PART 2
Tahun 2006
Pagi ini matahari sepertinya tak berniat bangun dari tidur lelap. Hingga pukul 09.00 pun, awan gelap masih setia menggantung di langit kota Solo. Bahkan butiran-butiran air mulai menetes perlahan dari wajah Sang langit.
Aku duduk di baris paling belakang dekat jendela kelas. Memandang tetes demi tetes air jatuh dari atap yang menimpa pohon dahlia. Bunga yang tengah mekar sempurna itu tetap memancarkan keelokannya, tak terpengaruh suasana kelabu di sekitar. Bahkan dengan kelembutannya, menularkan keceriaan di hari hujan seperti ini.
Namun, buatku tidak ada yang berbeda. Hatiku telah terbentengi dinding baja beton tak bercelah. Seceria apa pun keadaan di luar benteng, sama sekali tak berpengaruh pada hatiku.
Aku mendengkus, mengejek diri sendiri. Mana ada gadis empat belas tahun terlihat menanggung beban berat di kepala seperti aku. Aku tersenyum miring menatap pantulan diri dari kaca jendela.
"Ka-kamu kelihatan tua, La," gumamku lirih.
Aku lebih nyaman bicara dengan diriku sendiri ketimbang mencari seorang teman. Bukan berarti aku gila. Hanya menjaga diri saja. Semakin dekat dengan seseorang, maka kemungkinan tersakiti pun semakin besar. Dan aku tidak suka rasa sakit itu. Jadi lebih baik aku menjauh.
Biar saja orang mau bicara apa tentang diriku. Seperti saat ini, aku tahu anak-anak di luar sedang membicarakanku. Tak masalah, toh aku juga tidak dirugikan.
"Kalian tau Kumala ndak, tadi aku lihat dia sok kecantikan banget. Sebel aku sama gayanya," ucap seorang gadis yang suaranya kukenali-Fitri, teman sekelasku.
"Ho-oh, kemarin aku juga lihat dia nggodani Pak Eko waktu pelajaran olah raga. Pengin tak cakar-cakar mukanya," sahut yang lainnya. Aku berusaha menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang bicara.
"Mosok? Lha, aku juga lihat dia merayu anak 3-C. Njijiki tenan kelakuannya," tambah Fitri.
"Iyo, Fit. Nurun dari ibunya yang janda gatel itu kali yo. Aku dengar, ibunya baru deket sama teman kerjanya juga, lho." Aku bisa menebak, salah satunya adalah Susi.
"Dari mana kau tahu, Sus?" Nah, kalau ini Butet dari Medan. Aku hafal logat bataknya yang kental.
"Lha, 'kan ibuku juga kerja di sana. Hubunganya sama Pak Kusnandar wes jadi gosip. Ibu sama anak podho wae, suka menggoda cowok," ucap Susi.
Si Butet pun turut urun gosip, "Betul-betul tak kusangka. Kulihat itu orang pendiam kali, ternyata kelakuannya minus."
"Aku pernah melihat Kumala di daerah Mangkunegaran. Boncengan motor sama om-om. Kemayuuu, mukanya dandan. Rambutnya dikeriting. Ndak tahu ngapain dia di sana, kan dari sini jauh."
"Lha, kamu sendiri ngapain ke sana, Sus?"
"Aku nemeni bapakku beli raket di daerah Mangkunegaran. Setahuku kan ibune Kumala udah cerai. Jangan-jangan, Kumala bisa di'pesan'."
Aku memicingkan mata. Walau bukan sekali ini aku menjadi bahan pembicaraan teman-teman sekelas, tapi tetap ada emosi yang bergejolak dalam hati. Marah, sedih, kecewa, benci semua campur aduk jadi satu.
Namun, aku hanya diam. Bukan karena aku menerima segala tudingan miring itu, tapi karena aku tidak tau harus bersikap bagaimana. Pun tidak mau untuk repot-repot mengadakan konferensi pers tentang kepribadianku. Aku-yang bahkan tidak mampu untuk mengekspresikan perasaan ini-dianggap sombong, kemayu, penggoda cowok. Apalagi kalau aku melawan mereka, tak bisa kubayangkan.
Aku ini tidak seperti yang mereka tuduhkan. Sikapku yang terlalu menutup diri dan jarang bergaul, memang membuat orang lain tidak dapat meraba bagaimana aku sebenarnya.
Mereka hanya melihatku dari luar. Memangnya kenapa kalau tubuhku tak terlihat seperti anak kelas 2 SMP? Aku termasuk anak yang bongsor, tinggiku sudah 158 senti. Apalagi dadaku-yang membuat aku tidak PD-sering menjadi bahan keirian mereka. Mereka sering bilang kalau dadaku besar karena sering dipegang orang. Mereka bilang pinggulku sudah seperti bukan perawan. Mereka mencap diriku bisa dipakai, hanya karena tampilan luarku saja. Padahal bukan inginku diberi fisik seperti ini.
Tunggu dulu. Susi pernah melihat aku di Mangkunegaran? Ya, tidak mungkin itu aku. Lha wong, jarak rumahku ke sana hampir satu jam. Mungkin Susi salah lihat, tapi mbok yo tidak usah berbohong, kalau demi ngerasani aku.
