PART 10

Tahun 2017

Sebel! Sudah tahu aku nggak doyan daun bawang, masih saja lupa. Baunya bikin eneg. Rasanya juga nggak enak. Bikin nafsu makanku menguap saja. Padahal mie ayamnya Cak Min kan kesukaanku banget.

"Kenapa manyun 'gitu? Jelek tau," protes Kirana sembari melahap baksonya.

"Nih, lihat, dikasih daun bawang," gerutuku sambil menyorongkan mangkuk ke arah Kirana.

"Cak Min kelupaan kali. Lagian kenapa, sih, kamu nggak doyan daun bawang? Enak tau. Nih, lihat." Kirana memasukkan sesendok penuh daun bawang mentah ke mulutnya. Lalu mengunyahnya dengan lahap.

Aku bergidik ngeri, tidak bisa membayangkan kalau harus dipaksa makan itu daun. "Bisa-bisanya kamu makan daun bawang mentah, Na. Rasanya 'kan nggak enak."

Kirana yang makan, tapi aku yang merasa mual. Segelas es jeruk nipis langsung kutenggak habis. Seiris kecil saja rasanya kayak 'gitu, gimana kalau sesendok. Hueeekkk!

Kirana melihatku dengan tatapan aneh. "Haus apa doyan, Cyiiin?"

"Gara-gara kamu juga, nih. Ih, aku ngebayangin makan tuh ijo-ijo jadi mual," protesku seraya menepuk pelan perut yang masih terasa nggak enak.

Kirana melanjutkan makannya lagi, dengan mulut penuh bakso panas dia mencoba bicara. "Hangan-hangan hahu hahil ... haaah, hanah!" gumamannya sama sekali tak dapat kupahami.

"Heh, telen dulu tuh bakso. Jorok banget jadi cewek. Pantesan, mpe sekarang masih jones."

"Apa hubungannya coba? Denger ya , Vanessa Putri, jangan sok amnesia, deh. Kamu juga jones," balasnya ketus setelah berhasil menelan isi mulutnya.

"Eit, tapi aku kan nggak ngenes-ngenes banget. Masih bisa eksis gitu lhoh. Btw, tadi kamu mau ngomong apaan?"

"Nggak penting. Itu mie ayam beneran kamu anggurin?"

"Iya lah. Udah kecampur sama aroma daun bawang."

"Buat aku aja ya kalau gitu." Tanpa mendengar jawabanku, Kirana mengambil alih kepemilikan mangkuk mie ayam. Menodai kesuciannya dengan empat sendok sambel dan kecap.

"Inget diet, Na ... udah habis mie ayam bakso, sekarang nambah mie ayamku? Tuh badan balik jadi bola basket lagi, lho. Trus itu sambel jangan banyak-banyak, mules baru tau rasa," cetusku asal.

"Biarin. Pamali ngebuang makanan. Dosa besar. Lagian, mie ayam nggak pedes mana enak, Cyin."

Melihat cara makan Kirana membuatku menelan ludah. Nih cewek makan apa pun kelihatan enak banget. Jadi laper.

"Pesen lagi sono, gih. Timbang laper. Habis ini kita masih harus muter lagi nyari pemasok kain batik lhoh."

Aku menimbang sejenak. "Enggak, ah. Perutku masih eneg. Ntar nyari ganjel di jalan aja."

"Beneran?" tanyanya lagi, memastikan pilihanku.

"Iya, cerewet. Dah, selesain makannya. Aku ke belakang dulu. Eh, kamu yang bayar semua lho, Na." Aku menunjuk seluruh mangkuk dan gelas di atas meja.

"Idih, yang pesen siapa, yang bayar siapa. Ogah."

"Aku yang pesen, tapi kamu yang makan, Jones!" semburku sembari berjalan menuju toilet.

Beginilah hubunganku dengan Kirana. Lebih sering cek-cok timbang akur. Banyak adu argumentasi. Saling hujat. Nggak sedikit yang merasa aneh dengan bentuk persahabatan kami, tapi nyatanya kami bersama sudah lebih dari delapan tahun. Kalau kami nikah, sudah punya anak SD ini.

Aku masih ingat pertama kali ketemu dengan Kirana. Dia baru mungutin bukunya yang berserakan di halaman tempat kursus. Ceritanya, Kirana telat masuk kelas. Karena terburu-buru, nggak sengaja dia nabrak orang, jatuh semua deh bukunya.

Nah, badan Kirana waktu itu kan 11-12 sama atlet sumo. Bayangin deh, badan segitu gedhenya, dengan pantat yang ... ehem ... fantastis. Perutnya kayak orang hamil sembilan bulan. Bikin dia kesusahan buat jongkok-jongkok 'kan.

Yang bikin aku sebel, nggak satu pun manusia ngebantuin dia. Malahan banyak yang cekikikan di belakangnya. Bukannya mau sok jadi pahlawan kesiangan, tapi asli ... aku empet banget. Jadilah aku bersusah payah ikutan nungging, panas-panasan di tengah halaman. Sejak saat itu, dia ngintilin aku terus. Nggak di kelas, nggak di kantin, di mana ada aku pasti ada Kirana.

Aku memandang pantulan wajah di cermin. Miring ke kanan, miring ke kiri, monyongin bibir, kedip-kedip mata. Dilihat dari mana juga tetep cantik, tapi 'napa masih jomblo, ya Tuhaaan? Apa karena pengaruh aura minusnya si bola basket ya?

Sebodo' lah. Biar jomblo tapi bahagia saja deh. Aku merapikan bedak dan mengoles tipis lipstik warna apricot. Kali saja nanti ketemu sama pengusaha batik yang single. 'Kan lumayan tuh.

