21. Kilonova

Kedua jemari tangan Bintang sibuk mengetik huruf-huruf di keyboard dari layar smartphone. Membalas pesan Happy yang sedari tadi malam baru dibacanya. Sahabatnya itu langsung membalas dengan cemoohan berkali-kali. Hingga senyum simpul terukir di wajah Bintang yang masih tampak pucat.


Bintang mendongak saat mendengar suara pintu ruang perawatan terbuka. Senyum kecilnya tersungging. Menatap Alrescha yang membawa beberapa plastik makanan.

"Habis telepon Mama?" tanya Alrescha sebelum meletakkan makanan yang dibelinya di atas meja.

"Enggak. Balas pesannya Happy," sahut Bintang.

Alrescha mengambil kotak plastik makanan bening yang berisi bubur ayam dan segelas teh hangat.

"Mau minum dulu?" tanya Alrescha menawarkan teh yang dibawanya, dan disambut anggukan kepala dari Bintang.

Bintang memerhatikan tangan kanan Alrescha yang sedang membuka kotak makanan di hadapannya, "Makan nasi aja, Bang."

"Dokter bilang, Bintang makan bubur dulu," timpal Alrescha sambil menyendokkan bubur ayam. "Lihat tuh, dari rumah sakit aja dikasih bubur."

"Bosen," kata Bintang merengut, menerima dengan paksa suapan bubur dari Alrescha.

"Sekarang makan bubur dulu, nanti siang Abang belikan nasi lembek buat Bintang." Alrescha kembali menyuapi Bintang.

"Udah," tutur Bintang yang membuat kedua mata Alrescha melotot karena kaget.

"Udah apanya! Baru dua sendok. A!" perintah Alrescha keras.

Bintang memundurkan kepala dan menggelengkannya, "Nggak enak."

"Dipaksa dong. Mau nginep di rumah sakit terus?!" gertak Alrescha.

Bintang terdiam ketika suara nada bicara Alrescha sedikit meninggi. Tubuhnya seakan terkunci saat kedua mata tajam Alrescha menatapnya dengan intens dan mengintimidasi. Ia memandang sendok yang disuapkan Alrescha kepadanya. Kemudian menunduk, karena tak ingin memakan bubur ayam itu.

"Nanti kalau Mama datang, Bintang mau pulang aja. Jadi nggak ngerepotin Abang di sini," tutur Bintang yang membuat Alrescha mengembuskan napas dengan kasar.

Alrescha meletakkan kotak makanan berisi bubur ayam di atas nakas sembari mencoba meredakan emosinya yang mungkin bisa saja tak terkendali. Ia beranjak dari tempat duduknya di tepi hospital bed. Diambilnya sebotol air mineral dan segera mereguk air itu hingga hampir habis. Tangan kanan Alrescha terulur, mengambil plastik berisi sekotak nasi dengan ayam goreng serta bungkus kertas berisi burger dan kentang goreng.

Alrescha mengangkat kepala Bintang agar menatapnya kembali. "Abang nggak suka Bintang bicara seperti itu. Abang di sini buat Bintang. Atau Bintang mau mutusin Abang lagi?" tanya Alrescha yang membuat Bintang terpojok.

"Kok, Abang ngomongnya gitu?" ucap Bintang menahan takut.

"Siapa tahu mau mutusin Abang lagi. Mulut Bintang, kan, suka ngaco," jawab Alrescha sebelum masuk ke kamar mandi untuk mencuci tangan.

Bintang kembali terdiam, lalu menunduk. Memandang plastik makanan cepat saji dengan aromanya yang begitu menggoda. Alrescha sengaja meletakkan plastik itu di tempat dirinya biasa duduk di tepi hospital bed. Mencoba meledek Bintang dengan makanan sampah yang terpaksa harus dimakan untuk meredakan rasa laparnya di pagi hari.

"Mau?" tawar Alrescha saat mengeluarkan paket kotak fried chicken di depan Bintang.

Alrescha memandang Bintang yang masih terdiam menatapnya, "Mau nggak?"

"Mau," sahut Bintang lirih saat Alrescha mencicipi ayam goreng yang tampak begitu renyah.

"Sedikit aja."

Alrescha menyuapkan potongan ayam goreng kepada Bintang setelah dirinya makan terlebih dahulu. Ia pun mengambil kentang goreng beserta saus sambal sebagai pelengkap. Sedang Bintang hanya bisa menelan ludah melihat makanan kesukaannya dimakan oleh Alrescha.

"Katanya mau makan nasi," kata Alrescha sambil menyodorkan nasi yang setengahnya masih terbungkus kertas.

"Boleh?" tanya Bintang was-was.

Kedua pundak Alrescha terangkat, "Boleh mungkin, kalau dokternya nggak tahu."

Bintang pun mengurungkan niatnya untuk menggigit nasi itu. Meski di dalam perutnya telah meronta-ronta untuk menerima suapan dari Alrescha.

"Dimakan, Sayang," perintah Alrescha yang akhirnya membuat Bintang membuka mulut. "Nggak usah pakai saus, ya."

Bintang mengangguk. Ia pun makan dengan lahap. Menuruti perkataan Alrescha yang memintanya untuk mengunyah makanan hingga benar-benar halus. Seulas senyum Bintang tersungging, melihat Alrescha juga memakan sisa bubur ayamnya.

