16. Bintang jatuh

"Adek, sudah belum?" tanya Aresh, ibunda Alrescha, dari balik pintu kamar.

Di kamar, Bintang segera melepas pelukannya pada Alrescha. Ia terkejut ketika mendengar suara lugas Aresh. Kedua matanya memandang Alrescha yang sedang mendesah karena kesal.

"Iya, Bia. Sebentar," sahut Alrescha yang belum puas melampiaskan rindunya kepada Bintang.

Aresh kembali mengingatkan, "Jangan lama-lama, Dek. Ayah sudah menunggu di bawah. Cepat!"

"Iya." Alrescha menyahut dengan singkat.

"Bintang keluar dulu, ya, Bang. Tadi Ayah Abang bilang, nggak boleh berduaan di kamar," kata Bintang mengingat perkataan Reshi, ayah Alrescha.

"Abang cuci muka dulu, Bi. Jangan kemana-mana!" titah Alrescha sebelum mencium kening Bintang dan berlalu menuju kamar mandi.

Helaan napas Bintang berembus perlahan. Mencoba menenangkan degup jantungnya yang tiba-tiba saja tak normal karena kecupan Alrescha. Ia mengedarkan pandangan. Meneliti setiap sudut kamar Alrescha yang begitu luas. Lebih luas dibanding kamar Alrescha di apartemen. Hal yang semakin membuat Bintang sadar, bahwa ia bersama Alrescha seperti bumi dan langit. Alrescha berasal dari kalangan berada, sedang dirinya hanya dari kalangan biasa.

Warna hitam tampak mendominasi di kamar Alrescha. Tempat tidur king size mengisi ruang tengah kamar dengan seprai abu-abu dan bed cover hitam bergambar bintang-bintang. Di belakang tempat tidur terdapat gambar peta dunia menghiasi dinding kamar yang juga berwarna hitam. Ada beberapa lampu berbentuk bintang yang seakan-akan menerangi setiap benua di peta dunia itu. Lampu-lampu temaram itu yang menjadikan ruang kamar serasa teduh dan nyaman. Jendela kamar masih tertutup rapat, seakan tak mengizinkan cahaya matahari masuk walau melalui celah-celah kecil sekalipun.

Sedang di sisi lain, terdapat rak buku yang hampir memenuhi sebagian sudut dinding kamar dengan sofa bed berbentuk segitiga di tengahnya. Perlahan kedua kaki Bintang melangkah ke sana, tempat di mana perpustakaan kecil itu berada. Di sana berbagai macam buku dengan genre yang berbeda telah mengisi seluruh rak buku. Ada pula beberapa piala dan plakat yang menarik perhatian Bintang. Berbagai macam pertandingan dan perlombaan tercantum di sana. Mulai dari pertandingan taekwondo tingkat daerah, nasional hingga Asia, dan ditambah dengan kejuaraan jiu jitsu.

Tangan kanan Bintang terulur. Mengambil boneka teddy bear berwarna cokelat yang mengenakan baju taekwondo putih dan sabuk hitam bertuliskan nama Alrescha.

"Lucu," ujar Bintang saat memegang boneka itu.

"Lebih lucu Bintang deh kayaknya," sahut Alrescha setelah selesai mencuci muka.

Bintang memandang wajah Alrescha yang tampak lebih segar dari sebelumnya, "Dan akhirnya bisa bikin Abang malu."

"Malu kenapa?"

"Abang punya segalanya. Beda sama Bintang. Kamar Abang ini, jauh lebih luas dibanding ruang tamu di rumah Bintang. Bintang jadi tahu, kenapa orang-orang sering memandang aneh Bintang saat bersama Abang. Karena kita kayak bumi dan langit."

"Semua ini bukan punya Abang. Ini semua punya Ayah, Bia, Kakung sama Uti. Ini cuma titipan buat Abang, yang sewaktu-waktu bisa saja hilang. Kita memang beda, Bi. Abang laki-laki, dan Bintang perempuan. Dan karena itu, kita harus bersatu untuk saling melengkapi satu sama lain."

