27. Komet Antarbintang
Tepat pukul setengah enam pagi, suasana rumah sederhana Bintang telah hiruk. Alrescha tampak santai mengecek email masuk yang dikirimkan sekretarisnya setelah sarapan, sembari menunggu Bintang yang sedang berganti baju. Pak Dian terlihat sedang menelepon seseorang, seakan memberi laporan kepada atasannya. Berbeda dengan Pak Agung. Ia mengawasi beberapa tetangga Bintang yang sedang berlalu lalang seraya bermain dengan smartphone-nya.
"Ma, dasiku mana?" teriak Ibra sambil keluar dari kamar dengan mengenakan baju seragam putih abu-abu yang belum rapi.
Lintang yang sedang mencuci piring menoleh sejenak, "Digantungan baju nggak ada?"
"Enggak ada, Mama...," sungut Ibra yang sedari tadi mencari namun tidak menemukannya.
"Coba dicari lagi. Carinya pakai tangan, jangan pakai mulut," balas Lintang yang sudah hafal dengan polah tingkah putra bungsunya.
"Hah!!"
Alrescha menahan senyum. Melihat tingkah Ibra saat ini seperti sedang memutar kenangan lamanya. Teringat akan dirinya yang sering bertingkah seperti Ibra pada sang ibunda dulu. Sosok bia-nya bagaikan dewi yang maha mengetahui segala hal di dunia. Hingga sekarang, Alrescha akan selalu menganggap bahwa seorang ibu adalah mahadewi.
"Bang, lima menit lagi taksi online-nya datang," lapor Pak Agung yang telah berhasil memesan taksi online atas perintah Alrescha.
Alrescha mengangguk, "Terima kasih, Pak Agung. Tinggal menunggu Bintang saja."
"Maaf, Bang. Di luar ramai sekali. Sepertinya ibu-ibu sedang membicarakan keberadaan kita di sini," bisik Pak Agung yang membuat dahi Alrescha mengerut.
"Pada kumpul gitu?" Alrescha menyahut pelan.
"Iya, Bang."
"Kita pakai masker nanti."
"Iya, Bang. Nanti Pak Dian masuk mobil dulu. Abang sama Mbak Bintang duduk di tengah, saya yang di depan."
Alrescha mengangguk, menyetujui saran dari Pak Agung. Ia menoleh ke arah dapur kala suara Bintang berseru keras memanggil Ibra. Membuat Lintang menghela napas panjang, dan mengembuskannya dengan perlahan.
"Adek!! Ini mana power bank-nya?" gerutu Bintang sambil menyodorkan kabel charger pendek berukuran 30 senti meter.
Ibra keluar dari kamar sembari merapikan ikatan dasi seragam sekolah. "Sabar, Kakak."
"Kenapa nggak bilang kalau kamu mau pakai power bank, Kakak?! Ini baru beli tahu!"
"Aku udah bilang sama Mama. Ya, kan, Ma?" Ibra membalas santai.
"Emang Mama yang punya power bank?!"
"Ya, kan, Kakak nggak ada. Lagian kalau power bank cuma disimpan doang, jadi rusak nanti."
"Ganti!"
Lintang bergegas melerai, "Sudah. Nggak malu sama Bang Alres dan teman-temannya?"
Tubuh Bintang mematung. Perlahan emosinya mereda sesaat. Tersadar jika Alrescha berada di rumahnya saat ini. Kepala Bintang menoleh, lantas tersenyum malu pada Alrescha yang memandangnya dalam diam sambil menahan senyum. Kemudian menatap tajam Ibra yang sedang tersenyum manis tanpa merasa bersalah sedikit pun.
"Beliin yang baru!" tegas Bintang lagi.
"Nanti Mama belikan yang baru," sahut Lintang mencoba menenangkan Bintang.
"Adek yang pakai, jadi Adek harus beli sendiri tanpa uang dari Mama." Bintang menekankan setiap ucapannya pada sang adik.
"Oke. Tanpa uang dari Mama, ya?" ujar Ibra yang langsung membuat Bintang mengganggukkan kepala. "Abang, e-money yang kemarin buat aku, kan?"
"Iya. Itu buat kamu," jawab Alrescha santai.
Bintang mendelik kesal, "Jangan pakai uang Bang Alres!"
"Kakak, Bang Alres udah kasih uang itu buat aku. Jadi uangnya udah jadi milikku. Dan itu bukan dari Mama. Salahnya aku dimana?" jawab Ibra tenang.
"Bang, taksi online-nya sudah datang," tutur Pak Dian menginterupsi ketegangan di antara Bintang dan Ibra.
"Suruh tunggu sebentar, Pak," kata Alrescha sebelum beranjak dari tempat duduknya.
Alrescha menghampiri Bintang di ruang makan. Kemudian berpamitan pada Lintang dan Ibra.
"Alres pulang dulu, Bu. Terima kasih sudah mengizinkan Alres dan teman-teman menginap di sini," kata Alrescha sebelum bersalaman dengan Lintang.
"Sama-sama, Bang Alres. Terima kasih juga, karena sudah menjaga dan mengantarkan Ibra serta Bintang pulang ke rumah," ujar Lintang ramah.
"Itu sudah menjadi tanggung jawab Alres sekarang, Bu," ucap Alrescha sebelum menatap Bintang. "Mau ikut Abang pulang, atau lanjut berantem sama Ibra? Nanti Abang belikan power bank yang baru."
"Nggak mau. Bintang cuma mau Ibra yang beliin power bank-nya. Dia harus tanggung jawab karena sudah pakai barang orang tanpa izin," tegas Bintang sebelum berpamitan dengan mamanya.
"Oke," pasrah Ibra sebelum dasinya ditarik oleh Bintang sembari melangkah pergi. "Ish!"
Alrescha mengulas senyum, "Abang pulang dulu. Baik-baik, ingat kata-kata Abang kemarin."
"Siap, Bang!" seru Ibra memberi hormat, dan menyalami Alrescha.
