PART 13

Tahun 2009

"Happy Birthday, Mas," ucapku sembari menyerahkan kotak kado berwarna hijau pada Mas Andre.

"Aku kan sudah bilang tidak usah bawa apa-apa, Put. Kamu datang saja, aku sudah seneng banget. Btw, thanks, ya." Mas Andre terlihat keren malam ini.

Padahal dia cuma memakai celana jin dan kaus berkerah. Yah, namanya cowok ganteng, mau pakai apa aja juga tetep ganteng. Nggak kayak cowok bawel di sebelahnya.

"Apaan tuh, Put? Tipis banget. CD, ya? CD apaan?" Nah, kan mulai bawelnya.

"CD BF. Kan Mas Andre udah boleh nonton 21++," sahutku asal.

"Trus kamu mau nebeng nonton gitu?" celetuk Bimo yang berdiri di samping Mas Andre.

"Boleh?" tanyaku iseng.

"Tidak!" Nggak usah nunggu jawaban dari Ki Dalang satu itu pun, aku sudah tahu reaksinya. Dasar cowok kaku.

"Iyaaa, nggak usah melotot 'napa. Ntar gantengnya luntur lho." Aku mengikuti Mas Andre ke dalam rumah.

"Beneran BF, Put?" Penasaran kan si Bimo.

"Yeee, dianya yang ngarep tuh," ledekku, "itu Taare Zameen Par. Film india."

"India? Yang njoget-njoget gitu?" Bimo kelihatan kaget banget.

Aku duduk di ruang tamu, menengok kiri kanan, mencari orang yang kukenal. "Kenapa memangnya kalau India? Kenapa kalo njoget? Lupa kalau kamu juga tukang njoget?"

"Yaelah, Put. Nggak ada yang lebih berkelas?" Bimo duduk di sebelahku, menyilangkan kakinya.

"Gini ini contoh cowok kalau kebanyakan nonton yang nggak bermutu. Taare Zameen Par juga nggak mungkin tahu. Mas Andre, besok kalo pas nonton, ini orang diajak aja. Biar tahu tontonan yang berkelas."

"Mana betah, Put. Baru lima menit dijamin sudah tidur." Aku tertawa menanggapi ucapan Mas Andre. "Kamu mau minum apa, Put?" tanyanya seraya berdiri dari duduk.

"Apa aja, deh, Mas. Yang penting dingin."

"Heh, Ndre. Gini-gini aku betah nonton film India. Kamasutra!" protes Bimo.

"Dasar manusia primitif. Bim, jagain Putri ya. Aku ambil minum dulu," ucap Mas Andre sebelum meninggalkan aku dan Bimo berdua.

Aku mengamati sekeliling rumah. Memang bukan pesta ulang tahun yang mewah. Mas Andre hanya mengundang beberapa teman kuliah dan teman mainnya, untuk syukuran kecil-kecilan di rumahnya. Dan aku agak salah kostum.

Kata Mbak Lisnur kemaren, yang datang bakal banyak dan rame. Terlanjur pakai gaun, ternyata pestanya sederhana. Ya memang yang datang banyak, tapi nggak sesuai dengan bayanganku.

Beberapa cewek terlihat menatapku dari atas ke bawah. Lalu berbisik dan tertawa, kayak yang belum pernah lihat cewek cantik. Memang aku akui penampilanku agak ... hmm, berlebihan, tapi masih enak dilihat kok.

Gaun midi-medium lenght-berwarna merah cabai, dengan lengan terbuka serta rok yang mengembang, aku rasa masih masuk untuk acara santai seperti ini. Kalau rambut, ya memang seperti inilah aku, dengan gaya keriting spiral. Dan sedikit make up, untuk menegaskan garis bibir dan menajamkan garis mataku.

Dasarnya aja mereka yang iri melihatku. Iri tanda tak mampu, girls. Kusibakkan rambut dengan sengaja saat dua orang cewek melihatku. Sebentar ... jangan-jangan ada yang salah sama wajahku?

"Bim," panggilku seraya menjawil lengan lelaki di sebelahku.

"Hm?" jawabnya tanpa menatapku, dia sibuk dengan ponsel di tangannya.

"Ada yang salah sama aku nggak sih? Perasaan dari tadi pada ngelihatin aku gitu," bisikku.

