PART 21
"Kumala sembunyi lagi, Mi." Aku melihat raut khawatir pada wajah wanita yang telah melahirkan Kumala.
"Dia ... dia tidak nerima kamu?"
"Bukan begitu, Mi." Aku harus bilang apa sama Mami, "dia nggak bisa nerima kalau ternyata ada suatu hal buruk yang terjadi antara dirinya dan Bumi."
"Dia ingat, Ness?"
Aku menggeleng lemah, "Aku keceplosan bilang tentang Bumi dan kecelakaan Satria. Padahal aku sendiri yang mewanti-wanti Mami untuk nggak bilang ke Kumala, tapi ...."
"Cepat atau lambat Kumala juga pasti tahu," ucap Mami sambil keluar dari kamarku.
Walau Mami ngomong begitu, tapi wajahnya tetep nggak bisa bohong. Wajar kalau Mami cemas, bagaimana pun juga Kumala anak kandungnya. Anak yang dilahirkan dan dibesarkannya sendiri. Sedangkan aku, cuma sosok ciptaan Kumala. Porsiku tentu jauh lebih sedikit di hati Mami ketimbang Kumala.
Sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku
Sakitnya tuh di sini, melihat kau selingkuh ....
Aku mengambil ponselku yang tengah bernyanyi. Bryan? Ada apa dia telepon?
"Halo, Bry," sapaku.
"Assalamualaikum, Sa." Ini cowok bisa aja bikin aku malu.
"Wa'alaikumussalam, Bry. Ada apa, kok tumben pagi-pagi telpon?"
"Hari ini kamu ada acara?" tanya Bryan, terdengar suara mesin dari sana. Pasti dia masih di pabrik.
Memang selain kerja di kantor Pajak, setiap Sabtu-Minggu Bryan membantu Eyang Dalmanik mengawasi pabrik batiknya.
"Hmm, kayaknya nggak ada. Bentar lagi berangkat ke butik, paling ntar siang keluar cari makan sama Kirana. Ada apa memangnya?"
"Nanti bisa makan siang bareng?"
"Ditraktir 'kan?" aku bertanya sembari tertawa kecil.
"Maunya ditraktir di mana?"
"Aku baru pengen sate jamur, Bry. Kemaren Sisil dari sana, katanya enak. Aku pengen nyoba sate jamur, tongseng jamur sama katanya carica squash seger deh."
Kudengar tawa tertahannya. "Kenapa ketawa?" tanyaku bingung.
"Kamu masih nggak berubah, Sa. Suka ngatain Kirana doyan makan, eh kamunya sendiri hobi kuliner."
"Biarin. Yang penting kan bodiku masih aduhai."
"Ntar aku jemput jam satuan ya, aku selesaiin kerjaan Eyang dulu."
"Okay. Nggak usah kemrungsung, Bry. Seselesainya aja," pesanku sebelum kami memutus sambungan telepon.
Aku memilih sebuah terusan batik selutut, dengan motif sinaran berwarna cerah. Aku memiliki kulit kuning cerah, dan tubuh ramping, sehingga cocok dengan model pakaian apa pun. Bukannya sombong, cuma itu kenyataannya. Mumpung aku masih bisa pakai yang bagus-bagus, siapa yang tahu umur orang kan.
Aku menata rambut dengan model keriting spiral seperti biasa, lalu menambahkan jepit rambut kecil di belahan rambut sebelah kiri. Kutaburkan sedikit bedak di wajahku, biar nggak berminyak. Nggak lupa kuoles tipis lipstik ultima peach-yang jarang kupakai, kecuali di saat-saat tertentu.
Kutambahkan sedikit eye liner untuk mempertajam garis mata, dan mascara agar bulu mataku terlihat lentik. Hanya riasan sederhana, tapi sudah membuat wajahku terlihat berbeda. Aku memilih flat shoes warna coklat muda dengan aksen gesper berbentuk hati.