Lintang dan Ibra mengekori Alrescha setelah Pak Dian dan Pak Agung berpamitan. Sesuai rencana, Alrescha, Pak Dian dan Pak Agung telah memakai masker mereka. Alrescha terperanjat saat melihat beberapa ibu-ibu tetangga Bintang sudah berada di depan rumah. Ada yang sedang membeli roti dan jajanan pasar. Ada pula yang sedang berbelanja sayur-mayur. Semua serempak memandang ke arah Alrescha ketika Bintang membuka pintu gerbang. Celotehan ala ibu-ibu komplek pun mulai bersahutan.
"Kirain temannya Ibra yang menginap," oceh seorang ibu yang mengenakan daster berwarna merah.
"Pacarnya, Mbak Bintang, ya?" imbuh ibu yang mengenakan hijab dan gamis batik.
Bintang hanya tersenyum sembari menunggu gilirannya masuk ke dalam mobil, "Mari, Bu."
"Wah, Bu Rakha kayaknya sebentar lagi mau mantu, nih?" sela ibu-ibu yang mencepol rambutnya.
"Aamiin. Doain yang terbaik aja, Bu," sambut Lintang ramah.
"Bye, Bang." Ibra melambaikan tangannya kala Alrescha dan Pak Agung telah masuk ke dalam mobil.
"Ati-ati, Bang Alres!" teriak Reza yang tiba-tiba sudah berada di depan rumah Ibra.
Alrescha membuka jendela kaca mobil, lalu melambaikan tangan pada Lintang, Ibra dan Reza saat taksi online tersebut mulai berjalan. Hal itu tidak luput dari pandangan ibu-ibu yang masih berkumpul.
"Oalah, Cok. Aku meh foto mbe Bang Alres iki, malah Bang Alres wes mangkat," gerutu Reza yang tidak lain adalah tetangga Ibra. "Kapan Bang Alres rene, neh? Kabari aku, yo, Cok."
"Beres," sahut Ibra singkat.
"Mbak Bintang baru masuk kuliah langsung bawa pulang pacarnya ke rumah," sindir seseorang yang sedari tadi terdiam.
"Bu Rakha nggak khawatir kalau nanti Mbak Bintang kenapa-kenapa?"
"Iya, Bu Rakha. Anak-anak sekarang itu pergaulannya ngeri."
"Maksude Bu usman piye? Pergaulanku mbe Ibra elek ngono?" sungut Reza sebal.
"Ayo, Cok. Sarapan," ajak Ibra yang tidak ingin membuat keributan.
"Sok tahu kabeh!" imbuh Reza sembari membawa masuk motor matiknya ke teras rumah Ibra.
"Itu urusan mereka, Bu. Berani berbuat, berarti harus berani bertanggung jawab. Yang penting, saya sudah memberi tahu dan mengingatkan anak-anak, mana yang baik dan mana yang buruk. Anak-anak sekarang kalau dikekang malah nanti jadi berontak," tutut Lintang sabar menghadapai para tetangga yang bermulut usil. "Saya masuk dulu ibu-ibu. Mau siap-siap berangkat ke sekolah. Monggo."
"Silakan, Bu Rakha."
Senyum Lintang lenyap seketika setelah masuk ke dalam rumah. Ia kembali menuju dapur, menyelesaikan cucian piringnya sebelum berganti seragam keki cokelat untuk mengajar. Ditemani suara celotehan Ibra dan Reza yang mengomentari ucapan para ibu-ibu tadi. Kesibukan Lintang sebagai PNS Guru, membuatnya tidak memiliki waktu untuk sekedar bergosip bersama tetangga sekitar. Ia hanya akan berkumpul jika ada acara arisan RT/RW, pengajian rutin, dan acara warga yang sudah terjadwal. Lintang memilih menghabiskan waktu istirahat di rumah bersama keluarga dibanding duduk-duduk di depan rumah untuk sekedar berbagi informasi tentang apa yang terjadi di rumah tangga para tetangganya.
♡♡♡
"Apa mereka biasa seperti itu?" tanya Alrescha ingin tahu.
Bintang menoleh. Memandang Alrescha yang juga sedang menatapnya balik. Helaan napas berat Bintang berembus perlahan. Tanda yang telah memberi jawaban singkat atas pertanyaan sang kekasih.
"Iya," jawab Bintang dengan wajahnya yang sudah tertekuk karena menahan emosi.
"Mama Bintang sabar banget, ya," ucap Alrescha yang mulai memahami keadaan keluarga Bintang.
"Disabar-sabarin. Mama itu paling nggak suka kumpul-kumpul ngegosip gitu. Kecuali kalau memang ada acara tertentu aja," cerita Bintang sebelum memakan permen karet.
"Mama pasti sudah capek karena bekerja. Jadi, ya, malas kalau cuma sekedar keluar rumah bahas yang nggak penting. Yang penting itu Mama nggak anti sosial."
"Mereka tuh kayak nggak punya kerjaan gitu, Bang. Padahal mama aja kalau udah di rumah kerjaannya nggak selesai-selesai. Masak, cuci piring, menyapu, cuci baju, bersih-bersih rumah sampai mau tidur kadang."
"Bintang bantuin mama nggak kalau di rumah?"
Bintang meringis, "Enggak. Kadang-kadang aja. Lagian Mama itu kalau mau dibantuin malah ngomel. Katanya bikin ribet. Ya, udah, Bintang lihatin aja."
Alrescha tertawa kecil. Tangan kananya mengusap pucuk kepala Bintang seperti biasa. Menanggapi jawaban Bintang yang khas seperti anak kecil. Saat ini jarak usia di antara keduanya benar-benar terasa. Alrescha bisa melihat sisi lain Bintang saat berada di rumah bersama dengan ibu dan adiknya.
"Maaf, ya, Bang. Abang jadi dengar omongan nggak enak tadi," kata Bintang.
"It's okay. Abang kaget aja tadi," sahut Alrescha.
