PART 1

Tahun 2003

"Bajingan! Dasar wanita jalang tak tahu malu!" Bunda Mira menjambak rambut mbak cantik sambil marah-marah.

Mbak itu diseret Bunda ke luar kamar. Lho, mbaknya tidak pakai baju? Aku meringis. Iiih ... malu-maluin. Pantesan Bunda marah. Aku saja kalau habis mandi tidak pakai baju juga dimarahi, apalagi si mbak yang di dalam kamar sama Ayah.

Aku jadi merinding, takut. Lebih baik sembunyi di bawah meja makan, biar tidak kena marah. Aku pikir di sini bakal aman, tapi ternyata aku masih bisa lihat dan dengar Bunda berantem sama Ayah. Aku jadi pengin nangis.

"Cukup, Mira! Hentikan kekonyolanmu itu!"

Aku dengar Ayah teriak dari dalam kamar. Tidak lama, aku lihat ayah melempar vas bunga ke pintu kamar sampai pecah. Aku menutup telinga. Ayah memang galak, tapi tidak pernah banting-banting barang.

"Apa?! Kamu membela pelacur ini?" Bunda yang masih marah-marah malahan lebih menakutkan. Si Mbak didorong sampai badannya menabrak dinding ruang keluarga. Terus Bunda menyobek-nyobek bajunya Mbak itu. Terus dibuang ke pojok ruangan.

"Tutup mulutmu! Zita bukan pelacur dan kamu tidak berhak menghakiminya!" Ayah yang cuma pakai celana dalam, keluar dari kamar lalu menolong Mbak yang kudengar dipanggil Zita.

Aku tidak tahu kenapa, tapi Bunda tahu-tahu lari ndeketin Mbak Zita. Bunda mencakar Mbak Zita, sampai mukanya keluar darah. Ngeri. Pasti sakit sekali.

Aku kaget. Kenapa sekarang gantian Ayah yang menyeret Bunda? Aku melotot melihat Ayah menjambak Bunda. Ayah juga memukul Bunda. Kenapa Ayah jadi jahat? Ayah juga teriak-teriak ke Bunda. Aku takut.

Aku tidak kuat melihatnya lagi. Aku menunduk sambil menutup kuping. Tidak mau lihat! Tidak mau dengar!

"Lepaskan, brengsek! Berani-beraninya mengotori rumahku dengan perbuatan bejat kalian! Kubunuh kalian berdua!" teriak Bunda.

PLAAKKK

Suara apalagi itu? Siapa lagi yang dipukul? Siapa lagi yang memukul? Aku penasaran. Aku mengintip ke depan. Bunda diam saja melotot ke Ayah, sambil memegangi pipinya. Apa Bunda yang dipukul? Aku menggigit mulut. Takut kalau teriak pasti ketahuan Ayah. Nanti aku bisa dipukul juga.

Ayah jahat! Bunda sampai mau menangis. Tuh, lihat ... pipi Bunda sampai merah. Aku marah sama Ayah!

Aku lihat Mbak Zita baru mengambili bajunya yang tadi dibuang Bunda. Cepat-cepat dia memakai baju, tapi bajunya sobek. Jadi, badannya yang berdarah masih kelihatan. Terus pelan-pelan, dia keluar rumah lewat pintu belakang. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku yakin Bunda sama Ayah bertengkar gara-gara Mbak Zita. Lihat saja, muka Mbak Zita berdarah habis dicakar Bunda. Rambutnya yang rontok berceceran di lantai, pasti karena tadi dijambak Bunda. Aku bingung, kenapa Mbak Zita tidak pakai baju di rumah ini? Tidak sopan! Malu-maluin.

"Dengarkan dulu, Mir," bujuk Ayah yang sudah tidak teriak-teriak.

"Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun! Aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri kelakuan bejatmu. Apa lagi yang mau kamu jelaskan, hah?! Mau bilang kalau kamu khilaf? Ha ha ha .... Jangan kamu pikir aku ini wanita bodoh!" Bunda tertawa keras, tapi suaranya bikin aku pengin menangis. Aku tidak suka melihat dan mendengar Bunda kayak gini.

"Semua ini salahmu, Mir. Kamu terlalu sibuk hingga melalaikan tugasmu sebagai seorang istri," kata Ayah.

Bunda Mira teriak-teriak lagi, "Dasar laki-laki tak tahu diuntung! Kamu pikir untuk apa aku pergi setiap hari, hah?! Main? Jalan-jalan? Shopping? Kalau kamu lupa, aku kerja banting tulang siang malam untuk menghidupimu dan Kumala. Aku kerja siang malam karena kamu tidak dapat menafkahi kami. Dan sekarang apa yang kudapat? Uang hasil jerih payahku dengan seenaknya kamu pakai untuk membayar seorang pelacur! Kamu tak lebih baik dari seekor binatang!"

