PART 15
Tahun 2012
Bosen! Sudah seminggu aku harus tiduran di atas kasur. Rasanya kepengin banget untuk ke luar rumah sekadar menghirup udara segar, tapi nggak mungkin bisa. Kondisi tubuh ini nggak memungkinkan.
Pergelangan tangan kiriku masih berdenyut nggak karuan. Sial! Bagaimana mungkin aku bisa lengah. Sampai nggak sadar akan niatnya untuk bunuh diri. Dan sekarang, aku yang kena batunya. Terpenjara dalam kamar ini.
Aku mencari handphone yang biasa kutaruh di atas nakas samping tempat tidur. Sejak seminggu lalu aku belum memberi kabar ke Kirana. Bahkan HP-ku saat ini mati, baterainya habis. Aku lupa di mana menaruh kabel charger, sepertinya di laci nakas.
"Aaaw!" pekikku tertahan. Kurasakan nyeri yang menusuk di tangan, saat aku berusaha membuka laci nakas.
Setelah berhasil mencolokkan handphone ke charger, aku mengaktifkannya lalu mencari nomor telepon Kirana. Sudah seminggu, aku nggak ngasih kabar ke cewek cerewet itu, pasti dia khawatir.
Pada dering ketiga, aku bisa mendengar teriakannya dari radius dua ratus meter.
"Astaga, Na. Aku nggak budek kali!" protesku seraya mengusap telingaku yang berdenging.
"Kamu ke mana aja, Nes? Seminggu nggak ada kabar. Ada masalah apa? Kamu sehat kan?" cecarnya.
"Aku nggak apa-apa, Na. Cuma ada sedikit masalah di rumah," jawabku santai.
"Beneran? Tapi suaramu lemes gitu," tanyanya lagi, masih tidak percaya dengan penjelasanku.
"Beneraaan. Aku cuma laper, dari pagi belom makan." Aku milih bohong ke Kirana, timbang dia terus-terusan penasaran.
"Minggu depan aku balik ke Jogja, Nes. Kita ketemuan ya, aku kangen banget. Atau kamu kasih tahu alamatmu, ntar aku maen ke sana."
"Nggak usah, Na. Kita ketemuan di tempat biasa aja," sergahku cepat.
"Kamu itu kenapa sih, Nes? Sudah empat tahun kita temenan, masih belum mau ngasih tahu alamat rumahmu. Kan aku sudah bilang, aku bakal nerima dan nyimpen semua rahasiamu. Nggak usah main kucing-kucingan kek gini," dampratnya kesal.
Aku membetulkan posisi dudukku, menyangga punggungku yang mulai terasa pegel. "Iya-iya, tapi nggak sekarang, Na," desahku lemah.
"Masalahmu berat ya, Nes? Coba cerita sama aku. Mungkin aku bisa bantu."
Aku menarik napas panjang, "Besok pas ketemu aku ceritain semuanya, Na."
"Oke, aku nggak maksa lagi. Yang penting kamu ada kabar, aku jadi tenang," ada jeda sedetik sebelum dia melanjutkan, "Nes, Bryan nanyain kamu terus. Coba kamu hubungi dia."
Aku memicingkan mata, mendengar nama itu membuat dadaku kembali sesak. "Kami udah selesai, Na. Tolong bilang sama Bryan untuk ngelanjutin hidupnya."
Terdengar dengkusan lirih dari sana, "Sebenarnya kenapa kalian putus, Nes? Setahuku, kalian baik-baik aja. Kamu jelas masih sayang sama dia, Bryan apalagi. Kok tahu-tahu kamu minta putus?"
"Ya karena kami udah nggak cocok, Na. Trus aku nggak sanggup LDR-an lagi. Aku kan juga pengen diapelin tiap malem Minggu," jawabku jelas dengan kebohongan besar.
"Bohong banget kamu, Nes. Aku kenal sama kamu. Dan ini bukan Vanessa yang aku kenal!" ucapnya tajam. "Nggak usah pake alasan apel. Kamu nggak pernah ngasih tahu alamatmu ke kami."
"Kamu belum kenal aku, Na. Aku nggak seperti yang kamu kenal selama ini."
"Kalau gitu cerita, Nes! Kamu masih nggak percaya sama aku?"
Aku meraba perutku yang terasa sedikit nyeri. "Nggak sekarang. Aku nggak bisa cerita di telepon. Besok aja pas kamu pulang, aku cerita semua. Aku janji."
"Bener lho, ya. Terus ini Bryan gimana? Tiap hari dia nanya ke aku terus."
"Diemin aja, Na. Bilang aku dah punya gebetan baru gitu." Aku mencoba untuk bercanda, tapi malah terdengar sumbang. "Dah biarin aja, Na. Lama-lama juga diem sendiri."
