PART 14
Tahun 2010
"Na, ayo cepet! Kita bisa telat masuk kelas." Dasar siput, lelet banget. Aku berjalan cepat, lima meter di depannya.
Napas Kirana sudah terdengar ngos-ngosan. Kasihan juga sih, tapi mau gimana lagi. Kami sudah telat masuk kelas.
"Hah haaah ... bhentar, Nhesh. Akuh ... nggakh khuat." Dengan susah payah Kirana menyamai langkahku menuju kelas.
Aku nggak mau kalau harus dihukum Miss Valent, gara-gara si gembul ini. Cukup Minggu kemarin, aku harus pidato di depan kelas. Kalau pakai bahasa indonesia sih mending, lha ini bahasa inggris. Memang sih, ini cuma tempat kursus bahasa inggris, tapi tutornya galak-galak. Peraturannya ketat. Dan buatku–yang lebih terbiasa dengan kromo inggil–dihadapkan pada bahasa inggris, susahnya minta ampun.
Aku sih ikut kursus ini cuma demi mengisi waktu luang. Mami kalau siang kerja. Kalau cuma di rumah, rasa-rasanya aku bakal cepet bosen. Sedangkan aku nggak mungkin kuliah. Makanya, kuputuskan mendaftar di sini. Sedangkan Kirana, tahun ini dia nggak lolos ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Jadi, dia mengambil kursus sambil menunggu ujian tahun depan.
Enam bulan lalu, kami–aku dan Mami–pindah ke Jogja. Ya, hanya berdua, karena Mami sudah bercerai dengan Papi bertahun-tahun lalu. Semua demi dia, belahan jiwaku. Aku harus meninggalkan Solo. Meninggalkan sanggar Candrakirana. Meninggalkan teman-teman yang sangat kusayangi. Meninggalkan kehidupanku.
Semua demi dia. It's okay. Aku nggak berhak untuk protes. Lagipula, aku yakin bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Malahan membuatku lebih leluasa, karena di sini tidak ada yang mengenalku. Aku bisa menjadi diriku sendiri.
Setelah bertahun-tahun, saat yang kunantikan pun tiba. Saat di mana aku bisa mengatakan namaku 'Vanessa Putri'. Di mana orang-orang memanggilku Vanessa. Bukan lagi hanya 'Putri'.
Untungnya tempat kursus ini sangat fleksibel, syarat pendaftarannya tidak perlu memakai akte lahir atau ijazah terakhir. Cukup kutulis Vanessa Kumala Putri, dan tanda tangan Mami yang kupalsukan.
Aku sadar perbuatanku melanggar hukum positif, tapi aku kan nggak mau terus-terusan berada di belakang bayang-bayang Kumala. Aku ingin punya kehidupan sendiri, walau itu berarti kami harus saling berbagi tubuh dan waktu. Aku keluar di siang hari, dan Kumala malam hari–aku yang membaginya. Adil 'kan.
Semoga kita betah tinggal di sini.
Hanya itu harapanku. Aku dan dia bisa memulai hidup baru. Syukur-syukur kalau dia mulai menyadari diriku, sehingga kami bisa hidup bersama. Namun sejauh ini, belum ada tanda dia sadar. Biarlah, yang penting dia senang dan nyaman.
Tentu saja dia harus gembira. Awas saja kalau masih menyia-nyiakan pengorbananku. Dia yang meminta kita untuk pindah. Aku ngerti sih, sangat sulit untuk terus bertahan di Solo. Dan di sinilah kami sekarang, membuka lembaran baru.
"Ayo, Kirana. Sebentar lagi sampai kelas, jangan malah jongkok di sana!" Aku membalikkan tubuh melihat Kirana megap-megap.
"Kamuh duhluhan ajah ... akuh nggah khuaaat."
Alamaaak, bakal kena hukum lagi dah. Aku memutar langkah menuju Kirana, ikut jongkok di sampingnya. "Nih, minum dulu."
"Kamu nggak masuk kelas, Nes?" tanyanya setelah menenggak air minum yang kuberi tadi.
"Dan ninggalin gajah duduk ini sendirian?"