"Abang masih lapar?" Bintang ingin tahu.

Kepala Alrescha menggeleng. Kemudian menutup kotak makanan setelah menyisakan beberapa sendok bubur ayam. Bintang memerhatikan Alrescha yang sedang menikmati kopi.

"Minta ...," rengek Bintang yang tergoda kembali oleh aroma khas kopi.

Senyum Alrescha tertahan. Tangan kanannya menyodorkan tumbler berwarna biru dengan gambar bintang-bintang. Alrescha menarik lagi tangannya saat Bintang akan mengambil tumbler itu.

"Dicium aja baunya," ujar Alrescha, membuat Bintang merengut kesal.

Tawa Alrescha menggema, "Nanti kalau sudah sembuh, Abang belikan. Oke?"

"Jangan yang Doppio," kata Bintang yang sudah hapal dengan kopi kesukaan sang kekasih.

Doppio atau Double Shot Espresso, salah satu istilah yang terdapat di kedai kopi terbesar di dunia. Kedai kopi dimana Alrescha biasa hang out bersama dengan orang-orang terdekat. Meski menurut Alrescha, rasa kopi racikan tradisional lebih nikmat dibanding kopi termahal sekalipun.

"Siapa yang mau beliin kopi?" ledek Alrescha setelah meminum kopi lagi.

"Terus beliin apa?" tanya Bintang polos.

"Beliin tumbler."

"Yang limited edition?"

"Nanti Abang pesenin."

Senyum sumringah Bintang merekah. Hingga menularkannya kepada Alrescha. Mereka saling memandang dan tersenyum tanpa beban. Tangan kanan Alrescha terulur, mengusap pucuk kepala Bintang dengan penuh sayang. Lalu mencium kening Bintang sebagai ungkapan rasa cinta dan rindu. Membuat Bintang terpaku dalam beberapa detik.

"Cepat sembuh. Jangan sakit-sakit lagi. Nurut apa kata dokter. Kurangi makan pedas, asam sama minum kopi," tutur Alrescha menasehati.

"Happy mau ke sini jam berapa?" tanya Alrescha sebelum bersiap pergi ke kantor.

"Nggak tahu. Nanti Abang ke sini lagi, kan?" tanya Bintang cemas jikalau Alrescha tak akan kembali menjenguknya seperti dulu.

"Insya Allah, nanti habis meeting Abang ke sini lagi."

"Janji?"

"Iya, Sayang. Kenapa, sih?"

"Nanti kayak dulu lagi. Katanya mau ke sini lagi, tapi malah nggak pernah datang."

"Enggak, Sayang. Nanti Abang ke sini lagi."

"Abang nggak takut sama Mama?"

"Abang nggak punya salah sama Mama Bintang, ngapain takut. Oia, Happy ke sini sama siapa aja nanti? Nggak sama Bara, kan?"

"Kenapa bawa-bawa Kak Bara?!" sungut Bintang tak suka.

"Ya, siapa tahu nanti Bara ngikut ke sini. Hati-hati kalau ketemu mantan!" canda Alrescha memperingatkan.

"Bintang nggak suka ketemu mantan!" ketus Bintang

"Masa? Kemarin aja mau diantar jemput mantan." Alrescha tertawa keras.

"Terpaksa! Soalnya calon mantan sok sibuk," sindir Bintang sambil menatap Alrescha yang sedang merapikan jas.

"Calon mantan?"

"Iya. Abang, kan, calon mantan."

"Oh. Jadi emang udah direncanain mau mutusin Abang gitu?!"

"Abang itu calon mantan pacar Bintang nanti, kalau Mama udah merestui kita buat menikah."

Kedua sisi bibir Alrescha melengkung sempurna. Ia segera menghampiri Bintang, lantas mengacak rambut sang kekasih yang mulai terlihat memanjang.

"Kalau Bara ke sini, selesaikan urusan Bintang sama Bara," pinta Alrescha.

Bintang tampak bingung, "Urusan apa? Kan, udah putus lama."

"Urusan Bintang yang kasih harapan buat Bara. Mantan kalau datang lagi, pasti minta balikan."

"Bintang nggak kasih harapan sama Kak Bara."

"Tapi apa yang sudah Bintang lakukan kemarin itu, seperti memberi harapan pada Bara. Jadi kalau memang Bintang nggak kasih harapan, jelaskan sama Bara bagaimana perasaan Bintang sekarang."

"Caranya?"

Alrescha menggeser duduknya. Mendekat ke arah Bintang. Ia benar-benar gemas dengan kepolosan Bintang sejak pertama kali bertemu hingga sekarang. Kedua tangannya menangkup wajah Bintang, sembari menatap sang kekasih dengan lekat.

"Bintang pasti tahu caranya. Kalau Bara datang ke sini lagi, itu tandanya Bara masih cinta sama Bintang," tutur Alrescha.

"Abang marah?" Bintang bingung bercampur takut.

"Abang nggak marah, Bi. Abang cuma nggak mau, kedekatan Bintang dan Bara bisa bikin bumerang buat kita. Abang nggak melarang Bintang berteman dengan Bara, hanya saja perasaan Bara sama Bintang itu bukan sebagai teman. Bintang bisa buktikan itu nanti, kalau Bara menjenguk Bintang."