"Di komplek rumah Abang pasti nggak ada ibu-ibu resek kayak begitu."
"Abang kurang tahu. Bia mungkin mirip kayak Mama Bintang. Kumpul-kumpul kalau ada acara warga aja."
"Bia nggak mungkin belanja di abang-abang sayur keliling juga, kan?"
Alrescha terkekeh, "Bia biasanya kalau belanja langsung ke pasar, sekalian buat stok beberapa hari ke depan. Kalau ada yang kurang, kayaknya Mbok yang belanja di abang-abang keliling."
"Kirain orang kayak Bia belanjanya di supermarket terus. Ternyata ke pasar juga."
"Bia itu malah seringnya ke pasar tradisonal yang malam hari. Kata Bia, sayuran di sana masih segar-segar. Kalau belanja malam, pasti Ayah akan mengantar dan menemani Bia."
"Bia lagi healing itu." Bintang tertawa, sebelum akhirnya terdiam karena teringat akan sang papa yang sudah tiada.
"Maaf, Mbak Bintang," sela Pak Dian menyadarkan Bintang dari kesedihannya. "Apa nanti KRL-nya akan transit lagi di Manggarai?"
"Iya, Pak. Kenapa?" tanya Bintang ingin tahu.
"Transit lagi?" Alrescha menghela napasnya dengan kasar.
Alrescha merasa malas berada di stasiun Manggarai yang begitu padat oleh lautan manusia. Semua orang dari berbagai kalangan tumpah ruah di sana. Melihat hal itu, Alrescha seakan diperlihatkan simulasi para manusia di Padang Mahsyar. Berkumpul dengan urusan masing-masing, tanpa peduli pada siapa pun.
"Stasiun Manggarai memang merupakan stasiun tersibuk di Indonesia. Karena stasiun Manggarai adalah titik transit KRL Commuter Line Jakarta Kota, Bogor, Tanah Abang, dan Bekasi. Kereta bandara Soekarno-Hatta juga melayani penumpang di sana," terang Pak Agung. "Sebentar lagi sampai, Bang. Bersiap."
"Jam segini nggak akan ramai banget, kan?" tanya Alrescha yang sudah merindukan ketenangan.
"Tetap ramai, Abang. Tapi nggak seramai pagi tadi. Jam segini orang yang bekerja dan sekolah pasti sudah pada berangkat," jawab Bintang ketika melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul enam lebih empat puluh lima menit.
Alrescha, Bintang, Pak Agung dan Pak Dian bersiap untuk turun. Mereka akan menggunakan KRL kembali dengan waktu pemberangkatan pukul tujuh pagi tepat. Suasana stasiun sudah tampak hiruk-pikuk dari kejauhan. Membuat Alrescha setengah hati untuk menggunakan KRL lagi nantinya.
♡♡♡
Alrescha mengeratkan gandengan tangannya pada Bintang, seraya berjalan pelan di belakang Pak Dian. Mereka bersiap-siap untuk turun di stasiun Manggarai, lalu berganti KRL yang menuju ke arah tujuan akhir. Kedua mata Alrescha memandang riuhnya suasana stasiun Manggarai yang begitu padat. Ia teringat akan kejadian malam kemarin ketika semua orang berlarian untuk mengejar KRL terakhir menuju Bogor. Tidak terkecuali dirinya, Bintang, tim Mars dan dua pengawal yang tidak pernah lepas dari pandangan. Berlomba-lomba agar bisa segera masuk ke dalam KRL terlebih dahulu.
"Udah siap?" bisik Bintang di salah satu telinga Alrescha dengan kedua kakinya yang berjinjit.
Alrescha menolehkan kepalanya, lalu menatap kedua mata Bintang yang masih tampak mengantuk. "Jangan lepas dari gandengan Abang lagi!"
"Let's see," goda Bintang yang membuat Alrescha semakin mengencangkan genggaman tangannya. "Sakit, tahu."
"Maaf, Sayang."
"Nanti kalau lari pelan-pelan aja, ya. Kaki Bintang pendek. Ingat, kan?"
Alrescha tertawa kecil. Kemudian kepalanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Bintang. Ia kembali teringat bahwa satu langkah kakinya itu sama dengan dua kali langkah Bintang. Hal itu membuat Bintang kesulitan untuk mengejar langkah lebar sang kekasih.
"Ayo," kata Alrescha setelahnya.
Ketika pintu gerbong KRL terbuka, semua orang bergegas keluar. Mereka langsung berhamburan bak segerombolan lebah yang sedang mengejar mangsa. Tidak terkecuali Pak Dian, Alrescha, Bintang dan Pak Agung yang juga tidak ingin terlambat masuk ke KRL selanjutnya.
Helaan napas lega Bintang dan Alrescha berembus kasar setelah berhasil masuk ke dalam KRL. Mengikuti Pak Dian yang telah berhasil menerobos kerumunan agar bisa masuk ke dalam. Sementara Pak Agung yang berjarak satu meter dari Alrescha berusaha untuk mendekat. Tanpa Bintang sadari, ia telah berada dalam dekapan Alrescha. Membuatnya menjadi tontonan orang sekitar.
"Mas, pacarannya di rumah aja," tegur seorang bapak-bapak di sebelah Alrescha.
"Kalau mau mesum jangan di sini, Mas," imbuh perempuan di belakang Bintang.
Alrescha yang tersadar telah memeluk Bintang segera menjawab dengan menahan emosi, "Maaf, Pak. Istri saya terdorong-dorong tadi. Wajar, kan, saya peluk supaya nggak jatuh?"
"Mbak pernah lihat orang mesum nggak? Tuh, lihat di ujung sana!" Alrescha menunjuk sepasang muda-mudi yang duduk di pojok gerbong, dengan tindakan tidak senonoh--salah satu tangan pemuda itu masuk ke dalam pakaian teman perempuannya dengan di tutupi oleh tas.
