1. Permulaan

Melbourne, November 2013

Seorang lelaki menatap wajah yang mirip dengannya di layar laptop dengan penuh kerinduan.

“Gimana kabarnya Zeta?” tanya lelaki itu pada adiknya.

Adiknya, Vian, menatap sekeliling untuk mencari orang yang dimaksud sang kakak. “Dia baik kok. Kayaknya dia lagi main.”

“Jagain terus Zeta, selama gue ada di sini, ya. Pokoknya kalo gue di sini, otomatis lo gantiin gue sebagai kakak pertama,” katanya diakhiri tawa singkat.

"Baik Kakak. Tanpa lo suruh juga udah pasti gue lakuin kali. Lo juga, di sana belajar yang bener, ya. Jangan lupa makan. Lo kalau udah fokus lakuin hal yang lo suka, pasti lupa segalanya. Kebiasaan lo buruk."

Arfiza, biasa dipanggil Fiza itu tertawa mendengar nasihat adiknya. "Iya Adik," katanya, lalu kedua saudara itu tergelak.

Tak lama dari itu Fiza menutup panggilan Skype karena hari semakin larut.

Bandung, Desember 2013

Seorang perempuan berambut panjang dengan pakaian rapi melihat sekelilingnya. Ia melihat pintu kamar kakaknya yang tertutup rapat lalu mengembuskan napas lega. Setelahnya dia berjalan mengendap-endap menuju pintu.

Tanpa ia sadari, kakaknya mendengar suara pintu terbuka. Tanpa pikir panjang, Vian, sang kakak mengikuti adik perempuannya.

“Udah dulu, ya, Za. Zeta keluar malem-malem lagi, gue mau ikuti dia. Lo jaga kesehatan, jangan belajar terus nyampe lupa makan. Gue tutup, ya.” Tanpa mendengar suara kakaknya, lelaki itu langsung menutup telepon, lalu bergegas mengikuti adiknya.

Dalam perjalanan, Vian terus menggerutu tentang adiknya yang tidak pernah menurut dan selalu pergi malam. Lelaki bernama Arvian itu sudah hafal dengan pelat nomor kendaraan yang selalu membawa adiknya pergi. Beberapa detik kemudian dia menyadari bahwa mobil yang ditumpangi Zeta berhenti di sebuah klub malam.

Langsung saja lelaki itu memarkirkan motornya dan berjalan cepat untuk menarik Zeta pulang.

“Arzeta!” panggilnya sebelum Zeta berhasil memasuki pintu klub.

Sosok yang dipanggil dan lelaki yang di sampingnya berhenti sembari menoleh ke sumber suara. Lelaki yang memegang tangan Zeta menatap jijik pada Vian. Lelaki itu mengeratkan genggaman tangannya pada Zeta saat Vian menarik Zeta dengan paksa.

“Zeta, ayo pulang!” titahnya yang malah mendapat gelengan dari adiknya.

Karena tak tahan dengan sikap Vian yang memaksa Zeta pulang, lelaki bernama Raiga menarik tangan Vian dengan keras. Saat dia merasa jarak Vian dan Zeta jauh, ia bergegas ke mobil dan mengambil sesuatu. Kemudian dia kembali menarik tangan Vian menuju tempat temaram yang sepi.

“Lo siapa nyampe berani tarik-tarik gue?” bentak Vian setelah berhasil melepas cengkeraman kuat dari Raiga.

“Harusnya gue yang tanya, lo sebenarnya siapa selalu ganggu gue sama Zeta? Lo suka sama Zeta, hah?” balas Raiga dengan berteriak.

Vian tersenyum kecil. “Gue bukan sekadar suka sama Zeta, gue sayang banget sama dia. Dan lo enggak ada hak buat larang gue deket sama Zeta, karena gue ka–“

“Banyak bacot, lo!” Sebuah tinju berhasil mendarat di pipi Vian.

Zeta yang melihat itu takut untuk mendekat, lalu dia pergi untuk memanggil teman-temannya supaya menghentikan perkelahian.

Ketika Vian belum sempat membela dirinya, pukulan berikutnya  langsung mendarat di wajah lelaki itu.

"Gue tahu, lo selalu ikutin gue sama Zeta. Gue mau lo berhenti ikutin kita." Pukulan kembali mendarat di pipi Vian dengan keras.

"Gue mau, lo mati saja!" teriaknya dengan pukulan yang semakin sering.

Mendapat serangan bertubi-tubi membuat Vian kewalahan, dia berusaha sekuat tenaga untuk melawan. Namun, dia kalah kuat. Raiga menyerangnya dengan brutal.

Ketika Vian berhasil meninju perut Raiga, lalu menonjok wajah lawannya berulang kali. Tanpa tahu bahwa Raiga tengah mengeluarkan pisau dari balik jaketnya. Tanpa pikir panjang, dengan sadar dia menusukkan pisau itu pada bagian dada Vian.

