19. Revolusi Bintang

Bintang memakan sarapannya dalam diam. Ia tahu jika sedari tadi sang mama sedang memerhatikannya. Dua hari sejak kepulangannya dari rumah sakit, Bintang lebih sering terdiam. Jika mama atau adiknya tidak bertanya, maka ia tak akan berbicara. Membuat mamanya menjadi khawatir.

"Dek, makannya dihabiskan dulu. Baru main game," peringat Lintang, Mama Bintang, kepada putra bungsunya yang sedang bermain game di smartphone.

Ibra, Adik Bintang, mengangguk. Ia segera menghentikan permainannya. Kemudian melanjutkan sarapan nasi goreng udang kesukaannya.

"Nggak bosen apa main game tiap hari? Nanti kalau lupa belajar terus nilainya jelek, Mama sita HP-nya!" ancam Lintang keras.

"Mama, Aku tu lagi latihan buat ikut e-sports nanti. Kalau menang, Aku bisa ketemu sama gamer idolaku, Bang Alrescha," ujar Ibra yang membuat Bintang hampir tersedak.

E-sports, electronic sports atau olahraga elektronik merupakan suatu istilah untuk kompetisi permainan video jamak, umumnya antara para pemain profesional. Aliran permainan video yang biasanya dihubungkan dengan olahraga elektronik adalah aliran strategi waktu, perkelahian, tembak-menembak orang pertama dan arena pertarungan daring multipemain.

"Apa ada manfaatnya e-sports itu? Yang ada cuma buang-buang waktu. Adek jadi lupa buat belajar," tukas Lintang tak suka.

Ibra meminum susu cokelat setelah selesai menghabiskan nasi gorengnya, "Aku nggak pernah lupa belajar, ya, Ma. Mama lebay. Nilaiku juga nggak pernah jelek. Asal Mama tahu, e-sports itu banyak manfaatnya. Bermain game itu akan memberikan keuntungan intelektual, fisik dan psikologis.

Nih, ya, game dengan aksi-aksi berulang, misalnya menerbangkan kelelawar dan memindahkan objek akan melatih otak dan otot-otot aktivitas sehingga performanya lebih baik dalam kehidupan nyata. Terus bermain game juga melatih kemampuan bernavigasi, meningkatkan daya ingat dan memperkuat penalaran. Main game juga bisa membantu meraih kesuksesan berkarir."

"Kesuksesan berkarir apa? Mama nggak percaya."

"Kayaknya Mama harus ketemu Bang Alrescha deh. Biar Mama percaya."

"Memangnya kamu tahu Bang Alrescha?"

"Bang Alrescha itu salah satu gamer terkenal di Indonesia. Kerja di perusahaan game juga. Menantu-able, deh, buat Mama. Ganteng, pinter dan yang pasti kaya raya," tutur Ibra yang membuat Bintang tertarik untuk mendengarkan.

Ibra kembali menjelaskan, "Mama tahu kenapa game membantu kita meraih kesuksesan berkarir? Karena dengan bermain game, otak kita tertantang untuk mencari solusi. Contoh, kita kesulitan melewati suatu stage dalam game. Kita akan tertantang berpikir bagaimana melewati stage itu. Dengan kata lain, kita berusaha mencari solusi untuk melewati stage tersebut. Dalam kehidupan nyata, bila kita menemukan solusi untuk menghadapi hambatan dan kesulitan pekerjaan yang sedang kita hadapi, tentunya kesuksesan berkarir akan menghampiri kita. Dan pastinya main game bisa membuat suasana hati menjadi bahagia. Mama sama Kakak coba deh main game, jadi perasaannya nggak negatif terus."

"Silakan main game, tapi harus ingat waktu. Ingat juga sama tugas dan kewajiban! Adek dengar?"

"Dengar, Mama. Mama doain aku, ya. Biar nanti aku menang di e-sports. Nanti hadiah uangnya buat Mama dan Kak Bintang," kata Ibra sebelum berpamitan ke sekolah karena sudah dijemput dengan sahabat karibnya. "Aku berangkat sekolah dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Bintang dan Mamanya menjawab salam dengan serempak.

Lintang melihat jam tangannya yang baru saja menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Kemudian ia memandang Bintang yang sedang melanjutkan memakan bubur ayam dalam diam. Hingga ucapan Bintang membuatnya sedikit kaget.

"Nanti siang Bintang mau pulang ke kos, Ma," kata Bintang memberanikan diri.

