26. Asterisma Bintang Kemintang
Untuk kesekian kalinya Bintang menutupi mulut dengan tangan saat menguap. Suasana hiruk pertandingan esports tidak bisa mengalahkan rasa kantuk Bintang saat ini. Menemani dan menonton Ibra bertanding sejak siang hari hingga petang, membuat Bintang merasa cukup lelah. Meski ia sempat beristirahat sejenak kala tim Mars sedang menunggu hasil pertandingan final lower brackets.
Ibra dan teman-temannya berhasil menumbangkan kompetitor kuat mereka di final upper bracket. Karena itu, mereka memiliki banyak waktu untuk beristirahat sejenak sebelum bertarung kembali di babak Grand Final. Grand Final akan dilaksanakan tepat pada pukul tujuh malam. Kondisi ballroom hotel pun sudah semakin riuh dan bising oleh para suporter tim yang hadir.
"Bi."
Bintang terperanjat ketika mendengar suara Alrescha di sampingnya, "Abang?"
Entah di mana Angga berada saat ini. Keberadaan Angga tiba-tiba telah tergantikan oleh kehadiran Alrescha. Alrescha bergegas menyusul Bintang setelah semua urusannya usai. Dengan jaket jumper berwarna hitam yang menutupi kemeja putihnya, Alrescha mencoba berbaur dengan para penonton. Tidak lupa mengenakan masker agar tidak ada orang yang mengenalinya.
"Ngantuk banget?" tanya Alrescha cemas.
"Masih lama?" Bintang balik bertanya karena ingin segera pulang.
"Satu babak lagi," terang Alrescha sambil menarik kepala Bintang untuk bersandar di pundaknya.
"Lama."
"Sabar, Sayang."
Pertarungan tim Mars Esports dan tim Carnage Esports berlangsung semakin memanas. Kemenangan tim Carnage Esports masih mendominasi. Di game pertama contohnya. Carnage memenangkan game hanya dalam 12 menit saja, dengan keunggulan 10 ribu net-worth.
Sementara Mars harus memenangkan game kedua lewat pertarungan sengit, bahkan hampir dikalahkan oleh Carnage. Dengan durasi permainan selama 14 menit dan tanpa keunggulan net-worth yang begitu besar. Game ketiga Mars mulai terseok-seok. Carnage memenangkan pertandingan tersebut di menit ke-18.
"Mars menang," ucap Alrescha yang membuat Bintang kembali membuka matanya.
Sorak-sorai bergemuruh lagi. Riuh teriakan para suporter Mars saling bersahutan. Mengiringi kemenangan tim Mars Esports. Di game keempat tadi, keadaan berbalik. Mars melawan balik dengan sangat galak. Pertandingan diselesaikan selama 20 menit, dan beda net-worth yang tipis-tipis sepanjang permainan.
"Langsung mulai lagi?" tanya Bintang.
"Huum. Mau tidur sebentar?" tutur Alrescha yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Bintang.
Game kelima telah dimulai. Suasana tegang tampak menyelimuti kondisi ballroom yang sunyi senyap. Hanya suara hero-hero dari game yang sedang bertarung kecil di layar besar. Diiringi komentar dari para komentator pertandingan.
Tim Carnage Esports mulai melawan balik. Harith dari lawan sungguh merepotkan Mars. Carnage pun bisa menyelesaikan pertandingan dalam 12 menit setelah satu kali push dengan Lord. Entah apa yang terjadi, Mars seperti kehilangan semua momentumnya pada game terakhir. Carnage menutup babak terakhir dengan dominasi yang sangat kuat.
"Bangun, Sayang," bisik Alrescha di tengah gegap gempita kebahagiaan pendukung Carnage Esports. "Ayo pulang."
"Hmmm. Udah selesai?" tanya Bintang yang baru saja membuka matanya.
"Mars kalah. Angga sudah menunggu mereka di samping arena. Ayo pulang," ajak Alrescha seraya membantu Bintang untuk berdiri.