Bintang berjinjit ingin melihat, tetapi langsung dihalangi oleh Alrescha. Ia menurut kala melihat tatapan tajam Alrescha mengarah kepadanya. Suara kasak-kusuk mulai terdengar. Beberapa orang menegur pasangan tersebut, dan menghujami mereka dengan caci maki.
"Mau lihat," pinta Bintang.
"Nggak usah," larang Alrescha sembari mengangkat salah satu tangan Bintang ke atas, dan meletakkannya ke gantungan tangan. "Pegangan."
"Huum."
"Besok kalau mau pulang ke rumah, Abang antar pakai mobil."
"Lama nanti sampainya. Pasti macet."
"Kita pakai heli. Gimana?"
"Helikopter?"
"Iya. Pinjam punya mas Tama."
Bintang pasrah kala mendapati tatapan intens Alrescha yang tidak ingin dibantah. Ia mengerti. Suasana stasiun dan orang-orang di sekitar telah membuat mood Alrescha berantakan. Sedari tadi Alrescha telah mencoba bersabar. Hingga puncaknya saat dituduh mesum oleh orang-orang.
"Terserah," jawab Bintang menurut.
♡♡♡
Alrescha menepati janji mengajak Bintang dan teman-temannya makan bersama serta menonton film. Hal yang membuat Bintang beserta teman dekatnya bahagia bukan kepalang. Entah kapan terakhir kali Alrescha mengajak kekasihnya untuk berjalan-jalan. Jika saja Bintang tidak mengambek karena larangannya menaiki KRL lagi, ia pasti tidak akan mau berkumpul dengan teman dekat Bintang yang begitu berisik. Tetapi Alrescha tidak berjanji jika akan datang tepat waktu untuk menjemput Bintang dan teman-temannya.
"Gimana, Bi?" bisik Ria yang duduk di sebelah kanan Bintang. "Dijemput? Atau kita pakai taksi online aja?"
"Dijemput sama supirnya Bang Alres," lirih Bintang menjawab setelah membuka pesan dari Alrescha.
"Tapi Bang Alres datang, kan, nanti?" tanya Lina yang duduk di belakang Bintang.
Bintang mengangguk sambil menatap layar proyektor di depan, "Huum."
Ratih yang duduk di sebelah kiri Bintang memberikan selembar kertas. Dahi Bintang mengerut perlahan, melihat tulisan latin Ratih yang seperti cacing kepanasan. Ia mengambil balpoinnya untuk membalas pertanyaan Ratih.
"Kakak ipar diajak? Belum putus, kan, dari Happy? Kok Happy dari tadi diem terus?" baca Bintang dalam hati.
"Bang Arash? Nggak tahu. Mungkin Bang Arash lagi nggak ada kabar. Hari ini, kan, ulang tahun Happy. Kita kasih surprise nanti pas makan," tulis Bintang membalas pesan tangan Ratih.
Kepala Ratih mengangguk setelah membaca balasan Bintang. Ia memberikan kertas itu kepada Estri di belakangnya. Kemudian terus beralih ke Riris, Lina, dan berakhir di tangan Ria. Sementara Happy yang duduk di depan Bintang tampak serius memerhatikan penjelasan dosen, dan sesekali mencatat hal yang dianggap penting.
Suara bel berbunyi, menandakan bahwa kelas perkuliahan telah usai. Suasana riuh terdengar dari semua kelas di lantai lima di gedung fakultas ilmu komputer. Para mahasiswa mulai bersiap untuk keluar dari kelas setelah sang dosen beranjak pergi. Tidak terkecuali di kelas Bintang.
"Gue pulang dulu, ya," kata Happy lesu.
"Loh, kok gitu, Hap? Masa kamu nggak ikut?" ujar Bintang menahan kepergian Happy.
"Gue capek, Bi," tutur Happy memberi alasan.
"Aku udah pesan tempat buat makan. Udah pesan tiket nonton juga seperti yang kalian mau. Masa kamu nggak ikut?" Bintang terus membujuk.
"Kalau satu enggak, ya, nggak usah pergi aja," putus Ria.
"Bisa di-cancel, kan, Bi?" tanya Ratih.
"Aku mau merayakan ulang tahun kamu. Tapi kalau kamu nggak mau, ya, udah," terang Bintang kecewa.
"Lu pake uang siapa pesan-pesan gitu? Gue nggak mau kalau pakai uang Bang Alres," ucap Happy yang membuat Bintang terdiam sejenak.
Pun dengan teman yang lain. Ria, Ratih, Riris, Estri dan Lina hanya memandang Bintang yang belum menjawab pertanyaan Happy. Semua tahu bahwa acara makan bersama kali ini atas permintaan mereka. Acara wajib saat salah satu di antara mereka baru saja memiliki kekasih--seperti pajak jadian Alrescha dan Bintang beberapa bulan lalu. Mereka juga yang telah menentukan akan makan di mana, dan menonton film apa. Dan semua tahu bahwa tidak mungkin Bintang menggunakan uang jajannya sendiri.
"Kamu tahu, kan, uang jajan bulananku berapa, Hap? Nggak lebih banyak dari uang jajan kamu," terang Bintang. "Tiap bulan aku memang dikasih uang jajan sama Bang Alres, tapi belum pernah aku pakai. Dan sekarang aku akan pakai buat traktir kalian semua. Tapi kalau kamu nggak mau, ya, sudah. Aku akan batalin."
Bintang mengulas senyum kecewanya sebelum pergi, "Aku pulang dulu. Bye."
"Jadi Bintang pakai uangnya sendiri, dong?" ucap Lina.
"Tetap aja itu uang dari Bang Alrescha. Ya, kan?" imbuh Estri.
"Kalau dikasih berarti udah jadi punya kita, kan?" tanya Riris yang sedari tadi terdiam.
"Hooh, Ris. Pinter," sahut Ria. "Yuk, ah, balik."
"Ayo," ajak Happy sebelum berlari mengejar Bintang.
"Yuhuu...."