Helaan napas berat Lintang berembus, "Besok masih hari tenang, kan? Kemarin Mama sudah sewa mobil buat antar Kakak pulang ke kos. Hari sabtu Mama dan Adek libur sekolah, jadi bisa santai nanti. Mama khawatir kalau Kakak naik KRL sendirian."

"Bintang sudah gede, Ma. Mama nggak usah khawatir. Bintang juga sudah sembuh, kok," ujar Bintang sedikit kesal.

"Apa Mama punya salah sama Kakak? Kalau Mama punya salah, Mama minta maaf."

"Mama nggak punya salah sama Bintang. Bintang harus belajar buat mid-term test hari senin nanti. Jadi Bintang harus cepat balik ke kos. Kemarin lupa bawa buku kuliah."

"Kakak mau ketemu Bang Alres?"

Bintang terdiam. Ia menelan salivanya dengan susah payah. Lidahnya seakan kelu untuk menjawab.

"Kemarin, Bang Alres telepon Mama.  Katanya, Bintang nggak pernah balas pesan dan angkat telepon dari Bang Alres. Bang Alres minta maaf karena belum sempat menjenguk Kakak lagi," cerita Lintang yang membuat Bintang terkejut.

"Mama nggak melarang Kakak untuk berpacaran dengan Bang Alres. Mama cuma minta satu, jangan lupa buat belajar. Jangan kecewakan Mama dan Papa," sambung Lintang yang membuat kedua mata Bintang merebak. "Kakak boleh menikah setelah lulus S1 nanti. Itu pesan Papa sebelum meninggal."

Lintang beranjak dari tempat duduknya. Mengambil piring-piring kotor, dan membawanya ke tempat cucian piring di dapur. Kemudian mencangklongkan tas setelah memesan ojek online untuk pergi ke sekolah.

"Mama berangkat ke sekolah dulu, ya. Besok pagi Mama antar ke kos. Baik-baik di rumah. Assalamu'alaikum," pamit Lintang kepada Bintang.

Bintang meraih tangan mamanya untuk dicium seperti biasa, "Wa'alaikumsalam."

Setitik air mata Bintang menetes. Mengingat perkataan mamanya dan pesan terakhir sang papa sebelum meninggal. Kegundahan semakin melanda hati Bintang. Ia kembali melirik smartphone-nya yang bergetar di atas meja makan. 'Abang', nama yang terpampang di layar smartphone. Nama yang membuat Bintang menangis kembali. Menangis karena dilanda rindu dan dilema.

♡♡♡

"Itu smartphone siapa yang bunyi terus?" tanya Cinta kepada Aresh dan Mbak Siti.

"Smartphone Adek kayaknya, Bunda," terka Aresh yang sedang menuangkan sayur sop iga di mangkuk porselen besar.

"Coba dilihat," perintah Cinta yang dibalas anggukan kepala dari Aresh.

"Mbak, tolong nanti kalau sudah selesai semua ditata di meja makan, ya," pinta Aresh.

Mbak Siti mengiyakan, "Iya, bu."

Aresh segera mencuci tangan setelah melepas celemek yang dipakainya saat memasak. Ia mengambil segelas air putih sebelum menghampiri Alrescha yang sedang tertidur di sofa bed, di ruang keluarga. Sepulang dari kantor pagi tadi, Alrescha langsung merebahkan diri di sana. Di tempat keluarganya biasa berkumpul untuk menonton televisi dan bercengkrama bersama. Berharap suasana ramai tak membuatnya takut untuk tertidur walau sesaat.

Helaan napas Aresh berembus perlahan. Mengurungkan niatnya untuk mengangkat panggilan di smartphone Alrescha yang sedari tadi berbunyi. 'Mas Tama', nama yang terpampang di layar smartphone saat dering telepon terhenti. Aresh meletakkan gelas yang berisi air putih di atas meja. Kemudian merapikan sepatu, jaket dan tas ransel Alrescha yang berserak sembarangan.

"Adek, bangun. Sebentar lagi adzan zuhur." Aresh mengusap rambut Alrescha sembari membangunkan. "Ayo, Abang Alrescha. HP-nya bunyi lagi tuh."

"Huum," gumam Alrescha menyahut.

"Bangun, Dek!" perintah Aresh mengulang sambil membalikkan badan Alrescha agar menghadapnya.

Alrescha menyahut, "Alres masih mengantuk, Bia."

