17. Okultasi Bintang

Setelah mengurusi semua administrasi, Alrescha bergegas ke ruang perawatan Bintang. Tangan kirinya terangkat. Melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Kemudian mengambil smartphone dari saku celana slim fit-nya. Menekan salah satu angka untuk menghubungi seseorang sembari berjalan ke tempat tujuannya.

"Assalamu'alaikum, Bia," salam Alrescha saat panggilannya telah terangkat.

Terdengar suara balasan dari Aresh, ibunda Alrescha, "Wa'alaikumsalam, Adek."

"Bia, malam ini Alres nggak bisa pulang. Bintang sakit. Alres mau menemani Bintang di rumah sakit."

"Bintang sakit? Sakit apa? Di rumah sakit mana?"

"Bintang sakit tipes, Bia. Karena Bintang sudah sangat lemas, Alres bawa dia ke Rumah Sakit Biru."

"Mau Bia temani? Nanti Adek tidurnya gimana?"

"Nggak usah, Bia. Alres tidur besok pagi aja. Ini juga belum mengantuk."

"Tapi Adek belum sembuh banget. Bia nggak mau kamu sakit lagi, Dek."

Alrescha tersenyum mendengar gerutuan ibundanya, "Insya Allah Alres baik-baik aja, Bia. Alres sudah sembuh, kok. Bia tenang aja."

"Ya sudah. Kalau bisa istirahat nanti. Jangan kenapa-kenapa!"

"Iya, Bia Sayang. Nanti Alres telepon Bia lagi, ya. Night, Bia. Assalamu'alaikum."

"Iya. Baik-baik di sana. Wa'alaikumsalam."

Sesampainya di depan ruang perawatan Bintang, Alrescha segera membuka pintu dengan perlahan. Ia seakan tak ingin mengganggu Bintang yang mungkin saja masih tertidur. Bintang yang sudah lemas tak bertenaga langsung tertidur setelah diinfus dan dipindahkan ke ruang perawatan. Membuat Alrescha tak tega meninggalkan sang kekasih saat mengurusi administrasi beberapa menit lalu.

Langkah Alrescha terhenti, tepat di samping hospital bed tempat di mana Bintang terlelap. Ia menatap tangan kanan mungil Bintang yang tertancap jarum infus. Tangan kecil yang selalu Alrescha genggam selain tangan nenek dan ibundanya. Pandangan Alrescha berpindah, menatap wajah ayu Bintang yang masih sedikit pucat. Seulas senyumnya terukir, ketika kedua mata Bintang mengerjap.

"Kok, bangun?" tanya Alrescha saat Bintang telah membuka kedua matanya. "Mau minum?"

Bintang menggeleng, "Bintang mau telepon Mama."

"Biar Abang yang telepon Mama Bintang."

"Jangan, Bang. Nanti Mama marah."

Alrescha tersenyum sembari merapikan rambut Bintang yang sedikit berantakan.

"Abang yang akan menelepon Mama. Percaya sama Abang, Mama nggak akan marah. Oke?" Alrescha kembali mencoba menenangkan Bintang.

"Kalau Mama marah?" tanya Bintang dengan kedua matanya yang mulai merebak.

"Itu urusan Abang nanti. Yang pasti, Mama nggak akan marah sama Bintang. Bintang percaya, kan, sama Abang?"

"Bintang takut."

"Abang di sini, Bi. Bintang nggak perlu takut. Oke?"

Tanpa menunggu sahutan dari Bintang, Alrescha mengambil smartphone Bintang dari saku jaket. Kemudian segera mencari nomor telepon mama Bintang. Setelah menemukan nomor itu, Alrescha langsung menelepon menggunakan smartphone-nya. Senyum Alrescha tersungging kala mendapat tatapan cemas dari Bintang. Ia menggenggam tangan kanan Bintang dengan hati-hati sembari menunggu panggilannya dijawab.

"Assalamu'alaikum," salam Alrescha sopan ketika panggilannya terangkat.

"Wa'alaikumsalam. Maaf, ini dengan siapa, ya?" tanya Lintang, ibunda Bintang.

