PART 17

Aku benar-benar lelah. Terlalu banyak hal yang kualami hari ini. Pertama, Bryan. Lalu, Bumi. Rasanya seperti naik rollercoaster, perasaanku naik turun secara ekstrem.

Setelah Kirana mengantarkanku pulang–akhirnya aku bisa memberitahu di mana rumahku–aku merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamar. Kira-kira apa yang bakal terjadi, ya.

Bumi bukanlah orang yang hanya sekadar numpang lewat di hidup Kumala. Dia lah yang menyebabkan Kumala melarikan diri seperti ini. Aku yakin kemunculannya akan berdampak padaku dan Kumala. Dan aku takut.

Di satu sisi aku tetap ingin hidup sebagai Vanessa, tapi di sisi lain aku tahu ini salah. Tubuh, kehidupan dan semua ini milik Kumala. Jujur, aku menyayanginya. Aku merindukan kehadiran Kumala. Aku kangen berinteraksi dengannya. Yah, walau dia belum menyadari kehadiranku.

Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 18.00, aku belum mandi. Rasanya pliket dan bau, tapi kok mager. Coba ada Kumala di sini, aku kan bisa tidur, dan dia yang mandi. Aku tersenyum curang.

"Aku kangen sama kepolosanmu, La. Ayo dong, ke luar. Tunjukin lagi eksistensimu. Apa kamu tahu, tadi aku ketemu sama Bumi. Iya, Mas Bumi-mu itu. Apa kamu nggak kangen sama dia, La? Apa kamu nggak pengin tahu kejadian yang sebenarnya? Terkadang apa yang kita pikirkan itu jauh dari kenyataannya lho," gumamku lirih.

"Nes." Kudengar Mami memanggilku dari luar.

"Ya, Mi?" Sumpah, aku males berdiri. Mau gerak saja rasanya berat.

Aku mendesah lega, saat melihat Mami membuka pintu. Syukurlah, Mami yang berbaik hati masuk kamar. Tebak-tebakan, pasti Mami cuma berdiri di dekat pintu, dan ngelihatin aku dari sana.

Aku tertawa tertahan, sampai perutku berasa kencang. Bener-bener nggak punya gaya lain, ya, mamiku ini? Sekali-kali masuk terus duduk di kasur kek, atau jongkok kek, atau jalan kayang. Okay, aku mulai lebay.

"Ada apa, Mi?" Aku bangun dari posisi tiduran, lalu duduk bersila di pinggir ranjang.

"Harusnya Bunda yang tanya 'kan. Ada apa sama kamu? Bunda lihat, pulang dari pergi tadi, kok jadi murung."

Wuow, kemajuan pesat. Mami sekarang begitu perhatiannya sama aku.

"Aku ketemu Bumi, Mi," jawabku singkat. Aku menunggu reaksi Mami.

"Lalu?"

"Ya aku pura-pura nggak kenal, Mi. Dia juga kayaknya masih ragu, apa aku Kumala atau bukan."

"Nes, sebenarnya apa yang terjadi antara Kumala dan Bumi? Apa benar kamu tidak tahu?" Mami bertanya lagi tentang hal itu.

Sejak kecelakaan yang merenggut nyawa Satria, Mami selalu bertanya padaku tentang penyebabnya. Dan selalu aku jawab tidak tahu. Aku sendiri masih bingung dan belum yakin, apa hubungan Bumi dengan semua ini. Saat itu, aku masih belum sadar dari tidur panjangku. Namun, aku yakin–benar-benar yakin–bahwa Bumi ada sangkut pautnya.

Hanya ada beberapa potong adegan yang bisa kutangkap saat itu. Bumi sedang dinas entah di mana, lalu Kumala meneleponnya. Entah apa yang terjadi, aku hanya menangkap suara perempuan. Lalu Kumala nekat membawa mobil, dan kecelakaan itu pun tak terelakkan lagi.

Hingga kini, aku masih dihantui oleh kata-kata yang selalu terngiyang di benakku. Seperti 'kamar mandi', 'kamar', 'Rizky' dan 'tidur'. Benar-benar membuatku bingung.