"Iiih, Nessa. Aku jadi makin cinta deh," ucapnya sambil memelukku.
Heddeeeh, gimana aku bisa punya pacar kalau kelakuan Kirana macem ini, yang ada aku dikira lesbong.
"Woi, lepasin! Nggak usah pake peluk kali, Na." Aku melepaskan diri dari ke'lebay'an gadis ini. "Ayo ke kelas."
Kirana mengekorku, cepat-cepat masuk kelas. "Miss Valent belum dateng, Bi?" tanyaku pada Abi yang masih duduk di luar kelas.
"Telat, Nes. Katanya kalau sampai jam sepuluh belum dateng, kita boleh cabut," jawabnya.
"Halah, rugi besar ... terlanjur lari ngos-ngosan, eh ... belum masuk," protes Kirana sembari melempar pantatnya di sebelah Abi.
"Eh busyeeet, Na. Kamu duduk di sini berasa ada gempa lokal."
Aku terkikik mendengar ucapan jujur Abi.
"Heh cowok, mulutnya dijaga ya. Mau aku sumpel pake kaus kaki?" damprat Kirana yang nggak terima dengan ucapan Abi.
"Dibilangin masih juga nyolot. Diet, Na, dieeet. Biar bodimu kayak Vanessa gitu. Coba lihat, ini lengan apa gedebog pisang?" Abi menusuk lengan Kirana dengan ujung telunjuknya.
"Apa-apaan kamu?! Suka-suka aku dong, badan-badanku ini. Lagian big is beautiful. Coba lihat badan kamu, Bi. Cungkring, item, kayak tiang listrik!" balas Kirana sengit.
Aku melotot ke arah mereka, "Woi, nggak usah main fisik 'napa? Gak ada bahan bertengkar yang lain apa? Kalian ini kayak anak TK aja. Nikah aja sono biar sama-sama dewasa."
"Amit-amit jabang bayi! Jangan nyumpahin kek gitu, dong, Nes. Merinding aku dengernya." Kirana memukul-mukulkan telapak tangannya ke bangku kayu. Di Jawa ada mitos, kalau mendengar sesuatu yang buruk, biasanya ngucapin amit-amit jabang bayi. Katanya biar nggak beneran kejadian gitu. Sekali lagi cuma mitos, bener apa enggaknya juga nggak tahu.
"Awas kualat kamu, Na. Gething nyanding*," tegur Abi. (Orang yang benci, tapi malah bersanding)
"Dah ah, ngomong sama kamu memang selalu nyebelin." Kirana berdiri lalu menarik tanganku untuk menjauh dari Abi.
"Mau ke mana, Na?" tanyaku bingung. Dia menyeretku ke parkir mobil.
"Kita cabut aja, Nes. Miss Valent juga nggak dateng. Kita ke Amplas yuk, nonton terus habis itu cari makan siang," usulnya girang.
Aku menghentikan langkah, menolak ajakannya, "Aku nggak bawa duit, Na. Besok aja deh."
"Apa-apaan sih, Nes? Udahlah tenang, 'kan yang ngajak aku." Kirana berbalik menghadapku.
"Enggak deh, Na. Udah sering banget kamu nraktir aku. Nggak enak aku jadinya." Aku masih berusaha menolak ajakannya.
Bagi anak seperti Kirana, tentu bukan masalah kalau hanya sekadar membayariku nonton dan makan siang. Namun, aku nggak mau dianggap hanya memanfaatkannya. Aku nggak mau orang beranggapan bahwa aku berteman dengan Kirana karena uangnya. Aku bukan orang seperti itu.
"Ya udah, kalau gitu kita nongkrong di UGM aja yuk. Nyari lotek di dekat bunderan UGM. Kali aja ada cowok nyantol."
Ini yang kusuka dari Kirana, walau anak orang kaya, tapi dia nggak pernah maksain kehendaknya. Dia selalu menghargai keputusanku.
"Oke, tapi ntar pulangnya aku nebeng 'mpe MM UGM ya," pintaku seraya meringis.