Happy berlari kecil keluar dari kelas. Disusul Lina, Ria, Ratih, Riris dan Estri. Mereka tampak tersenyum sumringah karena acara sore ini akan tetap berlangsung.
"Bi!" panggil Happy sebelum meraih salah satu tangan Bintang. "Maaf. Lu nggak marah, kan?"
"Aku nggak marah. Cuma kesel aja sama kamu," sahut Bintang yang sempat tersinggung.
"Maaf, Bi. Gue cuma nggak pengen ketemu Bang Alres. Lihat Bang Alres pasti nanti ingat sama Bang Arash," cerita Happy sedih.
"Makanya, dari pada mikirin Bang Arash, mending kita jalan-jalan. Bang Alres juga nggak jadi jemput," sela Lina.
"Terus kita ke mall pakai taksi online?" tanya Happy.
"Supirnya Bang Alres sudah jemput di bawah. Jadi nggak?" tanya Bintang lagi.
"Jadi. Nanti gue nginap di kos lu, ya, Bi," pinta Happy.
"Gampang," kata Bintang beranjak pergi.
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh," hitung Lina sembari berjalan. "Emang cukup mobilnya, Bi? Kita bertujuh ini."
"Lu dibagasi entar," olok Happy menyusul Bintang.
"Jangan bilang Bang Alres jemputnya pakai pick up," celoteh Estri.
"Mending pick up, dari pada truk?" gurau Ria.
"Lah, masa ke mall pakai truk?" ujar Riris.
"Duh, mulai lemot." Lina menggelengkan kepala akan ucapan Riris.
"Ayo!" ajak Bintang untuk bergegas.
♡♡♡
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Bintang dan teman-teman mendapat giliran untuk masuk ke restoran AnaKabe. Restoran yang menyajikan konsep makan sepuasnya alias all you can eat. AnaKabe tidak hanya menyajikan menu-menu luar negeri seperti menu western atau Jepang--sushi and grill. Tetapi juga menyajikan makanan khas Nusantara seperti Sop Betutu asal Bali dan Kambing Guling.
"Wow...."
"Makan apa kita?"
"Ambil secukupnya aja."
"Kita punya waktu untuk menjajal semua makanan ini selama 120 menit."
"Boleh dibungkus nggak, sih?"
"Ndeso!"
"Yang diambil harus dimakan."
"Kalau nggak habis, bayar denda sendiri-sendiri."
"Alamak."
Begitulah celotehan Bintang beserta teman-temannya kala menuju area di mana mereka akan mengambil makanan untuk di makan. Di sana terlihat berbagai macam menu yang tersedia. Ada jajanan pasar, gorengan, pop corn, gulali, crepes, kambing guling, sushi, es krim, daging ayam, daging sapi, ikan, sayuran hingga seafood yang bisa dipanggang sendiri. Ada pula menu prasmanan yang selalu berganti, mulai dari nasi goreng, mie goreng, spaghetti bolognese, chicken karage, dan masih banyak lagi.
Selesai mengambil makanan, mereka semua kembali ke meja makan. Tiap meja dilengkapi dengan alat untuk memanggang (grill) dan kompor, atau suki untuk menyantap olahan sup yang bisa dipilih sendiri jenis kuahnya. Ada tom yam, sup miso, sup dengan jamur liar, soto, kaldu ayam, sop betutu dan chicken collagen. Dengan mengkreasikan sekitar 14 jenis saus dan sayur pelengkap lainnya pada suki atau grill yang bisa dicoba.
"Ini buat kuah tom yam, kan?" tanya Lina.
"Hooh," jawab Estri singkat.
"Enak kuahnya," cicip Ria.
"Cobain, Bi," kata Happy menyuapi Bintang dengan udang yang telah dipanggang.
"Lumayan," ucap Bintang.
"Nih, baby gurita." Ratih memberikan gurita panggangnya pada Ria dan Bintang.
"Bi, duit lu cukup, kan?" bisik Happy khawatir.
Bintang melirik Happy, "Bang Alres mau datang nanti."
"Sendirian?"
"Huum. Eh, sama Pak Dian dan Pak Agung."
"Siapa tuh, Bi?" tanya Lina ingin tahu.
"Supirnya Bang Alres lagi?" Riris menyela.
"Pengawal," sahut Happy singkat.
Lina tersenyum sumringah, "Masih muda nggak, Bi?"
"Mungkin seumuran Bang Arash," cerita Bintang sembari menikmati tom yam.
"Wah, cocok," cicit Estri.
"Eh, ganteng nggak?" tanya Lina lagi.
"Cowok, ya, mesti ganteng dong, Lin. Ya, masa cantik," sela Riris sambil memanggang daging sapi.
Ria tertawa, "Riris pinter sekarang, guys."
"Kemajuan bisa nyahut bener," tutur Lina menambahkan.
"Sue." Riris merengut.
Semua tertawa setelahnya seraya menikmati makan sore mereka yang menjelang petang. Sesekali bercerita random khas ala para gadis remaja--cinta dan cita. Bintang dan Happy yang selalu menjadi target mereka. Karena mereka ingin tahu bagaimana sosok Alrescha dan Arash ketika hanya berduaan saja.
"Kapan pertama kali lu first kiss, Bi?" tanya Happy ingin tahu.
Bintang hanya melirik, "Lupa."
"Eh. Emang udah berapa kali di-kiss sama Bang Alres?" Happy tidak puas.
"Heh. First kiss Bintang emang sama Bang Alres? Bintang punya mantan kali," ujar Ria.
"Bang Alres yang pertama," ucap Bintang malu.
"Ahaaay!"
"Bang Alres yang buka segel bibir."
"Segel bawah aman, kan, Bi?"
"Anjay. Bang Alres nggak bakal senakal itu."
"Who knows? Boys will be boys."
"Duh. Nggak bisa bayangin dikecup-kecup sama Bang Alres. Gimana rasanya, Bi?"
Bintang tersedak. Ia segera mengambil botol air mineral di dekatnya. Meminumnya hingga hampir habis. Kemudian Bintang memandang Lina dengan sebal.