Sudah dua tahun ini aku dan Kirana membuka butik kecil-kecilan di Malioboro, yang kami namakan Butik Batik. Barang yang kami jual semua bernuansa batik. Mulai dari kain, tas, kaos, kemeja, celana, sampai cendera mata. Semua dari bahan batik. Modal awal memang dari Kirana, sedangkan aku yang menjalankan manajemennya.

Awalnya kami mengambil barang dari para pengrajin, memang untungnya sedikit, tapi lumayan bisa balik modal. Bahkan setelah berjalan kurang lebih setahun, kami bisa memproduksi sendiri. Barang yang pertama kali kami produksi adalah tas batik. Lalu berkembang dengan membuat baju atasan, celana dan gaun. Untungnya jelas lebih besar dibanding mengambil barang dari pemasok.

Keunikan di butik kami, tiap model barang hanya ada satu sampai tiga potong. Itulah yang membuat para pelanggan puas dan tidak merasa barang kami pasaran.

"Woi! Lama banget, sih. Udah jadi penunggu toilet, ya sekarang?"

"Udah selesai, Na? Kamu kunyah nggak, sih?" Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya.

Kirana melirikku. "Enggak. Ni lihat, leherku ada resletingnya. Tinggal buka, masukin makanan, tutup lagi," ucapnya kesal.

"Sensi amat, Mbak, lagi dapet yak? Ya udah, yuk ... keburu sore, ntar mamiku khawatir."

Kami bergegas menuju Kulonprogo, di sana terdapat dua dusun yang menjadi sentra kerajinan batik. Harga kain di sana tentu berbeda jauh dibanding yang dijual di toko.

Perjalanan memakan waktu kurang lebih 45 menit, itu juga karena tidak macet. Kirana yang menyetir, sedangkan aku yang jadi penunjuk jalannya.

Sejak kecelakaan dua tahun lalu, aku jadi trauma kalau harus berada di belakang kemudi. Hingga kini, kecelakaan itu masih menjadi momok buatku. Tiap kali mengingatnya, membuat dadaku kembali sesak.

"Heh, ngalamunin apa? Kamu pucet lho, Nes," ucap Kirana panik.

"Nggak apa-apa, Na. Cuman inget kecelakaan itu aja," sahutku lirih.

Kirana memperlambat laju Honda Jazz yang kami tumpangi. "Sampai sekarang masih, Ness? Apa nggak sebaiknya kamu ke Psikolog atau Psikiater gitu?"

Aku mendengkus seraya menatap lurus ke depan. "Aku masih takut, Na."

"Dengerin aku baik-baik, Nes. Aku nggak peduli siapa kamu sekarang, bagaimana masa lalumu atau pun masa depanmu. Buatku, kamu satu-satunya sahabat terbaikku. Aku bakal selalu ada buat kamu. Catet itu, Nes. Jadi, jangan pernah berpikir untuk pergi tanpa pamit seperti lima tahun lalu."

Aku bersyukur ada Kirana di sampingku. Hanya dia yang tahu siapa aku sebenarnya. Dan tak pernah sekali pun Kirana menceritakannya ke orang lain.

"Kayaknya depan itu tempatnya, Na. Tuh ada papan namanya. Batik Kawah Merapi 'kan?"

"Aku parkir di mana nih, Nes? Jalannya sempit gini, mana cukup kalau ada mobil dari depan."

"Kita masukin ke halaman aja, Na. Dari pada mobilnya kebaret. Aku turun dulu buat buka gerbangnya, ya," tukasku seraya membuka pintu mobil.

"Bisa nggak, Nes?" teriak Kirana dari dalam mobil.

"Digembok, Na, tapi di dalem rame kok. Tuh banyak motor, mungkin punya karyawannya. Bentar, aku cari belnya dulu." Aku berjinjit mencari letak tombol bel, tidak ketemu. Yaelaaah, masak iya aku musti teriak-teriak?

"Permisiii ... selamat siang!" teriakku sambil mengetukkan gembok ke pagar besi.

"Permisi!!!" ulangku lagi dengan menambah volume suara.

"Gimana, Ness?" tanya Kirana lagi.

Aku melotot padanya. "Sabar 'napa. Ini juga masih usaha."

"PER—" teriakanku terpotong saat melihat seseorang sedang membukakan gembok. Mungkin pegawai baru, habisnya dari tadi buka gembok gagal melulu.

"Mau bertemu siapa, Mbak?" tanya orang itu dari dalam.

"Ibu Damanik ada, Mas? Kami sudah buat janji temu dengan beliau." Aku mengembuskan napas lega, melihat gembok sudah terbuka.

"Ada. Silahkan masuk." Laki-laki itu membukakan pintu gerbang agar mobil Kirana bisa masuk ke halaman.

Rasa-rasanya aku nggak asing dengan potongan rambut dan perawakannya. Aku belum bisa melihat dengan jelas wajah yang masih memunggungiku itu.

"Mari, Mbak," ucapnya sesaat setelah Kirana menyusulku. Lelaki itu berbalik menghadap kami berdua.

Aku dan dia sama-sama mematung.

"Vanessa?"

"Bryan?"

Lima tahun. Tak pernah kusangka kami bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Bryan. Melihatnya lagi membuat memoriku mengembara ke masa lalu.

***

Absurd banget part iniii....
Sing penting update....

Simingiiit!!!

Vote, kritik dan sarannya ya...

Terima kasih...

Solo, 30 Januari 2017

Edit,
Solo, 06 Agustus 2018

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top