Bintang mengangguk. Ia mencoba mencerna semua perkataan Alrescha yang hampir serupa dengan ucapan Happy beberapa hari lalu tentang Bara.

"Abang berangkat dulu, ya. Kalau ada apa-apa, telepon Abang." Alrescha berpamitan.

"Jangan bohong lagi," tukas Bintang.

Alrescha tersenyum, "Enggak, Sayang. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Alrescha, Bara. Dua nama yang sedang menari-nari dalam pikiran Bintang. Keduanya datang dengan kenangan masing-masing. Bara dengan kenangan masa lalu yang ingin diulang. Sedang Alrescha dengan kenangan baru untuk masa depan. Otak dan hati Bintang tak selaras, namun mereka akan membawa ke satu titik pendewasaan-masa depan.

♡♡♡

Lintang, Mama Bintang, memandang kagum gedung megah Ryotasoft setelah turun dari taksi online yang ditumpanginya. Tanpa ragu ia melangkah masuk ke dalam. Kepalanya menunduk sembari menyunggingkan senyum ketika dua orang penjaga bertubuh tinggi atletis menyapa. Setelah sampai di lobi, Lintang langsung menuju resepsionis karena Alrescha tak kunjung membalas pesan atau mengangkat teleponnya.

"Selamat siang, Ibu," sapa Sari yang bertugas sebagai resepsionis. "Ada yang bisa saya bantu?"

Senyum simpul Lintang menyambut, "Selamat siang, Mbak. Saya ingin bertemu dengan Bang Alrescha. Katanya Bang Alres bekerja di sini. Tapi saya tidak tahu bekerja di bagian apa."

Sari tersenyum ramah. Ia menerka-nerka, siapakah ibu yang dengan santainya memanggil nama sang bos tanpa embel-embel apa pun. Karena seingatnya, ibu dari Alrescha tidak mengenakan hijab. Dan biasanya akan langsung masuk karena telah memiliki kartu access VVIP.

"Apa Ibu sudah memiliki janji dengan Bapak Alrescha sebelumnya?" tanya Sari sopan sesuai prosedur.

"Belum, Mbak. Tadi saya sudah menelepon dan mengirim pesan ke Bang Alres tapi belum ada balasan. Kalau belum ada janji sebelumnya, berarti nggak bisa bertemu sekarang?" tanya Lintang ingin tahu.

"Saya hubungi sekretarisnya Bapak Alrescha terlebih dahulu, ya, Ibu. Dengan Ibu siapa?"

"Lintang."

"Tunggu sebentar, Ibu."

Sari bergegas menghubungi sekretaris Alrescha. Wajah ayu Lintang mengingatkannya kepada Bintang-gadis yang juga pernah berkunjung ke Ryotasoft dan ingin bertemu dengan Alrescha.

"Selamat siang, Pak Dhimas. Saya Sari dari bagian resepsionis. Ada tamu bernama Ibu Lintang ingin bertemu dengan Bapak Alrescha, Pak," terang Sari kikuk karena sedang diperhatikan oleh Lintang.

"Sudah ada janji sebelumnya?" tanya Dhimas seperti biasa.

"Belum, Pak. Tetapi Ibu Lintang bercerita sudah menelepon dan mengirim pesan kepada Bapak Alrescha, namun belum ada balasan."

"Ibu Lintang Prameswari?"

"Saya belum menanyakan nama lengkap beliau, Pak."

"Kalau Ibu Lintang Prameswari, berikan access VVIP dan tolong antar ke ruangan Pak Alrescha."

"Baik, Pak. Selamat siang."

"Siang."

Senyum Sari tersimpul setelah menutup telepon. Ia menundukkan kepala sebelum bertanya lebih lanjut kepada Lintang.

"Maaf, Ibu. Boleh saya mengetahui nama lengkap Ibu?" tanya Sari kembali.

"Nama saya Lintang Prameswari. Apa saya bisa bertemu dengan Bang Alres, Mbak?" Lintang memastikan.

"Bisa, Bu. Saya akan membuatkan kartu access untuk Ibu terlebih dahulu. Nanti saya akan mengantar Ibu ke ruangan Pak Alrescha."

"Terima kasih, Mbak."

"Sama-sama, Ibu. Ditunggu sebentar, ya, Ibu."

Lintang pun duduk di kursi tunggu. Ia mengirimkan pesan kepada Bintang bahwa akan terlambat datang ke rumah sakit, serta meminta sang putri untuk segera makan. Setelah menunggu beberapa menit, Sari menghampiri Lintang. Memberikan kartu access VVIP dan mengantarkan Lintang ke ruangan Alrescha.

"Mbak, kalau saya boleh tahu Bang Alres bekerja di bagian apa?" tanya Lintang ingin tahu.

Sari tersenyum sebelum menjawab, "Bapak Alrescha adalah salah satu founder Ryotasoft. Beliau juga CEO di Ryotasoft."

"Oh." Lintang terkejut mendengar jawaban Sari.

Lintang berterima kasih ketika Sari mempersilakannya untuk masuk ke ruangan Alrescha setelah membuka pintu kaca bertuliskan 'CEO Room'. Tulisan yang sempat membuat Lintang terpaku dalam beberapa detik sebelum melangkah masuk ke dalam ruangan itu.