Tadi Susi bilang juga tentang Kusnandar. Memang akhir-akhir ini sikap Bunda berubah jadi senang bersolek, sering senyum-senyum sendiri, bahkan jarang marah. Walau masih cuek dan sering ketus padaku. Beberapa kali, aku memergoki Bunda pulang kerja diantar seseorang. Namun, Bunda bilang dia cuma teman kerja.
Aku tidak melarang Bunda dekat dengan laki-laki. Bunda berhak bahagia, usianya belum genap empat puluh tahun. Bunda pun masih terlihat cantik. Tubuhnya masih terawat. Aku tahu, Bunda pasti ingin bahagia. Dan itu pula yang aku inginkan untuknya.
Lagipula siapa aku ini, sampai berani mengatur Bunda? Bagi Bunda, aku hanya benalu. Sejak Bunda bercerai dengan Ayah tiga tahun lalu, bisa dihitung jari berapa kali kami ngobrol. Bahkan setelah diingat-ingat, Bunda tak pernah lagi memelukku. Mungkin terdengar berlebihan, tapi terkadang aku benar-benar butuh kasih sayang Bunda. Bukan sekedar materi.
Aku kembali menatap rintik hujan yang semakin deras, membuat perasaan lebih tenang. Berusaha menekan setiap emosi yang menurutku tidak penting. Berharap bisa melunturkannya dalam guyuran hujan di luar sana.
***
Aku melirik jam dinding di ruang keluarga. Sudah hampir pukul 22.00, tapi Bunda belum juga pulang. Biasanya lepas Magrib atau paling lambat pukul tujuh malam, Bunda sudah leha-leha di depan TV. Terkadang sudah berbaring di kamar. Terlebih ini hari Sabtu, jam kerjanya lebih sedikit.
Samar-samar kudengar deru motor berhenti di depan rumah. Dengan mengendap-endap, aku mengintip ke luar jendela. Terlihat Bunda turun dari boncengan motor. Itu kan laki-laki yang sering mengantar jemput Bunda. Aku kenal dengan merk motornya, tapi baru kali ini aku dapat melihat sosok pria itu dengan jelas.
Secara tak sadar aku menilai laki-laki itu. Walau dengan penerangan seadanya, aku bisa menebak umurnya di atas empat puluh tahun. Tubuhnya tak begitu tinggi, bahkan kalah bila dibanding Bunda. Dan, terlihat kurang bisa menjaga penampilan. Perutnya buncit, rambutnya terlihat belum keramas, dan jerawat terlihat menghiasi wajahnya yang berminyak.
Aku bergidik jijik melihat laki-laki itu mencium Bunda. Lebih baik aku kembali ke kursi depan TV.
"Lho, kamu belum tidur?" Bunda sedikit terkejut saat membuka pintu depan dan melihatku masih menonton TV.
Alih-alih menjawab, aku malah sibuk memandangi laki-laki yang mengekor Bunda ke dalam rumah. Kali ini aku bisa lebih jelas menilai penampilan teman Bunda itu. Penilaian awalku tadi, tidak ada yang salah. Ditambah kemejanya berantakan, kusut seperti tak pernah dicuci apalagi disetrika. Beberapa helai rambutnya telah memutih. Entah karena pengaruh usia atau cat rambutnya yang sudah memudar.
"Mala, sini! Bunda kenalin sama Om Kus," panggil Bunda seraya melambaikan tangan.
Demi kesopanan, aku menghampiri mereka yang tengah duduk di ruang tamu.
"Ini Kumala? Wah, sudah besar, ya." Tatapannya seolah menelanjangi diriku, dari ujung rambut hingga kaki tak ada yang terlewat secuil pun.
Aku merasa tidak nyaman, terlebih seringainya membuat bulu kuduk berdiri. "Ku-Kumala," ucapku lirih sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan lelaki itu.
Aku terkejut, mata membeliak, saat Om Kus menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Aku berusaha melepaskan diri, tapi genggaman tangan dan dekapan itu terlalu erat. Aku dorong tubuh gempal yang kini mulai kurang ajar. Kutatap Bunda, berharap dia menyadari ketidaknyamananku.
"Mas Kus, sudah dong. Malanya, kan, belum terbiasa, dia memang sulit untuk cepat akrab."
Aku langsung beringsut menjauhi Om Kus begitu dekapannya mengendur. Aku tidak suka sikap Om Kusnandar. Titik. Dari pandangan pertama saja sudah membuatku tidak nyaman. Dan lagi, ada suatu rasa was-was setiap melihat kerlingan serta senyum pria itu.
"Om Kus ini teman kantor Bunda, La." Bunda seolah tidak mempermasalahkan sikap Om Kus yang menurutku sudah tidak sopan.
"Iya, La. Bundamu sering cerita soal kamu. Dan ternyata benar, kamu cantik. Nggak kelihatan kalau masih kelas 2 SMP." Lagi-lagi mata itu menatap tiap jengkal tubuhku.