Aku tidak mengerti Bunda ngomong apa. Pelacur itu apa? Kenapa Bunda mengatai Ayah kayak binatang? Yang aku tahu, Bunda tidak seperti biasanya. Bunda memang jarang mengajak aku ngobrol, tapi tidak pernah ngomong kasar seperti itu. Bunda memang jarang di rumah, tapi 'kan Bunda kerja buat cari duit. Bunda memang tidak pernah memeluk aku, tapi tidak apa-apa. Karena menurut Bunda, aku sudah besar.

Tapi sekarang aku sedih. Marah. Takut. Pengen dipeluk Bunda. Aku pengin menangis. Lihat, Bund ... tangan sama kakiku gemetaran. Bunda ... Ayah ... jangan berantem lagi. Aku takut.

Apa Bunda lupa kalau aku ada di sini? Kenapa Bunda tidak melihat aku di bawah meja? Kenapa Bunda tidak mencari aku? Apa Bunda sama Ayah sudah tidak sayang lagi sama aku, tho? Ini pasti mimpi. Aku tidak mau melihat Bunda sama Ayah marah-marah. Ini cuma mimpi. Iya, ini tidak betulan. Bukan ini yang tadi Bunda bilang waktu jemput aku di sekolah.

Tadi, aku pulang lebih cepat dari biasanya. Hari ini guru-guru di sekolah ikut rapat akhir tahun, jadinya pulang pagi. Biasanya, aku kalau pulang sekolah, jalan kaki sama teman-teman. Di sekolahku, anak kelas lima SD pulangnya pukul 11.00. Belum panas, jadi masih bisa jalan-jalan. Asyik lho, bisa melihat baju-baju bagus dari kaca toko.

Tadi aku kaget, tapi seneng. Bunda Mira menjemput ke sekolah. Katanya, Bunda mau mengajak aku makan siang di Ayam Kriuk. Asyiiik! Aku senang sekali. Sudah lebih dari sebulan pengin makan di sana seperti teman-teman. Aku pernah bilang ke Bunda, tapi selalu dijawab besok kalau punya duit. Akhirnya, hari ini aku diajak ke sana.

Aku sampai lonjak-lonjak karena senang, biar saja kalau dilihat banyak orang. Aku tidak sabar pengin cepat sampai rumah, ganti baju terus makan di luar sama Bunda. Sepanjang jalan pulang, aku membonceng di belakang sambil meluk pinggang Bunda. Aku bernyanyi-nyanyi bahagia.

Waktu tadi Bunda menaruh sepeda motor, aku sudah berlari sambil melompat-lompat masuk rumah. Aku dengar ada suara dari dalam kamar Bunda, lalu aku dengar seseorang menyebut nama Ayah.

Asyiiik ... Ayah sudah pulang, berarti bisa pergi bertiga. Cuma membayangkan saja, aku sudah senang. Ayah, Bunda dan aku. Kayak teman-teman di sekolah. Sudah lama sekali, aku tidak jalan-jalan sekeluarga.

Aku sudah mau memanggil Ayah, tapi ternyata ada orang lain di dalam kamar. Aku tidak tahu Ayah baru ngapain. Aku bingung. Kenapa Ayah sama Mbak itu tidak pakai baju?

Aku masih berdiri di depan pintu kamar tidak berani masuk, sampai Bunda masuk ke kamar dan mengamuk. Lalu, aku lari ke tempat ini, meringkuk di bawah meja makan. Menutup kedua telingaku, tapi teriakan Bunda dan Ayah masih saja terdengar.

Aku masih duduk di sini, saat Bunda membuang baju-baju Ayah dari dalam lemari. Aku membelalak. Dengan kedua tangan, aku menutup mulut biar tidak teriak. Ayah teriak-teriak lagi, terus membanting TV sampai pecah. Aku benar-benar kaget. Aku takut.

Aku tidak tahu harus bagaimana. Semuanya seperti sinetron yang sering Bunda lihat. Berkali-kali Ayah memukul Bunda pakai ikat pinggang sampai jatuh. Bunda teriak kesakitan. Bajunya sobek. Punggungnya berdarah. Mukanya biru dan bengkak.

Aku benar-benar ketakutan. Kasihan Bunda. Aku tidak tega. Itu pasti sakit.

Aku berdiri dari bawah meja, lalu lari ke arah Ayah dan memukul-mukul kakinya. "Ayah jahat! Ayah jahat!" teriakku berulang kali.

"Diam, Kumala! Sana pergi!" bentaknya sambil menangkis pukulanku di kakinya.