Aku memindai penampilanku dari cermin rias. Perfecto. Cantik, elegan, kasual. Dewasa tapi tetep girly. Sekarang aku siap untuk nge-date sama Bryan.
Setelah berpamitan dengan Mami, aku sengaja memanggil taksi. Biasanya aku bawa My Baby Pink-Vario Pink yang kubeli dari gaji di butik-tapi ntar aku pulang pasti dianter Bryan, malah ribet kalau bawa motor sendiri.
Sejak pertemuanku dengan Bryan di rumah Eyang Dalmanik, aku sudah mulai membuka tabirku padanya. Aku memberitahu alamat rumah, walau masih belum kuijinkan untuk berkenalan dengan Mami. Aku juga memberitahu nama asliku adalah Kumala Putri, sedangkan Vanessa adalah nama bekenku. Namun, aku belum punya keberanian untuk jujur bahwa aku hanya seorang alter-kepribadian lain yang dimiliki Kumala.
"Ntar jadi maksi sama Bryan, Nes?" tanya Kirana saat kami selesai menginventaris barang-barang di butik.
Aku mengangguk sembari berkata, "Ntar dia jemput kita di sini jam satuan. Ini udah jam berapa sih?" tanyaku sambil mencari jam dinding.
"Jam satu kurang seperempat. Ntar aku nggak usah ikut deh, Nes."
Aku melihat Kirana yang tengah melipat sebuah kemeja batik. "Kenapa, Na?"
"Heh, aku nggak mau jadi nyamuk, ya! Ntar yang ada, aku dianggurin. Ogah!"
"Yaelah, Na. Kamu kayak nggak kenal kita aja. Dari dulu mana pernah aku atau Bryan nyuekin kamu?"
"Enggak, sih. Tapi tetep aja nggak nyaman, lagian biar kamu juga tambah dekat sama Bryan."
Ucapan Kirana membuatku terdiam, kain batik yang tadi kupegang pun kuletakkan kembali di atas meja. "Entahlah, Na. Aku masih bingung."
"Nes, kenapa kamu nggak nyoba ngomong sama Bumi? Kalau memang Kumala nggak bisa lanjut sama dia, ya mending cerai aja sekalian. Jadi kamu nggak bingung lagi."
"Siapa yang cerai, Na?"
Aku terkejut melihat Bryan sudah berdiri di depan pintu. Kirana dan aku saling bertukar pandangan. Kira-kira dia dengar apa saja ya?
"Temenku, Bry. Eh, kalian jadi ke Resto Jejamuran?" Kirana berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Iyalah, aku pengen banget. Gara-gara Sisil cerita tuh." Aku pun berusaha menutupi kegugupan kami.
"Ya, udah gih berangkat," usir Kirana.
"Lho, kamu nggak ikut, Na?" tanya Bryan.
"Enggak. Aku pengen pesen mie ayam depan sambil nonton drakor. Barusan Sisil ngasih pinjam Legend of the Blue Sea, Nes. Yang main cintaku Lee Min Ho."
"Beneran?!" Aku hampir membatalkan rencana makan siangku dengan Bryan, demi nonbar sama Kirana, kalau nggak lihat wajah kecewa Bryan.
"Ntar aku kopiin, Nes," ucap Kirana saat melihat wajah cemberutku.
"Komplit, lho, Na. Jangan kamu pritilin, ntar aku penasaran." Kebiasaanku kalau nonton drakor, ya harus selesai. Walau begadang semalam pun nggak masalah.
"Yuk berangkat, Sa," ajak Bryan.
Aku mengambil tas cangklong sembari melirik sekilas ke kaca yang ada di dinding. Untung tadi aku udah sempet benerin muka sama rambut.
"Kita cabut dulu, Na. Jangan lupa kopiin ke flash disc-ku," pesanku saat ke luar ruangan.