Menyadari sesuatu menusuk tubuhnya, Vian berhenti meninju Raiga. Dia melepaskan benda tajam itu dari tubuhnya dengan susah payah dan membuangnya ke tanah. Darah segar langsung mengalir dari dadanya. Penglihatan lelaki itu mulai samar. Hingga dia mendengar suara Zeta yang meneriakkan namanya, lalu dia tak ingat apa pun.

***

Zeta berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Pikirannya masih mencerna situasi yang terjadi. Dalam pikirannya dia menyangkal jika Raiga menusuk Vian.
Setelah mengatur napas, dia berhenti berjalan. Yang terlintas dalam otaknya adalah menghubungi Fiza. Dengan tergesa dia langsung menelepon kakaknya itu.

Dua panggilan Zeta tak membuahkan hasil, dia lalu mencoba untuk ketiga kalinya. Saat tersambung, air matanya menetes tanpa disadari.
Halo, Ta? Kenapa enggak tidur?” Mendengar suara yang mirip Vian membuat air mata Zeta semakin deras.

“Fiza, Vian ... Vian dia ....” Zeta tak berhasil menyelesaikan kalimatnya, yang ada justru tangisannya yang semakin deras.

Perempuan itu tak menghiraukan suara Fiza yang terus memanggil namanya. Dia berjongkok dan menenggelamkan wajahnya untuk menumpahkan tangis tanpa peduli Fiza yang khawatir setengah mati.

Setelah puas menangis, Zeta mengangkat kepalanya dan mendengar suara Fiza lewat telepon. “Arzeta, Vian kenapa? Tenangin diri lo dulu, baru cerita.”

Zeta melakukan relaksasi singkat lalu memberanikan diri untuk bercerita tentang Vian yang ditusuk. Namun, ketika Fiza hendak merespons, pintu IGD terbuka.

“Dok, gimana keadaan kakak saya?” tanya Zeta dengan tangan memegang ponsel yang masih tersambung pada Fiza.

“Pasien Arvian mengalami tusukan yang cukup dalam di bagian dadanya sampai membuat dia kehabisan darah. Saat dibawa ke rumah sakit pasien sudah tidak sadarkan diri. Kami, tim dokter telah melakukan usaha semaksimal mungkin, tetapi Tuhan berkehendak lain, pasien bernama Arvian dinyatakan meninggal dunia pada pukul 00.12 WIB.”

Mendengar itu membuat pikiran Zeta seketika kosong. Tangannya gemetar, sampai ia tak sadar telah menjatuhkan ponselnya ke lantai. Tak lama dari itu, Zeta tak sadarkan diri.

***

Di belahan bumi lain, Fiza tak kalah terkejutnya dengan Zeta. Lelaki itu langsung meremas ponselnya dengan kuat. Air matanya langsung menetes tanpa disadari.

Di negeri orang, jauh dari sanak saudara, dia merasa tak berguna sebagai kakak. Padahal ayahnya selalu menyuruh Fiza untuk menjaga adik-adiknya. Rasa bersalah menyelimutinya. Malam yang sunyi menjadi temannya saat itu.

Tanpa bisa ia cegah, amarah juga berkobar dalam dirinya. Marah pada takdir yang kejam, dan marah pada orang yang tega membunuh adiknya yang tak bersalah.

Jakarta, Januari 2019

“Za, saya duluan, ya!” ucap bos divisi Fiza.

Fiza menatap ke arahnya. “Iya, silakan, Pak. Kerjaan saya juga udah mau beres,” balasnya santai sembari memfokuskan diri kembali pada pekerjaan.

“Kalo udah beres kerjaan jangan lupa langsung pulang,” pesannya yang diiyakan oleh pemuda berusia 24 tahun itu.

Selesai mengerjakan pekerjaannya, Fiza melirik jam yang bertengger di lengannya. Waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB. Suasana kantor benar-benar sepi. Rutinitas seperti itu sudah tak terasa asing lagi untuknya yang selalu mendapat banyak pekerjaan. Lembur sampai jam 3 dini hari pun baginya tak ada masalah.

Lelaki itu tak langsung membereskan barang-barangnya, dia memikirkan sesuatu yang sangat penting. Hanya dengan memikirkan itu, membuat lelahnya pergi begitu saja. Dia langsung mengetikkan sesuatu di keyboard-nya.

Tanpa butuh waktu lama, apa yang ia cari sudah tertera di layar monitor.

Raiga Ankara, putra satu-satunya Reksa Ankara dikabarkan akan menjadi pewaris Ankara Company.

Lelaki bernama lengkap Arfiza Zidanov Altamura itu tersenyum miring. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap langit-langit.

“Enaknya pembunuh diapain, ya?”

Terima kasih sudah membaca ❤️. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Berikan kritik dan saranmu juga.
Semoga suka sama cerita pake unsur revenge yang aku tulis~

Omong-omong, cerita ini bakalan up tiap hari. Jadi, sampai jumpa besok ✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top