"Jangan pukul Bunda, Yah. Kasihan Bunda ...." Aku terus memohon pada Ayah.

"Aaarrgghh!!! Sana pergi!" Ayah menendang kakiku sampai aku jatuh.

Aku memegang erat kaki Ayah, aku tahu Ayah mau mendekati Bunda lagi. Jangan sampai Bunda kena pukul.

"Ibu anak sama saja. Goblog!" Ayah mengangkat tubuhku dengan tangan kiri.

"Adduuuhhh!!!" Aku teriak pas rambutku dijambak Ayah. "Sakiiiit!"

"Dasar bebal! Bisa nurut apa tidak, hah?! Dikasih tahu tidak nurut!" Ayah melepas pegangannya, membuat tubuhku jatuh menabrak lantai.

"Sakit ...." Aku pengin menangis, tapi tidak keluar air mata. Aku kaget. Sangat kaget. Aku takut. Takut sama Ayah. Aku marah.

Aku mendekat ke Bunda, tapi ... kenapa Bunda tidak melihat aku? Kenapa Bunda diam? Kenapa Bunda tidak memelukku? Bunda ....

"Kecil-kecil berani nguping?! Ora nduwe toto kromo*1!" Ayah menendang bokongku sampai aku kembali jatuh. Terus aku dijambak dan diseret Ayah.

"Aaaaakkkhhh!!! Ampun, Ayah! Kumala janji ndak nakal lagi. Ampun ... sakiiiit!"

Ayah akhirnya melepaskan rambutku. Perih banget. Aku tidak menyangka, Ayah jadi kayak gini. "Bunda ... sakit, Bund," isakku.

Tapi kenapa Bunda tidak membantu aku? Apa Bunda tidak sayang lagi sama aku? Kenapa Ayah malahan pergi? Kenapa Bunda tidak melihat aku yang kesakitan? Kenapa, Bund?

"Bunda, sakit ... sakit ...." Badanku sakit semua. Dadaku juga sakit. Sesak.

***

Lima bulan kemudian

Aku berdiri di depan kamar Bunda yang terbuka, tidak berani masuk. Bunda duduk di pinggir tempat tidur. Menangis.

Melihat Bunda saat ini, membuatku benar-benar benci sama Ayah. Setiap aku ingat hari itu, pasti badanku menggigil. Aku takut. Masih takut. Bahkan sampai sekarang. Padahal sudah lebih dari lima bulan, tapi aku masih takut.

Aku sering mimpi tentang kejadian hari itu. Setiap terbangun, pasti bajuku basah penuh keringat. Ingin rasanya aku dipeluk Bunda. Dibelai. Dicium. Ingin sekali tidur bareng Bunda biar tiap malam aku tidak mimpi jelek, tapi Bunda tidak pernah mau melihatku. Bunda berubah.

Aku memanggilnya, "Bunda."

Bunda masih nangis, dan tidak mau menengok ke aku. "Keluar, Mala! Bunda ingin sendiri," ucap Bunda dengan tegas.

Aku nekat mendekat. Aku pengin memeluk dan dipeluk Bunda. Pelan-pelan, aku peluk bahu Bunda dari samping. Hangat sekali.

"Pergi, Mala!" bentak Bunda. "Bunda nggak mau lihat kamu!"

Bunda melepaskan pelukanku dengan kasar. "Hari ini Bunda cerai sama Bajingan itu! Terserah kamu mau ikut siapa. Bunda nggak peduli!"

Kenapa Bunda ngomong kayak gitu? Bunda benar-benar tidak sayang sama aku lagi? Aku coba lagi untuk memeluk Bunda, tapi pas aku baru memegang bahunya, sudah ditepis dengan kasar.

"Kamu budeg?! Bunda bilang pergi! Bunda nggak ingin melihatmu!" teriak Bunda dengan lantang. Kali ini Bunda melihatku, tapi dengan marah.

"Bunda jangan nangis lagi. 'Kan masih ada Kumala di sini untuk Bunda," aku bergumam. Aku juga butuh Bunda.

"Pergi, Mala! Atau kamu mau Bunda kirim ke rumah ayahmu?" ancam Bunda yang membuatku takut.

Tidak! Aku tidak mau sama Ayah! Aku benci Ayah! Ayah jahat! Aku mundur pelan-pelan. Aku tidak mau tinggal sama Ayah.

Aku maunya sama Bunda, tapi Bunda benci sama aku. Bunda tidak mau sama aku lagi. Aku pengin sama Bunda, tapi Bunda tidak pengin lihat aku lagi. Terus aku harus gimana, Bund?

***

Keterangan:
*1 = Tidak punya sopan santun

Edit
Solo, 03 Juni 2018

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top