Bintang tertegun mendengar jawaban Alrescha. Sedang Alrescha tersenyum seraya membelai wajah Bintang yang tampak sedikit pucat.

"Abang nggak suka kalau Bintang membahas seperti ini. Kita semua sama di hadapan Allah. Yang membedakan hanya iman dan taqwa kita. Mengerti?" imbuh Alrescha yang dibalas ragu Bintang dengan anggukan kepala.

"Adek," panggil Aresh kembali.

"Iya, Bia," sahut Alrescha sebelum menggandeng Bintang keluar dari kamar. "Ayo!"

"Bonekanya," kata Bintang yang masih membawa boneka Alrescha.

Alrescha tersenyum, "Bonekanya buat calon istri Abang. Simpan, ya. Biar bisa diturunin sama anak kita nanti."

Bintang tertegun, sebelum senyum manisnya mengembang. Ia memandang Alrescha yang juga sedang mengulum senyum setelah mengucapkan kalimat pamungkas itu. Hal kecil yang mampu merubah keadaan sekitar menjadi lebih baik.

"Sudah?" tanya Aresh saat Alrescha keluar kamar sambil menggandeng Bintang yang tampak malu-malu.

Alrescha merengut, "Belum."

"Belum? Terus dari tadi ngapain aja?" tanya Aresh sebelum menuruni anak tangga.

"Belum puas kangen-kangenan sama Bintang," sahut Alrescha menjawab pertanyaan ambigu dari Aresh.

Aresh menoleh ke belakang, lalu mencubit lengan Alrescha, "Salah sendiri, pakai acara ngambek segala sama Bintang."

"Bia kayak nggak pernah muda aja. Itu yang namanya bumbu cinta, Bia. Ya kan, Bi?"

Bintang hanya berkedip. Ia merasa salah tingkah ketika sedang ditatap oleh beberapa orang yang sedang menunggunya di ruang keluarga. Perlahan, Bintang mencoba melepas gandengan tangan Alrescha karena tak enak hati. Sedang Alrescha semakin mengeratkan gandengan kala dipandang oleh eyang kakung dan juga ayahnya. Terlebih tatapan kesal Arash yang sudah berpindah tempat duduk di samping Happy.

"Kayak mau nyebrang aja, pakai gandengan segala," ejek Arash saat melihat Alrescha menggandeng Bintang.

Alrescha tersenyum, "Truk aja gandengan, masa kita enggak."

"Kampret!" seru Arash kesal, sebelum menggenggam salah satu tangan Happy. "Nih, gue udah gandengan Happy."

"Udah! Kapan sih kalian nggak ribut?" tutur Aresh sebal.

"Ini calon cucu perempuannya Uti?" goda Cinta, eyang putri Alrescha, seraya menghampiri Bintang dari dapur.

"Iya, Uti. Ini Bintang," kata Alrescha memperkenalkan Bintang kepada Cinta. "Ini Uti, eyang putrinya abang."

Bintang tersenyum sebelum bersalaman dengan Cinta, "Bintang."

"Panggil Uti aja," pinta Cinta bahagia, dan langsung dibalas anggukan kepala dari Bintang

"Ini juga calon cucunya Uti," ucap Arash sambil menunjuk Happy yang sedari tadi terdiam karena selalu terkejut akan ulahnya.

"Eh. Benar? Siapa namanya?" Cinta menghampiri Arash dan Happy.

"Bohong, Uti. Itu temannya Bintang. Abang ngaku-ngaku aja tuh. Dasar jomlo!" seru Alrescha sebal mendengar ucapan Arash.

"Insya Allah, Adek. Doain gitu," sahut Arash sebelum tersenyum melihat Happy berkenalan dengan Cinta.

"Enggak dikenalin sama Kakung?" sela Raka, eyang kakung Alrescha.

Alrescha pun meminta Bintang untuk bersalaman dengan eyang kakungnya. Dengan kikuk, Bintang menurut. Tatapan ayah Alrescha yang seakan sedang meneliti dirinya membuat seluruh sendi terasa kaku. Tajam, dingin namun meneduhkan. Membuat Bintang menerka-nerka bagaimana karakter ayah kekasihnya itu.