Bimo mengamati wajahku, dahinya berkerut. "Astaga! Put, tadi kamu ngaca nggak?"

"Hah? Kenapa, Bim? Make up-ku luntur atau gimana?" Aku mulai panik. Pantesan dari tadi pada ketawa.

"Itu ... mata kamu, ada dua, Put!"

WHAT?! Aku melongo mendengar jawaban Bimo. Masih berusaha mencerna informasi yang masuk.

"Kamu ngegodain aku ya?!"

"Ketipu nih yeee." Ketawanya terdengar puas banget, membahana di seluruh ruang.

"Apaan nih? Kok seru banget," tanya Mas Andre sambil menyerahkan segelas jus jeruk padaku.

Dia menggeser Bimo lalu duduk tepat di sebelahku. Sedangkan Bimo yang cuma dapet secuil kursi, memilih pindah ke depan kami.

"Tuh, Bimo jahil banget. By the way, Mbak Lisnur sama yang lainnya kok belum dateng, Mas?"

"Mungkin sebentar lagi. Setengah jam lalu, aku telpon Mas Sakti, katanya baru mau jemput Mbak Lisnur," jelasnya.

Mas Andre duduk bersandar, tangan kanannya terjulur di punggung kursi tepat di belakangku. Kalau aku bergerak sedikit saja, tangannya bisa menyentuh bahuku. Entah dia sengaja atau tidak, sikapnya semakin mengundang perhatian cewek-cewek di sekitar kami.

"Mereka serius ya?" tanya Mas Andre padaku.

"Kelihatannya sih gitu, Mas. Sudah hampir dua tahun juga mereka pacaran. Mas Saktinya juga dah mapan, Mbak Lisnur juga udah siap. Tinggal rembug tuwo*," jelasku. (Bicara serius)

"Kamu kapan siap untuk nerima hatiku, Put?"

Pertanyaan itu lagi. Walau aku tidak melihatnya, tapi aku tahu kalau Mas Andre tengah menatapku. Sudah tiga kali Mas Andre menyatakan perasaannya padaku. Namun, selalu kutolak. Bagaimana mungkin aku bisa membalas perasaannya. Aku ini hanyalah bayang-bayang.

Mas Andre orang yang sangat baik. Aku nggak tega melihat dia patah hati, tapi aku lebih nggak tega, kalau dia sampai tahu siapa aku sebenarnya.

Aku harus bersyukur dengan apa yang Tuhan beri saat ini. Nggak sepantasnya aku meminta lebih. Hanya satu pintaku, dia–orang yang paling berarti dalam hidupku–menyadari dan dapat menerima kehadiranku.

"Kamu nolak Andre lagi, Put?" tanya Mbak Lisnur.

Saat ini kami sedang menikmati sepiring siomay ikan buatan mamanya Mas Andre. Enak, deh. Ikan tenggirinya berasa banget. Gimana, ya, cara masaknya, jadi pengen bikin.

"Woi, kalau ada yang tanya tuh dijawab, Neng," tegur Mbak Lisnur.

Aku cuma ketawa cengengesan. "Lha, kan Mbak Lis juga tahu, aku nggak bisa pacaran, Mbak."

"Kenapa?" Mbak Lisnur menatapku tajam.

"Karena," jawabku singkat.

"Ya, karena apa, Putri? Kamu cuma selalu bilang nggak bisa pacaran." Aku tertawa dalam hati, mulai kesal tuh cewek.

"Lhah, tadi Mbak Lis nanya apa? Kenapa tok kan? Ya, aku jawab karena."

Mbak Lisnur menyuap siomay sesendok penuh. "Ngomong sama kamu memang susah," gerutunya.

Aku terdiam, menatap sepotong pare rebus yang menggodaku untuk segera memakannya. "Aku yang kalian kenal itu bukanlah aku yang sebenarnya, Mbak."

"Maksudmu?" Mbak Lisnur menatapku bingung.

"Aku ini cuma pemeran pengganti aja, Mbak. Di saat tokoh utama sedang berhalangan atau nggak bisa melanjutkan perannya, akulah yang menggantikan peran tersebut."

"Maksudmu opo tho, Nduk? Mbak samsoyo ora mudeng*," keluhnya. (Maksudmu apa sih, Dek? Mbak semakin tidak paham)

"Dasar lola! Loading lama," ejekku seraya tersenyum menggoda.

