat biasa, Mbak?" tanyaku seraya mengikutinya.
Aku menoleh ke Bryan, dan berpesan padanya tanpa suara, "Jangan bertengkar sama Bumi!"
Kulihat Bryan mengangguk sebelum aku masuk ke ruangan. Wuow, aku cukup terkesan dengan interior di ruang ini. Hanya ada sebuah kursi–kursi apa tempat tidur ya ini–di tengah ruang, dan tiga buah sofa. Tidak ada rak buku atau meja seperti ruangan sebelah.
Pencahayaannya dibuat redup, tapi sangat nyaman di mata. Tercium bau-bauan yang sering dikenal dengan aromaterapi, enak banget, nggak nusuk hidung. Beberapa lilin menghiasi sudut ruang. Entahlah, aku merasa hari ini agak lain dari biasanya.
"Selamat pagi, Bu Mira. Bagaimana kabarnya hari ini? Nessa, bagaimana tidurmu semalam?" Bu Laksmi menyambut kami dengan sapaan ramah, dan tentu senyum lembutnya.
"Pagi, Bu. Saya merasa lebih tenang setelah pertemuan kita kemarin, Bu. Akhirnya saya bisa tidur nyenyak," ucap Mami dengan antusias.
Bu Laksmi mempersilakan kami untuk duduk di sofa. "Syukurlah kalau Bu Mira lebih tenang. Itu sangat penting untuk kesembuhan jiwa Bu Mira."
"Tapi saya belum sepenuhnya tenang, sebelum Kumala memaafkan saya, Bu. Memang dulu setelah Vanessa menasihati saya, hubungan saya dan Kumala membaik, tapi secara pribadi saya belum pernah minta maaf ke Kumala. Rasa bersalah itu masih ada. Saya yang sudah menyebabkan semua ini terjadi," ujar Mami masih dengan penyesalan, walau sudah nggak seemosi minggu kemarin.
Bu Laksmi menyentuh bahu Mami, mengusapnya pelan. "Ingat, Bu, ini bukan sepenuhnya salah Bu Mira. Sikap penolakan Bu Mira kepada Kumala, disebabkan oleh perlakuan yang Ibu terima. Baik Bu Mira maupun Kumala, sama-sama korban.
"Selama Bu Mira masih merasa bersalah, maka Ibu tidak akan mendapat ketenangan. Bu Mira harus bersabar, hari ini kita coba untuk menyadarkan Kumala. Oleh karena itu, saya butuh bantuan Vanessa dan Bu Mira untuk memanggil Kumala," ujar Bu Laksmi seraya berdiri menuju pemutar DVD.
Bu Laksmi memasukkan sekeping DVD, menekan beberapa tombol, tak lama kemudian terdengar alunan musik klasik yang mendayu-dayu. Pas banget, jadi berasa pengin tidur. Lalu kembali duduk di kursinya.
"Vanessa, bagaimana hari ini?" Bu Laksmi ganti bertanya padaku.
"Untuk saya, selalu ceria, Bu," ucapku sembari tertawa kecil. Aku melanjutkan kata-kataku lagi, "Beberapa hari ini, aku bisa merasakan kehadirannya. Walau hanya sebentar. Kemarin, dia sempat keluar sekitar dua menit, saat Bumi meneleponku."
"Bagus, berarti ada kemajuan. Semoga hari ini, dengan hipnosis yang kita lakukan, Kumala bersedia untuk menampakkan diri." Bu Laksmi beranjak dan mengganti keping DVD dengan alunan musik yang sangat lembut. Rasanya mataku jadi berat, pengin tiduran.
"Bu, apakah hip-hipnosis ini aman?" tanya Mami pada Bu Laksmi.
"Hipnosis sangat aman, Bu. Saya akan memanggil alam bawah sadar Kumala, kita akan sama-sama mencari tahu, emosi terpendamnya. Berdasar hasil wawancara dan tes psikologi Vanessa, bisa kita simpulkan bahwa Kumala memang mengalami gangguan identitas disosiatif.
"Kekerasan yang dialaminya pada masa kanak-kanak, menyebabkan luka yang begitu dalam. Dia tidak ingin menerimanya begitu saja, dan salah satu pertahanan diri yang bisa Kumala lakukan yaitu bersembunyi. Dia berusaha melupakannya, sehingga tanpa sadar, terbentuklah pribadinya yang lain yaitu Vanessa.
"Itulah sebabnya mengapa Kumala selalu menyebut dirinya sendiri dengan nama," Bu Laksmi memberikan jeda agar kami bisa mencernanya.
