23. Civil War

Fiza masih membeku untuk beberapa saat. Otaknya mendadak sulit merespons ucapan Zeta. Mungkin karena seluruh raganya tak pernah berharap mendengar itu.

"Lo bercanda, Ta?" Fiza menatap adiknya penuh harap, dia berharap adiknya itu mengangguk.

Sayang, Zeta malah menggeleng. Itu membuat diri Fiza dikuasai amarah seketika. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat, hendak menonjok Zeta jika tak sadar bahwa itu adiknya.

Tatapan Fiza seketika beralih pada Raiga yang terdiam. Matanya bertatapan dengan sorot mata dingin Raiga.

"Lo!" Fiza menunjuk Raiga tepat di wajahnya. Lelaki itu merasakan amarahnya semakin memuncak. "PERGI!" jeritnya yang langsung mendorong Raiga keluar.

Raiga hampir jatuh jika saja dia tak langsung mengatasi ketidakseimbangan tubuhnya. Dia menatap Fiza murka lalu menghadap lelaki itu penuh keberanian.

"Berani-beraninya lo dorong gue!" Raiga membentak dengan keras, membuat Zeta langsung mendekati dua lelaki itu.

Dua orang itu tak menyadari kehadiran Zeta yang berada dua langkah dari mereka. Keduanya fokus saling bertatapan tajam, sampai Raiga mengepalkan tangannya dan mengarahkan itu pada wajah Fiza.

Tak mau kalah, Fiza balas memukul lelaki yang tadi diperkenalkan oleh adiknya sebagai pacar. Dia memukul Raiga dengan membabi buta. Matanya seakan menyala karena amarah yang semakin menggila.

Raiga berusaha melawan sekuat tenaga, tetapi dia kalah kuat. Menatap wajah Fiza yang mirip wajah mendiang Vian membuatnya teringat masa lalu. Wajah mereka sangat mirip, hanya dibedakan dengan warna kulit. Jika Vian berkulit putih Fiza memiliki kulit sawo matang. Hal itu membuat Raiga sedikit lemah, dan Fiza malah semakin sering meninjunya.

Tangan Zeta tiba-tiba mendorong Fiza menjauh dengan kuat. Hidungnya kembang kempis dengan tatapan tajam menghunus Fiza. Dia tak takut kakaknya untuk saat ini, yang dia takut kan adalah Fiza membunuh Raiga dengan tangannya sendiri untuk menuntaskan dendamnya.

"STOP, ZA!" Zeta menjerit sambil berusaha membangunkan Raiga yang terduduk lemah di lantai.

Seakan tak memedulikan adiknya, Fiza kembali mendekat. Dia menjauhkan tangan Zeta dari Raiga dengan paksa. "PERGI!" katanya pada Raiga.

Raiga tak melawan. Dia berjalan pelan ke dalam mobilnya setelah menatap Zeta sambil mengangguk lemah.

"Masuk, Ta!" Bukannya masuk, Zeta malah memandangi Raiga yang tengah berjalan. "Arzeta, masuk!" perintah Fiza yang langsung meraih tangan adiknya untuk masuk.

Fiza langsung menutup pintu dengan keras saat keduanya saling berhadapan di ruang tamu. Lelaki itu meremas rambutnya lalu tangannya bergerak untuk mengacak-acaknya.

Fiza berusaha mengatur napasnya. Tak bisa dipungkiri, lelaki itu merasa sangat lelah. Dia memilih bekerja dua puluh empat jam nonstop, daripada harus baku hantam dengan amarah menggebu apalagi setelah mendengar perkataan Zeta yang seakan meruntuhkan dunianya. "Lo bercanda, kan, Ta?" tanya Fiza dengan suara yang dia buat senormal mungkin.

Adiknya itu menggeleng lalu mendorong Fiza menjauh. "Gue enggak bercanda, Za! Enggak bercanda!" teriak Zeta.

"Mau lo apa?" Fiza masih berusaha tak mengeluarkan suara lebih keras.

"Gue mau nikah sama Raiga!" Tak ada keraguan dalam suara itu, tatapan Zeta juga menyorotkan keyakinan.

Fiza kembali mengepalkan kedua tangannya. "Lo tahu siapa dia?"

Zeta mengangguk yakin, tetapi tak berkata apa-apa. Hal itu membuat sedikit amarah Fiza tersulut. Seluruh badannya terasa panas.

"LO TAHU SIAPA DIA?" bentak Fiza yang kini tak bisa lagi mengontrol emosi.

Lagi, Zeta tak bersuara. Dia bahkan tak mengangguk. Dia hanya menatap Fiza sekilas lalu mengalihkan pandangannya.

"Lo tahu dia udah bunuh Vian, Arzeta? Dia pembunuh!" geram Fiza, "Vian rela terbunuh demi lo, Ta! Demi lo!"

Zeta tak menanggapi, tetapi telinganya mendengar semua apa yang dibicarakan Fiza dengan jelas.

"Dan balasan lo? Lo malah berhubungan sama pembunuh itu!" Mata Fiza terasa perih saat Zeta menatapnya dengan air mata yang perlahan mengalir.

"Raiga enggak bermaksud membunuh, Za!" kata Zeta sambil mengatur napasnya. "Dia enggak sengaja, Za. Dan lo enggak seharunya benci dia!"

Tatapan Fiza menyiratkan ketidak percayaan pada ucapan Zeta. "Kalau enggak sengaja kenapa dia enggak mau bertanggung jawab?"

Zeta terdiam, mengalihkan pandangan dari mata kakaknya lalu kembali menatap Fiza sambil berkata, "Justru karena dia enggak sengaja, dia bayar orang buat bertanggung jawab."

"Intinya, lo mau nikah sama pengecut, gitu?" tegas Fiza yang membuat air mata Zeta semakin deras mengalir.

