PART 11
Tahun 2006
"Mbak, hari ini tanggal 16 Juni, ya?" tanyaku pada Mbak Lisnur yang sedang merapikan sampurnya.
"Ho oh. Kenapa?" jawabnya tanpa menoleh.
"Nggak apa-apa, sih. Cuma nanya aja. Besok udah tanggal 17, nggak sabar mau main pasir di Kuta," ucapku seraya memasukkan kostum tari ke plastik.
Happy anniversary .... Semoga kebahagiaan selalu menyertai kita berdua. Aku akan selalu ada untukmu. Dan kamu bertahan untukku.
Nggak terasa sudah tiga tahun aku dan dia bersama. Walau dia belum menyadari kehadiranku, tapi selama dia membutuhkanku, maka aku akan selalu di sini.
"Perhatian semuanya! Kumpul dulu yuk, mau ada pengumuman penting." Suara Bu Nina membuyarkan lamunanku.
Bu Nina berdiri di dekat panggung sambil membawa setumpuk kertas. "Bimo, tolong bagikan ke teman-teman, ya."
Bu Nina menyerahkan tumpukan kertas itu pada Bimo, lalu berkata, "Itu jadwal perjalanan kita selama dua minggu di Bali. Semua biaya sudah ditanggung sama pihak penyelenggara. Jadi kalian cukup bawa baju sama perlengkapan pentas."
"Berarti oleh-oleh juga dapet ya, Bu?" celetuk Bimo yang membuat seluruh ruangan bersorak.
"Nanti 'kan kalian dapet uang saku, beli sendiri-sendiri ya," jawab Bu Nina.
"Yaaah, kirain dapet dobel, Bu," sungutnya sembari melanjutkan membagi jadwal.
"Boleh, tapi ndak ada acara jalan-jalan. Gimana?" tawar Bu Nina yang menuai protes keras dari seluruh anggota tim.
"Nah, jadi ingat, ya! Besok pagi, kumpul di sini jam tujuh. Ndak boleh telat. Pesawatnya berangkat jam sembilan, paling ndak satu jam sebelumnya, kita sudah sampai bandara." Bu Nina memberi penjelasan tentang perjalanan kami besok ke Bali.
Asyiiiikkkk! Baru sekali ini aku ke Bali. Sekaligus jadi pengalaman pertamaku naik pesawat. Seneng bangeeet, tapi juga takut. Gimana kalau pesawatnya nyebur ke laut coba? Aku kan nggak bisa berenang. Bisa mati muda dong.
"Put, kamu sudah menyiapkan keperluanmu?" tanya Mbak Lisnur padaku.
Nah, manggilnya 'Putri' lagi kan. Padahal aku paling nggak seneng dipanggil Putri. Ya memang, namaku hmmm ... ada Putri-nya, tapi aku lebih suka dipanggil Vanessa, lebih keren. Namun, apalah arti sebuah nama. Terserah deh kalian mau memanggilku apa.
"Sudah, Mbak. Semalem aku sudah masuk-masukin baju ke koper," jawabku.
"Ada yang perlu dibantuin nggak? Perlengkapan tari sudah semua?" Aku suka deh sama Mbak Lisnur ini, perhatian banget. Jadi kayak punya kakak perempuan. Kadang cerewet, sok ikut campur, mau tahu semuanya, tapi nggak nyebelin.
"Udah, Mbak. Jarik, sampur, kemben, stagen sama make up. Ini kostum sama aksesorinya baru mau aku bawa pulang. Mbak Lisnur sendiri gimana?"
"Uwes kabeh, gur kurang sangune*." (*Sudah semua, cuma kurang sangunya)
"Kalau itu ya sama, Mbak," balasku sambil tertawa ngakak.
"Kamu sudah izin sama ibumu tho?"
Aku mengangguk. "Sudah, Mbak. mami sih cuek, nggak pernah melarang."
"Ya sudah, pulang sana. Biar besok bisa bangun pagi. Jangan lupa hafalin dialogmu," pesannya sebelum aku berpamitan.
Sudah hampir tiga tahun, aku bergabung dengan sanggar tari Candrakirana. Awalnya dulu, aku nonton pementasan wayang orang di TVRI. Kok bagus. Terus, aku nyari-nyari informasi. Dapatlah satu tempat di daerah Mangkunegaran ini.
