PART 20
Kirana Ndud
089234567xxx
Ness, baru aja Kumala datang ke butik. Dia pengen tahu tentang kamu. Maaf, Nes, aku terpaksa cerita sedikit tentang kamu, aku pengen Kumala sadar kalau kamu itu belahan jiwanya. Tadi, aku bener-bener takut. Aku nggak mau kamu ngilang kek dulu lagi. Kapan pun kamu baca SMS-ku, tolong bales, biar aku tahu kalau kamu nggak pergi.
14:57
Ness, kamu belum baca SMS-ku?
18:23
Ness, ini udah malem. Tolong, jam berapa pun hubungi aku. Ini HP-ku dering maksimal lho, demi kamu.
23:03
Ness ... Ness ... udah pagi. Kamu belum bangun? Dari kemaren aku belum makan gara-gara kamu!
05:12
Astaga ... ternyata si gajah duduk itu sebegitu perhatiannya. Aku senyum-senyum sendiri membaca pesan Kirana. Enaknya aku bales sekarang atau nunggu agak nanti ya. Kali aja kalau cemas berlebih, beratnya bisa menyusut.
Apaan, Na?
Aku baru bangun nih.
Beratmu udah turun berapa kilo?
Hwakakak
08:31
Nggak sampai semenit, ponselku sudah berdering. Siapa lagi kalau bukan Kirana Ndud.
"Jiaaah, cepet banget yang nelpon, Na. Jangan-jangan HP-nya kamu tempel di muka pake lakban ya?" godaku begitu menggeser tombol hijau di layar.
"Vanessa! Kamu sengaja nggak bales SMS-ku ya? Dari kemaren siang, aku udah SMS, aku telepon, tapi nggak kamu bales. Aku kan jadi laper banget, Ness."
Aku tertawa terbahak, bisa-bisanya dia bilang laper. "Woi, nggak ada alesan laen, Na?"
"Udahlah terserah, pokoknya aku nggak bakal makan sebelum ketemu kamu. Aku jemput kamu sejam lagi."
Aku masih terkikik. "Jangan sejam, Na. Ntar sore ajalah, ada yang harus aku omongin sama Mami."
"Wah, parah. Kamu beneran pengin aku kempes, ya? Ntar aku nggak seksi lagi gimana?" protesnya.
Aku tahu, dia pengin cepat ketemu bukan karena lapar, tapi rasa khawatirnya padaku. "Makan dulu gih. Lagian, aku juga nggak bakal ke mana-mana."
"Nggak ke mana-mana gimana? Kemaren kamu ngilang, Ness, tau-tau yang nongol Kumala. Untung aku nggak punya sakit jantung."
Aku turun dari tempat tidur, membuka laci nakas lalu mengeluarkan secarik kertas dan sebatang pulpen. "Jangan khawatir gitu, Na. Soal yang kemaren, maaf banget, ya, udah bikin kamu cemas. Pagi ini aku beneran harus ngobrol sama Mami."
"Kalau gitu, ntar sore jam lima aku jemput, ya."
Setelah memutus sambungan telepon, aku duduk di meja rias. Mungkin hanya dengan cara begini, Kumala bisa menyadari kehadiranku.
Untuk : Kumala
La, aku Vanessa. Aku tahu kalau kemaren, kamu nyari info tentangku. Sebaiknya, kamu tahu tentangku dari mulutku langsung, La. Begitu kamu baca surat ini, tolong kamu lihat salah satu video yang ada di galeri. Nanti aku kasih tulisan VANESSA. Ponselnya sudah nggak aku gembok lagi.
Salam sayang,
Vanessa
Padahal aku sendiri yang nulis, tapi masih juga takut. Sudahlah, semua aku serahkan ke Tuhan saja. Apa pun yang terjadi, terjadilah. Aku mengambil ponselku, membuka aplikasi kamera, lalu mengaturnya menjadi kamera depan.
Aku memejamkan mata sekejap, menarik napas panjang, lalu menyentuh tombol video. Aku harus melakukan hal ini.
***
"Kamu sudah siap dengan semua konsekuensinya, Nessa?"
Saat ini aku dan Mami tengah duduk bersebelahan di depan TV. Kami membicarakan rencanaku untuk memberitahu Kumala tentang Vanessa.
Rencananya, kami ngobrol tadi siang sebelum Kirana datang, tapi Mami malah ada rewang ke tetangga sebelah yang kedapetan arisan RT. Jadi kami baru sempat bicara setelah Mami pulang arisan dan aku pulang jalan-jalan.