Kedua mata Lintang mengedar sesaat setelah duduk di sofa yang berada di ruangan mewah Alrescha. Dalam hati ia membaca nama lengkap Alrescha dengan perlahan. Helaan napas berembus ketika menyadari bagaimana status sosial Alrescha yang begitu berbanding terbalik dengan keluarganya. Pikirannya langsung tertuju kepada Bintang. Mampukah sang putri bersanding dengan sosok Alrescha yang begitu terpandang?

Lamunan Lintang tercerai saat mendengar suara pintu terbuka. Senyum sumringah Alrescha langsung menyambut keterkejutannya. Alrescha segera mencium punggung tangan Lintang sebelum duduk dan meminta maaf.

"Maaf, Ibu. Smartphone Alres tertinggal di mobil tadi. Ibu sudah menunggu lama?" tanya Alrescha sopan sambil membuka kancing jas yang masih dikenakan.

"Enggak lama, Bang Alres. Ibu minta maaf karena sudah mengganggu pekerjaan Bang Alres. Ada yang ingin Ibu bicarakan dengan Bang Alres, tanpa Bintang," kata Lintang serius.

Alrescha mengangguk mengerti, "Sebentar, ya, Bu."

Alrescha berdiri dari tempat duduknya. Kemudian menarik simpul dasi yang sedari tadi serasa mencekik leher karena bertemu dengan mama Bintang secara mendadak tanpa persiapan. Ia pun melepas jas yang mulai membuatnya gerah meski hembusan dingin AC masih menyebar di seluruh sudut ruangannya. Alrescha mengambil dua gelas, sebotol air mineral dan sekotak kacang almond dari lemari penyimpan makanan. Lantas mengambil sebotol air mineral dingin dari kulkas kecil di samping lemari makanan.

"Nggak usah repot-repot, Bang. Ibu cuma sebentar, kok," ujar Lintang ketika melihat Alrescha tampak sibuk untuk menjamu kedatangannya.

"Nggak repot, kok, Bu. Lebih repot Ibu yang selalu sabar mengurus dan menjaga Bintang sedari kecil." Alrescha sedikit bergurau, mencoba mengurangi ketegangan yang mulai menjalar di aliran darahnya.

Senyum Lintang mengembang. Memandang Alrescha yang membawa nampan kayu berisi makanan dan minuman. Lintang pun mengerti apa yang telah membuat putri tercintanya jatuh hati kepada Alrescha.

"Silakan diminum, Bu," tutur Alrescha setelah meletakkan gelas, air mineral tidak dingin dan toples kotak berisi kacang Almond di atas meja.

"Terima kasih, Bang Alres," ucap Lintang yang sedang memerhatikan Alrescha membuka tutup botol air mineral dan menuangkannya ke dalam gelas.

Setelah itu Alrescha melakukan hal yang sama untuk dirinya sendiri. Menuangkan air mineral dingin ke dalam gelas, dan kembali mempersilakan Lintang untuk minum. Keduanya minum untuk meredakan ketegangan masing-masing. Keheningan tiba-tiba saja terjadi sesaat setelah mereka selesai minum. Membuat jantung Alrescha semakin berpacu dengan cepat.

"Maafkan saya, Bu. Karena harus meninggalkan Bintang sendirian di rumah sakit. Ada meeting yang tidak bisa saya tinggalkan," ujar Alrescha mencairkan suasana dengan bahasa formalnya kembali.

"Nggak apa-apa, Bang Alres. Ibu yang seharusnya minta maaf, karena sudah merepotkan Bang Alres lagi." Lintang menyahut segan.

"Saya tidak pernah merasa direpotkan, Bu. Saya sangat senang kalau bisa membantu Ibu dan Bintang," tutur Alrescha yang mampu membuat kedua mata Lintang merebak.

"Terima kasih, Bang Alres."

"Sama-sama, Ibu."

"Ibu datang ke sini, ingin meminta maaf kalau mungkin ada perkataan Ibu terdahulu yang menyinggung perasaan Bang Alres-tentang hubungan Bang Alres dan Bintang."

Alrescha terdiam. Lidahnya tiba-tiba saja kelu untuk menyahut saat menatap kedua mata Lintang yang berkaca-kaca. Sungguh, tidak ada hal yang mampu membuat dirinya mati kutu selain melihat Uty, Bia, Bintang atau wanita mana pun menangis.

"Ibu tidak melarang Bang Alres untuk berhubungan dengan Bintang sebagai sepasang kekasih. Ibu hanya tidak ingin, sesuatu yang buruk menimpa Bintang. Bang Alres pasti tahu maksud Ibu. Ibu selalu merasa takut melihat pergaulan anak-anak zaman sekarang. Terlebih Ibu mengajar di SMK, banyak kejadian yang membuat Ibu menjadi kolot terhadap Bintang.

Melarang Bintang berhubungan dengan lelaki selain Papa dan Adiknya, sama saja seperti membuat Bintang semakin penasaran dengan lawan jenis. Ibu sadar hal itu. Ibu hanya ingin melaksanakan pesan-pesan Papa Bintang sebelum meninggal. Ibu juga kaget, ketika Bang Alres meminta izin ingin menikahi Bintang."

Lintang tersenyum. Mengambil jeda untuk mengambil napas dalam-dalam kala dadanya merasa sedikit sesak.

