PART 24

"Jadi, kamu udah setuju, Ness?" tanya Kirana setelah aku menceritakan hasil pertemuanku dengan Bumi kemarin lusa.

Aku hanya mengangguk, mulutku penuh dengan nasi pecel, jadi nggak mungkin untuk menjawab. Saat ini kami–aku dan Kirana–sedang duduk di emperan kios Pasar Beringharjo menikmati sepincuk Pecel Senggol.

Awalnya aku bingung, kenapa orang-orang menyebutnya Pecel Senggol. Ternyata dikarenakan ketika membeli, dan memakannya di tempat, harus bersenggolan dengan lalu lalang pengunjung pasar.

Aku juga heran, padahal rasanya juga biasa saja–rasa nasi pecel ndeso–tapi kok rame banget. Mungkin karena pada kelaparan habis muterin Malioboro sama Beringharjo kali, ya.

"Terus gimana, Nes?" Kirana menggoyang-goyangkan lengan kiriku.

"Terus gimana apanya?" aku mengulang pertanyaan Kirana.

"Gimana kalau Kumala balik? Kamu ninggalin aku lagi?"

"Dari awal–pas aku ngungkapin jati diriku–kan sudah kubilang, hubungan kita ini nggak nyata, Na." Aku melirik ibu-ibu yang duduk disebelahku. Kelihatan banget kalau dia nguping.

"Kamu bisa ngelupain aku gitu aja?"

Duh Gusti ... Kirana malah mau mewek di sini. Malu-maluin banget. "Cabut yuk, Na. Nggak nyaman ngobrol di sini. Banyak tambahan telinga gratis," sindirku pada si ibu seraya meliriknya tajam.

"Bocah saiki wes do ora nggenah. Isih akeh wong lanang, kok malah milih wedok*." Ibu di sebelahku melirik kami sambil ngobrol dengan temannya. (*Anak sekarang tidak benar. Masih banyak anak laki-laki, lebih memilih perempuan)

"Eh, jangan fitnah, ya, Bu. Kami masih normal. Jangan asal ngomong kalau cuma dengar dari nguping!" damprat Kirana kesal sambil menunjuk-nunjuk muka si ibu.

Aku menarik lengan Kirana agar menyingkir dari tempat itu, bisa jadi perang nanti. "Udah yuk, jangan bikin ribut di sini. Kita balik ke butik."

Kirana mengikutiku dengan cemberut. Aku tahu dia sedang kesal. "Kenapa sih, Na?" tanyaku sambil menoleh padanya. Aku berjalan tepat di depan Kirana. Di Malioboro, jangan harap kita bisa jalan berdampingan, bisa tabrakan sama orang dari arus berlawanan.

Kirana menghentikan langkahnya lalu menghentak-hentakkan kaki. "Kenapa kamu nurutin si Bumi, Nes? Aku sebel! Dia pasti punya niat jahat sama kamu. Dia pengen kamu nolongin Kumala, terus habis itu kamu disuruh pergi. Pasti gitu!" ucapnya berapi-api. Air mata sudah merebak di kedua pelupuknya.

"Kirana, yuk, ke butik dulu. Jangan di sini." Aku memegang tangannya, dan berjalan cepat ke butik.

Aku yakin, Kirana nggak akan tinggal diam dengan keputusanku. Palingan nanti dia lapor ke Bryan, minta dukungan untuk menghentikanku.

Benar saja, nggak sampai setengah jam, Bryan sudah berjalan cepat masuk ke ruangan kami. Kirana masih dalam aksi ngambeknya, duduk bersedekap, memonyogkan bibir sambil sesekali ngedumel nggak jelas.

Lucu ngegemesin, jadi pengen njitak. "Udah belum ngambeknya? Tuh, sekutumu datang," ujarku sambil duduk di sofa, menunggu detik-detik penghakiman dari mereka.

"Bry, Vanessa mau nyerah," lapor Kirana begitu Bryan duduk di sebelahku.

"Nah, kan ... memutarbalikkan fakta," protesku pelan.

"Ada apa, Sa? Tadi Kirana telepon, katanya kamu mulai gila. Terus terang, aku nggak paham," tanya Bryan, suaranya masih terdengar tenang.