"Dasar gila ya, kamu mainin perasaan orang tahu, Nes. Aku bisa ngerasain sesakit apa perasaannya."
Kamu pikir perasaanku juga nggak sakit, Na? Aku benar-benar mencintai Bryan. Aku juga sulit untuk melepaskannya.
Sejak pertama ketemu tiga tahun lalu, hatiku rasanya sudah tertambat pada pria berwajah Sunda yang memiliki senyum semanis gula jawa. Melihatnya dalam balutan toga wisuda, lelaki dengan tinggi 174 senti itu berhasil dengan sukses membuatku terpana.
Awalnya aku menolak saat Kirana mengajakku datang ke acara wisuda Mas Bram–kakak kandung Kirana–di UGM. Namun, mulut manis si bawel itu berhasil mengubah pendirianku. Di sanalah aku berkenalan dengan Bryan.
Kehadiran Bryan seperti pendingin ruangan di hatiku, membuatnya adem. Saat itu, Kirana baru masuk fakultas akuntansi di UNDIP. Aku merasa sedikit kehilangan seorang teman, Bryan lah yang selalu ada untukku.
Rasanya sulit sekali untuk tidak menggubris Bryan. Segala yang ada pada diri Bryan sungguh membuatku semakin terperosok dalam jurang cinta. Hingga akhirnya aku tak dapat lagi naik ke tebing. Aku jatuh terlalu dalam.
Aku khawatir, Bryan tidak bisa menerima diriku yang penuh fatamorgana ini. Namun, segala pertimbangan itu kalah oleh cinta yang membuncah di hatiku. Hanya satu harapanku, Bryan dapat mengerti dan menerima segala keanehanku.
Setahun lalu, Bryan berangkat ke Jakarta. Dia diterima bekerja di kantor Pajak Pratama pusat. Walau komunikasi kami lancar, tapi tak pernah ada kesempatan untukku menjelaskan semuanya. Hingga akhirnya, laki-laki brengsek itu hadir.
Benar-benar serigala berbulu domba. Lelaki kurang ajar yang telah melambungkan angan seorang gadis lugu, kemudian dengan kejam membantingnya hingga hancur tak berbekas.
Lelaki yang kupikir dapat memberikan kebahagiaan pada jiwa Kumala yang gersang. Namun, dia malah meremukkannya hingga tak berbentuk.
"Nes, kamu masih di sana?"
Aku lupa, sambungan teleponku dengan Kirana belum terputus.
"Pokoknya, bilang sama Bryan kalau nggak usah hubungi aku lagi. Suruh dia nyari ... cewek lain." Gila! Bisa-bisanya aku ngomong macem itu.
"Ehem ...."
Aku terkejut, Mami sudah berdiri di depan pintu kamar. Menatapku. Entah apa yang dia pikirkan, aku nggak bisa membaca ekspresinya.
"Sori, Na. Ntar aku telepon lagi ya," ucapku sebelum mengakhiri sambungan.
"Kenapa, Mi? Jangan ngelihatin aku sebegitunya, kayak lihat hantu aja deh," ucapku sambil memandang lurus ke manik mata Mami.
Mami masih terdiam, mungkin dia baru mikir harus manggil aku apa. Aku maklum, Mami butuh waktu untuk beradaptasi denganku.
"Bryan siapa?"
Ini ibu-ibu belum berubah. Masih kaku. "Mantan pacarku, Mi," jawabku santai.
Kulihat Mami mengembuskan napas berat. "Kalian putus?"
"Yaelah, Mi. Namanya juga mantan, berarti putuslah."
"Kenapa kalian putus?"
Duh Gusti! Si Mami maksudnya apa coba, pakai nanya kenapa putus. "Ya, nggak mungkin Vanessa pacaran sama Bryan, Mi. Lihat, ini perut tambah besar. Bryan 'kan nggak tahu soal aku dan Kumala."
"Sekarang Kumala mana?"
"Ya, mana aku tahu, Mi. 'Kan habis dia ngiris tangan ini, dia pergi. Nggak tanggung jawab banget memang 'tuh anak. Dia yang ngelakuin ini, tapi kenapa aku yang ngerasain sakitnya coba." Mami menatap pergelangan tangan kiriku yang kuangsurkan ke arahnya.
"Dia ... dia akan kembali lagi atau tidak? Kapan?"
"Aku juga nggak tahu, Mi. Dia sembunyi di pojokan, menutup mata hati dan pikirannya. Semua ini kan salah Mami juga. Coba kalau—"
"Sudah-sudah. Bunda tahu kalau salah, Bunda juga berusaha memperbaiki semuanya." Mami memotong ucapanku. Aku memonyongkan bibir, Mami masih menyebut dirinya Bunda. Padahal aku Vanessa, bukan Kumala.
