4. Tekad
Setelah beberapa menit menunggu, lelaki dalam mobil itu menatap sosok Raiga yang menggunakan mobil melewati mobilnya. Dengan cepat, Fiza melakukan kembali kendaraannya itu.
Sesampainya di rumah, dia langsung berteriak memanggil Zeta. Namun, adiknya tak menyahut.
"Ta!" Fiza mengetuk pintu kamar adiknya beberapa kali, tetapi perempuan di dalam kamar itu tak menyahut.
Mendengar suara Fiza yang terus meneriakkan namanya, perempuan itu menghela napas jengkel. "Apa?" sahut suara itu dari dalam kamar dengan kesal.
Fiza meletakkan tas kerjanya di kursi, lalu menatap pintu kamar adiknya yang tertutup. "Buka pintunya, Ta. Gue mau tanya," ujarnya yang tak langsung direspons Zeta.
"Mau tanya apa?" Nada kesal terdengar dari suara perempuan itu. "Tanya saja dari sana."
Fiza memutuskan bersandar pada pintu kamar adiknya. Dia melipat kedua tangannya di dada. Kepalanya mendongak menatap langit-langit. Napas kesal berembus dari mulutnya.
"Tadi dianterin pulang sama siapa?" Fiza mulai mengeluarkan pertanyaannya.
Zeta tak langsung menjawab pertanyaan kakaknya, dia menatap pantulan dirinya di cermin yang menampakkan wajah lelahnya sepulang kerja. "Sama bos. Kenapa?" balasnya datar.
Lelaki di balik pintu itu menatap ke sebelah kanannya. Menyandarkan kepala sebentar. Lalu kembali bertanya, "Ada hubungan apa lo sama atasan lo itu?"
Perempuan itu diam. Ia malah menatap foto dirinya dengan Vian dan Fiza yang tengah tertawa. Ada rasa sakit saat menyadari salah satu kakaknya telah pergi. Karena pikirannya tiba-tiba diisi oleh sosok Vian, ia melupakan pertanyaan kakak sulungnya.
Sampai membuat Fiza yang di balik pintu hampir menyimpulkan sendiri. Namun, dia kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama kepada adiknya.
Mendengar suara Fiza, perempuan itu tersadar. Dia menunduk dengan mata berkaca-kaca, lalu berkata, "Cuman hubungan antara karyawan dan bos."
Fiza merasa tak yakin dengan jawaban adiknya, tetapi dia membiarkan saja karena ada hal yang lebih penting. Dia hanya bisa berharap agar adiknya dan Raiga benar-benar tak memiliki hubungan apa-apa. "Gue percaya sama lo. Semoga kedepannya juga lo enggak ada hubungan apa-apa sama dia."
Dari kamar, Zeta hanya bergumam pelan. Lalu dia berjalan ke kasur dan merebahkan tubuhnya di sana.
"Kalo bisa lo resign dari kantornya Raiga, Ta," kata Fiza yang membuat Zeta mendengus sebal.
"Gajinya gede, Za. Mending lo pindah kerja saja ke tempatnya Raiga, biar lebih lancar kalau mau balas dendam," tutur Zeta dengan penuh penekanan.
Setelah itu, tak ada percakapan lagi di antara keduanya. Fiza yang berada di balik pintu langsung menuju kamarnya dengan tubuh dan pikiran yang sangat lelah.
Tak berbeda dengan Fiza, Zeta juga merasa lelah. Dia tahu, kakak sulungnya itu sangat tak terima dengan Raiga yang bebas berkeliaran setelah membunuh Vian. Dia juga tahu, rasa bersalah selalu ada dalam diri Fiza, tetapi dia tak ada niatan untuk membantu Fiza balas dendam.
Perempuan itu berusaha merelakan Vian yang pergi dengan mengenaskan. Dia mencoba terima kalau Raiga adalah pembunuh Vian, tetapi rasa bencinya tak sebesar rasa benci Fiza pada Raiga. Bukannya membenci, Zeta justru ingin berbaikan dengan musuh. Karena dia tahu, jiga bermusuhan dengan Raiga bukan jalan yang pantas dia ambil. Berhadapan dengan keluarga Ankara membuatnya berada dalam bahaya.
Meski tahu berhadapan dengan keluarga Ankara itu berbahaya, dia tak mampu mencegah Fiza. Kakak sulungnya itu ketika telah memutuskan sesuatu, akan sungguh-sungguh sebelum apa yang ia mau tercapai. Jadi, dia akan membiarkan Fiza bergerak sesuka hati, karena dirinya sudah mulai tak peduli pada Fiza.
Jiak disuruh memilih dendam paling besar dirinya kepada siapa, antara Fiza dan Raiga, dia akan memilih opsi pertama. Dalam pikirannya, sudah tertanam sifat Fiza yang terlalu egois. Fiza orang yang selalu mengekang dan tak suka dirinya bebas. Dan itu membuatnya enggan memperdulikan Fiza, meski dirinya tahu, hanya Fiza keluarga satu-satunya yang dia punya.
Perempuan itu membuang napas dalam. Lalu mengambil ponselnya dan membuka galeri. Dia melihat-lihat foto dirinya yang sebagian besar bersama Vian. Lalu beralih menatap fotonya bersama Raiga.
Dia masih sulit percaya kalau Raiga membunuh Vian dan ayahnya membayar orang lain untuk menggantikan hukumannya. Dia juga kadang merasa tak percaya kalau keluarga Raiga menyuap beberapa orang polisi demi kepentingan pribadinya.
Zeta juga ingin membuat Raiga sadar akan perbuatannya, tetapi dia berpikir jika menjebloskan Raiga ke penjara tak akan membuatnya jera. Dia memiliki cara sendiri untuk membuat Raiga sadar.
Di kamar sebelah, Fiza tak bisa memejamkan matanya. Pikirannya terus terisi dengan jutaan pertanyaan, apalagi dengan tubuhnya yang sudah menerima lima cangkir kopi. Karena tak bisa tidur dia meraih laptopnya dan melihat pekerjaannya. Namun, semua sudah beres dan dia tak bisa apa-apa selain berusaha memejamkan mata.
Esok harinya, Fiza tak melihat Zeta. Dia yakin, adiknya itu sudah pergi bekerja. Lelaki itu mencoba tak menghiraukan Zeta. Dia bergegas pergi bekerja dengan kepala pusing karena semalam benar-benar tak bisa tidur. Yang dia lalukan semalam hanya menonton film thriller sampai pagi.
***
Sebelum menuju kantor, Fiza memilih sarapan di warung bubur dekat kantornya. Dia sarapan sembari bertelepon dengan seseorang.
"Jadi si brengsek itu suap orang buat gantiin hukuman dia?" katanya dengan sendok berisi bubur yang bergantung.
Setelah beberapa menit bertelepon dengan orang yang menyelidiki Raiga, Fiza kembali melajukan mobilnya menuju kantor. Di dalam mobil, dia tak henti memukul-mukul stang. Amarah benar-benar menguasai lelaki itu.
"Lihat saja nanti, gue bakal balas dendam, Raiga," ujarnya dengan yakin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top