"Ibu merasa baru kemarin melahirkan Bintang, dan tiba-tiba Bang Alres datang untuk mengambil Bintang sebagai istri. Waktu terasa begitu cepat," ungkap Lintang sendu.

"Saya tidak bermaksud mengambil Bintang dari Ibu. Saya hanya ingin meminta restu Ibu, agar saya bisa menikahi Bintang. Saya ingin menjaga Bintang dengan cara yang halal, seperti yang agama saya ajarkan. Dan mungkin hal itu bisa membuat Ibu menjadi tenang. Saya tidak pernah mempunyai niat untuk menghancurkan masa depan Bintang. Saya mencintai Bintang, Bu. Dan saya akan selalu berusaha untuk tidak merusaknya," terang Alrescha tegas.

Lintang tersenyum menahan tangisnya, "Terima kasih, Bang Alres. Ibu mengerti. Dan Ibu harap, Bang Alres bisa menjaga kepercayaan yang sudah Ibu berikan. Ibu merestui hubungan Bang Alres dan Bintang."

Alrescha terperanjat tak percaya. Ia menatap lekat setitik air mata Lintang yang menetes saat mengatakan telah merestui hubungannya bersama Bintang. Namun lidahnya terasa kaku untuk menyahut.

"Ibu ingin memberikan kesempatan kepada Bintang untuk menikmati masa remaja seperti teman-temannya, dengan bersyarat. Mungkin Ibu salah, karena hal ini tidak sesuai dengan apa yang sudah diajarkan oleh agama kita. Tapi Ibu hanya tidak ingin Bintang belajar berbohong ketika sedang jatuh cinta. Dan Ibu berharap, Bang Alres mengerti.

Ibu memberi izin Bang Alres untuk berhubungan bersama Bintang, dengan segala batasan yang ada tanpa terkecuali. Bang Alres bisa menemui Bintang kapan saja, asal ingat waktu. Ibu juga ingin melihat, bagaimana Bang Alres menjaga dan membuktikan rasa cinta Bang Alres kepada Bintang sebelum akhirnya Ibu benar-benar mengizinkan kalian menikah. Dan terakhir, Bang Alres boleh menikahi Bintang setelah Bintang lulus nanti," jelas Lintang lugas, dan langsung disambut senyum bahagia dari Alrescha.

"Alres mengerti, Bu. Insya Allah Alres akan selalu menjaga kepercayaan yang telah Ibu berikan kepada Alres." Alrescha menyahut dengan lantang.

"Kalau Bang Alres ingin mengikat Bintang terlebih dahulu-seperti bertunangan-Ibu mengizinkan. Tetapi, tidak dalam waktu dekat. Bintang masih kecil, dan sekarang masih berstatus mahasiswa baru. Ibu tidak ingin ada selentingan tidak enak nantinya."

"Siap, Bu. Nanti Alres bicarakan dengan kedua orang tua Alres."

Lintang mengangguk sembari tersenyum lega. Tangan kanannya terulur, meminum kembali sisa air mineral sebelum menanyakan sesuatu hal kembali. Pun Alrescha.

"Bang Alres," panggil Lintang ragu.

Alrescha segera menyahut, "Iya, Bu."

"Bagaimana kalau kedua orang tua Bang Alres tidak menyetujui hubungan Bang Alres dan Bintang? Ibu melihat, Bang Alres dan Bintang berbeda. Ibu-"

"Alres dan Bintang sama, Bu. Kita sama-sama makhluk ciptaan Allah. Kalau berbeda yang Ibu maksud soal semua yang ada di ruangan ini, atau jabatan yang Alres punya, Ibu terlihat benar-benar kolot," canda Alrescha sambil terkekeh.

Alrescha menjelaskan, "Ayah dan Bia sudah pernah bertemu dengan Bintang. Begitu juga dengan Eyang Kakung dan Eyang Putri serta abang-abang saya pun sudah pernah bertemu dengan Bintang. Mereka semua menerima Bintang dengan baik, Bu. Apa yang Ibu dan orang-orang lain lihat dari saya sekarang, itu hanya titipan dari Allah dan sewaktu-waktu akan diambil tanpa kita tahu. Dan saya hanya sedang berusaha untuk menjaga apa yang telah Allah berikan.

Tolong jangan melihat saya hanya dari status saja, Bu. Orang tua saya memberikan saya kebebasan untuk memilih dan melakukan apa yang saya cinta, asalkan saya tidak lupa diri."

Lintang menganggukkan kepala diiringi hembusan napas leganya. Senyumnya tersimpul. Memandang Alrescha yang sudah membuatnya seakan kehabisan kata-kata.

"Ibu sudah bertemu dengan Bintang?" tanya Alrescha memecah keheningan.

"Belum. Tadi setelah pulang sekolah, Ibu langsung ke sini," jawab Lintang.

"Kalau begitu, Ibu bareng sama Alres saja ke rumah sakitnya. Alres boleh menjenguk Bintang, kan, Bu?"

"Boleh. Kita ke rumah sakit sekarang? Ibu khawatir Bintang belum makan."

"Iya, Bu."

♡♡♡

"Kakak, Mama masih ada urusan. Mungkin agak siang sampai rumah sakit. Kakak makan dulu, ya. Biar cepat sembuh."