Alrescha tersenyum sambil memandang Bintang yang sedang cemas dan takut, "Saya Alrescha, Bu. Kekasih Bintang."

"Kekasih Bintang?!" tanya Lintang dengan nada sedikit terkejut.

"Iya, Bu. Saya ingin memberitahu kalau saat ini Bintang sedang berada di rumah sakit. Tipes Bintang kambuh sejak hari kemarin."

Helaan napas berat Lintang berembus, "Bintang di rumah sakit mana? Apa Bintang baik-baik saja sekarang? Boleh saya berbicara dengan Bintang?"

"Bintang sedang tidur, Bu," kata Alrescha sambil memandang Bintang yang sedang menahan tangis. "Saya membawa Bintang ke Rumah Sakit Biru."

"Besok pagi-pagi saya ke sana. Titip Bintang, ya, Nak Alres. Kalau ada apa-apa, tolong langsung kabari saya."

"Iya, Bu. Saya akan menjaga Bintang di sini sampai Ibu datang."

"Terima kasih, Nak Alres."

"Sama-sama, Bu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Senyum manis Alrescha kembali tersungging, sesaat setelah menutup telepon. Sedang Bintang meneteskan air mata sambil memandang Alrescha yang juga sedang menatapnya. Tangan kanan Alrescha terulur. Mengusap air mata Bintang yang menetes.

"Mama Bintang nggak marah. Percaya, kan?" kata Alrescha menenangkan.

"Bintang takut. Bintang sudah janji sama Mama, kalau Bintang nggak akan pacaran selama kuliah. Bintang sudah bohong sama Mama," cerita Bintang sambil meneteskan air mata.

"Sekarang Mama sudah tahu kalau Bintang punya pacar. Mama marah atau tidak, Bintang harus siap dengan segala resikonya. Bintang nggak akan memutuskan hubungan kita bukan?" tanya Alrescha serius.

Bintang kembali menangis. Ia tak bisa menjawab pertanyaan Alrescha. Ia mencintai dan menyayangi Alrescha tanpa bisa dijelaskan dengan kata-kata apa pun. Ia pula yang mengejar Alrescha kala itu untuk memastikan perasaannya sendiri. Sedang janjinya kepada sang mama seperti buah simalakama. Membuat Bintang dilema, berada pada situasi yang sulit dan membingungkan.

"Abang nggak akan pernah memutuskan hubungan kita. Hanya Allah yang bisa melakukan itu. Apa yang sedang Abang jalani bersama Bintang sekarang, Abang akan bertanggung jawab. Meski nanti Mama Bintang nggak suka sama Abang, Abang nggak akan pernah mundur," tegas Alrescha yang membuat Bintang tertegun di tengah tangisannya. "Abang sayang sama Bintang. Abang akan buktikan itu sama Mama Bintang nanti."

Bintang menangis mendengar perkataan tulus Alrescha. Pikirannya berkelana jauh. Apa yang akan terjadi jika mamanya bertemu dengan Alrescha besok? Bisakah mamanya menerima Alrescha tanpa amarah? Atau sebaliknya? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat di otak Bintang. Membuat kepalanya mulai berdenyut. Menambah rasa pusing yang sedari tadi belum mereda.

Alrescha menyeka air mata Bintang, "Sekarang Bintang tidur. Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Mama nggak akan marah sama Bintang atau pun Abang."

"Abang nggak tidur?" tanya Bintang yang mengingat kebiasaan aneh Alrescha di tengah malam.

"Abang mau lembur. Masih ada pekerjaan yang harus Abang selesaikan," kilah Alrescha.

"Tapi Abang belum sembuh. Bintang nggak mau Abang sakit lagi," sahut Bintang khawatir.

"Abang nggak kenapa-kenapa, Sayang. Cepat bobok! Biar cepat sembuh," perintah Alrescha yang tak ingin dibantah.

Bintang mengangguk, "Habis salat subuh Abang tidur, ya."

"Iya, Bi," sahut Alrescha sebelum mencium kening Bintang.

"Terima kasih, Abang."

"Sama-sama, Sayang."