"Bangun, Dek. Telepon dari Mas Tama diangkat dulu. Nanti habis salat zuhur dan makan, baru tidur lagi," tutur Aresh menasehati.

Perlahan kedua mata Alrescha mengerjap. Ia mengusap wajah sebelum mengambil smartphone dari tangan kanan bianya. Ia memerhatikan layar smartphone saat panggilan itu terhenti. Kemudian segera menyentuh nama kontak yang meneleponnya berulang kali.

"Alrescha! Penting ini," gerutu Tama dari seberang.

Alrescha menguap sebelum duduk dan menyahut, "Assalamu'alaikum, Mas. Maaf, Alres tidur. Ada apa, Mas?"

Alrescha mendengarkan sembari meminum segelas air putih yang Aresh berikan kepadanya. Dengan gemas, Aresh mengusap rambut Alrescha setelah duduk di samping putra bungsunya.

"Wa'alaikumsalam. Nanti sore kita berangkat," kata Tama lugas.

"Kok mendadak gitu, Mas? Sudah dapat tiket buat nanti sore?" tanya Alrescha memastikan, jika keberangkatannya ke Jepang dimajukan maka ia tidak akan bisa menjenguk Bintang lagi.

"Kita survei dulu, Alres. Ada yang perlu kita urus sebelum bertemu dengan Mr. Ozora. Jadwal flight kita jam 04.35."

"Cathay Pacific?"

"Iya. Ada meeting nanti siang. Kita bertemu di bandara. Jangan terlambat Alres!"

"Siap, Mas."

"Tidur di pesawat aja. Sekarang siap-siap. Berkasnya jangan sampai tertinggal!"

"Siap!"

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Alrescha mendesah kesal sambil mengacak-acak rambut. Ia memandang sang ibu, Aresh, dengan wajah cemberutnya.

"Kenapa?" tanya Aresh merapikan rambut Alrescha.

"Nanti sore berangkat ke Jepang," jawab Alrescha sembari membuka pesan-pesan yang telah dikirimkan kepada Bintang tanpa ada balasan.

"Bia bantu packing nanti." Aresh mencoba menenangkan Alrescha yang sepertinya sedang kesal.

"Sore ini, Alres berencana menjenguk Bintang. Bintang pasti tambah marah nanti,"  keluh Alrescha sesaat setelah menulis pesan kepada Bintang.

"Bintang pasti mengerti. Kan, mendadak juga berangkatnya."

"Sudah dua hari ini Bintang nggak pernah balas pesan Alres. Alres telepon juga nggak pernah diangkat. Alres cuma bisa telepon Mamanya Bintang kemarin, tanya kabar Bintang."

"Nanti setelah pulang dari Jepang, Adek langsung temui Bintang. Jangan lupa bawa oleh-oleh kesukaan Bintang."

"Alres tahu, Alres salah kemarin. Harusnya Alres nggak cuek begitu sama Bintang. Tapi Alres bingung. Mama Bintang antara ngizinin dan enggak."

"Mungkin maksud Mama Bintang cuma mau  mengingatkan Adek saja, biar nggak kebablasan kalau pacaran."

"Makanya itu Alres mau nikahin Bintang, Bia. Alres takut kalau nanti jadi lupa diri."

Aresh menarik hidung mancung Alrescha.

"Sakit, Bia!" pekik Alrescha sambil mengusap-usap hidungnya.

"Berani macam-macam sama Bintang, Bia coret nama Adek dari KK. Mau?!" peringat Aresh keras.

Alrescha memandang ibunya dengan tatapan lekat dan serius, "Bia sama Ayah pernah ribut nggak? Kan, Bia sama Ayah langsung menikah. Pasti belum mengenal satu sama lain. Kenapa Bia menerima khitbah Ayah? Apa semua karena Kakung dan Uti?"

Tubuh Aresh menegang. Ia terdiam sesaat sebelum akhirnya tersenyum dan mengusap rambut Alrescha kembali. Ada rasa nyeri ketika mengingat bagaimana awal-awal pernikahannya bersama dengan Reshi, ayah dari keempat jagoannya.

"Mungkin bukan ribut, tapi lebih tepatnya beradu pendapat. Karena menyatukan dua isi kepala itu tidaklah mudah. Salah satu harus ada yang mengalah. Dari Ayah, Bia belajar bahwa mengalah itu bukan berarti kalah. Namun justru orang yang demikian itu mampu mengendalikan pikiran dan jiwanya agar tidak bersifat kekanak-kanakan. Orang yang mampu mengalah berarti mampu membawa emosinya pada titik ketenangan jiwa, seperti Ayah," tutur Aresh dengan kedua matanya yang sudah berkaca-kaca.