Mami terlihat manggut-manggut paham, lalu Bu Laksmi melanjutkan penjelasannya, "Jiwa Kumala menolak untuk menjadi dewasa, dia terkungkung pada masa sebelum terjadinya kekerasan itu. Terlebih dengan sikap Bu Mira yang kurang mendukungnya, it's oke, karena Bu Mira sendiri sebenarnya juga sangat terluka. Emosi yang Bu Mira tumpuk, tanpa disadari selalu dilampiaskan pada Kumala. Saya dapat memahami hal itu, makanya kemarin kita melakukan terapi untuk Bu Mira."
Mami mengembuskan napas berat, lalu menoleh padaku. Aku tersenyum untuk menguatkannya.
Bu Laksmi kembali menjelaskan pada kami. "Ditambah dengan peristiwa pemerkosaan yang dialami Kumala saat remaja–di awal pembentukan jati dirinya–itu membuatnya semakin menarik diri. Terlebih Bu Mira ... maaf, kurang memberi dukungan mental pada Kumala.
"Nah, setelah saya amati, setiap kali Kumala senang, dia menjadi lebih kuat. Dan bila terancam, dia akan pergi. Proses hipnosis ini bertujuan untuk mengungkap perasaan yang berusaha dilupakan Kumala. Tentu saja ada resiko, tapi bisa kita minimalisir." Bu Laksmi menarik kursinya ke pojok ruang yang cukup jauh dari tempat kami duduk.
"Untuk sesi hipnosis, Vanessa bisa rebahan di sofa. Senyaman kamu, Nessa. Kalau mau ke kamar mandi, silakan sekarang, supaya nanti prosesnya tidak terhenti di tengah," perintahnya sambil menunjuk sofa panjang.
Aku berjalan menuju sofa yang ditunjuk Bu Laksmi. Kuraba permukaannya yang begitu lembut. Kutekan sedikit dengan telunjuk, begitu empuk. Wah, enak banget untuk tiduran nih.
Sedangkan Mami, harus menunggu di kursi pojok dalu. Mami nggak boleh bersuara atau bergerak berlebih, jangan sampai mengganggu konsentrasi Bu Laksmi dan ketenanganku. Bahkan, Mami nggak boleh bereaksi apa pun yang terjadi padaku atau Kumala.
Oke, bagian ini bikin aku ndredeg. Berarti kan ada kemungkinan terjadi sesuatu padaku tho. Jangan-jangan ntar kayak di film itu, aku bisa melayang. Aku bergidik ngeri.
"Nessa sudah siap?" tanya Bu Laksmi yang kini sudah duduk tepat di sampingku.
Aku bergerak, mencari posisi wuenak dan nyaman. Kalau kayak gini, sih, nggak perlu hipnosis pun aku bisa tidur. "Siap, Bu. Ini rebahan aja, kan?"
Bu Laksmi menyentuh punggung tanganku, mengusap lembut. "Jangan cemas, Nessa. Usahakan untuk tetap santai." Dia menarik tangannya lalu menekan tombol di remote control. Suara musik dari DVD terdengar sedikit lebih lembut.
Aku memejamkan mata, mengikuti setiap instruksi yang diberikan Bu Laksmi. Tubuhku seperti tak bertulang, pundakku yang biasanya terasa kaku, kini lemas dan ringan.
Suara Bu Laksmi perlahan menghilang, semakin lama semakin terdengar lambat. Aku seperti berada di sebuah labirin, begitu terang hingga membuatku silau.
Kumala. Aku melihatnya.
"Kumala!" aku berteriak memanggilnya, tapi dia berjalan menjauh.
"Kumala, tunggu aku! Kumala ke sini!" Aku berlari secepat mungkin mengejarnya.
"Kumala, kumohon tunggu aku. Kembalilah Kumala! Ada Mami dan Bumi yang menunggumu. Mereka sangat mencintaimu. Kumohon pulanglah ...."
Aku berlari menggapai tubuhnya, hanya tinggal sejengkal. Dan aku bisa meraih tangannya, dia berbalik menatapku.
"Va-vanessa," gumamnya lirih.
"Pulanglah," ucapku sebelum semua menjadi gelap. Aku nggak bisa bicara, melihat, mendengar dan merasa. Hampa.
***
Jeng jeng jeng jeng ....
Berhasil nggak ya?
Part ini dialognya terlalu panjang. Dan berasa kayak baca berita, kayak baca wikipedia gitu...
Mohon masukannya yaaa...
Solo, 14 Februari 2017
Edit,
Solo, 18 September 2018
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top