"Mami masih kurang berusaha. Rangkul Kumala, Mi. Katakan padanya kalau Mami sayang sama dia. Cuma itu yang Kumala butuhkan. Waktu Kumala diusir si brengsek Adira, aku 'kan sudah bilang sama Mami. Kumala butuh kasih sayang. Dia butuh orang yang mampu menguatkannya. Yah, itu juga kalau Mami beneran sayang sama dia," cecarku lagi.
Sudah berkali-kali aku mendamprat Mami, ehm ... mungkin bahasa halusnya ngobrol. Pertama, pas Kumala memutuskan untuk balik ke rumah ini setelah diusir Adira. Aku akhirnya memantapkan hati untuk menampakkan sosokku pada Mami. Kupikir, Mami bakal terkejut nggak percaya atau pingsan gitu. Eh, ternyata cuma menatapku lama trus bertanya, "Jadi kamu siapa?"
Yaelah, tahu gitu kan aku nggak perlu sembunyiin identitasku selama empat belas tahun ini. Mami nggak menolakku, tapi juga nggak menerimaku. Biasa aja. Dan sampai sekarang–sudah tiga bulan sejak Mami tahu–sikap Mami ke aku tetep sama. Mami nggak pernah manggil aku dengan nama Vanessa.
Waktu itu, aku marah-marah tentang sikap Mami selama ini pada Kumala. Aku sudah nggak bisa membiarkannya lagi. Kumala sudah sangat menderita, dan aku ingin Mami tahu akan hal itu.
"Aku Vanessa, Mi," jawabku waktu itu, sebelum melanjutkan pelampiasan amarahku pada mami. "Semua ini karena Mami. Kumala sampai harus menciptakan seorang Vanessa, karena Mami yang tidak pernah menyayanginya. Coba kalau Mami yang berada di posisi Kumala. Apa Mami sanggup? Aku mohon Mami untuk mendukung Kumala, jangan cuma diem saja!"
Entah karena dampratanku atau kesadaran Mami yang mulai pulih, akhirnya sikapnya ke Kumala berubah. Mami selalu ada saat Kumala butuh dukungan seseorang, minimal ada orang di sampingnya di saat dia terpuruk. Mami membantu detail perceraian Kumala dengan Adira. Mami memperjuangkan hak-hak Kumala. Dan aku benar-benar bersyukur untuk itu.
"Kapan Kumala kembali ke tubuhnya?" pertanyaan Mami membuyarkan memoriku.
"Kan aku udah sering bilang, Mi. Nggak tahu kapan. Aku nggak bisa nyuruh dia untuk muncul, karena dia belum tahu tentang keberadaanku. Aku bisa muncul kapan saja aku mau, aku juga bisa hilang kapan saja. Karena aku lebih kuat dibanding dia. Tapi itu kalau dia dalam kondisi normal, maksudku pas nggak ada masalah atau pikiran. Ini dia abnormal, Mi, dia benar-benar lemah. Kumala muncul, ya, kalau dia merasa sudah nggak terancam lagi. Dan aku nggak tahu kapan itu."
"Apa yang terjadi kalau dia tidak mau kembali?" tanya Mami setelah terdiam beberapa saat.
"Ya berarti, selama tubuh ini masih hidup, anak Mami berubah jadi Vanessa. Bukan lagi Kumala. Mungkin lho, ya ... karena aku sendiri juga nggak tahu, Mi."
"Lalu, kalau Kumala kembali? Kamu yg hilang?" pertanyaan Mami membuat dadaku sesak.
Ya, kalau Kumala menjadi kuat maka aku yang harus pergi. "Biasanya sih gitu, Mi, tapi aku masih bisa nongol tuh setiap hari," jawabku sedikit ragu.
Entah kenapa ada gusar yang terselip di hatiku kali ini. Apa karena pengaruh hormon? Bagaimanapun juga, dalam tubuh ini ada jabang bayi yang sedang tumbuh. Walau bukan anakku ... maksudku, ini anak Kumala dan Adira. Namun, tetap saja janin itu tumbuh di tubuh ini. Mau nggak mau aku juga ikut merasakan perubahannya.
Mami sudah keluar dari kamarku. Membiarkanku larut dalam pikiran yang ruwet, tentang bagaimana caranya agar Kumala mau keluar. Dia tidak bisa terlalu lama sembunyi seperti ini. Sudah seminggu.