"Jujur, aku takut, Mi. Dari cerita Mami tadi, Kumala nggak inget tentang Satria dan kecelakaan itu. Dia juga nggak tahu kalau sudah dua tahun Bumi nggak serumah dengannya. Dengan membongkar identitas Vanessa, aku takut Kumala bakal ingat semuanya dan melarikan diri lagi. Di sisi lain–jauh di lubuk hatiku–timbul keinginan untuk terus hidup."
"Apa yang akan terjadi kalau dia ingat tentang Satria, Nessa?" Mami bertanya dengan suara bergetar.
Aku tahu kalau sebenarnya Mami sudah punya jawabannya. "Bisa jadi dia kuat lalu aku menghilang. Atau dia melarikan diri lagi, dan aku yang hidup seperti ini. Atau–yang terburuk–dia akan bunuh diri."
"Tidak bisakah kalian hidup bersama?"
Apa aku nggak salah dengar? Mami pengen kami tetap ada. Apa itu berarti Mami sayang pada kami berdua, Mami beneran sayang padaku.
"Aku nggak tahu gimana caranya, Mi. Yang jelas, sudah waktunya Kumala tahu tentang kepribadiannya yang lain. Aku juga butuh kepastian, Mi. Aku nggak bisa selamanya seperti ini," ucapku seraya menunduk, menyembunyikan mataku yang mulai basah.
"Ada yang Bunda belum tahu?" selidiknya.
"Aku dekat lagi sama Bryan," wajah Mami berubah keruh, "Tenang, Mi, kami nggak pacaran. Aku sadar, aku ini masih istri orang, tapi ... aku juga pengen bahagia, Mi."
Nggak kupungkiri, rasa cintaku pada Bryan sudah bersemi lagi. Sebagai seorang wanita, aku pengen pacaran terus menikah lalu dikasih momongan. Seandainya orang yang aku dan Kumala cintai itu sama, nggak bakal ada masalah. Lha ini, Kumala jelas-jelas masih sayang sama Bumi, dan aku memilih Bryan. Ya kali, kalau kami poliandri. Aku tersenyum miris dengan pikiranku yang kadang nyeleneh.
"Mi, besok kalau yang bangun Kumala, jangan ungkit soal Bumi atau Satria dulu. Diberesin satu-satu aja, Mi, mulai dari aku dulu. Ntar kalau dia udah bisa nerima aku, baru ganti yang lain," pesanku sembari berjalan ke kamar.
"Ness," panggil Mami tepat saat aku hampir menutup pintu.
"Kenapa, Mi?"
Mami cuma melihatku tanpa ngomong apa-apa. Jiaaah, baru tahu deh gimana ekspresi khawatir ibu satu itu. Kalau ngebayangin sikapnya jaman dulu, rasanya pengin njithes.
"Apa, Mami?" ulangku.
Mami menggeleng, dan kembali memalingkan muka ke arah TV. Aku menutup pintu lalu menyandarkan punggungku pada daun pintu. Sudah hampir dua puluh tahun aku mengenal Kumala, tapi baru kali ini aku merasa gugup. Semoga kamu bisa nerima aku ya, La.
***
"Vi-video di HP? Beneran ndak pa-pa kalau Mala mbukak HP-nya Vanessa? Ke-kenapa harus lewat video?" gumamku setelah membaca pesan singkat yang ditulis Vanessa di secarik kertas.
Aku baru saja bangun–saat akan turun dari tempat tidur–aku melihat kertas itu sudah ada di atas nakas. Aku masih menimbang beberapa saat, antara penasaran dan takut menghadapi kenyataan. Apa pun itu, aku merasa bukan hal ringan.
Benar saja, ponsel ini sudah tidak terkunci. Aku membuka aplikasi galeri, dan langsung mencari video yang bertuliskan VANESSA. Aku tidak berani membuka yang lain, rasanya seperti mengintip rahasia orang lain.
Mungkin ini video yang dimaksud, karena aku cukup bingung, dalam galeri tidak ada judulnya. Aku menatap layar, di mana video yang memperlihatkan selembar kertas bertuliskan Vanessa.
Kusentuh tepat di video itu. Pertama yang kulihat, secarik kertas yang tengah dipegang seseorang. Lalu perlahan, kertas itu disingkirkan dari layar HP.
Mataku membelalak maksimal. Tidak mungkin! Aku melihat diriku sendiri tengah tersenyum. Ada apa ini?
"Hai, La. Aku yakin, sekarang kamu pasti kaget banget."
Aku merasa tidak asing dengan suaranya, benar-benar mirip suaraku. Dan itu adalah wajahku.