"Sorry, Bi," ucap Lina meminta maaf.
"Udah, ah. Resek kalian," sungut Bintang kesal.
"Awas. Jangan sampai Bintang pulang duluan, entar nggak ada yang bayar," peringat Ria.
"Tenang. Bang Alres on the way," kata Happy menenangkan.
Lina terkekeh, "Bang Alres nggak bakal makan sisaan kita, kan, Bi?"
"Enggaklah. Nggak sopan," tutur Bintang.
"Bintang bentar lagi mode bini, nih," ledek Ratih.
"Kayak lu sama Mas Aryo," olok Happy.
"Mas Aryo itu tipe diam-diam menghanyutkan. Ganas, guys." Lina memulai kegaduhan kembali.
"Nggak usah bawa-bawa Mas Aryo," sahut Ratih.
"Tahu dari mana, lu?" Happy ingin tahu.
"Tiap habis ketemu Mas Aryo, Ratih pasti punya banyak cupang," terang Lina yang langsung mendapat cubitan di lengan dari Ratih. "Fakta, Jeng."
"Berisik!" seru Ratih sambil mengunyah cumi panggangnya.
"Kalau Bang Arash, Lin?" tanya Estri ingin tahu.
"Bang Arash kayaknya tipe santai dan menjaga. Happy aman pokoknya sama Bang Arash. Keep halal. Ya, kan, Hap?" Lina menuturkan tipikal Arash berdasarkan pandangannya.
"Aamiin," ucap Happy tampak pasrah.
"Bang Alres?" tanya Ria.
Lina menatap Bintang sebelum menyahut, "Bang Alres rada susah ditebak kayaknya. Tapi dia tipikal tegas, dan penyayang. Bang Alres itu kayak karakter tokoh wattpad di dunia nyata. Pres BEM terganteng, pintar, kaya, dan mapan. Perfect!"
"Emang Bang Alres gitu, Bi?" tanya Riris.
"Huum. Bang Alres emang tegas banget. Jangan berdebat sama dia. Nggak akan selesai-selesai," tutur Bintang.
"Kelihatan dari wajahnya. Beda sama Bang Arash. Bang Arash kayaknya lebih easy going," imbuh Estri.
"Easy going sampai nggak ada kabar," tambah Happy sebal.
"Sabar, Hap. Abang, kan, lagi cari uang buat yang tersayang," kata Ria menenangkan.
"Yoi. Orang sabar disayang Yayang," imbuh Lina seraya bergurau.
Suara seseorang tiba-tiba menginterupsi obrolan Bintang dan teman-temannya ketika nama Happy disebut. Semua orang menjadi fokus ke panggung kecil yang berada di ujung restoran--tempat di mana home band tamu tampil.
"Happy birthday, Happy. Wish you all the best. May you always be happy in every moment of your life. This is for you, my Happy," kata Arash yang sudah berdiri tegap di atas panggung dengan gitar akustik yang mengalung di lehernya.
Petikan gitar Arash mulai terdengar. Diiringi alunan musik dari home band restoran. Happy bergeming ketika Arash bernyanyi untuknya. Lagu itu menggambarkan bagaimana kesibukan Arash yang tidak memiliki waktu baginya selama ini. Lagu berjudul Sabtu Minggu--mewakili permintaan maaf Arash karena tidak selalu ada untuk sang kekasih, baik raga atau kabar sekali pun.
"Bila dapat ku berikan apa yang kau mau. Apa yang ku bisa dalam sekejap saja. Ku berikan, ku berikan.
Tapi bukan hal yang baru kau inginkan aku. Sepanjang waktuku harus selalu denganmu. Maafkanlah, ku tak bisa.
Ku tahu kau mengerti. Hatiku slalu ada kamu. Dari tujuh hari tlah ku berikan engkau dua hari.
Sabtu Minggu kau bersamaku.
Sabtu Minggu miliki aku.
Karna sabtu minggu aku untukmu.
Cintaku padamu lebih dari hari apa pun."
Arash tersenyum sembari memandang Happy dari jauh. Tanpa disadari siapa pun Alrescha telah berada di belakang Bintang. Kemudian duduk di kursi kosong di sebelah sang kekasih, diikuti oleh dua pengawalnya.
"Happy meleyot," ledek Estri.
"Eike juga meleyot," ujar Lina yang melihat Alrescha sedang menatapnya. "Bang Alres udah datang, guys."
"Bang Alres, long time no see," ucap Ria.
"Masya Allah," sebut Riris dan Ratih lirih.
Sama seperti yang dikenakan oleh Arash, Alrescha juga mengenakan setelan kemeja lengan panjang dan celana slim fit. Alrescha dengan pakaian serba hitam, sementara Arash menggunakan seragam hitam putih khasnya. Keduanya juga sama-sama melipat lengan kemeja hingga hampir ke siku.
"Kapan Abang datang?" tanya Bintang.
"Bang Alres ke sini sama Bang Arash?" tanya Happy penasaran.
Alrescha menggeleng sembari menonton kakaknya yang sedang bernyanyi, "Enggak. Aku nggak tahu kalau Bang Arash mau ke sini."
"Lu, Bi?" tuduh Happy.
"Bang Arash beberapa menit lalu sempat tanya, lagi di mana. Ya, udah, aku jawab aja," cerita Bintang tenang. "Maaf, Hap. Aku tahu kamu lagi kangen sama Bang Arash. Sekarang Bang Arash sudah di sini. Ini, kan, yang kamu pengen?"
Happy segera memeluk Bintang. Ia mencoba menutupi kedua matanya yang mulai merebak. Ia tidak menyangka jika Bintang yang baru dikenalnya beberapa bulan lalu begitu baik kepadanya.
"Terima kasih, Bi," ucap Happy lirih.
"Sama-sama. Terima kasih juga karena selalu antar jemput aku kemana pun selama ini," gurau Bintang yang membuat teman-temannya tertawa.