Kirana mengerutkan keningnya, "Aku anter sampe rumahmu aja, Nes. Biar aku sekalian tahu rumahmu."
"Eeeh, jangan ...," sergahku cepat, "aku naik bis aja, Na."
Kirana terlihat kesal, tapi dia menyetujuinya juga. Karena percuma debat denganku, dia toh akan kalah.
Aku masih belum berani mengungkap siapa diriku sebenarnya pada Kirana. Kami baru saja berteman. Nggak semudah itu untuk mengatakan rahasiaku. Bahkan sampai sekarang, anak-anak Candrakirana–yang telah mengenalku bertahun-tahun–juga belum tahu jati diriku. Apalagi Kirana.
Ngomong-ngomong Candrakirana, aku jadi kangen sama mereka. Terakhir ketemu mereka, waktu aku pamitan di sanggar tiga hari sebelum aku pindah. Setelah itu, paling cuma komunikasi lewat telepon. Aku nggak punya handphone, jadi biasanya aku yang menghubungi mereka. Aku masih ingat betul bagaimana marahnya Mbak Lisnur.
"Kenapa baru bilang sekarang, Put?! Kamu nganggep kami ini apa, hah? Sudah lebih dari enam tahun kita bareng-bareng di sanggar, dan kamu nggak bilang kalau mau pindah?"
Aku cuma bisa tertawa cengengesan menanggapi amukannya. "Ya maaf, Mbak. Aku nggak ada maksud kayak gitu. Lagian ini aku pamit, kan?"
"Nggak sekalian pamit pas kamu berangkat, Put?" sindir Bimo.
"Kenapa kamu nggak tinggal di Solo aja? Biar mamimu yang pindah Jogja. Kamu kan sudah delapan belas tahun lebih, bisa kos sendiri," usul Mbak Lisnur.
Mauku juga gitu, tapi mana bisa. Aku pindah 'kan karena Kumala yang minta. "Kasihan Mami sendirian, Mbak. Lagian kalau kos, nambah biaya lagi. Kita 'kan masih bisa telepon-teleponan."
"Tapi kamu 'kan nggak punya ponsel, Put. Gimana kalau aku kangen?" Mbak Lisnur masih bersikukuh pada pendiriannya.
"Ntar aku telpon dari wartel deh. Atau ntar di Jogja aku cari kerja, biar bisa beli ponsel," sahutku tak mau kalah.
Setelah perdebatan yang alot, akhirnya mereka melepaskanku. Tentu dengan sederet pesan yang intinya jangan sampai melupakan mereka. Berat rasanya mengucapkan selamat tinggal. Berbagai kenangan, baik suka maupun duka sudah kami ukir bersama. Tidak mudah, sungguh terlalu sulit. Namun, aku harus pergi.
Terlebih saat aku berpamitan dengan Mas Andre–cinta pertama yang tak pernah bisa kuungkap. Saat aku harus menyembunyikan air mata dan memasang topeng tersenyum, seperti ada yang tercabut secara paksa dari dalam hatiku. Nyeri tepat di dada.
"Heh, ngalamunin apa, Nes? Kesambet lho." Kirana menyadarkanku dari lamunan.
"Keinget temen-temen di Solo, Na. Kangen aja, udah setengah tahun nggak ketemu." Aku memandang kendaraan yang lalu lalang dari balik kaca mobil.
"Kapan-kapan kita ke Solo yuk," ajak Kirana, "kan deket, Nes. Cuma dua jam." Kirana menoleh padaku sambil memamerkan senyum cerahnya.
Aku beneran bingung. Ni cewek kan anaknya orang kaya, tapi kenapa baik ya? Beda banget sama bayanganku sama cewek model dia. Aku beruntung, di mana pun berada, orang-orang yang berada di sekelilingku adalah orang baik.
Semoga dia juga mendapat keberuntungan yang sama denganku
***
Sedikit kali part 14 nya....
Ho oh, ini cuma ngenalin Kirana aja sih... Menceritakan awal mula kepindahan Vanessa ke Jogja...
Solo, 3 Februari 2017
Edit,
Solo, 15 Agustus 2018
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top