25. Sebentar Lagi
Setelah kemarin mendengar perkataan Zeta, Fiza merasa lega. Meski ia tak benar-benar merasa lega karena Zeta kini terlihat murung.
Fiza juga perlu bertemu dengan Raiga. Namun, dia ingin mendapat bukti terlebih dahulu tentang kejadian enam tahun yang lalu.
Ia mengacak rambutnya. Matanya masih menatap monitor, tetapi pikirannya tidak fokus pada pekerjaan. Suara seniornya yang tengah menyinari kantor dengan gosip samar-samar terdengar. Fiza merasa jengkel. Akan tetapi, dia memaksa mendengarkan obrolan mereka dengan harapan otaknya bisa kembali segar. Kepalanya mendongak sambil bersandar pada kursi.
"Gue jadi pengen ke Kanada, deh!" Mbak Mila berseru sambil melihat foto seseorang yang disodorkan Mas Gavin dari ponselnya.
"Omong-omong, ponakan gue cantik kan?"
Mbak Mila mengangguk. "Keponakan istri lo kan?"
Mas Gavin mengangguk. "Iya, yang gue jodohin sama si Fiza," katanya sambil melirik Fiza.
Mas Gavin terkejut saat matanya bertatapan dengan Fiza. Dia menyangka juniornya itu masih fokus bekerja dan tak peduli gosip.
"Kaget gue si Fiza lagi nyantuy." Mbak Mila ikut-ikutan melirik ke arahnya. Fiza tak bersuara, dia hanya mengangkat kedua alisnya.
"Ko enggak kerja, Za?" tanya Mbak Mila.
"Rehat bentar, otak gue enggak konsen," ungkapnya.
Kedua seniornya mengangguk-angguk keheranan. Masalahnya, saat Fiza bekerja dia selalu konsentrasi. Fiza tak konsen bekerja baru kali ini terjadi.
"Lo kayaknya perlu lihat cewek cantik, deh, Za." Mas Gavin bangkit dari kubikelnya dan berjalan ke arah Fiza.
"Si Gavin hobi banget ya, jadi Mak Comblang," celetuk Mbak Tika.
Sebelum bersandar ke kubikel Fiza, lelaki itu menatap teman sejawatnya. "Eh, biar enggak ada yang jomlo tahu. Kasihan banget gue sama anak satu ini," balasnya.
"Alasan basi lo! Bilang saja kehabisan bahan buat gosip, susah amat, sih." Mas Faris ikut-ikutan bersuara.
Mas Gavin menatap Mas Faris sambil meletakkan telunjuknya di bibir. "Berisik, deh."
Senior Fiza yang gempal itu memilih tak menganggapi rekan kerjanya. Dia menyodorkan ponselnya ke arah Fiza.
"Ponakan istri gue, cantik, kan?"
Memang benar, perempuan yang tengah menggunakan gamis berwarna ungu ditambah memamerkan senyumnya yang manis begitu cantik. Namun, saat ini dia tak tertarik, yang dia mau adalah bukti kejahatan Raiga.
"Hm," gumam Fiza mengiyakan.
"Namanya Selena Maldev. Seumuran sama lo, meski dia kuliah S1 di UNPAD jurusan Hukum, enggak kayak lo yang S1 sama S2 di LN. Tapi dia pinter kok, Za, sampe dapet beasiswa buat lanjut S2 di Amerika." Mas Gavin menatap Fiza yang tak mengeluarkan ekspresi berbeda. "Dia sekarang jadi pengacara. Mau gue kenalin? Kalau mau gue kasih nomor WhatsApp-nya ke lo."
Setelah ngoceh panjang lebar, Mas Gavin kembali ke kubikelnya. Dia tak menunggu balasan Fiza karena sepertinya lelaki itu tak tertarik.
Sepeninggalnya Mas Gavin, Fiza terdiam. Otaknya merespons lambat, tetapi dia merasa mendapat pencerahan.
"Mas dia kuliah di UNPAD jurusan Hukum kan?" tanya Fiza yang membuat para seniornya menoleh dengan berbagai ekspresi.
Mas Gavin cengo menatap Fiza. Fiza bisa memaklumi itu, barangkali seniornya itu terkejut karena respons Fiza di luar ekspektasi Mas Gavin.
"Eh, hooh. Kenapa?"
"Dia seumuran gue kan?"
Para senior yang lain diam sambil menyimak. Sama-sama keheranan dengan respons Fiza.
"Iya. Mau gue kirim kontaknya?"
"Enggak." Itu suara Mas Faris yang menyahut. Dia sangat yakin kalau Fiza bakalan menolaknya.
"Boleh." Semua mata menatap Fiza tak percaya. Mas Gavin yang langsung tersadar dari keterkejutannya mengangguk sambil bergerak untuk mengirim kontak Selena pada Fiza.
"Thanks, Mas."
Alih-alih menjawab, Mas Gavin malah mengutarakan kekecewaannya. "Gue nyesel enggak ajak kalian taruhan," katanya, "coba saja kalau taruhan gue pasti menang dan bakalan dapet makan gratis."