Untukku sih nggak masalah, malahan seneng. Aku bisa melanjutkan hidup. Kalau pun aku harus membesarkan bayi ini sendirian, nggak masalah. Aku yakin bisa. Namun, bukan berarti Kumala bisa pergi seenak udelnya sendiri begini. Antara penakut dan tidak tanggung jawab itu beda tipis, La!
Aku mengerang, mual ini masih sering menggangguku. Kumala, please, ini kan anakmu. Kenapa harus aku yang ngerasain mualnya.
***
"Kenapa aku masih hidup?"
Aku bisa melihatnya terisak. Meringkuk di atas tempat tidur. Memukuli perutnya. Kumala memang gila. Jangan-jangan dia berniat bunuh diri lagi. Udah dua kali dia berniat mati.
Astaga, apa yang harus kulakukan? Begini ini nggak enaknya jadi pemeran pengganti. Aku bisa tahu semua aktifitas si inang walau aku yang tertidur, tapi sayangnya dia tidak menyadari kehadiranku.
Kali ini aku harus ekstra pengawasan, jangan sampai kebobolan lagi. Hanya saja aku harus berbuat apa. Kalau niat bunuh diri Kumala kuat, aku sama sekali tidak bisa keluar. Waktu menyelamatkannya di rel kereta dulu, cukup menguras tenagaku. Setelah itu aku tertidur seharian, sama sekali tidak tahu apa yang Kumala lakukan lagi.
Kemarin, niatnya untuk mengakhiri hidup sangat tinggi. Aku bisa merasakan diriku tersedot dalam lubang gelap. Membawaku ke dasar terdalam. Aku nggak bisa melihat atau mendengar apa pun. Kekecewaan dan keputusasaan Kumala sangat kuat. Sedangkan jiwaku terasa lebih lemah. Baru sekali itu, aku merasakan kekuatan Kumala yang membuatku benar-benar tertidur.
Syukurlah. Aku menghela napas lega, kulihat Mami masuk ke kamar. Ayo, Mi, katakan sesuatu. Jangan cuma memandang Kumala dari ambang pintu.
"Kumala." Suaranya terdengar ragu. Oh mungkin Mami juga kaget, nggak nyangka Kumala balik ya.
"Mala," panggilnya lagi sambil bergerak mendekati Kumala.
"Ke-kenapa Mala masih hidup, Bund? Ma-mala ingin mati saja. Mala ndak mau hidup lagi!"
Woi, jangan aneh-aneh, La. Aku masih pengen hidup! Aku belum nikah.
PLAAAK!!!
Ouuuch, aku memicingkan mata. Mami menampar Kumala dengan kuat. Untung, saat ini Kumala yang di sana, bukan aku. Rasain tuh, gampar lagi, Mam, biar ini orang sadar.
"Kalau kamu mau mati, mati saja sekalian. Jangan tanggung-tanggung. Terjun dari gedung bertingkat atau menabrakkan diri ke kereta. Bunda tidak akan melarang. Tapi, kalau kamu masih ragu, maka hiduplah! Tegar! Bayi di dalam perutmu itu tidak salah. Dia butuh kamu. Dia berhak untuk hidup."
Aku merasakan gejolak kemarahan dalam diri Kumala. Begitu kuat. Membuatku bergidik ngeri. Kumala begitu marahnya pada Mami. Ya, aku nggak heran. Sikap Mami sudah sangat keterlaluan, nggak pantas disebut sebagai seorang ibu.
Namun, rupanya tamparan dan kata-kata Mami sangat menonjok kesadaran Kumala. Aku merasakan kekuatannya bertambah. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Yang kutahu, semuanya gelap. Aku tak dapat melihat, mendengar atau pun merasakan.
Perlahan memoriku memudar. Tidak mungkin. Ini mustahil. Apa aku akan hilang? Apa aku akan mati?
Energi dari dalam diri Kumala begitu kuat. Menciptakan suatu kumparan, menyedotku ke dalam intinya yang kelam. Perlahan tapi pasti, diriku semakin tak memiliki daya.
Inilah perang Baratayudha yang kutakutkan. Perang kekuasaan. Perebutan eksistensi diri. Kamu curang, Kumala. Aku bahkan belum sempat memperkenalkan diri padamu. Namun, aku sudah harus pergi.
Semoga kamu selalu kuat dan tegar, Mala. Teruskanlah hidupmu. Aku ikhlas harus pergi, asal kau hidup dengan baik. Aku ada karenamu, aku menghilang pun karenamu.
***
Publish lagi publish lagi ....
Sudah ngedit part 15 aja niiih...
Gimana ceritanya?
Kasih kritsarnya, pliiiis...
Solo, 4 Februari 2017
Edit,
Solo, 19 Agustus 2018
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top