"Anytime, Bi," sahut Happy sambil mengusap kedua matanya.
"Barakallah fii umrik, Sayang," ucap Arash sambil mengusap kepala Happy.
"Kok, nggak balas pesannya aku?" balas Happy yang terharu dengan kejutan dari Arash.
"Maaf. Abang buru-buru ke sini tadi," jelas Arash yang masih mengelus rambut panjang Happy.
"Aku mau digituin, Bang," kata Lina yang langsung mendapat toyoran kepala dari Estri.
"Enak aja, lu," sungut Happy yang membuat teman-temannya tertawa. "Tapi tadi Abang sempat kirim pesan ke Bintang. Kenapa nggak balas pesanku dulu?"
Arash tertawa melihat Happy yang tampak lucu saat sedang menggerutu padanya. Dalam hitungan detik ia membungkam bibir Happy menggunakan bibirnya agar terdiam. Hal itu membuat Bintang, Ria, Lina, Ratih, Riris dan Estri terperanjat dan mematung sesaat. Begitu juga dengan Alrescha beserta para pengawal dari sang ayah.
"I miss you so much," ucap Arash sebelum beranjak duduk di sebelah Alrescha.
"Sue!"
"Ah...."
"Nempel beneran tadi?"
"Aaa...."
Bintang yang sudah tersadar dari keterkejutan tersebut langsung menenangkan teman-temannya. Ia tidak ingin menjadi tontonan pengunjung lain. Setelah tenang, Alrescha, Arash, dan tiga pengawal mereka mengambil makanan untuk dimakan. Sementara Happy masih terdiam karena terkejut dan malu. Ria, Ratih, Riris, Lina, dan Estri masih terus meledeknya.
"Bang, boleh tanya?" Lina memulai obrolan kembali.
"Apa?" tanya Alrescha.
"Kamu mau tanya sama Abang yang mana?" tanya Arash balik.
"Sama Bang Alres dulu, deh," kata Lina malu-malu. "Sorry, ya, Bi. Apa yang Bang Alres suka dari Bintang? Kan, banyak tuh cewek-cewek di kampus yang lebih cantik dari Bintang. Kenapa pilih Bintang?"
Bintang merengut menatap Lina yang duduk di seberangnya. Meski ia membenarkan perkataan tersebut, tetapi hal itu sedikit membuatnya sakit hati.
"Terus kenapa nggak milih Lu gitu?" tandas Happy yang membuat teman-temannya terkekeh.
"Sadar, woy!"
"Istighfar."
"Cantik itu relatif, tergantung dari sudut mana kita memandang," terang Arash sebelum melahap daging panggangnya.
Alrescha menjawab setelah selesai mengunyah makanannya, "Jatuh cinta itu tidak membutuhkan alasan, bukan?"
"Pasti ada alasannya, Bang."
"Iya, nggak mungkin tanpa alasan."
"Itu teori orang bucin, Bang."
"Menurut saya, cinta itu tidak memerlukan alasan. Karena cinta adalah perasaan dalam hati yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata apa pun." Alrescha kembali menyahut.
"Oke, gaes. Jangan berdebat dengan Bang Alres," pungkas Happy mengenang ucapan Bintang.
"Iya, sih. Tapi gini, aku suka Bang Alres karena Abang itu ganteng banget. Ada alasannya, kan?" tutur Lina memberi contoh.
"Cinta dan suka itu tidak sama," balas Alrescha sebelum memakan sup miso buatan Arash.
"Suka belum tentu cinta, tapi cinta sudah pasti ada rasa suka," jelas Arash.
"Contohnya, Bang," ujar Estri memberanikan diri bertanya pada idolanya.
"Ya, itu. Siapa nama kamu?" tanya Arash pada Lina.
"Lina, Bang," jawab Lina.
"Aku Ria, Bang."
"Saya Estri."
"Malah kenalan," sela Happy.
"Hahaha...."
"Lina tadi bilang suka sama Alres. Katanya, Alrescha ganteng. Coba kalau kamu lihat Alrescha baru bangun tidur, masih bakalan bilang suka nggak? Belum tentu.
Ketika kamu mencintai seseorang, dia akan selalu terlihat sempurna di matamu. Meskipun parasnya biasa saja. Walaupun dia belum mandi atau tidak memakai make up, dia akan tetap istimewa. Berbeda ketika kamu suka dengan seseorang. Orang yang kamu suka itu hanya terlihat tampan di momen tertentu saja. Paham?" Arash menjelaskan panjang lebar.
"Bintang beda dari perempuan-perempuan yang pernah saya temui selama ini," ucap Alrescha sebelum memandang Bintang yang sedang menikmati tom yam.
"Asyik...."
"Bedanya apa, Bang?" tanya Riris ingin tahu.
"Beda aja. Kalian cari tahu sendiri apa yang membuat Bintang berbeda," pungkas Alrescha.
"Cuma Bintang yang nggak suka dandan," ujar Lina.
"Noted," ucap Ria.
"Gue juga kali." Happy menyahut.
"Lu dandan, Hap. Lu masih pake maskara, Bintang cuma pake bedak sama lip glos doang," tutur Lina.
"I got it. Bintang itu apa adanya, sederhana, nggak suka yang aneh-aneh," terang Ria.
"Kenapa cowok-cowok selalu bilang, kamu itu lebih cantik kalau dandan yang natural. Tapi lihat cewek seksi dengan full make up masih aja melotot. Muna," tutur Lina mencurahkan hati.
"Karena cantik itu dari hati, bukan dari wajah atau body," terang Alrescha.
"Tapi Abang tetap lihat cover juga, kan?" desak Happy.
"Tentu. Tapi cantik dari hati itu lebih utama," jawab Arash. "Sebagai lelaki mungkin kita suka melihat cewek-cewek yang kayak model itu, tapi belum tentu kita ingin memiliki dia. Hanya sebatas suka. Sama, lah, kayak kalian yang suka nonton cowok bening di Drakor. Ya, kan?"
