PART 23
"Kumala."
Tenang, Vanessa, mungkin sudah waktunya dia tahu. Tadi Bryan, sekarang Bumi. Yaelah, kenapa harus hari ini juga sih. Lelah hayati, Bang.
"Sudah dibilang aku bukan Kumala," ucapku sambil bersandar di daun pintu. "Udah yuk, masuk. Aku kasih dongeng nina bobo."
Aku tertawa kecil melihat tampang Bumi–yang kulihat–sedang bingung, kaget, dan ada sedikit marah di sana. Namun, dia bisa menekan emosinya. Rupanya dia tipe cowok tenang dan kalem. Sebelas dua belas sama Bryan.
"Mi, dicari anak mantu, nih," laporku saat masuk ke ruang keluarga.
Mami terkejut melihat Bumi yang mengekor di belakangku. "Tadi aku mau cerita sama Mami, tapi sukun gorengnya mengalihkan duniaku," lanjutku sambil mencoba bercanda.
Bumi mencium punggung tangan Mami, sembari menyapanya, "Assalammualaikum. Sugeng sonten, Bund. Kados pundi kabaripun?" (*Selamat sore, Bund. Bagaimana kabarnya?)
"Wa'alaikumussalam. Alhamdulillah, sehat."
"Nyuwun pangapunten*, Bund. Kumala ...." Bumi tidak melanjutkan ucapannya, dia hanya melihat ke arahku. (*Mohon maaf)
"Udah, duduk dulu. Aku buatin minum, habis itu baru kita ngobrol," kataku sambil melenggang ke dapur.
Aku nggak dengar mereka berbincang di dalam. Dasar. Pasti Bumi masih kaget, dan Mami merasa canggung. Benar saja, saat aku masuk sambil membawa tiga cangkir teh, mereka cuma duduk pura-pura nonton TV.
"Kamu tadi ngikuti aku ya?" tanyaku setelah aku ikut duduk bersama mereka.
"Maaf. Saya benar-benar penasaran, terlebih saat saya dengar namamu Kumala Putri."
"Ish, aku Vanessa ya, bukan Kumala," aku tetap ngotot nggak mau dipanggil Kumala.
Kulihat dahi Bumi berkerut. "Bagaimana mungkin?"
Aku menjawil lengan Mami. "Aku apa Mami yang cerita?"
"Kamu saja, Ness," jawab Mami seraya mematikan TV dengan remote.
"Heddeeeh, aku harus ngulang lagi. Baru aja aku juga cerita sama Bryan, Mi."
Mami menoleh ke arahku. "Lalu tanggapannya?"
"Dia ndukung aku, Mi. Masalah Bryan ntar aja, Mi. Sekarang Bumi dulu. By the way, kamu masih mikir kalau aku ini Kumala?" Aku beralih menatap Bumi.
"Entahlah. Kalian begitu mirip, dan kamu juga tinggal di sini. Namun, sifat dan tingkah lakumu jelas berbeda dengan Kumala."
"Aku jelasin. Kalau kamu bingung, langsung tanya, nggak usah nunggu sesi tanya jawab," aku mencoba mencairkan suasana.
"Kamu tahu cerita masa lalu Kumala, Mi?" tanyaku pada Bumi, yang ditanggapi dengan anggukan.
"Di umur delapan tahun, Kumala harus melihat perselingkuhan ayahnya. Di saat yang sama, dia juga mengalami kekerasan. Belum lagi dia melihat Bunda bertengkar hebat sama ayahnya. Kamu bisa mbayangin perasaannya? Dia cuma anak kecil, Mi, tapi harus menanggung beban seberat itu.
Setelah kejadian itu, Bunda bersikap seenak udelnya sendiri. Menjauhi Kumala, tidak memberi kasih sayang, selalu memojokkannya, tidak pernah bicara dari hati ke hati. Akhirnya setahun kemudian, aku lahir." Aku memberikan penjelasan sesingkat mungkin. Bagiku, mengungkapkan masa lalu, sama saja membuka luka lama. Walau itu terjadi pada Kumala, tapi aku pun merasakannya.
"Maksudnya bagaimana?" Bumi masih belum paham rupanya.
"Kumala berkepribadian ganda, dan aku lah dirinya yang lain itu." Aku sengaja memberi jeda, biar Bumi bisa mencerna informasi yang kuberikan terlebih dahulu.
"Kepribadian ganda?" tanya Bumi mengulang perkataanku.
"Iya. Kamu pernah nonton drakor Kill Me Heal Me atau Hyde Jekyll Me apa nggak?" Bumi menggeleng. "Kalau Belahan Jiwa?"
Bumi menggeleng lagi. "Yaelaaah, kamu suka nonton apa sih?"
"Apa yang kamu maksud seperti novel Sybil dan Billy?"
"Nah, itu kamu tahu. Jadi kan aku nggak perlu repot njelasin panjang kali lebar kali tinggi."
"Astagfirullah, bagaimana mungkin? Selama aku kenal dan hidup bersama Kumala, sama sekali tidak ada tanda seperti itu." Bumi masih nggak percaya.