Selesai membaca pesan dari mamanya, Bintang segera membalas pesan itu. Helaan napas beratnya berembus. Mengingat Alrescha yang mungkin akan bertemu lagi dengan mamanya. Entah apa yang harus ia lakukan agar hubungannya dengan Alrescha bisa diterima sang mama.

Bintang mengembangkan bibir sedikit saat membaca balasan pesan dari sahabatnya, Happy. Setiap kali mengingat kecablakan Happy, bayangan Arash yang konyol akan selalu muncul secara otomatis. Seperti kata pepatah, jodoh itu cerminan diri. Dan begitulah ketika Bintang melihat Happy atau Arash, mereka benar-benar mirip.

"Assalamu'alaikum." Suara salam terdengar diiringi pintu ruang perawatan yang terbuka.

Senyum Bintang tersungging, namun sedetik kemudian senyum itu memudar karena melihat kedatangan Bara, "Wa'alaikumsalam."

Happy langsung memeluk Bintang seperti biasa. Kemudian diikuti Ria, Lina, Estri. Sedang Bara bersalaman sambil mengulas senyum bahagia. Berbeda dengan Bintang yang langsung merasa canggung. Isi kepalanya menjadi penuh dan ruwet, layaknya benang kusut. Memikirkan beberapa kemungkinan saat mamanya bertemu dengan Alrescha dan Bara sekaligus.

"Sendirian, Bi?" tanya Ria sembari melihat-lihat ruang perawatan Bintang yang lebih mirip seperti kamar di hotel.

"Iya," jawab Bintang singkat.

"Bang Alres kemana? Tadi malam ditemenin Bang Alres, kan?" tanya Happy ingin tahu, dan sengaja agar didengar Bara.

"Idih. Bintang udah bobok aja sama Bang Alres," ledek Lina yang mengetahui siapa Bara.

"Bobok bareng mah biasa, nggak apa-apa. Yang bahaya itu kalau nanti tiba-tiba hamil," celetuk Ria yang membuat Bara menatapnya horor.

"Lo sering bobok bareng pasti sama Mas Zaki?" timpal Estri menuduh Ria.

Ria tertawa sambil menoyor kepala Estri, "Boro-boro bobok bareng, ketemu aja jarang. Pejuang LDR, nih."

"Bang Alres ke kantor," sahut Bintang yang tak ingin percakapan teman-temannya melebar kemana-mana.

"Mama nggak ke sini?" timpal Bara.

"Mama ke sini nanti, habis pulang sekolah mungkin," terang Bintang kikuk.

"Mama dijemput Bang Alres?" Happy kembali bertanya.

"Duh. Bang Alres tu husband material banget, ya. Kenalin gitu sama saudaranya Bang Alres, Bi," rengek Lina memohon.

"Husband material?" sela Bara tak mengerti.

"Mas Bara nggak tahu husband material?" ledek Estri sambil tertawa. "Kudet bener."

Bara tersipu malu, "Iya, kudet. Nggak hafal sama bahasa gaul."

"Husband material itu ganteng, pintar, mandiri, mapan secara finansial, saleh, gitu deh pokoknya," jelas Lina dengan kebingungannya sendiri.

"Jadi maksud kamu, mahasiswa kayak aku gini nggak husband material, gitu?" kata Bara merasa tersinggung.

"Santuy, Mas Bara. Husband material itu banyak versinya. Tergantung dari sudut mana kita memandang. Mungkin buat Lina husband material begitu, buat gue atau Bintang dan yang lain bisa berbeda," timpal Happy.

Bara langsung menatap Bintang dengan serius, "Kalau menurut Bintang, husband material itu seperti apa?"

Bintang terdiam sesaat. Pun dengan Happy, Ria, Lina dan Estri yang sedang memerhatikannya dan Bara bergantian. Happy mencubit lengan Lina karena kesal. Membuat Lina mengerang tertahan.

"Ya pasti seperti Bang Alres, lah," celetuk Ria yang langsung dibalas pelototan dari Lina dan Happy.

"Hooh. Cocok," tambah Estri yang semakin membuat emosi Bara tersulut.

"Husband material itu, dia yang bisa menerima kita apa adanya. Tanpa perlu mengubah diri kita menjadi orang lain yang dia suka. Dia yang nggak cemburuan, dewasa dan bijak dalam berpikir. Nggak pernah umbar janji, tapi selalu menepati ucapannya. Dia juga nggak takut bertemu dengan orang tua-" tegas Bintang.

"Kamu salah, Bi. Aku nggak takut sama-"

"Kak Bara takut waktu itu, terutama sama Papa."

"Kita masih sekolah, Bi, waktu itu. Papa dan Mama Bintang nggak ngizinin kita buat pacaran. Ingat?"

"Ingat. Aku ingat gimana Kak Bara tiba-tiba menghindari aku, dan akhirnya ninggalin aku cuma karena hal itu. Kalau pun Kak Bara minta izin buat ngajak pergi aku tiap malam minggu, Papa sama Mama pasti mengizinkan."

"Kalau begitu kasih aku kesempatan lagi, Bi. Aku akan berusaha untuk jadi pacar yang terbaik dari sebelumnya."

Happy dan teman-teman yang lain terperanjat mendengar ucapan Bara. Mereka langsung menoleh ke arah Bintang yang terlihat tidak terkejut sama sekali. Kedua mata Bintang memandang skeptis Bara tanpa berkedip. Bintang pun teringat dengan ucapan Alrescha saat mereka bertengkar. Alrescha mengatakan jika Bara masih mencintainya.