"Kita langsung ke tempat parkir, Bang?" tanya Pak Dian.
"Iya, Pak. Kita tunggu Angga, Pak Agung dan anak-anak di sana saja," pungkas Alrescha seraya menggandeng Bintang dengan erat.
Bintang yang belum tersadar sepenuhnya hanya terdiam. Ia sempat memandang wajah Ibra yang tersorot kamera di layar datar besar arena. Raut lelah dan kecewa tampak terpancar dari wajah Ibra beserta teman-temannya. Mereka saling berpelukan, lantas tersenyum atas pencapaian terbesar mereka sebagai juara runner up. Mengalahkan beberapa tim-tim tangguh untuk tetap bertahan hingga babak terakhir di debut pertama mereka. Suara tepuk tangan bergema, mengiringi salam hormat dari tim Mars sebelum menerima hadiah.
♡♡♡
"Bang, ini es krimnya," kata Pak Aris--supir pribadi Alrescha di kantor.
"Terima kasih, Pak. Pak Aris sudah makan?" tanya Alrescha sopan sebelum memberikan es krim itu kepada Bintang.
"Sudah, Bang." Pak Aris menjawab.
"Nanti sampai stasiun, Pak Aris tolong antarkan Angga pulang ke kos, ya. Setelah itu Bapak boleh langsung pulang," perintah Alrescha yang langsung dipatuhi oleh Pak Aris.
"Baik, Bang."
Bintang menikmati es krim tersebut dalam diam. Ia memandang orang-orang yang berlalu lalang dari depan mobil sedan Alrescha. Mobil yang menurut Alrescha adalah fasilitas dari perusahaan. Entah benar atau tidak, Bintang tidak bisa menghitung berapa kali kekasihnya itu bergonta-ganti mobil. Hanya motor sport saja yang tidak pernah berganti selama ini. Salah satu kendaraan yang sering digunakan Alrescha ketika jalan berdua dengan Bintang.
"Lihat sini, Bi," pinta Alrescha sebelum mengambil foto Bintang.
Bintang menoleh. Senyum manis Bintang tersungging ketika Alrescha mengarahkan kamera smartphone kepadanya. Setelah itu Bintang menawarkan es krimnya pada sang kekasih. Tetapi ditolak oleh Alrescha dengan seulas senyum.
"Buat Bintang. Biar nggak mengantuk," kata Alrescha sebelum mengusap pucuk kepala Bintang.
"Serius? Buat Bintang semua?" Bintang tidak percaya jika Alrescha akan mengizinkannya memakan es krim berukuran besar sendirian.
Alrescha mengangguk, "Nanti kalau flu berangkat ke dokter sendiri, ya," goda Alrescha.
"Tega." Bintang mencebik lucu.
"Jangan menggoda Abang di sini," bisik Alrescha yang langsung membuat Bintang teringat akan kejadian intim pagi buta tadi.
"Jangan diingat-ingat!"
Alrescha tergelak, "Abang nggak akan pernah bisa melupakan itu, Bi."
Bintang mencubiti lengan Alrescha karena sebal. Menahan malu kala mengingat ciuman panasnya dengan Alrescha di balkon apartemen. Untuk pertama kalinya, Bintang dan Alrescha membiarkan akal sehat mereka mati dalam beberapa menit waktu itu. Meninggalkan sebuah bekas samar merah tepat di tulang selangka Bintang. Hingga Alrescha tersadar ketika mendengar suara handle pintu kamar yang akan dibuka. Ia pun segera merapikan kancing kemeja yang dipakai Bintang agar kembali ke tempat semula. Jika tidak, Alrescha bisa lupa diri akan keintimannya bersama Bintang yang sudah di luar batas.
"Canda, Sayang. Maaf," ucap Alrescha penuh arti.
Bintang yang mengerti arti kata maaf dari Alrescha langsung terdiam di tempat. Ia kembali memakan es krimnya sembari memunggungi Alrescha. Ia mulai terbiasa dengan kehadiran para pengawal Alrescha sejak sebulan lalu. Semenjak itu privasinya bersama dengan sang kekasih seakan menghilang perlahan. Karena apa pun yang dilakukan mereka berdua, pasti akan diketahui oleh kedua orang tua Alrescha.