"Waktu itu dia kuat banget, Bumi. Entah apa namanya aku juga nggak tahu. Yang jelas, tiap dia merasa percaya diri, aku akan menghilang. Saat dia melahirkan Satria lalu ketemu sama kamu, itu puncak kebahagiaan Kumala. Selama tiga tahun aku nggak pernah muncul. Kalau nggak percaya, tanya sama Mami." Aku menunjuk Mami dengan daguku.
"Dan kamu adalah ... Vanessa?" Bumi bertanya lagi.
Aku mengembuskan napas panjang, mulai sedikit jengkel. "Iya. Kan aku udah bilang dari tadi. Aku ini Vanessa. Kumala baru sembunyi, nggak mau keluar."
"Tunggu dulu, apa sebelum ini kita pernah bertemu?"
"Iya, di minimarket kapan itu. Kamu manggil aku Kumala, tapi aku lari," jawabku dengan tenang. "Hei, jangan ngelihatin aku kayak gitu. Waktu itu aku juga kaget."
"Aku masih tidak mengerti, kenapa sekarang yang ada di tubuh Kumala adalah kamu?"
Aku melirik Mami yang masih duduk diam menyimak pembicaraan kami. "Sejak kecelakaan itu sampai sekarang–sudah dua tahun–Kumala melarikan diri. Dia menutup mata, telinga, hati dan pikirannya. Kumala menghilang begitu saja. Bahkan seminggu setelah kecelakaan, yang sadar dari koma itu adalah aku."
"Pertanyaanku, kenapa Kumala menghindariku?" Suara Bumi mulai meninggi.
Aku balik melotot padanya. "Woi, yang sadar waktu itu aku–Vanessa. Kalau aku nemuin kamu, aku harus gimana? Aku nggak cinta sama kamu, apa kamu minta aku pura-pura jadi istrimu gitu? Enak aja! Walau aku dan dia berbagi tubuh, tapi perasaanku beda sama dia."
Bumi mengusap wajahnya, lalu menopangkan kedua sikunya pada lutut. "Lalu, apa saja yang kamu ketahui tentang penyebab menghilangnya Kumala?"
"Aku memiliki seluruh memorinya, bahkan di saat aku belum tercipta pun aku bisa tahu." Aku menyesap teh panas yang sekarang sudah dingin. "Kecuali satu hal," ucapku dengan ragu. "Aku sama sekali nggak tahu alasan Kumala membencimu hingga akhirnya dia lenyap begitu saja."
Bumi terlihat begitu terkejut. Tubuhnya tegak, menatapku tajam. "Jadi benar, Kumala membenciku? Kenapa?"
Aku memutar bola mata. "Tanya sama dirimu sendiri!" bentakku.
"Sebenarnya apa yang terjadi antara dirimu dan Kumala?" Mami bertanya pada Bumi.
"Nah itu, Mami bener. Kamu sendiri yang bisa njawab. Sebelum kecelakaan itu, apa kamu bertengkar sama Kumala? Karena ... Kumala bahkan nggak inget tentang Satria," tambahku.
"Kumala lupa sama Satria? Mana mungkin ... bagi Kumala, Satria adalah segalanya," gumam Bumi pelan.
"Ya, mana aku tahu. Aku bukan Tuhan yang Maha Tahu Segalanya. Coba kamu inget-inget, ada kejadian apa sebelum dia kecelakaan."
Bumi terlihat mengingat sesuatu. Cukup lama dia terdiam. "Awas kalau cari-cari alasan!" ancamku sambil memasang wajah garang. Habis mikirnya kelamaan, bikin curiga.
"Seingatku, kami tidak bertengkar. Saat itu, aku diklat di Jakarta selama tiga hari. Benar 'kan, Bund?" Bumi menatap Mami, seolah mencari dukungan dari Mami. "Seharian aku tidak bisa menghubungi Kumala, jadwal diklat sangat padat dan telepon selulerku low bath. Sore setelah selesai acara, aku berusaha menelepon Kumala, tapi tidak diangkat. Hingga malamnya, Bunda mengabari tentang kecelakaan Kumala."
Aku tersenyum sinis. "Dasar pembohong!"
Bumi mengambil napas panjang saat melihatku. "Lalu menurutmu bagaimana?" tanyanya tetap dengan sabar.
Patut kuacungi jempol. Bumi sangat pandai menguasai emosinya. "Ada beberapa hal yang sekilas kuingat," aku mencoba untuk berkompromi dengan Bumi, demi Kumala.
"Benarkah? Apa itu?" tanya Bumi penuh rasa ingin tahu.
"Nggak ngerti juga ada hubungannya apa nggak. Aku ingat, Kumala telepon kamu, terus ada bangun tidur, kamar mandi, Rizky. Entahlah, Kumala memblokir memorinya, dan aku nggak bisa masuk." Aku tahu, potongan ingatanku sama sekali nggak membantu.