Seminggu sekali—setiap Sabtu siang—aku selalu datang untuk latihan. Biasanya, sepulang sekolah bablas naik bis kota ke sini. Nanti pulangnya bisa nebeng Om Budi sampai gang masuk rumah, atau naik bis juga bisa.
Nah, kalau mau pentas, biasanya latihan lebih sering. Seperti kali ini yang termasuk pementasan besar—kami diundang untuk meramaikan Pesta Kesenian Bali tanggal 18-28 Juni—untuk persiapannyajadi semakin sering latihan. Seminggu jadi tiga kali. Dan saat mendekati hari H, latihannya jadi setiap hari.
Aku tadi bohong soal mami yang sudah kasih ijin. Bagaimana bisa ngijinin, dia saja nggak tahu kalau aku ikut sanggar tari. Apalagi tentang pentasku di Bali. Mami sibuk kerja, pagi sampai sore di kantor. Jadi, dia nggak tahu kegiatanku di siang hari. Kalaupun aku pulang telat, paling cuma dimarah, tapi nggak tanya aku ke mana, ngapain dan sama siapa.
Terus besok gimana caraku ijin ke Bali selama dua minggu ya? Apa bilang mau ke rumah Papi saja? Iya, bener. Kalau aku bilang ke sana, pasti Mami nggak bakal curiga. Mami juga nggak mungkin hubungin papi. Amaaan, kan ya.
Untuk sangu sih sudah ada, cuma tiga ratus ribu. Itupun hasil dari pentas-pentas kecil yang selalu aku tabung. Aku nggak mau minta sama mami atau papi. Aku harus mandiri.
Acara besok kalau nggak salah diselenggarakan di Bali Art Center, Denpasar. Aku jadi nggak sabar. Selama sepuluh hari berturut-turut, kami akan pentas di sana. Kurang lebih dua minggu, kami di Bali. Bagi kelompok tari kecil seperti kami, itu suatu pencapaian yang luar biasa. Dan bagiku, jadi pelajaran yang tak ternilai harganya.
Rencananya, kami akan membawakan kisah Ramayana. Yang berperan sebagai Shinta tentu saja Mbak Lisnur. Dia cantik, tutur katanya lembut, gerak-geriknya halus, pas banget untuk jadi Shinta. Walau kadang cerewet banget.
Sedangkan aku dapet peran sebagai Trijatha. Dia itu keponakan Rahwana yang ditugasi untuk menghibur Shinta selama menjadi tawanan Rahwana. Sifat Trijatha ini baik, walaupun wujudnya raksasa, dia juga menjunjung tinggi dharma.
Di dalam pementasan wayang orang, kami tidak cuma dituntut untuk pandai menari, tapi juga mengolah intonasi suara. Persis seperti drama di panggung, bedanya hanya pakai bahasa Jawa halus.
Jadi kalau memerankan Rama, ya gaya bicaranya lembut. Beda dengan Rahwana yang keras, dan penuh emosi. Cara bicaraku sama Mbak Lisnur juga pasti beda. Apalagi gerak tubuhnya.
Sebagai Trijatha, gerakanku dominan pakai gerak metayungan dan ulap-ulap. Untuk berjalan, dengan srisig atau kenser. Yang agak susah, kami dituntut untuk selalu mendhek dan ndegeg. Kalau nggak mendhek, jadi kayak gedebog pisang, kaku njegogrok.
Pemain wayang orang juga harus bisa dandan dan sanggulan sendiri. Karena nggak mungkin kalau kami pakai jasa salon, biayanya terlalu besar. Dan jumlah kami banyak. Kalau antri untuk dandan, menghabiskan banyak waktu.
Jadi, di usiaku yang baru empat belas tahun ini, aku sudah jago merias. Kalau aku sudah dandan pentas, nggak bakal ada yang percaya kalau aku ini baru kelas 2 SMP. Wajahku ayu. Badanku juga tinggi dan berbentuk. Nggak heran kalau akhirnya aku lolos seleksi pada pentas kali ini. Eh, aku ini nggak narsis lho, tapi memang kenyataannya seperti itu. Aku bukan orang yang rendah diri. Aku ini mensyukuri pemberian Tuhan.