Bagiku kelakuan Kirana sangat lucu, membuatku tertawa terbahak-bahak. "Gila? Wah, parah kamu, Na. Ngedoain aku jadi gila ya?"

"Nggak usah ketawa! Aku serius, Nes. Kamu udah nggak realistis, pikiranmu jadi kacau!" Kirana mengomel lagi.

Aku masih tertawa, saat Bryan menghadapkanku padanya. "Ada apa sebenarnya, Sa?"

Aku menarik napas panjang, meredakan tawaku. "Aku berniat untuk ke Psikiater, Bry."

"Bumi yang nyuruh biar Kumala sembuh." Kirana memprovokasi Bryan.

Bryan mengerutkan dahinya. "Bumi? Suami Kumala. Jadi, dia sudah tahu tentangmu dan Kumala, dan dia ingin istrinya kembali."

Not nice. Suara Bryan terlalu datar. Aku jadi ingat peribahasa 'air tenang menghanyutkan'. Aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya nggak gatal, cuma berusaha mengurangi kepanikan.

"Dan Vanessa setuju, Bry. Garis bawahi dan bolt!" tambah Kirana.

Cewek satu ini cocok banget untuk jadi pemimpin demo. Aku melotot ke Kirana, mengirim telepati agar dia menutup mulut besarnya.

"Apaan melotot kayak gitu? Aku nggak akan membiarkanmu pergi! Titik."

"Tenang dulu, Na, kita dengarkan dulu alasan Vanessa," bujuk Bryan.

Aku menjulurkan lidah ke Kirana, biarin kayak anak kecil, yang penting Bryan masih ngebelain aku. Kirana semakin cemberut di kursinya.

"Kenapa, Sa? Apa alasanmu melakukannya?" Bryan menunggu penjelasanku.

"Aku nggak bisa diam aja kayak gini, Bry. Aku jadi merasa seperti pencuri, aku mengambil apa yang bukan milikku. Seharusnya Kumala bisa bahagia, dia bisa melanjutkan hidup. Karena sekarang aku tahu ada Bumi yang masih sangat mencintainya.

Aku nggak tahu, hasil dari terapi ini bakal seperti apa. Mungkin aku akan tersingkir, atau mungkin kami bisa bersatu. Apa pun yang akan terjadi, aku harus melakukan terapi. Bukankah dulu kamu juga pernah menyarankan padaku, Na," aku mengungkapkan seluruh isi pikiranku, dan berharap mereka mengerti.

"Aku juga takut, aku nggak mau kehilangan kalian, tapi aku harus melakulannya. Jadi, kumohon dukung aku. Aku cuma butuh kekuatan dan dukungan dari kalian, biar bisa melalui semua ini. Aku sayang banget sama kamu, Na. Nggak gampang untuk ngambil keputusan ini. Lagi pula aku pernah baca, aku dan Kumala bisa menyatu kok."

"Menyatu? Jadi, kamu nggak hilang kayak dulu lagi gitu?" tanya Kirana, dia mulai bisa menerima penjelasanku.

"Iya, aku dan Kumala jadi satu pribadi yang utuh. Katanya bisa begitu," aku meyakinkan Kirana.

Wajah Kirana sudah nggak cemberut lagi, dia manggut-manggut paham. Syukurlah, paling nggak dia nggak ngambek lagi. Aku tersenyum lega.

Kuralat, hampir lega. Sekarang ganti Bryan yang terlihat keruh. Dia terdiam cukup lama. Aku tahu yang dipikirkannya. Kami tidak mungkin bisa bersama lagi, dalam artian sebagai pasangan kekasih.

Aku menggenggam tangannya, sembari berkata, "Bry, kita masih bisa temenan."

Susah sekali mengatakan kalimat itu. Seolah aku ini seorang hakim, yang membacakan putusan hukuman mati pada terpidana.

Bryan menghela napas berat, dia balas menatapku. "Aku selalu ada untukmu, Sa. Kapan pun kamu butuh. Dan, aku akan mendukung keputusanmu walau itu sangat berat. Aku hanya ingin kamu bahagia."