"Soal khitbah Ayah itu memang ada campur tangan Kakung dan Uti. Tapi Bia tahu, apa yang Kakung dan Uti lakukan untuk Bia saat itu adalah sesuatu yang terbaik bagi Bia," cerita Aresh sambil menitikkan air mata. "Kalau nggak sama Ayah, nggak mungkin kan ada Adek dan Abang-Abang?"

Alrescha hanya terdiam. Memandang sang ibu yang sedang menghapus air mata. Alrescha jarang sekali melihat Aresh menangis seperti sekarang. Yang ia tahu, Bia adalah sosok seorang istri dan ibu yang sabar serta kuat selain Uti.

"Ayah nggak pernah menyerah untuk bisa mendapatkan hati Bia. Meski Bia masih mencintai orang lain, tapi Ayah nggak pernah mundur. Ayah selalu bilang, semoga cinta Ayah bisa memberikan kebahagiaan untuk Bia." Aresh kembali menyeka air mata.

Senyum simpul Aresh tersungging, saat Alrescha menyodorkan selembar tisu kepadanya. Tisu itu segera digunakannya untuk menghapus air mata. Sedang Alrescha mulai kebingungan. Melihat sang ibu menangis di hadapannya. Ia merutuki diri sendiri karena bertanya tentang masa lalu kedua orang tuanya.

"Adek harus bisa seperti Ayah. Jangan pernah menyerah untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Dan Allah itu Maha Penyayang. Kalau apa yang kita kejar bukan untuk kita, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik," kata Aresh menasehati.

Alrescha mengangguk, "Alres nggak akan menyerah semudah itu, Bia. Alres akan buktikan sama semua orang terutama Mama Bintang, kalau Alres serius dengan Bintang."

"Jagoan kecil Ayah dan Bia sudah dewasa sekarang. Udah bisa bikin kangen perempuan lain selain Bia dan Uti," ujar Aresh bangga.

Senyum Alrescha mengembang sebelum mengucapkan terima kasih. Kemudian mencium pipi Aresh dan memeluknya. Membuat Aresh kembali mengukir senyum bahagianya. Karena sampai kapan pun Alrescha akan selalu menjadi putra bungsu yang manja dan menggemaskan meski sudah menikah nantinya.

"Pokoknya Adek harus temui Bintang sesegera mungkin. Nggak mau, kan, jadi jomlo di acara nikahannya Bang Aksa nanti?" goda Aresh yang membuat Alrescha kaget.

"Bang Aksa mau menikah, Bia? Kapan?" tanya Alrescha bersemangat.

"Insya Allah awal tahun depan."

"Sama siapa, Bia? Nggak tunangan dulu?"

"Acara tunangannya bulan depan. Adek luangin waktu, ya, buat acara tunangannya Bang Aksa nanti."

"Siap, Bia!"

Suara keras Arash mengucapkan salam saat memasuki rumah menginterupsi Alrescha yang masih ingin tahu siapa calon kakak iparnya. Dengan malas Alrescha menjawab salam Arash.

"Bia, Bang Aksa nggak ada apa-apa sama Mbak Dia, kan?" tanya Arash tak sabar.

"Jadi calon istrinya Bang Aksa itu Mbak Dia, Bia?" Alrescha menyahut.

"Coba kamu tanya sama Bang Aksa sendiri," kata Aresh ketika mendengar suara motor sport Aksa.

Aksa tersenyum saat melihat Aresh dan kedua adiknya di ruang keluarga. Rasa lelah Aksa seakan sirna ketika melihat sambutan hangat dari orang-orang tercintanya. Ia meletakkan tas ranselnya di samping tas Alrescha.

Arash menarik jaket jeans yang Aksa kenakan, "Jadi, Abang itu Paspampres baru yang mengawal Mbak Dia?"

"Iya," jawab Aksa singkat. "Kenapa? Kamu nggak keberatan bukan ada Abang di sana?"

"Enggah, sih. Tapi kok bisa? Sejak kapan Abang terdaftar sebagai Paspampres?" Arash menginterogasi, "Atau Abang ditugaskan khusus untuk mengawal Mbak Dia?"