Aku jelaskan pun, belum tentu Mbak Lisnur paham. Kalaupun dia mengerti, apa dia bisa menerimaku. Aku sendiri terkadang belum bisa menerima kondisi yang seaneh ini, apalagi orang lain.

***

Astaga! Semalam aku ketiduran lagi. Padahal belum sempat ngebersihin muka, bakalan jerawatan nggak ya? Apalagi aku belum ganti baju, gaun merah ini masih menempel di tubuh semampaiku. Beneran semampai, tinggiku sekarang sudah 169 senti, beratku terakhir nimbang 45 kg. Langsing kan. Semua berkat latihan tari yang cukup membakar tumpukan lemak. Badanku nggak cuma langsing, tapi berlekuk. Dadaku membusung dengan pantat yang berisi, tapi pinggangku kecil. Aset yang oke banget, kan. Dia aja yang nggak sadar.

Hai! Aku tersenyum padanya.

Ups, dia kaget melihat pantulanku di cermin. Maaf deh, maaf. Dia buru-buru membersihkan muka dan menyisir rambut. Lagian, kenapa sih dia seneng banget sama model rambut lurus lepek macem itu? Rambut sebagus itu, tapi dibiarin begitu saja. Nggak ada daya tariknya, Sist. Apalagi wajahnya. Dia punya wajah yang cantik. Hidung mancung, kulit bersih. Namun, nggak pernah dandan. Mungkin karena dia jarang pake make up, jadi mukanya jauh dari jerawat kali ya.

"Kamu mbolos sekolah lagi?"

Yaelaaah si Mami, pagi-pagi udah berisik aja. Bukannya ngasih sapaan 'selamat pagi, anakku sayang', eh ini udah berdiri melotot di depan pintu kamar. Alamat dapet wejangan lagi nih. Siap-siap kuping merah, hati panas.

Hubunganku sama Mami memang kurang yahud. Bagiku nggak ada masalah, mau sejutek apa pun Mami, aku cuek. Lain halnya dengan dia, segala perkataan Mami selalu dimasukkan hati. Bikin liver bengkak.

"Ingat! Besok kamu harus sekolah!" ucap Mami mengakhiri kultumnya pagi ini.

Selalu menyalahkan. Memojokkan. Tak pernah sekali pun memberi kesempatan untuk menjelaskan. Tak ada lagi kasih sayang. Semua berubah sejak perceraian Mami. Sekali-kali aku perlu nampar Mami. Weits, tenang. Bukan nampar dalam artian sebenarnya, tapi aku harus menyadarkannya sebelum terlambat. Harus, cepat atau lambat.

***

" ... jangan bodoh! Kalau kamu mati maka aku juga mati! Pergi dari sana .... Kumohon!"

Aku mengurut pelipis yang terasa berdenyut. Gila! Mimpi itu lagi. Sudah dua hari, tapi kilas adegan siang itu masih saja kuingat. Dia benar-benar sudah tidak waras. Berniat bunuh diri? Dia pikir kalau mati semuanya selesai? Bakal jadi bidadari, terus masuk surga. Bagaimana kalau kepleset ke neraka? Gosong!

Aku bergidik ngeri. Mulai sekarang, aku harus lebih waspada. Aku nggak mau mati muda! Ini orang kalau nggak diawasi, bisa bikin bencana.

Aku beringsut turun dari tempat tidur, lalu berjalan menuju kaca rias. Kutatap sepasang mata dalam kaca, kulihat senyum yang terukir di sana. Itu aku. Dan ternyata kemarin, dia bisa melihatku—walau cuma sedetik. Semoga dia mulai menyadari kehadiranku.

Bukan cuma itu saja, dia mulai mendengarkanku. Aku lah yang melarangnya berbuat hal gila, dengan menabrakkan diri di kereta api. Aku benar-benar nggak habis pikir. Bisa-bisanya gadis itu berpikiran sempit. Awas saja kalau dia berani berbuat hal gila lagi, aku bakal merampas semuanya.

***

Akhirnya aku bisa update editan part 13...

Walau cuma seuprit...

Terima kasih untuk semua dukungan dan semangat dari kalian semua...

Solo, 2 Februari 2017

Edit,
Solo, 12 Agustus 2018

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top