Kedua mata Bintang mulai memejam sembari menggenggam salah satu tangan Alrescha. Sedang Alrescha menatap Bintang dengan tatapan sedih. Bintang tampak sangat lemah sekarang, tidak seperti hari-hari biasa yang selalu terlihat ceria dan riang gembira. Alrescha mengembuskan napas beratnya. Mengingat besok pagi akan bertemu dengan mama Bintang. Dan itu berarti ia harus bersiap untuk menghadapi hal-hal tak terduga. Entah itu hal baik, atau hal buruk sekalipun.

°°°

Pandangan Bintang terfokus ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Kemudian ia memandang infus yang baru saja diganti oleh perawat. Senyum kecilnya tersungging sebelum mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih, Sust," ujar Bintang.

Perawat itu mengangguk, "Ini ada obat yang diminum sebelum makan. Diminum dulu, ya, Mbak."

Bintang kembali mengangguk. Ia memandang Alrescha yang masih tertidur lelap beralaskan tangannya sendiri di tepi hospital bed. Perawat itu membantu Bintang untuk duduk bersandar sebelum meminum obat. Selesai meminumkan obat kepada Bintang, perawat itu mengingatkan agar segera memakan sarapan yang sudah disediakan. Kemudian berpamitan untuk berganti shift dengan rekan yang lain.

Kepala Bintang menoleh saat pintu ruang perawatannya kembali terbuka. Ia terkejut ketika mamanya datang. Tangan kanannya meremas selimut putih yang menutupi sebagian tubuh. Menahan rasa takut yang tiba-tiba saja hadir.

"Mama," panggil Bintang.

Lintang, mama Bintang, tersenyum saat menghampiri sang putri, "Sudah enakan, Kak?"

"Sedikit," sahut Bintang setelah mengangguk, kemudian menyalami mamanya seperti biasa.

Lintang memandang Alrescha yang masih tertidur sembari duduk di salah satu tepi hospital bed. Ia pun meneliti ruang perawatan Bintang yang begitu mewah. Asuransi kesehatan yang dimilikinya hanya bisa mendapatkan ruang perawatan kelas satu saja. Ruang perawatan Bintang saat ini di luar bayangan Lintang.

"Ini Bang Alres, Ma. Bang Alres baru tidur setelah salat subuh tadi," kata Bintang saat mamanya kembali memandang Alrescha.

"Memangnya Bang Alres nggak kuliah?" tanya Lintang ingin tahu.

"Bang Alres bilang, cuma tinggal menyelesaikan skripsi saja. Bang Alres juga sudah kerja, Ma," terang Bintang was-was.

Perlahan Lintang mengangguk. Ia menerka-nerka bagaimana sosok Alrescha yang sudah mencuri hati Bintang tanpa diketahuinya. Ia sudah tak sabar untuk bisa bercengkrama dengan lelaki pilihan sang putri tercinta. Karena setiap kata yang terucap merupakan cerminan diri seseorang. Hingga suara dering smartphone mengejutkannya dari lamunan.

"Smartphone siapa itu, Kak?" tanya Lintang.

"Punya Bang Alres, Ma," sahut Bintang kikuk.

Tangan kiri Bintang yang terbebas dari infus terangkat. Menyentuh tangan Alrescha yang menjadi tumpuan tidur untuk membangunkan.

"Abang, bangun," ujar Bintang takut karena merasa diperhatikan oleh sang mama. "Abang, bangun."

Perlahan Alrescha mulai bergeliat. Tidurnya mulai terganggu oleh suara dering smartphone dan juga suara Bintang. Ia menegakkan tubuhnya dengan mata yang masih tertutup. Kemudian tangan kanannya meraba meja nakas di samping hospital bed untuk mengambil smartphone. Semua yang Alrescha lakukan tak luput dari pandangan Lintang.

"Assalamua'alaikum," salam Alrescha sembari mengusap wajahnya dengan tangan kiri, mencoba menyadarkan dirinya yang masih mengantuk.

"Wa'alaikumsalam, Pak Alres. Selamat pagi, Pak, maaf saya menganggu," ucap suara yang sangat dikenal oleh Alrescha, sang sekretaris, Dimas.

Alrescha memijat leher sebelum melihat jam tangannya, "Pagi, Mas Dimas. Ada apa?"