"Kumala meneleponku? Aku tidak pernah tahu. Memang, selesai diklat aku dimintai tolong Rizky untuk membetulkan kran bath mixer-nya yang agak susah diputar. Aku sekalian numpang ngisi baterai di kamarnya."
Tunggu dulu, aku agak curiga. "Rizky ini cewek? Soalnya, suara yang aku ingat itu cewek."
Bumi menelengkan kepalanya, sedari tadi keningnya berkerut, tapi tetep ganteng. Astaga, apa sih yang aku pikirin.
"Rizky memang cewek, 'kan. Yang pergi diklat aku, Gio dan Rizky. Apa jangan-jangan, Kumala meneleponku. Lalu yang mengangkat telepon si Rizky? Tapi ... Rizky tidak bilang kalau Kumala telepon."
Aku mengambil sepotong sukun goreng, yang sudah mulai dingin. "Halah, sok muna. Pasti kamu selingkuh 'kan sama si Rizky ini," tembakku.
"Mana mungkin aku selingkuh. Aku sangat mencintai Kumala, bahkan hingga kini pun masih tetap sama." Bumi menatapku dengan lekat.
Aku kembali melotot. "Apaan lihat-lihat! Aku bukan istrimu. Jangan main sosor kayak angsa lho. Aku nggak doyan sama kamu. Kalau kamu masih cinta, kalau pengen Kumala balik lagi, ya cari cara apa kek gitu, biar Kumala sembuh."
Bumi menyandarkan punggungnya ke kursi. "Aku punya teman seorang Psikiater. Mungkin dia bisa menolong kita," usul Bumi.
"Nah, itu mungkin solusi yang pas. Dia pasti tahu cara menangani orang berkepribadian ganda seperti Kumala," ujarku penuh semangat. "Terus kapan kita bisa ketemu sama temenmu itu? Semakin cepat semakin baik, jadi Kumala bisa cepet sembuh."
"Nessa," Mami memanggilku lirih.
"Iya, Mi?" Aku memutar tubuh menghadap Mami.
"Kalau Kumala sembuh, bagaimana denganmu?" Nada suara Mami terdengar getir.
"Mami, jangan bikin aku nangis dong. Aku nggak penting, Mi. Yang penting, Kumala–anak Mami–sembuh," ucapku sambil meremas tangan Mami.
Bumi terlihat ragu untuk bertanya. "Maaf, apa yang terjadi kalau Kumala sembuh?"
"Aku masuk surga," ujarku sembari tertawa, menutupi ketakutanku. Aku tersenyum miring. Surga? Beneran? Aku aja nggak punya tubuh dan ruh, bagaimana bisa masuk surga.
"Kamu ... kamu gantian yang menghilang?" tanya Bumi. Suaranya terdengar parau.
Selembut inikah hati seorang Bumi? Padahal dia baru pertama bertemu sama aku, tapi sudah begini perhatiannya.
"Ya iyalah. Nggak mungkin kan kalau aku terus-terusan jadi benalu. Kalau kalian balikan, terus baru ena-ena, ya kaliii aku jadi kambing congek. Aku harus pergi. Lagian kalau aku pergi, nggak ada yang repot. Nggak usah nyari tanah makam, nggak usah bikin tahlilan, nggak usah repot ziarah kubur, terus—"
Ucapanku terhenti karena pelukan Mami yang begitu erat. "Kalau aku pergi, Mami nggak perlu lagi ndengerin suaraku yang kayak petir di siang bolong. Kalau aku pergi .... " Tangisku sudah membeludak. Sirene tanda bahaya pun menyala, memberitahukan bahwa bendungan di kedua mataku jebol.
"Kamu bodoh! Bunda tidak mau kamu pergi. Kamu yang sudah menyadarkan Bunda, kamu yang mengajarkan Bunda tentang cara memaafkan, tentang kasih sayang. Kamu membuat hidup Bunda ceria. Kamu Vanessa." Mami memelukku erat, seolah takut kalau aku akan menguap.
"Mami, dengarkan aku." Aku melepaskan diri dari pelukan Mami. Kupegang kedua bahunya seraya menatap mami. "Aku udah hidup selama dua puluh tahun, dan hidupku sangaaat bahagia. Sedangkan Kumala, seumur hidupnya, dia selalu menderita. Nah, ini saatnya Mami mengganti waktu duapuluh sembilan tahun yang terbuang sia-sia. Beri cahaya dalam hidup Kumala, Mi. Kita obati Kumala ya, Mi," pintaku secara tulus.
Kulihat Bumi sedang menundukkan wajahnya. "Aku siap kapan pun kamu mau ngajak aku ke Psikiater," ujarku mantap.
***
La la la ye ye ye ye ....
Bumi sama Bryan udah dikasih tahu, dan dua-duanya punya keinginan sendiri....
Bryan pengen Vanessa tetep bersamanya....
Bumi pengen Kumala kembali....
Authornya bingung harus bijimane
Hwekekekek ....
Solo, 12 Februari 2017
Edit,
Solo, 10 September 2018
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top