"Dapat apa?" tanya Bintang saat Ibra berlari ke arahnya diikuti teman-temannya.
"Medali, plakat, sertifikat, souvenir, sama uang," jawab Ibra bangga. "Uangnya buat Mama sama Kakak. Seperti janjiku waktu itu."
Bintang hanya tersenyum menahan haru. Ia memberikan es krimnya pada Ibra untuk mengalihkan perhatian sang adik. Ibra pun menerimanya dengan senang hati. Ia sempat melihat kedua mata Bintang yang merebak dalam beberapa detik.
"Thanks, Kak," ucap Ibra sebelum menjilati es krim tersebut.
"Kita pulang sekarang?" tanya Alrescha saat jam tangannya menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
"Langsung ke stasiun, Res?" tanya Angga yang bersiap memasuki mobil SUV Alrescha.
"Huum." Alrescha menjawab singkat.
"Bang Alres, aku lapar," ujar Bagas jujur.
"Iya, Bang. Bisa mampir beli makanan dulu nggak?" Yuda menambahkan.
"Abang sudah beli pizza dan minuman buat kalian. Nanti di makan sambil jalan," tutur Alrescha.
"Yeay....!"
"Bang Alres ki emang paling pengertian se-Indonesia Raya," puji Reza menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Jawa medoknya.
"Terima kasih, Bang Alres...."
"Sama-sama," balas Alrescha sebelum mengajak Bintang masuk ke mobil sedannya.
"Ayo masuk! Terlambat nanti," perintah Angga yang sudah duduk di kursi kemudi pada tim Mars.
♡♡♡
Sesampainya di tempat parkir stasiun, semua bergegas keluar dari mobil masing-masing. Alrescha melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih dua puluh menit. Bertepatan dengan berangkatnya salah satu KRL yang juga ke arah Bogor. Alrescha melepas jaket, lalu memberikannya kepada Bintang.
"Dipakai," perintah Alrescha yang mengetahui jika Bintang tidak membawa jaket saat ini.
"Abang gimana?" cemas Bintang.
"Abang pakai lengan panjang. Cepat dipakai," titah Alrescha lagi, dan disambut anggukkan kepala dari Bintang.
Bintang memberikan tote bag-nya pada Alrescha sebelum mengenakan jaket jumper. Sementara Alrescha mengobrol sejenak dengan Angga, supir, dan para pengawalnya. Angga tampak mengembalikan kunci mobil yang telah dipakainya pada Alrescha.
"Thanks, Ngga," ucap Alrescha seraya tersenyum.
"You're welcome, Bro," sahut Angga sebelum berpamitan. "Gue pulang dulu. Kalian hati-hati di kereta, udah malam banget. See you next time, Mars. Thanks buat kaos jersey-nya."
"Sama-sama, Mas Angga...." tim Mars menyahut serempak.
"Besok kalau kita ke sini lagi, Mas Angga harus temenin kita," tutur Yuda.
"Iyo, Mas. Iku kaos kanggo managere Mars, loh," imbuh Reza.
"Oke, Cok! Bye," seru Angga dengan senang hati.
"Hati-hati, Pak," ucap Alrescha pada Pak Aris.
"Iya, Bang." Pak Aris segera menutup pintu mobil, bersamaan dengan Angga yang sudah masuk ke mobil sedan Alrescha.
"Ayo! Kita pakai KRL jam 22.45," ajak Alrescha meninggalkan tempat parkir dan mobil SUV-nya.
Alrescha menggandeng salah satu tangan Bintang dengan erat sembari membenarkan posisi maskernya. Diikuti tim Mars yang juga sedang memakai masker sesuai syarat peraturan sebelum menaiki KRL. Di barisan terbelakang ada Pak Dian, dan Pak Agung yang sedang mengamati keadaan sekitar dengan tas punggung di belakangnya. Tas yang berisi pakaian gantinya, Alrescha, dan Pak Dian, serta perlengkapan lain.