Oleh karena itu, aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Tuhan beri. Semua harus aku manfaatin semaksimal mungkin. Karena belum tentu aku mendapatkannya dua kali.
***
"Besok malem kita pentas di sini, Mbak?" Aku takjub melihat kemegahan panggung tertutup di gedung Ksirarnawa.
Saat ini aku sudah ada di Bali. Kemarin siang kami tiba di Bandara, langsung menuju penginapan. Aku dapat jatah tidur sekamar berempat, salah satunya dengan Mbak Lisnur. Namun, kami belum sempat jalan-jalan. Pagi ini kami sudah harus gladi bersih demi pentas. Ya, kan tujuan awal kami ke Bali memang untuk pentas, bukan rekreasi.
Dari yang aku baca, gedung ini biasa digunakan untuk pementasan kesenian kolosal. Selain itu juga bisa digunakan untuk pementasan musik maupun pementasan paduan suara.
Walau tidak semegah gedung Ardha Candra, tapi berdiri di tengah panggung ini pun sudah membuat bulu kudukku meremang. Padahal saat ini aku baru mau gladi bersih, rasanya sudah gugup, tapi bangga.
"Iya. Besar banget. Aku jadi takut salah gerak atau salah ngomong," kata Mbak Lisnur.
"Idih, kalau Mbak Lis takut, apalagi aku. Kok kita nggak pentas yang di luar sih, Mbak? Kan tempatnya Bali banget. Luas, bagus, bisa untuk foto-foto."
"Susah, Put. Gimana caranya kita bisa gonta ganti layar kalau di luar?" jelasnya.
"Iya juga yak. Mbak Lis udah mau siap-siap?" tanyaku saat melihat Mbak Lisnur mengeluarkan perlengkapan menarinya.
"Iya, jatah kita cuma tiga jam. Habis ini giliran grup lainnya."
"Mbak, aku boleh lihat-lihat dulu nggak? Janji deh, nggak bakal jauh-jauh. Dari pada di belakang panggung begini. Boleh ya?"
"Udah ijin ke Bu Nina belum? Aku takut kamu hilang," tukasnya.
"Jangan bilang Bu Nina, Mbak. Enggak bakal boleh. Janji deh, aku nggak bakal hilang, suweeer! Boleh, ya ... pliiis. Cuma di depan gedung aja, kok."
"Ya udah, sana. Jangan lama-lama, kita baru gladi bersih, lho," pesannya.
"Siap, Boz!"
Mbak Lisnur mulai memakai jarik dan sampurnya, bersiap untuk latihan. Sedangkan jatahku tampil masih lama. Dari total durasi tiga jam, aku tampil di pertengahan, itu pun enggak lama. Jadi, paling nggak masih ada waktu sejam untuk lihat-lihat.
Aku mengamati pintu masuk gedung Ksirarnawa ini. Bentuk bangunannya beda dengan Solo. Sangat terasa budaya Bali. Terdapat ukiran-ukiran di atapnya, bagus banget. Aku suka.
Di sepanjang jalan, aku melihat sesuatu yang agak ngeri. Di bawah pohon-pohon besar, ada semacam sesajen yang diletakkan di tanah. Padahal ini bukan malam Jumat Kliwon. Kalau di Solo, biasanya cuma di malam tertentu. Namun, kalau di sini sepertinya berbeda.
Satu hal lagi yang aku tangkap, orang Bali mayoritas pasti kaya raya. Bagaimana tidak, hampir tiap pohon dan patung dikasih baju. Motifnya kembar, kotak-kotak hitam putih. Bahkan, tadi aku sempat melihat tiang listrik juga dipakaikan baju. Hebat 'kan.
Andai kamu bisa melihat dan merasakan ini semua. Sangat indah. Sayang sekali, kamu selalu menutup mata dan hatimu. Padahal dunia ini begitu luas. Suatu waktu nanti, aku akan menceritakan semua keelokan ini padamu. Aku janji.
***
"Wiiih, kok bisa nggak bau ya, Mbak?" Aku mengendus ke tumpukan tulang yang disusun di batu.
"Katanya karena ada pohon ini. Bener gitu ya, Pak?" tanya Mbak Lisnur pada pemandu wisata kami.