"Maaf, Kak. Sejak Kak Bara memutuskan aku, aku sudah nggak suka sama Kakak. Sekarang, aku sudah memiliki Bang Alres. Bang Alres bukan sekadar pacar buat aku, tapi dia sudah menjadi calon suamiku," tegas Bintang yang membuat semua orang tersentak mendengarnya.

"Oia?! Memangnya Bang Alres sudah bertemu dengan Mama?" tukas Bara tak percaya.

Senyum kecil Bintang tersungging. "Sudah. Bang Alres juga sering menelepon Mama."

"Kamu bohong, Bi. Mama kamu nggak mungkin ngizinin Mas Alres buat dekat sama kamu. Kamu masih dilarang berpacaran bukan?"

"Keberanian Bang Alres yang meminta izin untuk menikahi aku, buat Mama percaya sama dia."

"Jadi aku harus meminta izin sama Mama kamu supaya kita bisa bersama lagi?"

Suara pintu yang terbuka dan salam dari Lintang menginterupsi Bintang yang akan menjawab pertanyaan Bara. Semua terkesiap ketika Alrescha tiba-tiba muncul di belakang Lintang sambil membawa dua kotak pizza berukuran large beserta minuman diiringi ucapan salam susulan. Setelah sadar dari keterkejutan, Happy langsung menyalami Lintang. Pun dengan yang lain.

"Sudah pada makan?" tanya Lintang kepada teman-teman Bintang.

Happy langsung menjawab tanpa basa-basi, "Belum, Tante."

"Kalau gitu kita makan siang bersama. Tadi Bang Alres beli makanan banyak," sahut Lintang yang disambut senyum sumringah dari teman-teman Bintang. "Mas-nya teman sekelas Bintang juga? Kayaknya Ibu nggak asing sama kamu."

"Saya Bara, Bu. Kakak kelas Bintang waktu SMA dulu," terang Bara yang membuat Alrescha memerhatikannya setelah meletakkan makanan dan minuman di atas meja.

Lintang mengangguk mengerti. "Ibu ingat sekarang. Satu kampus sama Bintang?"

"Iya, Bu. Tapi beda jurusan, saya ambil Teknik Mesin."

Seulas senyum Lintang tersungging. Menutupi keterkejutannya saat mengetahui siapa Bara. Ia tak akan lupa siapa nama pacar pertama sang putri waktu itu. Diusapnya rambut Bintang sebelum bertanya untuk mengusir kecanggungan di ruang perawatan yang terkesan begitu mewah. Dan ia harus belajar menerima segala apa pun pemberian Alrescha kepada Bintang yang mungkin tak bisa diberikannya.

"Kakak sudah makan?" tanya Lintang yang jawabannya sudah bisa ditebak.

Bintang menggeleng. "Nggak enak makanan dari rumah sakit."

"Kalau Mama datang jam 2, tetap nggak makan?" omel Lintang yang langsung dibalas gelengan kepala dari sang putri.

"Nunggu Mama atau Bang Alres?" goda Lintang yang sepertinya mulai paham akan situasi.

"Bang Alres bilang mau makan siang di sini sama Bintang," elak Bintang.

"Cieee..., nunggu calon suami dateng," seloroh Happy diiringi kekehan Ria, Lina dan Estri.

Helaan napas berat Bara berembus. Ia sudah kehilangan akal untuk berucap atau melakukan sesuatu. Senyumnya terpaksa mengembang sebelum berpamitan untuk pulang.

"Saya permisi pulang dulu, Bu," ucap Bara sopan.

"Loh, kok, pulang Mas Bara? Kita makan siang bersama dulu, ya," tutur Lintang.

"Terima kasih, Bu. Saya harus ke kampus sekarang," tolak Bara yang ingin segera keluar dari ruang perawatan Bintang.

Alrescha menyela, "Terima kasih sudah menjenguk Bintang," ujar Alrescha sambil menatap Bara dengan tatapan mengintimidasi.

"Sama-sama, Mas Alres." Bara merasa kaku di tempat.

"Kak Bara bukannya mau ngomong sama Mama?" desak Bintang yang membuat Bara tercengang.

"Hah?" Bara tampak bingung dan gugup.

"Mas Bara mau ngomong apa memangnya?" tanya Lintang penasaran.

Alrescha memandang Bintang yang sedang melirik kepadanya. Kemudian menatap sinis Bara dengan tatapan tak suka. Suasana ruang perawatan Bintang tiba-tiba saja menjadi hening dan semakin terasa dingin.

"Kak Bara bilang mau minta izin sama Mama. Boleh nggak pacaran lagi dengan Bintang?" Bintang masih menatap Bara yang sedang kalang kabut di sampingnya.

Happy menepuk jidatnya saat teringat curhatan Bintang beberapa jam lalu. Ia tidak menyangka jika Bintang bisa bertindak seberani itu. Bintang yang biasanya pemalu dan tak percaya diri seakan menjelma menjadi sosok lain saat ini. Pun dengan teman-teman lain, hanya duduk terdiam melihat drama yang sedang Bintang mainkan. Mereka juga menerka apa yang akan dilakukan Alrescha-sosok husband material yang didambakan.