"Iya dong, siapa dulu bundanya." Bunda terkikik mendapat cubitan kecil di hidungnya.
Aku tidak suka sama dia. Aku harus bilang Bunda supaya tidak dekat-dekat sama Om Kus. Aku tidak mau hubungan Bunda dan Om Kusnandar melangkah ke jenjang yang lebih serius.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Mira Lestari binti Atmodirejo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya Pak Penghulu.
"Saaaah," ucap saksi kompak.
Aku hanya bisa menghela napas berat. Bunda telah sah menjadi istri Om Kusnandar, dan secara tidak langsung kini juga sebagai ayah tiriku. Aku sudah berulang kali meminta Bunda untuk menjauhi Om Kusnandar. Awalnya Bunda tidak keberatan dengan permintaanku, untuk menjauh dari pria itu. Dan memang, untuk beberapa saat Om Kus tidak pernah terlihat mengantar atau menjemput Bunda.
Namun, tidak sampai seminggu aku memergoki pria itu di depan rumah sedang memeluk Bunda. Saat itu aku masih berusaha membujuk Bunda. Namun, dengan tegas Bunda menolak permintaanku. Hingga puncaknya tiga bulan lalu, perselisihan tentang Om Kus meledak.
"Om Kus itu orang baik, Mala. Kamu yang harus membuka pikiranmu. Tidak semua laki-laki itu bajingan seperti Dewo. Bunda yakin, semua pikiranmu itu keliru! Lha wong Bunda kenal sama Om Kus itu sudah lama. Wes, kamu tidak usah mikir aneh-aneh. Kamu mau melihat Bunda senang apa tidak?"
Aku mengangguk. "Tentu saja Ma-mala pengin Bunda senang, malahan itu yang selalu Mala minta sama Tuhan. Mala sama sekali ndak melarang Bunda nikah lagi, ta-tapi bukan sama Om Kus."
"Terus sama siapa? Kamu nyuruh Bunda balik sama Dewo?" Bunda mulai kesal denganku.
"Ma-maksud Mala juga bukan sama Ayah, Bund. Ta-tapi yang lainnya, Mala yakin Bunda bisa dapat yang-yang lebih baik dibanding Om Kus."
"Kamu itu kenapa, Mala? Selalu berpikiran jelek sama orang. Om Kus itu baik, perhatian. Dia yang nemenin Bunda waktu ayahmu itu bikin hidup kita sengsara. Kamu pikir siapa yang mbantuin Bunda biar tetap semangat? Ya, Om Kus. Lha, kok kamu malah menjelek-njelekkan dia." Bunda menatap tajam langsung ke manik mataku.
"Ta-tapi, Bund-"
"Cukup, Mala! Bunda tidak mau dengar rengekanmu lagi!" seru Bunda dengan tegas, memotong ucapanku.
"Kamu setuju atau tidak setuju, Bunda tetap akan menikah sama Om Kus. Titik. Kalau kamu masih tidak suka, terserah! Mending kamu ikut Ayahmu itu," lanjutnya dengan emosional.
Aku tidak menyangka, demi laki-laki itu Bunda sampai hati berkata sedemikian rupa. Sebegitu tidak berharganya aku di mata Bunda. Bahkan Bunda lebih memilih Om Kus dibanding aku yang anak kandungnya. Aku tidak tahu lagi mesti bagaimana. Cuma Bunda yang kumiliki. Apa jadinya kalau Bunda pun sudah tidak mau sama aku lagi?
Kecewa. Sedih. Entah apa lagi yang kurasakan. Hanya satu hal yang bisa kulakukan, mengalah. Cukup dengan menekan perasaan, membuang semua keinginan, melupakan seluruh impianku demi kebahagiaan Bunda.
"Mala!" Teguran Bunda membuyarkan lamunanku.
Aku kembali tersadar. Saat ini aku tengah berada dalam pesta pernikahan Bunda dengan Om Kus. Rasanya, aku ingin menenggelamkan diri di dalam kubangan lumpur. Menghilang dan tak perlu lagi berpura-pura menutupi perasaan.
"Temui tamu-tamu di depan. Kasih salam dan bilang terima kasih. Bunda malu melihat kamu cuma diam saja di sini, kayak Bunda tidak pernah mengajari kamu tata krama," desis bunda.
"Ya, Bund." Menurut, menerima, tidak protes. Hanya itu yang aku lakukan. Tak ada bedanya seperti boneka hidup. Tidak berjiwa, hanya bergerak berdasar perintah si empunya. Tak berekspresi, datar tidak ada emosi.
Aku melirik sekilas ke tengah pelaminan. Bunda begitu gembira, senyum selalu menghiasi wajahnya. Yang penting Bunda tidak sedih lagi. Semoga Om Kus benar-benar bisa membahagiakan Bunda.
Susah payah, aku menarik senyum, berbahagia atas pernikahan Bunda dan Om Kus. Saat ini aku hanya memikirkan kebahagiaan Bunda. Aku tidak apa-apa kalau Om Kus jadi ayah tiriku, yang penting Bunda tidak sedih lagi.
***
Solo, 22 Januari 2017
Edit
Solo, 05 Juni 2018
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top