Selama perjalanan—kurang lebih empat puluh menit—kami membicarakan berbagai macam hal. Kecanggungan yang dulu sempat ada, kini sudah hilang. Aku sudah nggak sungkan lagi untuk bicara apa pun. Bryan pun sudah tidak pernah membahas penyebab kami putus. Malahan dia lebih perhatian, katanya khawatir kalau penyakitku kumat.
Dia nggak tahu, kalau sekarang ini detik-detik menegangkan dalam hidupku. Kalau penyakit, aku dalam kondisi kritis. Sudah stadium empat.
Ternyata benar kata Sisil, tempat ini sangat nyaman. Bangunan yang bernuansa kayu, terus di salah satu sudut ada tempat khusus memajang aneka jamur.
Kami memilih duduk di luar ruangan, bukan karena Bryan merokok, tapi lebih santai dibanding di dalam. Udaranya pun terasa semilir.
Cukup lama aku membolak-balik buku menu. Aku jadi bingung untuk memilih, kelihatannya semua enak dan murah.
"Kenapa, Sa?" tanya Bryan yang melihatku cuma membolak-balik menu.
"Bingung nih, Bry. Aku pengen semua," ucapku sambil memonyongkan bibir.
Bryan malah tertawa ngakak. "Pesan semaumu, Sasa, ntar kita bawa pulang juga. Untuk oleh-oleh Mami."
Akhirnya aku pesan sate jamur, tongseng jamur, rendang jamur dan sup tom yam jamur, dan semuanya ekstra pedas. Untung saja seleraku dan Bryan sama, kami suka pedas. Terserah Bryan membatin bagaimana, toh dia sudah tahu kalau makanku banyak.
Sambil menunggu pesanan, kami bercanda lagi. Sesekali Bryan menyinggung soal hubungan kami, tapi aku berhasil mengubah topik dengan halus. Aku sadar, Bryan masih menyimpan rasa cintanya padaku. Demikian juga denganku.
Perhatian-perhatian kecilnya mampu membuatku melayang. Seperti sekarang, padahal dia cuma membantu memegangkan gelas untukku minum—kedua tanganku kotor, dan aku kepedasan parah—tapi rasanya sudah kayak dilamar pakai cincin berlian.
"Aku cuci tangan dulu, Bry, sekalian ke toilet," pamitku setelah melahap semua makanan di meja.
Kirana harus ke sini, dia bakal seneng banget. Bisa-bisa berat badannya naik lima kilo. Aku tersenyum sendiri sambil membilas tanganku yang penuh sabun.
"Kumala."
Mataku membelalak saat menyadari siapa yang menyapaku. Kali ini aku nggak mungkin bisa menghindar. Bumi meneliti tiap jengkal wajahku dari cermin.
Aku berbalik menghadapnya. "Maaf, mungkin anda salah orang. Saya bukan Kumala," ucapku sambil tersenyum.
Ayo Vanessa, kamu kan mantan pemain wayang orang. Akting kayak gini harusnya gampang. Aku berusaha menyemangati diriku sendiri. Jangan sampai terlihat gugup.
"Oh, maaf. Saya pikir, anda seseorang yang saya kenal," ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya, "Perkenalkan, saya Bumi."
"Vanessa." Aku membalas uluran tangannya. Semoga dia nggak sadar kalau tanganku gemetaran.
"Anda mirip sekali dengan ... Kumala."
"Oh, ya? Wah, jangan-jangan aku sama dia putri yang terpisah." Aku mencoba untuk bercanda, tapi bagiku malah terdengar aneh.
"Maaf, terus terang saya sudah memperhatikan anda, bahkan sejak anda masuk ke restoran, dan memang anda serupa tapi tak sama dengan wanita yang saya kenal."
Aduh, aku harus gimana nih. Jangan sampai Bryan ketemu Bumi, dia kan sudah tahu nama asliku Kumala. Bisa berabe pangkat dua nih.
"Jadi pengen tahu semirip apa aku sama ... siapa tadi namanya?" aku pura-pura basa-basi sama Bumi. Kalau aku pergi sekarang, rasanya kayak melarikan diri.