"Makasih, Bry. Aku juga selalu menginginkan kebahagiaanmu." Aku menatap Bryan dan Kirana bergantian. Dua orang yang mengisi hati dan pikiranku.

Seandainya ... ah, lupakan. Rejeki, jodoh, hidup dan mati seseorang sudah digariskan oleh-Nya. Kalau memang mereka berjodoh, pasti akan ada jalan.

***

Ruangan yang bagus. Bersih, rapi, harum dan nyaman. Di pojok kiri terdapat lemari buku, dan kulihat mayoritas berbahasa asing. Di sebelahnya, sebuah meja–yang terbuat dari kayu jati–dengan papan nama acrylic bertuliskan Dra. Laksmi Pratiwi, M.A., M.Psi., Ph.D., Psikolog.

Astaga! Itu gelar apa gerbong kereta api. Panjang bener. Jangan-jangan ini orang seumur hidupnya tinggal di kampus.

Kemarin kami–Bumi, aku dan Mami–sudah menemui dr.Sanjaya, Sp.KJ, seorang Psikiater di RSUP Dr.Sardjito. Kami sudah menceritakan masalahku dan Kumala dengan beliau, lalu kami disarankan untuk berkonsultasi dengan seorang Psikolog. Menurut Pak Sanjaya, Kumala lebih membutuhkan psikoterapi dibanding terapi obat.

Jadilah hari ini kami membuat janji temu dengan Bu Laksmi. Aku duduk bersebelahan dengan Mami, sedangkan Bumi di kursi terpisah. Kami dipersilakan duduk di dalam ruangan, sembari menunggu Bu Laksmi. Kata asisten yang mengantar kami tadi, Bu Laksmi masih menangani klien di ruang sebelah.

Aku tertarik dengan lukisan yang menempel di satu sudut tembok. Sebuah lukisan cat minyak, yang bahkan aku nggak tahu siapa pelukisnya. Mataku terpaku pada kedua sosok anak perempuan yang ada dalam lukisan. Sampai nggak aku sadari, air mataku menetes.

"Itu lukisan Leonid Afremov, seorang pelukis berdarah Rusia dan Israel. Lukisannya sering digunakan psikolog sebagai media terapi. Karena lukisan-lukisan Afremov dianggap mempunyai efek penenang, sehingga ampuh digunakan sebagai media penyembuhan." Suara lembut seorang wanita menyadarkanku dari lamunan.

Aku malu, ketahuan melamun, sampai nggak sadar akan kehadiran wanita ini. Aku bingung mencari tisu untuk mengusap air mata. Wanita itu mengulurkan sekotak tisu padaku sembari tersenyum.

"Terima kasih," ucapku saat mengambil selembar tisu.

Wanita itu meletakkan kotak tisu di meja, lalu duduk di hadapan kami. Gerak-geriknya sangat anggun. Kutaksir usianya hampir setengah abad, mungkin lebih, tapi masih sangat cantik. Wajahnya belum berkerut dan terlihat bersinar, bukan karena hasil permak. Menurutku, dia sangat merawat wajah dan tubuhnya.

"Maaf, sudah menunggu lama, ya? Saya baru selesai di sebelah." Wanita itu mengulurkan tangannya pada Mami. "Perkenalkan, saya Laksmi."

"Saya Mira, Dok. Ini putri saya–Vanessa–dan itu mantu saya–Bumi," Mami memperkenalkan kami pada Bu Laksmi sambil menyambut uluran tangannya.

Aku pun menyalami Bu Laksmi sembari tersenyum. Wiiih, tangannya halus bener, kayak porselen. Ini apa nggak pernah ke dapur, ya.

"Jangan panggil saya dokter, Bu. Karena saya bukan seorang dokter. Cukup panggil nama saya saja," ucap Bu Laksmi lembut.

Ah, aku tahu kenapa wajahnya bersinar dan kelihatan awet muda. Senyumnya nggak pernah lepas, seolah hidupnya nggak ada beban. Dan, senyumnya menular pada kami. Aku pikir seorang Psikolog itu berhawa horror, ternyata begini ramah.

"Begini, Bu Laksmi, kami mendapat rekomendasi dari Dokter Sanjaya untuk berkonsultasi dengan Ibu," Bumi membuka percakapan kami.