"Iya, sih." Lina berpikir sejenak.
"Bener juga," imbuh Ria dan Happy serempak.
"Habis ini nonton film apa?" tanya Alrescha pada Bintang.
"Sayap-sayap patah," jawab Bintang singkat.
"Film apa itu?" Alrescha tidak pernah mengetahui update terbaru film-film di bioskop.
"Film drama laga Indonesia," jelas Bintang singkat.
"Film yang diangkat dari peristiwa kerusuhan berdarah di Mako Brimob beberapa tahun silam," jawab Pak Dian.
"Ah. Film yang viral karena ote-ote itu?" ujar Arash.
"Ote-ote?" tanya Alrescha tidak tahu.
"Duh. Kamu nggak up to date, Dek," ejek Arash.
"Dipanggil Adek, dong...."
"Kiyowo...."
"Gumawo."
"Hahaha...."
"Nggak ada film yang lebih seru?" tutur Arash setelah selesai makan.
"Kita pengen lihat Babang Nicho, Bang," ucap Lina dan Ria serempak.
"Babang Nico?!" Arash dan Alrescha bingung.
"Nicholas Saputra, Bang," sahut Happy.
"Om-om rasa oppa, Bang," imbuh Lina.
"Jadi Nicho itu dari Korea?" tanya Alrescha lagi, dan langsung disambut gelak gawa oleh teman-teman Bintang.
"Abang nggak tahu Nicholas Saputra?" tanya Bintang serius, dan hanya dijawab oleh gelengan kepala dari Alrescha.
Arash langsung menyahut. "Apa Nicholas Saputra lebih ganteng dari Abang?"
"Sebelas dua belas," ujar Estri, Lina, Ria dan Happy serempak.
"Kenal Mas Agung, Bang?" tanya Ria mengetes.
"Siapa lagi itu? Temannya Nicholas?" Alrescha menjawab asal.
"Ih. Itu salah satu om-om rasa oppa, Bang. Ganteng banget walau hampir kepala empat," terang Lina.
"Ah, Mas Agung. Itu loh, Dek, tukang sayur langganannya Embok. Lumayan, sih, tapi masih ganteng kita, lah," sela Arash sembarangan, dan langsung disambut tawa. "Lah, bener, kok. Tanya aja sama Embok di rumah. Nggak percaya kalian."
Giliran Happy bertanya, "Kalau Mas Ojun, Abang kenal juga?"
"Enggak," jawab Alrescha.
"Oh, Mas Ojun. Omar Junaedi, kan? Yang jualan mie ayam bakso di depan STM pembangunan," jawab Arash serius, tetapi tetap saja membuat Bintang dan teman-temannya tergelak.
"Mas Ojun itu Park Seo Joon, aktor Korea Selatan. Malah jadi Omar Junaedi. Ngaco!" terang Happy sebal.
"Lho, emang masnya yang jualan itu panggilannya Mas Ojun, kok. Tanya aja itu sama Pak Andri. Ya, kan, Pak?" Arash membela diri.
"Iya, Mbak. Mas Ojun yang Bang Arash maksud memang beneran ada," jelas Pak Andri, salah satu pengawal Arash.
"Udah, guys. Bang Alres itu mainnya komputer," lerai Bintang.
"Oh, aku tahu. Bang Alres pasti kenal sama Esmeralda, ya, kan?" tanya Riris.
"Esmeralda ML? Tahu," jawab Alrescha singkat.
"Kalau Selena?" Riris kembali bertanya.
"Selena, Lunox, Granger, Bruno, mereka sering saya pakai," cerita Alrescha.
"Omo. Bang Alres keren," puji Riris.
"Kalian kenal nggak sama Esmeralda dan Selena?" tanya Arash balik.
Lina langsung menyahut, "Tahu. Esmeralda itu telenovela favoritnya emak gue, Bang."
"Ngarang." Riris menyela.
"Esmeralda, Selena, Lunox, Bruno, dan teman-temannya tadi itu adalah hero di permainan Mobile Legends. Kalian pasti nggak tahu, kan?" tutur Arash membalikkan keadaan.
"Anjay, Riris. Mainnya ML," seru Happy tidak percaya.
"Rofi yang ngajari main," aku Riris jujur.
"Heh. Lu main ML sama Rofi? Udah buka segel?" tanya Lina tidak mengerti.
"Segel apaan?" balas Riris bingung.
"Itu ML!" omel Estri.
"Making Love, woy!" gerutu Lina.
"Ya, Allah. ML itu Mobile Legends, guys. Otak kalian emang kadang-kadang, ya," rutuk Ratih yang juga pernah diajari bermain ML dengan sang kekasih.
"Astaghfirullah hal adzim...."
"Akhirnya ngerti juga maksud Bang Alres tadi, 'cinta itu nggak butuh alasan'. Kayak sekarang, aku suka Bang Alres. Meski Bang Alres nggak tahu siapa oppa-oppa dari Korea itu," pungkas Ria yang mendapat tepuk tangan dari teman-temannya.
"Daebak!!"
"Alrescha Oppa, saranghae." Bintang meledek sambil memberikan tanda finger heart pada Alrescha.
"Nado johahaeyo," imbuh Happy.
"Neomu joahaeyo." Lina menambahkan.
"Hahaha...."
Tbc.
22.10.26
Hai dears,
Terima kasih sudah setia menunggu kedatangan Bang Alrescha. ❤️
Sambil menunggu Bang Alrescha, kalian bisa membaca cerita 'Game Not Over'. Ada Bang Alres sekeluarga juga di sana. Cerita 'Game Not Over' sudah komplit, dan saat ini cerita tersebut telah masuk dalam Penghargaan Daftar Pendek Wattys 2022. Mohon doa, dan dukunganya, ya. 🙏🏻
Selamat membaca, semoga kita semua tidak masuk ke dalam golongan orang-orang yang darurat membaca. Aamiin. 🤲
See you next time ^^
Tabik 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top