"Bang, nanti aku sama teman-teman masuk kereta dulu. Cari tempat duduk buat Kak Bintang sama Bang Alres," kata Ibra mensejajarkan langkahnya dengan Alrescha.
"Cari tempat duduk buat Kak Bintang aja. Abang gampang nanti," tutut Alrescha yang dibalas anggukan kepala dari Ibra.
"Abang menginap di rumah, kan?" tanya Bintang, karena sedari tadi Alrescha tidak membicarakan rencananya setelah sampai di rumah nanti.
"Lha, kalau Bang Alres nggak nginap di rumah terus mau tidur di mana? Kakak emang kadang-kadang, ya," olok Ibra.
"Makanya ini tanya," sungut Bintang menatap adiknya sebal.
"Apa ada hotel di dekat rumah?" tanya Alrescha yang belum sempat mengecek keberadaan hotel di dekat rumah Bintang.
"Ada, sih, Bang. Tapi horor," cerita Ibra.
Alrescha terkekeh, "Pernah lihat hantu?"
"Pernah, Bang. Waktu acara persami sekolah. Aku lempari pakai batu bata. Eh, teriak dia," kenang Ibra sambil tertawa.
"Itu hantu-hantuan. Stupid," sambung Bintang.
"Lha, iya. Emang Kakak bisa lihat hantu? Cuma orang nggak normal aja yang bisa lihat hantu," tutur Ibra sebelum menghentikan langkahnya tepat di sebelah Yuda.
"Benar," sahut Alrescha menahan tawa.
Bintang memandang lekat Alrescha. Ia meneliti wajah tampan Alrescha saat membenarkan perkataan Ibra. Bagaimana bisa seseorang yang tidak normal tampak terlihat begitu sempurna di mata semua orang? Begitulah isi kepala Bintang tentang Alrescha sekarang.
"Kenapa? Apa Abang kelihatan nggak normal sekarang?" tanya Alrescha sebelum melirik Bintang di sebelahnya.
Bintang mengangguk, "Abang emang nggak normal. Nggak normal cakepnya," bisik Bintang setelah berjinjit agar bisa mendekat ke telinga Alrescha.
"Mau ditransfer berapa?" Alrescha menggoda.
Bintang terkekeh, "Terserah Abang. Bintang pasti terima apa pun yang Abang berikan."
Alrescha menatap Bintang dengan intens, diiringi senyumnya yang tidak terlihat karena tertutup masker. Namun kedua mata Alrescha memancarkan kebahagiaan atas kata-kata Bintang itu.
"Jangan ganti baju di depan Mama nanti," bisik Alrescha sambil sedikit membungkukkan badan, dan langsung mendapat tabokan di lengan dari Bintang.
"Nggak usah dibahas!" tegas Bintang lagi.
Senyum Alrescha kembali terukir dari balik masker. Ia memandang KRL yang bersiap untuk berhenti di jalur depannya. Tangan kanan Alrescha mengeratkan genggaman tangannya pada Bintang saat semua orang mulai bergerak untuk bisa masuk ke dalam KRL. Terlihat Pak Agung berdiri di belakang Ibra sesuai perintah Alrescha untuk menjaga anak-anak. Sedang Pak Dian selalu berada di sisi Alrescha.
"Ayo, Bang," ajak Pak Dian ketika mendapat jalan untuk menerobos kerumunan yang sedang berdesakan memasuki KRL.
Pak Dian membawa Alrescha dan Bintang ke tempat di mana Ibra, Reza, dan Yuda telah duduk. Sementara yang lain berdiri karena tidak ada tempat duduk kosong. Ibra segera berdiri setelah Bintang datang. Memberikan kursinya untuk sang Kakak yang terlihat sudah sangat mengantuk.
"Cok," panggil Ibra dan Reza pada Yuda.
"Apa?" Yuda bingung.