"Tenang, La, kamu nggak sedang mimpi. Tapi, kalau pengen bukti, coba cubit tanganmu deh."
Aku mendengarnya terkekeh, tapi tak urung kucubit juga punggung tanganku. Sakit. Berarti ini memang bukan mimpi.
"Terus terang, sekarang aku deg-degan, La. Kaya orang yang baru bikin pengakuan dosa." Terdengar suara tawanya yang renyah. Memang wajahnya sangat mirip denganku, tapi ekspresi dan binar itu tak ada pada diriku.
"Pertama, kenalkan ... akulah Vanessa. Aku tahu, wajahku sama persis dengan kamu. Karena tubuh kita memang satu, La."
Apa dia bilang? Tubuh kami sama? Dia terdiam cukup lama. Memberiku waktu untuk menatap wajahnya. Refleks mataku mencari kesamaan kami. Piyama yang aku pakai sekarang, sama persis dengan miliknya. Bahkan dia berada di kamarku.
"Ndak mungkin."
"Aku adalah altermu, La. Aku adalah kepribadianmu yang lain. Aku adalah sosok yang kamu ciptakan."
"Ke-kepribadian yang lain?" aku membeo ucapannya, "A-apa maksud Vanessa?"
"Sudah hampir dua puluh tahun, dengan tanpa sadar kamu sudah menciptakan aku. Setahun sejak kamu ngelihat Papi Dewo selingkuh, aku muncul sebagai kepribadianmu yang kedua. Aku selalu muncul di saat kamu lemah. Aku muncul karena kamu melarikan diri dari masalahmu."
"A-apa maksudnya Mala ini sakit jiwa? Ma-mala gila?"
"Aku nggak tahu apa yang terjadi pada diri kita. Yang aku tahu, kamu punya kepribadian ganda. Kamu–Kumala–adalah inangnya, pemilik asli tubuh ini, orang yang menciptakanku. Sedangkan aku–Vanessa–hanyalah benalu. Aku menumpang hidup di tubuhmu.
Aku bisa tahu semua yang terjadi padamu, La. Aku ikut merasakannya walau secara tidak langsung, tapi ... kamu nggak tahu tentang diriku. Aku sayang banget sama kamu, La.
Kalau bisa, aku mau menggantikanmu di saat seluruh masalah itu menimpamu. Tapi, nggak mungkin bisa. Jadi, yang bisa aku lakukan selama ini, hanyalah menguatkanmu.
Kamu ingat nggak, terkadang kamu mengalami hal-hal aneh, kayak bangun tidur di teras, atau rambutmu jadi keriting kayak sekarang ini, atau nemuin barang yang bukan milikmu, dan berbagai hal aneh lainnya. Itu karena aku, La. Kadang aku sengaja melakukannya, biar kamu bisa mengenal sosokku di hidupmu."
Aku menyentuh rambutku yang memang berubah keriting lagi. Namun, aku masih bingung dengan penjelasan wanita itu. Aku tidak tahu harus memanggilnya apa. Kalau memang apa yang dikatakannya benar, berarti aku dan Vanessa itu satu. Tidak mungkin!
"La, kumohon jangan lari. Cobalah untuk menerimaku. Aku nggak pernah berbuat jahat padamu. Selama ini, aku nggak ikut campur sama hidupmu, aku menjalani peranku sendiri. Aku nggak pernah merugikanmu. Kamu bisa tanya sama Mami ... hm, maksudku Bunda."
Bahkan Bunda sudah tahu? Tentu saja. Kemarin Bunda memanggilku Vanessa. Berarti ....
"Kamu inget suara yang kamu dengar, tapi nggak ada orangnya? Itu lho kayak pas kamu mau bunuh diri di kereta atau pas kita pindah Jogja? Nah, itu aku. Aku kadang bisa ngajak komunikasi kamu, tapi kamunya yang nggak sadar.
Banyak yang ingin aku ceritakan ke kamu, La. Setiap detik yang telah kulewati dalam hidupku, ingin kubagi denganmu. Tapi, sayangnya memori androidku nggak bisa nyimpen video durasi panjang nih.
Kamu bisa tanya ke Mami atau Kirana. Cuma mereka yang tahu siapa aku sebenarnya. Sedangkan yang lain, mereka cuma kenal salah satu dari kita aja.
La, coba deh kamu duduk di depan kaca rias. Mungkin kamu bisa ngelihat aku. Tapi, please ... kumohon kamu jangan kaget trus lari ya, kalau kamu bisa lihat aku.