"Kakung nggak akan gigit kamu, Bintang. Nggak usah takut," kata Raka yang seakan mengerti kekikukan Bintang.

"Ayo, kita salat zuhur. Setelah itu makan siang," ajak Reshi sebelum beranjak dari tempat duduknya.

Semua mengikuti langkah Reshi yang berjalan ke arah musala di samping dojo, tempat berlatih bela diri, tanpa bantahan. Seakan sudah menjadi rutinitas khas ketika Reshi mengajak semua anggota keluarga salat berjemaah, tak terkecuali para tamu. Menjadi pertanda sendiri, bahwa Reshi telah menerima tamunya dengan baik seperti saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah Raka untuk mengkhitbah Aresh kala itu.

°°°

Selama perjalanan, Bintang sedikit terdiam. Ia akan menyahut jika ada yang bertanya kepadanya. Rasa pusing dan sedikit lemas kembali dirasakan Bintang sejak hari kemarin. Pemandangan mobil-mobil yang berjejer semakin membuatnya tak bersemangat. Berharap tak terlambat di kelas sore nanti. Suara obrolan Alrescha, Arash dan Happy mengiringi musik yang sedang mengalun merdu di mobil Alrescha.

Alrescha menoleh ke belakang, "Bi, kamu nggak lagi sakit kan?" tanya Alrescha yang selalu memerhatikan Bintang sedari tadi.

Wajah Bintang tampak kuyu dan sedikit pucat dari biasanya. Bintang pun tak banyak bicara seperti yang Alrescha kenal. Membuat Alrescha khawatir. Ia pun teringat kata-kata Archie yang menasehatinya untuk menjenguk Bintang.

"Enggak kok, Bang. Bintang baik-baik aja," elak Bintang.

"Nanti malam setelah pulang kuliah, Abang jemput. Kita ke dokter," tandas Alrescha tak ingin dibantah.

Happy menoleh ke samping kirinya, "Pusing lagi, ya, Bi?"

"Enggak," sahut Bintang sambil membenarkan posisi duduknya.

"Muka kamu nggak bisa bohong, Cantik," imbuh Arash yang sedang menyetir.

"Bi," panggil Alrescha kembali.

"Bintang nggak kenapa-kenapa, Bang. Kemarin memang sempat demam, tapi sudah minum obat kok dari Bang Archie. Obatnya juga masih," cerita Bintang takut.

"Bang Archie bilang apa aja kemarin?" tanya Alrescha ingin tahu.

"Bang Archie bilang, obatnya diminum kalau demam. Kalau demamnya semakin parah, baru ke dokter lagi," sahut Bintang mengingat perkataan Archie.

Alrescha segera mengecek suhu tubuh Bintang. Ia meletakkan punggung tangan kanannya di leher dan dahi Bintang. Lalu memandang Bintang yang sedikit takut saat menatapnya.

"Nanti kalau ada apa-apa, telepon Abang, ya," titah Alrescha khawatir, dan langsung dibalas anggukan kepala dari Bintang. "Diminum lagi obatnya dari Bang Archie."

"Bang Archie dokter?" tanya Happy, "bukannya tadi di foto keluarga pakai pakaian TNI juga?"

"Dokter militer," sahut Arash dan Alrescha serempak.

"Kompak banget Bang Arash sama Mas Alres," ledek Happy.

"Enggak usah panggil Mas Alres, Hap. Nanti kamu bakalan jadi kakaknya Alres tahu," tutur Arash yang membuat Alrescha mencebik.

"Abang nggak usah main-main sama Happy, deh! Happy masih kecil tahu. Jangan masukin ke hati omongan Bang Arash, Hap. Kalau udah baper, bahaya nanti. Nggak mau, kan, kamu masuk daftar mantan-mantan Bang Arash? Bang Arash emang suka tepe-tepe gitu. Malu-maluin!" gerutu Alrescha.