"Dia bukan pengecut, Za!"

"Cih! Dusta!" gumam Fiza, "jauhin dia, Arzeta!"

Zeta tak merespons. Fiza kembali bersuara lebih keras. "Jauhin dia, Arzeta!" Lagi, Zeta tak merespons. "Resign dari kantornya! Putusin dia!"

Zeta tak berkata apa-apa. Dia hanya menunduk. Kemudian, dia berkata sesuatu yang membuat amarah Fiza semakin tersulut.

"Lo egois, Za!" bentak Zeta dengan mata yang berlinang air mata. "Lo manusia paling egois!"

Fiza terdiam mengamati adiknya. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal.

"Andai lo enggak pergi buat kepentingan lo sendiri dan tinggalin gue sama Vian, pasti Vian enggak akan terbunuh," jelas Zeta, "yang harusnya pergi ke Melbourne itu Vian, bukan lo!"

Fiza merenungi kata-kata adiknya. Fiza memang egois, tetapi kali ini saat terjadi adu mulut dengan adiknya, dia enggan mengakui fakta itu.

"Yang harusnya terbunuh itu lo, Za!" ujar Zeta dengan perkataan yang tegas dan menusuk. "Vian baik, dia sayang sama gue. Dan lo ...." Zeta mengacungkan telunjuk ke arah kakaknya. "Lo enggak pernah sayang sama gue! Lo cuma peduli diri lo sendiri!"

Zeta mengatur napas. Fiza masih enggan berkomentar, dia hanya menatap Zeta yang sepertinya tengah kerasukan. Mustahil Fiza tak menyayangi adiknya, dia meyakinkan pikirannya bahwa apa yang Zeta ucapkan semata-mata hanya omong kosong.

"Gue berhak bahagia sama Raiga! Lo bisa balas dendam tanpa ngelarang gue sama Raiga!"

Lelaki itu menggeleng kuat-kuat. Sangat tak setuju akan ucapan adiknya. "Enggak bisa!"

"Yang pendendam itu lo, Za, bukan gue." Zeta mengusap air matanya. "Izinin gue, ya?"

Jawaban Fiza masih sama. Dia menggeleng sambil berkata, "Enggak, Arzeta."

"Gue kecewa sama lo, Za!"

"Apa?" Fiza berteriak keheranan. "Gue lebih kecewa sama lo, Ta! Benar-benar kecewa!" Fiza mendorong Zeta yang menghalangi pintu ke samping. Lelaki itu pergi dengan amarah memuncak sambil membanting pintu.

Zeta terisak semakin keras. Tubuhnya merosot ke lantai. Dia tak percaya apa yang barusan terjadi. Dia hanya berharap itu semua mimpi.

***

Tak peduli siang atau malam, Fiza akan pergi ke makan keluarganya jika tengah kecewa. Dia tak menyangka adiknya berkata seperti itu.

Dia sangat menyayangi adiknya, terlepas dari status bahwa hanya Zeta keluarga satu-satunya. Fiza menunduk dalam di antara dua makam.

Dia tak mempedulikan suara binatang malam yang membuat suasana malam semakin seram. Dia mendongak, tak ada bintang di langit.

Lelaki itu bercerita tentang perang mulut dengan Zeta. Hawa dingin yang menusuknya tak membuat dia ingin bergegas pergi. Justru, dia ingin berlama-lama di sini. Angin malam saat ini bahkan terasa menyejukkan raganya. Otaknya terasa lebih dingin, dan dia mulai berpikir lebih jernih.

Setelah puas berceloteh sendirian di kuburan yang sepi, Fiza bangkit.  Dia harus kembali ke Jakarta sekarang. Sebelum ke rumahnya, dia harus pergi ke makan ayahnya yang dikuburkan di Jakarta.

Dua jam lebih dari Bandung ke Jakarta membuat Fiza sedikit letih. Namun, dia juga merasakan pikirannya semakin jernih. Lelaki itu turun dari mobil menuju pusara ayahnya.

Dia tak berkata apa-apa. Hanya duduk sambil mengamati nisan bertuliskan Ferdinand Altamura.

Fiza kembali mengingat bagaimana sosok ayahnya meninggal. Beliau dipenjara karena difitnah, sampai ayahnya itu sakit-sakitan dan meninggal.

Fiza tahu, sakit itu dari Tuhan, tetapi alangkah baiknya jika ayahnya meninggal bukan di penjara. Setidaknya, jika sedang tak dipenjara, ayahnya bisa berobat dengan layak meski Fiza harus rela kembali ke tanah air dengan gelar S1. Dia pasti bisa menggantikan ayahnya menjadi tulang punggung keluarga. Sayangnya, takdir tak sesuai harapannya.

Fiza membuka suara, dia kembali bercerita tentang Zeta yang memiliki hubungan dengan keluarga Ankara.

"Yah, Fiza tahu apa yang harus Fiza lakuin demi keluarga," katanya mantap lalu berdiri untuk pulang.

Fiza membuka pintu dan mendapati Zeta masih terjaga. Matanya menatap sosok Fiza, dia tak tersenyum apalagi berkata sesuatu.

Lelaki itu mengamati adiknya yang tampak lelah dengan mata sembap. Hidungnya memerah akibat menangis hebat. Rambut panjangnya acak-acakan.

Fiza mendekat dan duduk di samping Zeta. Dia menatap adiknya sekilas lalu menatap lurus.

"Ta," panggilnya. Fiza bisa merasakan kalau adiknya menatapnya, tetapi Fiza memilih tak menatap balik Zeta. "Jauhin Raiga, kalau enggak, jangan pernah anggap lagi gue sebagai kakak." Setelah mengatakan itu, Fiza mantap menatap adiknya yang terkejut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top