"Ada ibu-ibu sama anak kecil, tuh," ucap Bagas seraya menendang pelan salah satu kaki Yuda.
"Ah. Pengen tidur gue," ucap Yuda lirih sebelum berdiri.
"Bu, duduk sini. Kasihan adeknya," ujar Zaki sopan.
"Terima kasih, Dek." Ibu itu bergegas untuk duduk di kursi Yuda.
Yuda mengangguk, "Sama-sama, Bu."
Alrescha terdiam menikmati suasana sesak dan pengap di dalam KRL yang sudah berjalan. Ia berdiri di depan Bintang, diapit Ibra dan Pak Dian. Memerhatikan interaksi Ibra dan teman-temannya yang merelakan kursi mereka untuk seorang ibu dan anak di malam yang sebentar lagi akan berganti pagi. Kepala Alrescha menoleh. Memandang orang-orang yang tampak lelah setelah berjuang seharian di Ibu Kota. Seperti tim Mars yang telah selesai berjuang di arena esports beberapa jam lalu.
Tatapan Alrescha tertahan di ujung gerbong kereta. Tangannya dicekal oleh Pak Dian saat akan melangkah ke arah tersebut. Pak Dian dan Pak Agung yang mengerti arti tatapan itu langsung menahan Alrescha agar tidak bertindak lebih jauh lagi.
"Bang Alres di sini saja," ucap Pak Agung sebelum berlalu pergi.
Alrescha sempat melihat seorang lelaki sedang meraba-raba bagian dada seorang gadis yang duduk di sampingnya. Perempuan itu hanya bisa terdiam. Tetapi tatapan gadis itu telah menunjukkan ketidakberdayaannya untuk meminta tolong. Hanya sebagian orang yang melihat kejadian tersebut. Mereka tampak bingung untuk menolong. Hingga Pak Agung dengan sengaja menginjak kaki lelaki kurang ajar itu dengan keras. Menimbulkan keributan kecil di sana. Pak Agung langsung membawa perempuan muda itu pergi. Sementara lelaki pelaku itu sedang menjadi bulan-bulanan penumpang lain.
"Duduk sini, Mbak," kata Reza memberikan tempat duduknya.
"Terima kasih," ucap perempuan itu lirih menahan tangis.
Bintang yang berada di sebelahnya menggenggam tangan perempuan itu yang masih gemetar karena takut, "Mbaknya turun di mana?"
"Bogor," jawab perempuan itu sambil meneteskan air mata.
"Nanti aku temani Mbaknya sampai dijemput," ucap Bintang menenangkan, dan hanya dibalas anggukan kepala dari gadis itu.
Helaan napas berat Alrescha berembus kasar. Pandangannya kembali mengedar melihat sekitar. Ia pun memikirkan bagaimana Bintang yang selama ini sering menggunakan KRL sendirian untuk pulang ke rumah. Berharap Bintang tidak akan mendapatkan pengalaman buruk dari orang-orang yang tidak dikenal.
Alrescha menunduk saat merasakan sebuah sentuhan di kakinya. Ia melihat Ibra sudah duduk di depan kaki Bintang. Ibra menyandarkan kepalanya di salah satu kaki Bintang, seraya memejamkan mata. Membuat Bintang membelai rambut Ibra seakan ingin melindungi sang adik. Alrescha segera bergeser. Menutupi Ibra yang ingin beristirahat sejenak, dan menjadi tontonan teman-temannya. Juga melindungi Ibra agar tidak tertendang-tendang oleh penumpang lain.
"Enaknya, Bro. Bisa tidur gitu," ujar Yuda yang saat ini berada di samping Alrescha, menggantikan posisi Ibra.
"Ibra manja mode on," olok Zaki.
"Oalah, Cok. Ora sumbut mbe awake sing gede duwur," ejek Reza dengan bahasa Jawanya.
"Nggak bawa pulang piala, tapi pulang bawa Bang Alrescha," imbuh Bagas yang langsung disetujui teman-temannya.
"Savage!"
"Iyo, ik, Cok."