"Saya cuma mau mengingatkan, bahwa ada meeting penting pukul sembilan nanti."

"Iya. Saya sudah membaca email Mas tadi malam. Terima kasih, Mas Dimas."

Alrescha menoleh. Kedua matanya terbelalak ketika melihat seseorang yang bisa dipastikan adalah mama Bintang. Ia pun tersenyum malu. Suara Dimas tak dihiraukannya dalam beberapa detik. Kepala Alrescha menunduk sopan sebelum kembali berbicara kepada Dimas.

"Maaf, Mas Dimas. Nanti saya telepon lagi. Tolong persiapkan semua sebelum saya datang. Sepertinya saya akan datang terlambat," tutur Alrescha lirih kepada Dimas.

"Baik, Pak Alres."

Dengan kikuk Alrescha menghampiri Lintang. Kemudian mengulurkan tangan untuk menyalami sang calon mertua. Jantungnya berdebar kencang ketika mencium punggung tangan Lintang yang begitu hangat.

"Selamat pagi, Ibu. Saya Alrescha," kata Alrescha sebelum meminta maaf, "maaf, Bu. Saya nggak tahu kalau Ibu sudah datang."

Lintang tersenyum, "Selamat pagi, Bang Alres. Bintang sudah bercerita tentang Bang Alres tadi. Masih mengantuk?" tanya Lintang ketika melihat mata mengantuk Alrescha.

"Iya, Bu." Alrescha tersenyum malu sambil menatap Lintang yang berbeda jauh dengan bianya.

Lintang terlihat sangat anggun dengan balutan gamis berwarna khaki serta kerudung pashmina yang berwarna senada. Berbeda dengan bianya yang selalu terlihat modis tanpa berhijab. Dalam hati Alrescha berdoa, semoga bianya bisa berpakaian seperti mama Bintang. Bia selalu memakai pakaian rapi dan tertutup, hanya saja rambutnya masih selalu terurai dengan indah.

"Bang Alres bisa menemani Ibu membeli bubur ayam untuk Bintang? Ibu belum tahu di mana kafetarianya. Bintang biasanya nggak mau makan makanan dari rumah sakit," tanya Lintang kepada Alrescha.

Alrescha mengangguk, "Bisa, Bu. Saya minta izin sebentar ke kamar mandi."

"Silakan," sahut Lintang mempersilakan.

Alrescha menunduk sopan, lantas segera melangkah pergi menuju ke kamar mandi. Meninggalkan Bintang dengan hati yang was-was atas permintaan mamanya.

"Kakak pengen makan apa lagi? Biar Mama belikan sekalian nanti," tanya Lintang kepada sang putri.

Bintang menggeleng, "Jangan marah sama Bang Alres, Ma. Bintang yang salah."

"Siapa yang mau marah sama Bang Alres, Kak? Mama, kan, cuma minta ditemani sama Bang Alres. Kakak jealous?"

"Enggak, Ma," sahut Bintang malu.

Pintu kamar mandi terbuka, membuat Bintang dan mamanya terdiam sesaat. Bintang dan sang mama memandang Alrescha yang tampak lebih segar dari sebelumnya.

"Abang keluar dulu, ya, sama Mama. Bintang," pamit Alrescha yang langsung disambut anggukan kepala dari Bintang. "Mari, Bu."

"Mama keluar dulu, ya." Lintang mengusap rambut Bintang sebelum beranjak pergi, disusul Alrescha di belakangnya.

°°°

Di tea house cafe Alrescha dan Lintang, mama Bintang, meminum teh hangat dengan canggung. Alrescha bingung, harus memulai dari mana untuk berbicara kepada mama Bintang. Selesai meminum teh sembari menunggu pesanan makanan, Lintang memandang Alrescha. Ia tak menyangka jika sang putri sudah beranjak dewasa dan memiliki seorang kekasih. Entah dimana Bintang bisa bertemu dengan Alrescha yang tampan dan terlihat mapan.

"Saya minta maaf, Bu. Karena tidak bisa menjaga Bintang dengan baik. Saya tidak tahu kalau Bintang mempunyai sakit tipes. Kalau saya tahu, saya akan lebih intens memerhatikan jadwal makan Bintang," kata Alrescha mencoba meredakan kecanggungannya.

