A Storie about An Owl : Night
"Akaashi? Kamu baik-baik saja?"
Bokuto menyeka keringat dengan leher kaosnya, menatap si junior yang tersengal bertumpu pada kedua lututnya.
"Aku.. sudah tidak sanggup lagi."
Latihan dengan Bokuto hingga malam adalah mimpi buruk untuk Akaashi.
"Baiklah, kalau begitu kita pulang saja. Duduklah sementara aku membereskan lapangan."
"Biar aku ban--"
"Shh, tidak perlu! Ini karena aku memaksa Akaachi untuk menemaniku latihan! Jadi tidak apa!"
Akaashi yang terlalu lelah pada akhirnya hanya duduk di tengah lapangan. Kedua kaki terbuka, lengan bertumpu di belakang membuat torsonya yang naik turun tercetam pada kaos yang basah.
Mengatur nafas sambil melihat Bokuto yang mengumpulkan bola berserakan, menggulung net, dan memasukkan mereka semua ke dalam gudang.
Tanpa Akaashi sadari, Bokuto kini sudah berada di hadapannya dengan tangan terjulur. "Akaa~shi bisa berdiri?"
Akaashi mengangguk, ia menyambut tangan Bokuto dan berdiri.
Namun karena kakinya yang begitu lemas, ia kehilangan tenaga.
"Eh?"
"Woa--"
Akaashi yang limbung berhasil Bokuto tangkap, membuat wajah ayu yang basah menempel pada kaos lengket si senpai.
Ia bahkan bisa mendengar degup jantung Bokuto yang berdetak keras.
Akaashi yang bersemu merah mencoba menegakkan tubuhnya, menjauh dari Bokuto yang masih mendekapnya.
Melingkarkan tangannya pada punggung dan pinggul yang lebih muda.
"M-maaf, Bokuto-san aku..." Bibirnya berhenti bergerak.
Iris zamrud itu melihat wajah Bokuto yang bersemu, iris emasnya bergerak liar, hidung kembang kempis sambil menggigit bibir menahan jeritan.
"T-tidak apa Akaashi!" Bokuto salah tingkah.
Apa mereka merasakan hal yang sama? Entahlah, yang pasti keduanya terlihat bersemu.
.
.
.
Ia hanya mencintai satu orang.
*****
Karena merasa bersalah, Bokuto (dengan sedikit memaksa) mengantarkan Akaashi pulang. Beruntungnya Akaashi ke sekolah memakai sepedanya, jadi Bokuto bisa mengantarkan juniornya lebih cepat.
Namun karena model sepeda yang seperti di atas, Bokuto meletakkan tasnya di depan dadanya.
Sementara Akaashi duduk di belakangnya menghadap punggung lebar si senior, melihat betapa lebarnya pundak yang biasanya ia remas ketika mereka tengah--
Akaashi segera menepis pikirannya yang melalang buana, wajahnya merah padam.
"Kaashi?? Tak apa?" Bokuto tentu merasakan getaran gelisah di belakangnya.
"Tidak apa Bokuto-san, aku baik-baik saja." Jawab Akaashi dengan begitu tenang, menutupi detak jantungnya yang menggila.
Apakah ini efek dari aroma tubuh si senpai yang terbawa angin malam? Mereka memang tidak sempat mandi karena Bokuto pikir Akaashi lebih baik langsung pulang saja.
Aroma keringat, sedikit shampoo, dan gel rambut. Aroma yang hanya ia dapati dari Bokuto mengisi rongga paru-parunya setiap kali bernafas.
Entah kenapa... Akaashi menyukainya, meski terdengar cukup jorok.
"Akaashi~ kita sudah sampai!"
Akaashi mengerjap, perjalanan mereka terasa begitu singkat. Apa tadi ia tertidur?
"Terima kasih sudah mengantarkanku pulang Bokuto-san."
Akaashi turun dari boncengan, menatap seniornya yang tersenyum lebar.
"Tentu Shi! Setelah ini segera mandi dan makan oke? Isi tenaga dan istirahat yang cukup!"
Bokuto turun dari sepeda itu dan menyodorkannya pada Akaashi.
"Iyaa Bokuto-san, kamu jug--"
CKLEK--! Pintu utama terbuka, menampilkan sosok wanita tinggi semampai dengan surai hitam bergelombang sepundak. Iris zamrud yang senada seperti hooded eyes Akaashi, dan bulu mata lentik yang panjang.