"Langsung bawa pulang yang punya acara."
"Hahaha...."
♡♡♡
"Enggak usah repot-repot, Bu. Alres cuma sebentar. Besok, Alres ke sini lagi buat jemput Bintang," kata Alrescha kala Mama Bintang akan membuatkan minuman.
"Abang mau kemana?" tanya Bintang ingin tahu.
"Ih, Bang Alres nggak percaya banget sama aku. Itu hotel horor tahu, Bang. Jarang ada yang menginap di sana," peringat Ibra.
"Ini sudah malam banget, Bang Alres. Istirahat di sini saja. Dari pada bolak-balik nanti. Sebentar lagi juga sudah pagi," ujar Lintang--Mama Bintang.
"Abang bisa tidur sama aku nanti," sela Ibra.
"Tempat tidur kamu nggak muat buat tidur berdua," cegah Bintang.
"Bang Alres dan temannya bisa tidur di kamar Bintang. Ada kasur lipat juga di sana," tutur Lintang.
Alrescha menyunggingkan senyum melihat Bintang dan Ibra yang akan beradu mulut lagi, "Nggak apa-apa, Bu. Nggak enak sama tetangga kalau Alres tidur di sini."
"Tetangga, mah, emang biasa kayak gitu, Bang. Salah diomong, benar juga diomong. Kita nggak ada benar-benarnya, deh, di mata mereka," tutur Ibra.
"Adek, udah. Sekarang ke kamar mandi. Biar nggak antri nanti. Bersih-bersih, terus tidur. Besok hari senin, berangkat pagi-pagi." Lintang menghentikan Ibra yang sudah berbicara tanpa henti.
"Iya, Ma. Aku kunci pintu dulu. Biar Bang Alres nggak kemana-mana," canda Ibra.
"Adek, udah!" seru Lintang. "Maaf, ya, Bang Alres, mas-mas. Ibra ini jago kandang. Kalau di rumah kayak begitu. Kemarin pasti Bang Alres repot karena Ibra."
"Aku nggak ngerepotin Bang Alres, ya, Ma. Apa-apa juga sendiri," sungut Ibra yang akan masuk ke kamar mandi.
"Ibu sudah izin sama ketua RT di sini, kalau nanti akan ada yang menginap di rumah. Tetangga resek itu sudah biasa, Bang," pungkas Lintang ramah.
Kepala Alrescha mengangguk pasrah, "Maaf, ya, Bu. Alres ngerepotin," ucap Alrescha tidak enak hati.
"Ibu yang sudah merepotkan Bang Alres dari kemarin. Terima kasih sudah menjaga dan mengantar Ibra pulang ke rumah," ulang Lintang berterima-kasih lagi. "Terima kasih juga untuk mas-masnya."
"Sama-sama, Bu." Pak Dian dan Pak Agung serempak menyahut.
"Ibu tinggal sebentar," pamit Lintang sopan.
Bintang tersenyum kecil sebelum melangkah ke arah pintu. Ia menutup pintu dengan perlahan saat ada petugas keamanan sedang berkeliling tepat pukul setengah dua pagi. Kemudian meminta izin untuk ke belakang menyusul sang Mama.
Dalam diam, Alrescha meneliti tempat tinggal Bintang yang mungkin hanya setengah dari luas apartemennya--berukuran 7x12 dengan luas bangunan kurang lebih 45 meter persegi. Perumahan cluster modern yang mengusung model rumah bergaya Jepang dengan keamanan one get system. Di bagian depan terdapat taman mini dan juga carport. Pagar dan sebagian dinding depan menggunakan kekayuan yang membuat fasad rumah tampak manis dan cantik.
Ruang tamu dan dapur hanya dibatasi oleh partisi ruangan yang terbuat dari kayu-kayu. Ada dua kamar di dekat ruang tamu dengan kamar mandi berada di tengahnya. Alrescha juga sempat melihat sebuah mesin cuci satu tabung yang juga berada di dapur. Ada satu pintu di dapur yang mungkin saja adalah kamar Ibra. Senyum Alrescha kembali tersungging ketika Bintang membawakan teh hangat untuknya.