Bumi mengambil dompet yang ada di saku belakang, membukanya dan mengeluarkan sesuatu. Nggak mungkin kan kalau dia ngasih uang. Astaga, Vanessa, di saat kayak gini masih aja bercanda.
"Ini Kumala," kata Bumi seraya menyerahkan selembar foto padaku.
Ternyata itu adalah foto Kumala yang sedang tersenyum ke arah kamera, dia menggendong Satria. Bumi masih menyimpan foto mereka di dalam dompet? Kenapa?
"Ini keluargamu, ya?" Sekalian saja, aku akan mencari tahu tentang Bumi.
"Hem, Kumala istri saya, dan ini putra kami, Satria. Dia ... meninggal dua tahun lalu, dalam sebuah kecelakaan." Wajahnya terlihat sangat kesepian, sedih dan begitu merindu.
"Oh, maaf. Lalu Kumala?"
Bumi menghela napas sebelum menjawab, "Dia menghilang. Sudah dua tahun, tapi saya tidak bisa bertemu dengannya. Saya sangat merindukan mereka. Oleh karena itu, tadi saya begitu terkejut saat melihat anda."
Tunggu! Ada yang tidak beres. Bumi terlihat begitu menderita kehilangan Kumala dan Satria. Itu berarti dia masih cinta sama Kumala kan, tapi kenapa yang ada di ingatanku berbeda? Seperti ada potongan puzzle yang hilang, dan tugasku untuk menemukannya. Kalau Bumi masih mencintai Kumala, mungkin ada harapan agar Kumala mau muncul.
Aku memberikan foto itu ke Bumi. "Iya lho, mirip banget sama aku. Kayak kembar."
"Tapi, kalian sangat berbeda. Kumala-ku tidak suka pedas, sedangkan anda tadi ...."
"Astaga! Jangan-jangan tadi kamu lihat cara makanku?" Entah kenapa aku jadi sangat malu sudah diamati sedemikian rupa.
"Vanessa."
Oh, sial! Aku lupa Bryan menungguku. Ayo putar otak, Vanessa. Jangan sampai mereka nyebut Kumala. Bisa hancur dunia persilatan.
Aku memaksakan sebuah senyum manis ke Bryan. "Maaf, nunggu lama ya?"
Bryan menatap Bumi, lalu menatapku seolah bertanya 'siapa?'. "Bry, kenalin, ini Bumi. Bumi, ini Bryan."
Aku tertawa dalam hati. Tadi rasanya aku seperti mengenalkan suamiku pada selingkuhanku. Gila!
"Maaf, Mas. Tadi saya pikir Mbak Vanessa ini istri saya."
Bego! Ucapan Bumi jelas bikin Bryan bingung. "Aku mirip kayak istrinya Bumi, Bry."
"Oh begitu. Berarti wajahmu pasaran, Sa." Untunglah Bryan nggak curiga.
"Yeee, biar pasaran tapi kamu suka kan." Bryan tertawa sambil mengelus ujung kepalaku. "Udah kamu bayar belum? Aku nggak mau lho kalau kita ditangkap satpam," tambahku.
"Aku udah nitip KTP. Yuk, pulang," candanya lagi.
Bumi tertawa kecil melihat kelakuan kami. "Sekali lagi maaf atas kekeliruan saya, Mbak," ucapnya sopan.
"Tenang aja, Mas. Kami duluan, ya," pamitku sambil melambaikan tangan.
"Jangan-jangan kamu beneran istri Bumi, Vanessa Kumala Putri?" ucap Bryan lirih, saat kami sudah berjalan sepuluh langkah dari Bumi.
Aku tahu Bryan bercanda, tapi jantungku hampir copot saat kulirik Bumi masih menatapku. Aku harap dia tidak mendengarnya. Namun, bagaimana kalau dia dengar? Apa yang akan terjadi?
***
Solo, 10 Februari 2017
Edit,
Solo, 05 September 2018
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top