Benar-benar seperti kembaran Akaashi Keiji, namun lebih cantik dan anggun.
"Keiji sayang, bukankah ibu bilang jangan pulang terlalu larut?"
Akaashi menundukkan kepalanya, takut menatap mata ibunya. "Maaf ibu... aku terlalu bersemangat untuk kejuaraan nanti."
Ucapnya beralasan, padahal Bokuto yang memaksanya untuk menemaninya lebih lama latihan.
Dan tentunya, Nyonya Akaashi tahu betul jika anaknya berbohong. Ia melirik anak yang lebih besar, menatapnya sejenak.
"Bokuto-kun, terima kasih sudah mengantarkan Keiji."
"Tidak Nyonya Akaashi, saya yang harusnya berterima kasih karena Akaashi mau menemani saya latihan lebih lama."
Akaashi melotot, Bokuto senpainya sangat bodoh! Dan tidak peka!
Nyonya Akaashi tersenyum, melirik anaknya yang pucat pasi.
"Baiklah Bokuto-kun, lain kali tolong jaga anakku ya. Dia cukup lemah dengan angin malam."
Tawa Bokuto lepas, "Iya Nyonya Akaashi! Kalau begitu aku pulang dulu, permisi... Akaachi! Besok jangan lupa latihan pagi ya!"
Bokuto berpamitan dan berjalan gontai meninggalkan pekarangan rumah Akaashi.
Meninggalkan ibu dan anak itu sendiri.
"Keiji." Panggil ibunya lembut, namun mengirimkan sinyal bahaya yang membuat tulang punggungnya meremang.
"I-iya bu?"
"Segera cuci jaket yang kamu pinjam dari Bokuto-kun, lebih baik kamu mengembalikannya dengan keadaan lebih baik."
Akaashi menggigit bibirnya, bagaimana ibunya tahu jika jaket yang ia kenakan bukan miliknya?
"Kamu pikir ibu cenayang? Ibu melihat jaketmu tertinggal di meja makan sayang."
Oke, sekarang ibunya bisa membaca pikiran?
"Segera bawa sepedamu ke dalam, mandi, dan makan."
"Baiklah bu." Akaashi mengekori ibunya yang berjalan masuk.
"Lain kali ajaklah Bokuto-kun main ke rumah."
Akaashi mengerjap, "Bolehkah?"
Nyonya Akaashi terkekeh pelan, "Tentu sayang. Bahkan ayahmu suka penasaran dengan siapa biasanya kamu pulang larut."
Oh, astaga.
Kedua orangtuanya penasaran dengan seniornya? H-hanya sebatas itu kan?
"Karena ibu pikir, ada baiknya untuk mengenal calon menantu lebih dekat."
Akaashi merah padam.
"I-ibu! Apa maksudmu?"
Nyonya Akaashi tersenyum simpul, "Sayang, caramu melihatnya seperti ibu melihat ayahmu."
Akaashi terdiam, ini serius? Sejak kapan? Akaashi mulai panik sekarang.
"Tidak apa, intuisi seorang ibu tidak akan pernah salah." Nyonya Akaashi mengusap wajah anaknya yang tegang, menatap manik zamrud yang sama seperti miliknya.
"Dan ibu tidak masalah dengan setiap pilihanmu, yang penting kamu bahagia dengan apa yang kamu inginkan."
Air mata Keiji menggenang, tubuhnya gemetar. Sekian lama ia menutupi, takut akan penolakan yang selalu menghantui. Rasa lega membuncah ketika tahu ibunya sendiri menerima dirinya yang seperti ini.
"A-apakah... ayah tahu...?"
"Sayang, ibu mengetahuinya dari ayahmu."
Keiji menggigit bibirnya untuk menahan isak tangis, orang tuanya lebih tahu mengenai dirinya sendiri.
"Fufu jangan nangis, lain kali ajak Bokuto-kun makan malam oke?"
"Hu'um..." Akaashi mengangguk mengiyakan.
"Dan ibu tidak mengizinkan kegiatan mesum di rumah, oke? Ibu bisa mendengar semuanya."
Tangis Akaashi berhenti, wajahnya semerah tomat.
.
.
.
Calon menantu paling meresahkan.
06042022
27052022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top