"Betul, Gek. Pohon ini namanya Taru Menyan. Taru itu artinya pohon, sedangkan Menyan itu berarti harum. Pohon ini juga yang jadi asal muasal kata Desa Trunyan." Pak Ketut memberikan penjelasan pada kami dengan logat Bali yang kental.
"Tapi kok nggak wangi kayak kemenyan di Jawa, Pak?" tanyaku penasaran sambil membaui batang pohon besar yang menaungi sebelas mayat di bawahnya.
Konon katanya, jumlah jenazah yang ditaruh di bawah pohon Taru Menyan ini nggak boleh lebih dari sebelas, itu pun hanya diletakkan begitu saja di atas tanah. Dan untuk melindungi jenazah, jasad ditutupi dengan 'ancak' atau kurungan bambu.
"Karena sekarang sudah banyak polusi udara, Gek."
Unik. Tempat ini masih sangat menjaga tradisi. Padahal setahuku, masyarakat Hindu-Bali kalau menyucikan jenazah itu dengan cara dibakar atau disebut 'Ngaben'. Namun, di sini lain.
"Kenapa jenazah di sini nggak dibakar, Pak?" tanyaku pada Pak Ketut yang berdiri tak jauh dariku.
"Walau berbeda perilaku adat, masyarakat Desa Trunyan menyebut proses ini sama seperti 'Ngaben', Gek. Menurut kami, baik ngaben atau proses ini sama-sama merupakan proses penyucian roh yang sudah meninggal agar bisa kembali bereinkarnasi."
Aku benar-benar takjub. Tak jauh dariku berdiri, ada jenazah yang baru dua minggu diletakkan di sini. Aku bergidik ngeri saat melihat ada beberapa belatung di tubuhnya. Namun, tak tercium bau busuk sedikit pun.
Nggak rugi banget deh, walau untuk ke sini butuh perjuangan ekstra. Setelah naik bis berjam-jam, dengan jalan berkelok dan berbukit. Rombongan kami sampai di pelabuhan Kedisan Kintamani. Dari sana kami naik kapal boat. Setelah menyusuri danau Batur kurang lebih 45 menit, sampailah kami di dermaga yang langsung berhadapan dengan sebuah gapura pintu gerbang 'Sema Wayah'.
Menurut penjelasan Pak Ketut, ada tiga lokasi pemakaman di Trunyan. Apa saja namanya aku lupa. Yang jelas, tempat ini fantastis. Udaranya sejuk, penduduknya ramah. Rasanya aku nggak rela harus pulang.
"Kamu nggak pengen digituin?" tanya Mbak Lisnur saat kami sudah tiba di pelabuhan Kedisan.
"Diapain, Mbak?" tanyaku balik sambil mencari apa yang dimaksud oleh Mbak Lisnur.
"Tuh rambutnya dikepang kecil-kecil kayak penyanyi reggae," tunjuk Mbak Lisnur.
Aku terbelalak kagum, melihat seorang ibu yang mengepang rambut dengan cepat. Mungkin cuma semenit untuk tiap kepangnya.
"Mauuu ... mau banget, Mbak. Mahal nggak ya? Tapi kok eman-eman," ucapku ragu.
"Dah sana kamu kepang, nanti Mbak yang bayari."
"Beneran, Mbak? Yeeea!" Aku bersorak gembira.
Kami menghampiri seorang ibu yang baru saja selesai mengepang rambut turis asing. Setelah tawar-menawar yang sengit dengan ibu itu, kini aku duduk di depannya.
Rambutku dibagi menjadi beberapa bagian. Tiap bagian kecil diuntai menjadi satu kesatuan yang lebih kokoh.
Seperti aku dan kamu. Dua bagian yang jauh lebih kuat bila menjadi satu. Tanpamu aku nggak berarti, dan tanpaku kamu nggak mungkin sekuat ini.
***
Part 11 done...
Tekanannya tambah berasa nikmat Oey...
Part sebelumnya beneran mbingungi...
Semoga part 11 bisa menjawab sedikit kebingungannya... Atau malah tambah mubeeeng?
Hwekekek...
Untuk pembaca,
Terima kasih....
Solo, 31 Januari 2017
Edit,
Solo, 08 Agustus 2018
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top