Lintang, mama Bintang mengangguk, "Terima kasih, Bang Alres, karena sudah menjaga Bintang selama Ibu tidak ada di sini."

"Insya Allah, saya akan selalu berusaha untuk menjaga Bintang semampu saya," sahut Alrescha yang mulai berani memandang mama Bintang di hadapannya.

Lintang tertegun. Ia memerhatikan wajah serius Alrescha yang tampak tak canggung seperti beberapa menit lalu. Kemudian meneliti sikap dan tutur kata Alrescha yang sopan serta santun.

"Bang Alres sudah lama mengenal Bintang?" tanya Lintang ingin tahu.

Alrescha tersenyum simpul, "Kurang lebih tiga bulan yang lalu saya mengenal Bintang. Saya kakak kelas Bintang, Bu."

"Kakak kelas Bintang? Semester berapa?"

"Semester tujuh."

Lintang mengangguk sebelum meminum tehnya kembali, sembari menghitung berapa kira-kira umur Alrescha. Ruang perawatan VVIP yang Bintang tempati saat ini seakan telah menunjukkan seberapa tinggi kelas sosial Alrescha. Pun dengan apa yang Alrescha kenakan sekarang. Kemeja putih, celana slim fit berwarna biru tua, sepatu kulit hitam yang mengkilap serta beberapa aksesoris pelengkap lainnya, telah menggambarkan dari mana Alrescha berasal.

Alrescha berdeham kecil saat merasakan kecanggungan kembali, "Kalau Ibu mengizinkan, saya ingin menikahi Bintang, Bu."

Tubuh Lintang mendadak kaku ketika mendengar perkataan Alrescha. Ia menatap Alrescha tanpa berkedip. Mencoba membaca segala keseriusan Alrescha di wajah tampan itu.

"Saya ingin mencintai Bintang dengan cara yang halal seperti ajaran agama saya. Saya tahu, kedekatan saya dan Bintang adalah sebuah kesalahan. Untuk itu, izinkan saya meminang Bintang menjadi istri saya. Supaya nanti saya bisa intens menjaga Bintang setiap saat," tutur Alrescha yang semakin membuat Lintang tak bisa berkata-kata.

Helaan napas berat Lintang berembus, "Bang Alres, Ibu minta maaf."

Tubuh Alrescha seakan melemas ketika mendengar kata maaf dari Lintang. Mata tajamnya perlahan meredup memandang Lintang yang sedang menatap balik dengan nanar.

"Bintang masih kecil, delapan belas tahun. Di keluarga kami, tidak ada yang menikah di umur belasan. Terkecuali ada sesuatu hal yang membuat pernikahan itu harus segera dilaksanakan," ujar Lintang mencoba bersikap tenang di hadapan Alrescha. "Ibu tidak bisa mengizinkan Bintang untuk menikah hingga pendidikan S1-nya selesai."

Alrescha berkedip. Helaan napas panjang yang berembus, menandakan sebuah kepasrahan. Ia menatap kedua mata Lintang yang mulai berkaca-kaca saat memandangnya.

"Sebelum Papa Bintang meninggal, beliau ingin Bintang melanjutkan pendidikan setinggi mungkin. Papa Bintang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan S2-nya demi Bintang dan Ibra. Kami ingin Bintang dan Ibra tidak menjadi seperti orang tuanya, menjadi guru. Dan Ibu sangat berharap supaya Bintang bisa memenuhi keinginan papanya," cerita Lintang sembari menahan air mata yang akan menetes, membuat Alrescha bergeming di tempat duduknya.

"Ibu tidak melarang Bang Alres untuk mencintai Bintang. Kalau boleh Ibu meminta tolong, bisakah Bang Alres tidak menganggu konsentrasi Bintang untuk belajar? Bukan hanya sakit tipes saja yang bisa menumbangkan Bintang. Bintang itu sangat sensitif, selalu memikirkan apa pun yang didengar dan dilihat di sekitarnya. Hingga bisa berdampak buruk bagi diri Bintang sendiri," terang Lintang. "Untuk saat ini, biarkan Bintang belajar lebih dahulu. Kalau memang suatu saat nanti Bang Alres dan Bintang berjodoh, insya Allah akan bertemu kembali."