"Diminum dulu, Bang. Silakan Pak Dian dan Pak Agung," ucap Bintang sopan saat meletakkan tiga cangkir teh dan kue pastry buatan sang mama.
"Lho, kok, dipanggil Pak? Memangnya bukan teman Bang Alres?" tanya Lintang bingung.
Pak Dian dan Pak Agung terlihat sebaya dengan Alrescha. Ayah Alrescha memang sengaja memerintahkan anak buahnya yang seumuran dengan sang putra untuk menjadi pengawal mereka. Pun dengan pengawal perempuan yang ditugaskan untuk mengawal sang istri.
"Mereka juga teman Alres, Bu. Mereka yang selalu menemani Alres kemana pun Alres pergi sekarang. Ini Pak Dian, dan ini Pak Agung." Alrescha memperkenal kedua pengawalnya pada Lintang.
"Pak Dian dan Pak Agung ini pengawalnya Bang Alres, Ma," terang Bintang.
"Pengawal? Dulu kayaknya nggak ada?" tanya Lintang ingin tahu.
"Karena ada sesuatu hal, jadi Ayah memberi pengawal pada semua keluarganya," jelas Alrescha singkat.
"Oh. Syukurlah. Ibu jadi tidak terlalu khawatir kalau ada yang mengawal," aku Lintang jujur.
"Maksud, Mama?" Bintang bingung.
"Ya, kan, kalau ada yang mengawal berarti Kakak sama Bang Alres nggak mungkin berduaan aja? Ada yang jagain," tegas Lintang yang membuat Bintang mematung teringat atas apa yang dilakukannya dengan Alrescha di balkon kemarin.
"Iya, Bu. Apa pun yang Alres lakukan, Ayah sama Bia pasti akan tahu," imbuh Alrescha sambil tersipu malu.
Bersamaan dengan itu Ibra keluar dari kamar mandi. Ia berpamitan pada semua orang yang berada di ruang tamu untuk masuk ke kamarnya. Ibra berjalan ke arah dapur, dan masuk ke salah satu pintu tertutup di sana. Setelahnya Pak Dian, dan Pak Agung bergantian ke kamar mandi. Sedang Bintang mengantar Alrescha ke kamarnya setelah Lintang masuk ke kamar utama terlebih dahulu.
"Ini kamar Bintang. Kecil, nggak kayak kamar Abang," kata Bintang sembari mengambil kasur lipat dari lemari besarnya. "Ini kasur lipatnya. Abang mau ngapain nanti?"
"Abang mau mengecek email yang masuk, terus mengecek game terbaru yang akan launching minggu depan. Bintang tidur aja," perintah Alrescha sembari meneliti kamar Bintang di setiap sudutnya.
"Apa banyak penghuninya di sini?" tanya Bintang lirih.
Alrescha tersenyum lantas mengusap kepala Bintang dengan penuh sayang, "Nggak sebanyak di hotel tadi."
"Ih. Bintang ke kamar Mama dulu. Kalau ada apa-apa, Abang telepon Bintang aja, ya," kata Bintang sebelum pergi dan hanya dibalas anggukan kepala oleh Alrescha.
"Bi," panggil Alrescha menahan kepergian Bintang.
"Ya. Abang butuh sesuatu?"
Alrescha menggeleng. Kemudian ia mendekat, lantas membungkuk sedikit untuk mencium kening Bintang. Membuat Bintang terperanjat, hingga lupa bernapas dalam beberapa detik.
"Night, Sayang," ucap Alrescha seraya melemparkan senyum manisnya.
Kepala Bintang mengangguk. Menjawab ucapan manis Alrescha sebagai pengantar tidur. Langkah kecilnya mundur perlahan, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan sang kekasih yang sudah membuat jantungnya berdisko ria. Alrescha menyusul keluar kamar. Meminta Pak Dian dan Pak Agung untuk masuk ke kamar sebelum dirinya mandi. Alrescha mencoba mengabaikan tatapan beberapa makhluk tak kasat mata di rumah Bintang. Tetapi ada satu tatapan yang tidak bisa diindahkan oleh Alrescha. Tatapan sedih dan bercampur bahagia kepadanya.