Aksa mengangguk mengiyakan, lantas meminum air putih yang merupakan sisa air minum Alrescha.

"Abang, itu punya Adek!" peringat Aresh.

"Haus, Bia," sahut Aksa santai, membuat Aresh beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil air minum.

"Kata Bia, Abang mau menikah? Sama siapa, Bang? Alres kenal nggak?" tanya Alrescha menginterogasi.

"Jawab dulu pertanyaan Arash, Bang!" sela Arash kesal.

Aksa terkekeh melihat Arash dan Alrescha yang sedang mengorek informasi pribadi darinya.

"Sedang menginterogasi Abang?" tanya Aksa sebelum mengambil segelas air yang sudah disediakan ibunya.

"Kepo aja. Kenapa Abang tiba-tiba bisa jadi Paspampres? Abang masuk jalur khusus pasti," ejek Arash setelah selesai minum.

Aksa tertawa, "Apa Abang bisa menolak kalau surat perintah sudah turun? Kalau lewat jalur khusus, harusnya Adek sudah jadi tentara juga dong sekarang?"

"Atau Abang bisa jadi Paspampres karena ada jalur cinta dan kasih sayang?" goda Alrescha yang membuat Aksa tiba-tiba menjadi salah tingkah.

"Kakung sama Ayah kalian belum datang?" tanya Cinta yang baru saja menyelesaikan masakannya.

"Mungkin sebentar lagi Uti," jawab Aksa.

"Memangnya jalur cinta dan kasih sayang itu kayak gimana, Dek?" tanya Cinta kepada Alrescha.

Alrescha tersenyum, "Jalur cinta dan kasih sayang itu nggak bisa dilihat, Uti. Cuma bisa dirasakan aja. Tapi yang pasti, jalur itu selalu penuh dengan kebaikan dan keridaan dari Allah."

"Aamiin." Aresh mengamini.

"Jadi, siapa yang mau kasih cicit duluan buat Uti?" tanya Cinta yang membuat Aksa tersedak saat memakan kacang mete.

"Kayaknya Abang lagi on process tu," ledek Alrescha diiringi gelak tawanya.

"Masalahnya, siapa yang bakal ngelahirin calon cicitnya Uti dari Bang Aksa? Emang bisa brojol sendiri," sela Arash.

"Bulan depan kalian tahu, siapa calon istri Abang. Kosongkan jadwal kalian," kata Aksa lugas sebelum beranjak pergi untuk berganti baju.

"Eits! Menghindar mulu kayak ketemu sama mantan," ujar Arash menahan kepergian Aksa, diikuti kekehan dari Aresh, Cinta dan Alrescha.

Aksa memandang Arash dengan lekat, "Mantan itu bukan untuk dihindari, apalagi dilupakan. Karena dia adalah salah satu bentuk pembelajaran dalam kehidupan."

Aksa melangkah pergi setelah mengucapkan kalimat pamungkasnya. Membuat semua orang bungkam dalam hitungan detik. Dan meninggalkan sejuta pertanyaan di kepala Arash dan Alrescha tentang siapa calon kakak iparnya. Sedang Bia dan Uti hanya tersenyum simpul penuh kebanggaan. Apa yang Aksa ucapkan selalu mengingatkan mereka kepada suami masing-masing.

"Love you one million, Abang Aksa," ucap Alrescha setelah tersadar dari keterpukauannya kepada sang kakak pertama.

Arash menyeringai, "Berarti gue lebih pinter dari semuanya, karena punya mantan banyak," ujar Arash diiringi gelak tawanya, membuat Bia dan Uti hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Pun Alrescha. Ikut tertawa atas kata-kata konyol yang Arash ucapkan. Melupakan ketidakacuhan Bintang dalam beberapa hari terakhir. Seperti sebuah revolusi, dan hanya berharap semua akan segera kembali pada porosnya semula.

Tbc.

25.06.19

Siang semua,
Masih ada yang bacakah?
Tolong kasih tanda ya buat yang masih stay di sini. 🙏

Btw, maaf lahir dan batin kalau ada salah-salah kata. Maaf juga kalau komen-komen kalian ada yang belum dibalas. Insya Allah nanti aku balas pas baca ulang 'Alrescha' dari awal. 😊

Ini rasa-rasa Alrescha Bintang-nya masih sama, kan? Semoga 😇

Selamat menikmati, and Happy reading.

Tabik 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top