Perlahan kepala Alrescha mengangguk mengerti. Senyum simpulnya tersungging, menutupi rasa kecewa di hati.

"Saya mengerti, Bu. Tapi kalau boleh, tolong izinkan saya untuk tetap bisa menjaga Bintang dari jauh. Saya tidak bisa begitu saja meninggalkan Bintang. Saya harap Ibu mengizinkannya," mohon Alrescha sopan.

Lintang terdiam. Ia kembali memandang Alrescha yang tampak serius berhubungan dengan sang putri, sembari menyusun kata-kata agar tidak menyinggung perasaan Alrescha.

"Silakan, Bang Alres. Ibu mengizinkan. Bang Alres boleh menemui Bintang, tetapi mungkin tidak sesering biasanya," tegas Lintang.

"Saya memang jarang bertemu dengan Bintang, Bu. Terlebih kalau sudah sibuk dengan pekerjaan di kantor. Meski begitu, saya tetap memantau Bintang dari jauh. Memastikan Bintang agar selalu baik-baik saja," terang Alrescha, "Terima kasih atas izinnya, Bu."

Lintang mengangguk diiringi senyumannya. Diminumnya teh yang sudah mulai dingin karena hembusan AC. Begitu pula dengan Alrescha. Otaknya seakan kosong setelah mendapat penolakan dari Lintang. Terlebih hatinya yang mulai retak secara perlahan.

"Ayo, Bang Alres. Bintang pasti sudah menunggu," ucap Lintang membuyarkan lamunan Alrescha.

"Iya, Bu. Bolehkan saya berpamitan dengan Bintang? Mungkin, beberapa hari ke depan saya tidak bisa menjenguk Bintang. Saya ada pekerjaan di luar kota," terang Alrescha.

Lintang tersenyum, "Silakan, Bang Alres."

Alrescha mempersilakan Lintang berjalan terlebih dahulu. Dengan santai, ia mengikuti langkang Lintang menuju ruang perawatan Bintang. Otak dan hatinya seperti tidak bisa bekerja dengan baik. Ia harus mencari cara agar hal itu tidak menganggu pekerjaannya nanti.

°°°

Bintang menghela napas leganya ketika Alrescha dan sang mama datang. Kedua matanya berkedip saat Alrescha tersenyum. Ia memerhatikan Alrescha yang sedang menggendong tas ransel dan menenteng jas. Kemudian bergantian memandang sang mama yang sedang membuka bubur ayam untuknya.

"Ibu, saya pamit pulang dulu," kata Alrescha berpamitan.

Lintang tersenyum saat Alrescha menyalaminya, "Hati-hati, ya, Bang Alres. Terima kasih sudah menemani ibu tadi."

"Sama-sama, Bu," ucap Alrescha sebelum berpamitan dengan Bintang.

Tangan kanan Alrescha mengusap pucuk kepala Bintang. Membuat Bintang tak enak hati ketika mamanya memerhatikan dalam diam.

"Abang pulang dulu, ya. Insya Allah kalau sempat, Abang jenguk Bintang lagi," kata Alrescha sambil menatap lekat wajah kuyu Bintang.

Alrescha menahan diri untuk tidak mencium kening atau memeluk Bintang, "Cepat sembuh. Nurut apa kata Mama dan Dokter."

"Hari ini Abang sibuk?" tanya Bintang ingin tahu.

"Iya, Bi. Abang minta maaf kalau nanti nggak sempat jenguk Bintang lagi. Nggak apa-apa, kan?"

"Huum."

"Baik-baik, ya. Jangan kenapa-kenapa. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam." Bintang dan mamanya menyahut serempak.

Alrescha tersenyum sebelum melangkah pergi. Senyum itu memudar diiringi langkah cepatnya meninggalkan ruang perawatan Bintang tanpa menoleh lagi ke belakang. Melihat ke belakang hanya akan membuatnya kesulitan untuk melepaskan Bintang.

Tbc.

Sun, March 30.

Apa yang bikin kangen sama Bang Alrescha-nya Bintang? 😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top