Aku nggak bisa lama-lama, La, takut kepotong gara-gara memori HP. Udahan dulu ya. Inget ya, La, apa pun yang terjadi dalam hidupmu, aku selalu ada untuk menguatkanmu. Aku selalu menemanimu. Karena walau kita dua sosok yang berbeda, tapi kita adalah satu. Mpe ketemu lagi, La. Bye."
Aku masih terpaku menatap layar HP. Tidak dapat kupercaya. Aku mengidap kelainan? Aku berkepribadian ganda? Bagaimana mungkin bisa. Atau jangan-jangan, aku punya saudara kembar?
Aku beranjak dari tempat tidur, ingin mencari tahu kepada Bunda tentang semua ini. Saat melewati meja rias, langkahku terhenti. Apa benar aku bisa melihatnya melalui kaca? Kalau benar bagaimana, apa yang harus aku lakukan?
"Nggak apa-apa, La. Aku bukan hantu, jadi nggak usah takut."
Suara itu, apa Vanessa berusaha berkomunikasi denganku? Aku menatap ke cermin. Hanya ada aku, itu wajahku, itu mataku, itu bibirku. Tidak ada perubahan seperti dalam video tadi.
Aku lebih mendekat lagi, duduk di kursi depan meja rias, seperti yang dikatakan Vanessa.
"Apa kamu ada di sana?" gumamku ke arah cermin.
Wajahku tersenyum lebar, tanganku melambai, mataku berbinar riang. Itu bukan diriku.
"Hai, La. Kamu bisa melihatku? Bisa ngerasain bedanya?" tanya Vanessa sambil mengernyitkan hidungnya.
Ternyata wajahku bisa berekspresi lucu seperti itu. "Va-vanessa?"
"Nggak usah takut, La. Aku ini bukan kuntilanak. Mana ada kuntilanak secantik ini coba." Tawa yang renyahnya kembali terdengar, dan itu berasal dari pita suaraku.
"Mala masih ndak percaya. I-ini ... ba-bagaimana ini bisa ...."
Vanessa memutar bola matanya, bibirnya monyong, terlihat frustasi, tapi lucu. "Kan aku udah bilang, aku nggak ngerti. Tahu-tahu pagi itu aku bangun tidur udah jadi kayak begini. Aku menamai diriku Vanessa, karena aku bukan Kumala. Eh, bukannya aku nggak suka sama kamu lho, malahan aku sayang bingits sama kamu."
Vanessa bisa bicara selancar itu, tapi aku selalu tergagap bila gugup. "A-apa setiap hari, ki-kita bertukar tempat seperti ini?"
"La, jangan membanding-bandingkan kita, aku bisa baca pikiranmu. Ingat, diri kita ini unik, aku punya kelebihan dan kelemahan, begitu juga kamu."
"A-apa kamu tahu semuanya?" tanyaku ragu.
Vanessa mengerutkan dahinya. "Maksudmu semua peristiwa yang kamu alami?"
Aku mengangguk, lalu Vanessa melanjutkan ucapannya, "Ya iyalah, semuanya kecuali saat kamu ngelihat Mami bertengkar sama Papi. Aku belum lahir tuh. Aku tahu waktu kamu ... maaf, diperkosa. Aku juga tahu tentang Adira. Cuman aku belum begitu ingat kejadian dengan Bumi dan kecelakaan Satria."
Kulihat Vanessa menutup mulut dengan telapak kanannya. "Mas Bumi? A-ada apa dengan Mas Bumi? Si-siapa Satria? Ma-mala ndak inget, tapi kenapa kamu tahu?"
"La, dengerin aku. Kumala, lihat aku!" bentak Vanessa saat aku menundukkan wajah. "Kamu harus kuat, La. Jangan sembunyi lagi. Hadapi kenyataan, walau sepahit apa pun. Aku tetap di sini, kamu nggak lagi sendirian."
Ada apa sebenarnya? Benar juga, aku tidak melihat Mas Bumi, dia juga tidak menghubungiku. Ada apa ini? Kenapa tubuhku menggigil ketakutan? Apa yang kucoba lupakan? Apa lebih parah dari ... perkosaan itu?
"Kumala! Aku bilang jangan lari!"
Aku memicingkan mata sembari menarik napas panjang, mengatur detak jantungku yang memburu. Kubuka mata demi melihat orang yang membuka pintu kamarku. Pasti teriakanku mengagetkannya.
"Kumala sembunyi lagi, Mi."
***
Mohon kritik saran komen dan votenya ya...
Solo, 9 Februari 2017
Edit,
Solo, 01 September 2018
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top