Teman-temannya mencibir. Mereka juga menggumamkan rasa syukur karena tidak pernah pembahas taruhan saat Mas Gavin menjadi Mak Comblang.
"Lo jadi ke anak hukum sekarang, Za?" tanya Mas Faris saking tak menyangka.
Fiza mendongak dari acara mengirim pesan pada Selena. "Entahlah. Gue lagi butuh bantuan sama anak hukum lulusan UNPAD," ungkapnya.
Mas Faris hendak bersuara, tetapi kalah cepat dengan Mas Gavin. "Gue yakin si Fiza bakalan nyampe pacaran sama si Selena. Pesona ponakan istri gue kuat banget soalnya."
Tak ada yang bersuara. Fiza hanya bergumam pelan. Lalu suara Mas Gavin terdengar kembali.
"Gue mau taruhan!" serunya semangat. "Kalau si Fiza jadian sama si Selena, traktir gue makan di Plataran Dharmawangsa."
"Anjir, dompet gue jebol." Umpatan Mas Faris terdengar lebih dulu. Dia sangat terkejut, tetapi dia juga menyadari bahwa yang lain sama terkejutnya.
"Si Gavin kalau taruhan suka enggak tanggung-tanggung. Pede banget kayak yang bakal menang," sambung Mbak Tika.
Mas Gavin sekarang malah beradu mulut dengan Mas Faris dan Mbak Tika. Keduanya tak percaya kalau apa yang diucapkan Mas Gavin tentang pesona Selena yang bakal meluluhkan Fiza.
"Stop, deh." Mbak Mila yang sepertinya pusing karena adu mulut tak kunjung selesai, memilih melerai. "Gue setuju sama taruhan itu."
Bukannya mereda, para seniornya malah lebih giat berdebat. Fiza memilih tak ambil pusing. Dia tengah fokus berbalas pesan dengan Selena. Dia perlu mengatur temu dengan wanita itu untuk menanyai berbagai hal.
Sepulang dari kantor, Fiza memilih ke kantor Raiga. Dia mengurungkan niatnya yang akan pergi menemui Raiga saat bukti telah tersedia. Selena yang sepertinya akan membantu Fiza masih di rumah neneknya di Kanada, dan baru pulang minggu depan. Dia takut Raiga kembali ke rumahnya untuk menemui Zeta. Padahal dia tahu kalau Zeta sedang menjauh dari Raiga.
Jadi, dia perlu bicara dengan cowok itu perihal adiknya. Zeta memang tak menyuruhnya, tetapi dia perlu melakukan itu supaya adiknya tidak berubah pikiran gara-gara oleng melihat Raiga.
Mata Fiza menangkap sosok Raiga yang keluar dengan setelan jas Prada. Fiza bergegas untuk menemuinya sebelum Raiga pergi.
"Raiga!" panggilnya.
Raiga menoleh dan terkejut karena kunjungan tiba-tiba musuhnya. Dia mendekat dengan percaya diri sambil mengancingkan jasnya.
"Kenapa?"
"Gue perlu bicara." Dia mengamati eskpresi Raiga yang mengernyitkan dahi. "Ini soal adik gue."
Dengan enggan Raiga menurut. Dia mengajak Fiza menuju kafe terdekat.
"Ada apa?" tanyanya yang merasa tak nyaman duduk berhadapan dengan Fiza.
Lelaki di hadapannya masih tak bicara. Fiza malah asyik mengamati Raiga yang selalu memutar pandangan karena tak ingin menatapnya. Namun, dari sorot matanya, dia juga menampakkan kekhawatiran. Fiza berasumsi bahwa Raiga khawatir tentang Zeta yang tak masuk kerja ditambah tak memberi kabar.
"Zeta mau lo jauhin dia."
Perkataan Fiza membuat tatapan Raiga tertuju padanya sepenuhnya. "Lo bohong!"
Fiza menyeringai. "For God's sake, gue enggak bohong. Zeta yang minta."
"Zeta mustahil kayak gitu. Gue enggak percaya sama lo!" Raiga masih syok dengan perkataan Fiza sampai-sampai menyangkal ucapan kakak pacarnya itu.
"Kalau lo enggak percaya gue, berarti lo enggak percaya sama Zeta."
Fiza lalu merogoh ponselnya. Dia mengutak-atik benda itu lalu meletakkan ponselnya di tengah-tengah meja. Suara rekaman adiknya terdengar. Itu suara Zeta yang dia suruh membuat pernyataan saat dia menunggu Raiga.
Ekspresi Raiga jelas-jelas berubah. Wajah sangarnya seakan lenyap saat mendengar itu. Kata-kata Zeta seakan meruntuhkan dunianya.
"Kalau lo mau bertanggung jawab tentang perbuatan lo ke Vian, gue bakal izinin lo sama Zeta," kata Fiza setelah rekaman itu selesai. "Gue enggak bakal rela kalau adik gue nikah sama pengecut kayak lo."
Mendengar kata pengecut membuat Raiga menatap Fiza tajam. Namun, tak ada satu kata pun dari mulutnya yang keluar.
"Jadi, lo mau gimana? Dijauhi Zeta selamanya, atau bertanggung jawab?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top