"Kok, tanyanya sama Mama? Kan, yang mau pacaran Kakak. Gimana, sih?" sahut Lintang iba kepada Bara.

Bara tersenyum kikuk. "Bintang bilang harus izin dulu sama Ibu."

"Begini Mas Bara, sepertinya Mas Bara dan Bintang hanya bisa berteman. Setahu Ibu, Bintang sudah berpacaran dengan Bang Alres sekarang. Nggak mungkin bukan Bintang punya dua pacar? Ibu nggak akan mengizinkan jika Bintang serakah seperti itu," jelas Lintang sabar. "Bintang harus memilih salah satu."

"Saya mengerti, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu," kata Bara sebelum undur diri.

Setelah selesai berpamitan, Bara segera beranjak pergi meninggalkan ruang perawatan Bintang dengan kecewa.

"Kakak kok gitu, sih? Harusnya dibicarakan baik-baik berdua. Kenapa Mama dibawa-bawa?" gerutu Lintang.

"Saya keluar sebentar, Bu."

Lintang, Bintang dan yang lain tercengung melihat Alrescha terburu-buru keluar ruangan tanpa menunggu sahutan dari siapa pun.

"Wah! Seru nih pasti," kata Happy menghampiri Bintang.

"Bang Alres pasti menang," imbuh Ria.

"Ya kali sabeum kalah," tambah Estri.

Lina menyahut, "Tae kwon do vs karate. Divideoin nggak, Bi?"

"Kalian ini, ya," kata Lintang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Bang Alres nggak akan bikin ribut."

"Duh, Tante. Tahu banget sama calon menantunya," canda Ria, membuat Bintang hanya menghela dan mengembuskan napas melihat tingkah memalukannya.

"Bang Alres imamable banget, kan, Tant?" Lina menambahkan.

"Bang Alres anak yang baik. Itu yang Ibu tahu. Sudah sana dimakan makanannya. Ibu mau menyuapi Bintang," ungkap Lintang menyudahi.

"Semuanya, Tant?" tanya Happy tak sabar.

"Sisain buat Bang Alres," pungkas Lintang sebelum menyuapkan bubur yang dibelinya kepada Bintang.

"Ah, siap!" Semua menyahut serempak.

Di luar ruang perawatan, Alrescha mengejar Bara. Ia tak menyangka jika Bintang akan menyelesaikan masalah Bara dengan cara seperti itu. Meski senang dengan sikap berani Bintang, namun ia bisa merasakan apa yang sedang Bara rasa sekarang.

"Bara, tunggu!" cegah Alrescha saat Bara akan memasuki lift.

Bara menoleh dan bergeser ketika seseorang akan melewatinya. "Ada apa Mas Alres?"

"Bisa bicara sebentar?" tanya Alrescha yang langsung dibalaa anggukan kepala dari Bara.

Keduanya berjalan menjauhi lift. Mereka berdiri di samping pagar pembatas kaca sambil melihat ke lantai terbawah yang ramai dengan orang berlalu-lalang. Bara menunduk, lalu menatap tangan kanan Alrescha yang sudah terulur kepadanya. Kemudian mendongak, memandang Alrescha yang tersenyum simpul saat bertemu mata. Dengan ragu uluran tangan kanan Bara menyambut.

"Terima kasih, Bara, karena sudah beberapa kali mengantar pulang dan menjaga Bintang selama saya tidak ada," ucap Alrescha yang membuat Bara tersentak.

Bara tersenyum kikuk. "Sama-sama, Mas."

"Semoga kamu bisa menghormati dan menerima keputusan Bintang," tutur Alrescha menasehati, berharap Bara tidak akan marah atau dendam kepada Bintang.

"Saya mengerti, Mas. Lagipula saya yang salah, karena dulu sudah memutuskan Bintang secara sepihak," terang Bara. "Bintang pantas mendapatkan yang lebih baik dari pada saya."

Bibir Alrescha kembali mengukir senyum, lantas menepuk pundak Bara sebelum beranjak pergi.

"Mas Alres," panggil Bara menghentikan langkah Alrescha.

"Ada apa?" tanya Alrescha serius.

"Apa benar Mas Alres itu calon suaminya Bintang?"

Alrescha tersenyum. "Insyaa Allah."

Bara mematung. Kenyataan yang lagi-lagi membuat dirinya seakan kehabisan energi untuk melakukan apa pun. Ia memandang punggung Alrescha yang menjauh darinya. Punggung tegap dan kokoh yang akan selalu menjaga Bintang-nya dengan baik. Bintang harapan yang sudah berpemilik.

Tbc.

Fri, 270919-Wed, 231019

Bello...
Gimana kangennya?
Semoga sudah terobati, ya. 🙏

Semoga bisa dinikmati ceritanya, dan rasa bintang alrescha-nya masih sama. Aamiin. 😇

Buat new readers, silakan dibaca dari awal. Dan buat readers lama, silakan dipuasin baca Alrescha-nya, barangkali tiba-tiba THE END nanti. Hehe.

Dari awal cerita ini nggak punya kerangka, ngalir aja. Makanya kesendat-sendat. Dan sepertinya sebentar lagi akan selesai. Semoga bisa nyusul seperti cerita Kakung sama Bia-nya Alrescha. Aamiin 😇

See you soon all, ☺️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top