"Dokter Sanjaya juga sudah menelepon saya, sedikit banyak beliau bercerita tentang Kumala dan Vanessa. Terus terang, saya belum bisa mendiagnosis apakah Kumala dan Vanessa ini benar mengalami gangguan identitas disosiatif atau yang sering kita kenal dengan kepribadian ganda.

"Saya terlebih dahulu harus melakukan serangkaian tes psikologi dan wawancara terstruktur. Untuk wawancara, bukan hanya dengan Kumala atau Vanessa saja. Saya butuh informasi dari pihak lain yang bersinggungan dengan Kumala." Bu Laksmi menjelaskan tentang berbagai prosedur terapi yang harus kujalani.

Dari penjelasan singkat yang kudapat, setelah diagnosis ditegakkan, baru kami bisa menjalani proses pengobatan. Tadi Bu Laksmi menyinggung sedikit tentang psikoterapi dan hipnosis. Kedua cara itulah yang nantinya akan kami jalani.

Bu Laksmi akan membantu kami hingga proses terakhir, yaitu dengan mengintegrasikan kepribadian Kumala dan aku. Berhasil atau tidaknya proses ini tergantung dari kemauan Kumala dan dukungan lingkungan.

***

Kupikir prosesnya nggak seribet ini, tapi ternyata nggak cukup sehari dua hari selesai. Butuh kesabaran, perjuangan serta air mata. Untung Bu Laksmi sangat sabar menghadapiku. Emosiku berubah-ubah di tiap sesi wawancara.

Di sesi pertama, aku disuruh menceritakan tentang sikap Mami padaku dan Kumala. Dan, bagaimana awal mula kemunculanku.

Di sesi kedua–saat aku harus mengingat dan menceritakan kembali tentang perkosaan itu–aku nggak berhenti menangis. Bu Laksmi bilang itu wajar karena perasaanku terhubung erat dengan Kumala. Sehingga, apa pun yang Kumala rasakan, tentu kurasakan juga.

Di sesi ketiga aku cenderung marah-marah, walau setelahnya aku menangis lagi. Menceritakan tentang Adira membuat emosiku meledak. Benar-benar lelaki brengsek itu orang.

Aku menatap cermin rias di kamarku. Namun, kenapa sampai sekarang aku masih nggak merasakan kehadiran Kumala? Padahal waktu itu aku hanya sedikit menyinggung soal Satria, tapi efeknya sampai seperti ini.

"Kamu kenapa, La? Sudah sebulan lebih, tapi kamu masih belum mau keluar. Ayolah, kamu harus kuat. Kita sama-sama berjuang untuk sembuh. Aku pengen kamu bahagia, La. Sudah cukup penderitaan yang kamu rasakan.

"Ada Bumi yang masih sangat mencintaimu. Ada Mami yang sekarang sudah banyak berubah. Nanti kamu juga bakal punya temen baru, Kirana sudah nggak sabar untuk kenal sama kamu. Dan, aku ... aku akan berbuat apa pun demi kamu.

"Aku harap kamu segera muncul, La. Aku sudah siap untuk menyerahkan semua milikmu." Kusentuh cermin dihadapanku.

Sudah lima kali sesi wawancara kulalui, Mami dan Bumi pun sudah menjalani proses konseling. Kemarin aku melakukan tes psikologi. Namun, Kumala masih betah di tempat persembunyiannya. Sedalam itukah luka yang kamu rasakan, sampai kamu memilih hidup dalam kegelapan? Lihatlah, La, dunia ini begitu indah, begitu berwarna.

Kamu terlalu sibuk memikirkan hujan badai yang terjadi dalam hidupmu. Sampai kamu lupa satu hal, bahwa akan ada pelangi setelah hujan. Bahkan di malam gelap sekalipun. Karena di mana pun dan kapan pun, matahari selalu memberikan cahayanya.

***

Wuooow ... aku malu.
Part ini absurd maksimal...

Diksi nggak beragam, banyak kalimat nggak efektif, typo, italic, dialog tag dll dsb dst ....

Sekali lagi maaf yaaaa...

Solo, 13 Februari 2017

Edit,
Solo, 16 September 2018

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top