"Mi, aku sendiri belum yakin, ada hubungan apa antara Bumi dengan menghilangnya Kumala. Apa benar dia yang menyebabkan semua ini? Apa yang kita lakukan selama ini, dengan menjauhkan sosok Bumi dari Kumala sudah benar? Benarkah cara ini membuat Kumala membaik atau jangan-jangan, memperparah Kumala? Nyatanya dua tahun Kumala masih belum mau muncul. Aku jadi ngerasa egois, Mi."

Mami menyandarkan tubuhnya di kosen pintu. Sepertinya Mami ngalamun, nggak tahu mikirin apa. Wajahnya terlihat mulai berkeriput, garis senyum dan lipatan di bawah matanya pun semakin kentara. Terkadang aku lihat Mami termenung sambil mengedutkan keningnya.

"Bunda mendengar Kumala mengigau di ICU, dia–"

"Assalamu'alaikum ...."

Suara ketukan di pintu depan serta ucapan salam, membuat kami berdua terdiam. Sama-sama mendengarkan lagi, apa benar ada tamu atau hanya salah dengar.

"Assalamualaikum ...."

"Tamu, Mi." Aku hanya menyuarakan apa yang ada di pikiran kami.

Aku sudah mau berdiri, tapi Mami mencegah. "Biar Bunda saja."

Aku mengangguk, membiarkan Mami yang membukakan pintu. Sudah pukul 19.00, paling orang RT atau Kelurahan. Nggak mungkin temanku atau Mami.

Lebih baik mandi, biar segeran. Habis itu maraton nonton DOTS sampai pagi. Penasaran banget, semalem baru sampai episode 7. Pokoknya malam ini harus tamat. Gara-gara Kirana, aku jadi ikutan kepincut sama oppa-oppa korea.

Aku berdiri, melangkah menuju rak handuk di dekat dapur. Saat melintas di dekat ruang tamu, secara tak sengaja aku mendengar percakapan Mami dengan tamunya.

"Untuk apa kamu ke sini lagi?" Suara Mami terdengar dingin. Siapa sih yang di depan?

"Mohon maaf, Bunda. Saya hanya ingin bertemu dengan Kumala."

Astaga! Itu Bumi. Aku segera bersembunyi di balik bufet TV. Jangan sampai Bumi melihatku.

"Aku sudah sering bilang. Kumala tidak ada di sini. Dia sudah pindah ke luar kota. Lagi pula, dia tidak mau bertemu denganmu." Dengan tegas Mami menolak permintaan Bumi.

Selama dua tahun, baru kali ini aku melihat langsung kedatangan Bumi ke rumah. Biasanya dia datang waktu aku nggak di rumah. Kata Mami, Bumi nggak bosen membujuknya agar dipertemukan dengan Kumala.

"Tadi saya melihat Kumala di minimarket sekitar Kulon Progo, Bund. Apa dia sekarang di sini? Saya benar-benar ingin bertemu dengannya. Kami harus bicara, Bund. Saya mohon," pinta Bumi dengan suara memelas.

"Kumala itu sudah benci sama kamu, Bumi. Entah apa yang sudah kamu lakukan, dia bilang kamu jahat. Aku yakin, kamu penyebab kecelakaan Kumala. Kamu juga yang sudah membuat cucuku, Satria, meninggal."

Terdengar embusan napas tertahan. "Oleh karena itu, saya harus bicara dengan Kumala, Bund. Saya tidak tahu apa salah saya, sampai membuat dia sebenci ini terhadap Saya."

"Sudah aku bilang beratus kali, dan kalaupun kamu tanya setiap hari pun, jawabanku tetap sama. Aku tidak tahu alasan Kumala pergi." Mami mulai terdengar tidak sabar.

"Saya masih suami sah Kumala, Bund. Saya berhak tahu apa yang terjadi dalam keluarga kami."

"Berhak kamu bilang?! Setelah Satria mati lalu Kumala sekarang menghilang, kamu masih berani menuntut hakmu?" pekik Mami kesal.