♡♡♡
Seusai mandi dan berganti pakaian, Alrescha segera melaksanakan salat malamnya seperti biasa. Pak Dian sudah tertidur pulas di tempat tidur Bintang atas peintah Alrescha. Sementara Pak Agung memilih tidur di kasur lipat. Meski tubuh dan kedua matanya sudah sangat lelah, tetapi Alrescha harus menahan diri agar tidak terlelap. Ia mengambil sebotol kopi instan di dalam tas ransel setelah mengambil notebook-nya. Ia duduk di meja belajar Bintang yang tampak mini untuknya.
Tubuh Alrescha menegang kala melihat foto keluarga kecil Bintang di atas meja belajar. Kepalanya menoleh perlahan. Menatap bayangan seorang lelaki yang mirip seperti sosok papa Bintang di samping pintu. Bayangan itu tersenyum pada Alrescha. Senyum yang membuat jantung Alrescha menjadi berhenti berdetak dalam beberapa saat.
"Astaghfirullah hal adzim. Nggak mungkin," ucap Alrescha sambil memejamkan mata, lalu mengusap wajah dengan kedua tangannya.
Alrescha memegang bingkai foto keluarga Bintang sebelum bermonolog, "Maaf, Pak. Saya datang ke sini hanya untuk mengantar Ibra dan Bintang pulang. Maaf, karena saya sudah lancang untuk masuk ke kehidupan keluarga Bapak. Tetapi saya berjanji, saya akan berusaha untuk selalu menjaga dan melindungi Bintang, Ibra, serta Ibu. Saya berharap Pak Rakha mengizinkannya."
Kedua mata Alrescha memejam seraya menghela dan mengembuskan napasnya pelan-pelan. Mencoba menetralkan kinerja jantungnya yang sedang berdegup kencang karena terkejut dan takut. Alrescha berzikir dalam hati, lantas membacakan doa untuk almarhum papa Bintang. Berharap agar dirinya tidak melihat penampakan almarhum lagi.
Setelah merasa sedikit tenang, dan bisa mengontrol ketakutannya, Alrescha menyalakan notebook. Apa yang dilihatnya membuat Alrescha menjadi tidak fokus untuk melembur pekerjaan. Ia mengambil sebuah binder di deretan buku-buku bacaan Bintang. Kemudian mengambil pulpen dari sebuah gelas keramik berbentuk kucing hitam. Alrescha menuliskan sesuatu di dalam kertas kosong di binder itu--kumpulan kata-kata yang membentuk sebuah prosa.
"To. The 🌟 of Sakura Gyoen B.6 No.8
Aku dan kamu berbeda. Aku yang terkadang tanpa kata, sementara kamu yang selalu berbahasa.
Aku dan kamu tidaklah sama. Aku yang tidak bisa mencintai dengan sederhana, dipertemukan denganmu yang selalu apa adanya.
Kita adalah ketidaksamaan. Walau begitu banyak pembeda di antara kita, semoga kita bisa selalu berjalan bersama--selamanya."
Tbc.
Zamzam,410/22.10.01
Hai guys,
Masihkah kalian menunggu si Abang dan pacar kecilnya?
Semoga Bang Alrescha bisa menemani hari Senin kalian dengan begitu manis.
Kalau kalian mengikuti cerita Alrescha dari awal, mungkin kalian akan merasa sedikit berbeda di part-part sekarang. Aku sepertinya telah membuat cerita Alrescha menjadi sedikit berkembang saat ini. Tidak seperti sebelumnya yang ditulis apa adanya. Semoga rasa dari ceritanya tidak berubah. Aamiin.
Terima kasih karena masih setia di sini. Terima kasih juga untuk vote dan komen kalian selama ini. It made my day as always.
See you next time ^.^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top