"Sampai sekarang, saya masih mencintai Kumala, Bund. Saya juga sangat terpukul dengan kematian Satria. Bagi saya, Satria sudah seperti anak kandung saya sendiri. Tidak mungkin saya berbuat jahat apalagi melukai mereka," balas Bumi dengan tegas.

Dari suaranya, aku tak mendengar nada bohong. Terasa sangat tulus. Aku jadi bingung, benarkah Bumi penyebab Kumala kecelakaan.

"Saat itu saya sedang di Jakarta. Bunda pun sudah tahu akan hal itu. Jadi, mana mungkin saya melakukan suatu hal yang melukai mereka," lanjut Bumi.

Rasanya aku ingin ke luar, menampakkan diri, dan mencari tahu kebenarannya. Namun, di lubuk hatiku, masih terselip ketakutan. Aku takut kalau aku menghilang lagi.

Picik banget aku ini. Bisa-bisanya punya pikiran seperti itu. Seharusnya aku bersyukur sudah diberi kesempatan untuk merasakan kehidupan semu yang terasa nyata.

"Wes cukup! Aku tidak mau melihatmu lagi wira-wiri ke sini. Sekarang mending kamu pulang saja."

Aku tidak bisa melihat mereka, tapi kudengar seseorang memundurkan kursinya. Mungkin Bumi mau pamit. Aku beringsut pelan. Tanpa sengaja kakiku menyenggol tempat payung hingga jatuh.

Aduuuh ... Bumi curiga nggak ya. Aku memejamkan mata, menunggu reaksi mereka.

"Bund, itu Kumala?" Nah, kan. Bumi pasti mikir begitu.

"Bukan, itu tikus. Sudah sana kamu pulang. Aku capek!"

Aku berjinjit ke dalam kamarku, menunggu sampai ada tanda aman dari Mami. Untung saja tadi Bumi nggak sadar. Bagaimana kalau dia mulai curiga? Jangan-jangan besok dia balik ke sini lagi.

Aku terduduk di pinggir tempat tidur, menopangkan kedua siku ke lutut. Menyurukkan wajah ke dalam telapak tanganku. Aku merasa begitu capek, tubuhku lemah. Apa karena hari ini terlalu banyak hal yang telah terjadi? Atau jangan-jangan ....

"Vanessa."

Aku berjingkat kaget saat Mami memanggilku. Aku mengangkat wajahku demi menatapnya. "Sudah pulang, Mi?"

Mami mengangguk. "Kamu terlihat pucat, Nessa."

"Mi, kalau aku menghilang seperti Kumala, apa Mami bakal kangen sama aku?"

Kening Mami berkerut, mungkin bingung dengan pertanyaanku yang aneh. "Kamu ngomong apa, Nessa."

"Apa artiku buat Mami? Apa hanya semacam penyakit yang menempel di tubuh Kumala?" tanyaku lagi.

"Pertanyaan apa itu, Nessa. Kamu terlalu capek hari ini. Sudah sana tidur," ucap Mami sebelum berbalik untuk meninggalkan kamarku.

Aku berjalan cepat, lalu memeluk pinggang Mami dari belakang. Aku tahu ini aneh, tapi aku pengin banget dipeluk Mami.

"Aku sayang Mami. Kalau nanti sewaktu-waktu aku pergi, tolong jangan lupain aku ya, Mi." Air mataku sudah menetes di kedua pipi.

Mami menepuk tanganku pelan. "Bunda juga sayang sama kamu."

Kudengar suara Mami serak. "Benarkah, Mi? Kalau misal Mami disuruh milih, Mami pilih aku atau Kumala?"

"Nessa, kamu dan Kumala sama-sama anak Bunda. Jangan pernah tanya hal aneh seperti itu, karena Bunda tidak bisa memilih di antara kalian."

Tangisku semakin menjadi. Ya Tuhan, maafkan keegoisanku ini. Aku tidak boleh seperti ini. Tubuh dan kehidupan yang saat ini kujalani adalah milik Kumala. Aku harus ikhlas melepaskannya, kapan pun sang pemilik ingin mengambilnya.

***

Solo, 6 Februari 2017

Edit,
Solo, 24 Agustus 2018

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top