"Bang Arash ceweknya banyak?" timpal Bintang ingin tahu.

"Eits! Abang kalau punya cewek, ya, cuma satu. Enak aja kamu, Bi," ujar Arash tak terima.

"Panggil Bintang, Bang Arashi! Jangan ikut-ikutan Alres!" sungut Alrescha kesal.

"Maaf-maaf. Habis, itu panggilan bikin gemes-gemes gimana gitu," kata Arash yang masih meledek adiknya.

"Ternyata Mas Alres posesif juga," sela Happy.

"Panggil Adek Alres aja, Hap." Arash kembali memerintah.

Happy menyahut, "Mas Alres kan Kakak tingkatku, Bang."

"Besok kalau kamu jadi istri Abang, kan Alres bakalan jadi adik kamu," ujar Arash percaya diri.

Alrescha mengembuskan napas karena sebal dengan tingkah Arash di sampingnya, "Abang turun, gih! Atau mau Alres tendang keluar sekarang?!"

Arash tergelak. Ia tak pernah mengambil hati perkataan Alrescha yang terkadang terdengar menyebalkan di telinganya. Ia sadar bahwa apa yang Alrescha lakukan atau katakan adalah efek dari kejahilannya selama ini.

"Bang Arash suka sama Happy?" tanya Bintang serius.

Sedang Happy yang duduk di sebelah Bintang mulai terdiam. Merasakan degup jantung yang kembali berdetak kencang kala mendengar Arash mengucapkan kata istri kepadanya. Ia memang tak bisa menampik pesona Arash yang sudah merasuki hati dan otaknya. Arash adalah sosok nyata dari reinkarnasi lelaki impian Happy di novel-novel kesayangannya.

"Lebih dari suka. Mungkin sudah bercampur dengan cinta dan sayang. Undescribed," tegas Arash serius. "Aneh?"

"Banget. Tahu nggak, Abang itu lagi PHP-in anak gadis orang. Dosa, Bang, bikin sakit hati orang," tutur Alrescha menasehati.

"Abang nggak PHP-in Happy. Abang serius. Sekarang, Happy mau nggak jadi pacar Abang? Kalau mau, Abang akan temui orang tua Happy buat minta izin. Kalau enggak, Abang mundur teratur," ucap Arash yang membuat Happy bungkam karena terkejut.

Alrescha dan Bintang menoleh menatap Happy dengan serempak. Sedang Happy memandang Alrescha dan Bintang bergantian. Lalu mendongak, memandang cermin kecil yang memantulkan wajah serius Arash saat menyetir mobil.

"Buktikan ucapan Abang itu. Bisa?" kata Happy lugas.

Alrescha menggelengkan kepala, "Pikir-pikir lagi, Hap. Kamu belum tahu gimana aslinya Bang Arash."

Arash kembali tertawa menanggapi perkataan Alrescha. Ia kembali fokus kala memasuki area kampus. Membuat suasana di dalam mobil menjadi hening seketika. Beberapa detik kemudian Alrescha memberi arah kemana mobil harus berhenti. Tepat di depan gedung fakultas ilmu komputer, mobil Alrescha berhenti.

Arash menoleh ke belakang sambil membuka kacamata hitamnya, "Abang akan buktikan, as soon as possible. Pulang kuliah, Abang jemput. Motor kamu akan diantar Pak Deni nanti. Oke?"

Happy mengangguk, kemudian berterima kasih dan berpamitan kepada Alrescha serta Arash. Ia segera turun dari mobil sesaat setelah kunci pintu otomatis mobil terbuka. Pun Bintang. Berterima kasih dan berpamitan sebelum menyusul Happy.

"Bang Arash, jangan mainin perasaan Happy, ya. Happy itu sahabat baik Bintang di sini. Bintang nggak mau kehilangam dia," ujar Bintang setelah berpamitan.

Arash mengangguk, "Pasti. Abang nggak akan sejahat itu. Bintang bisa pegang kata-kata Abang," tegas Arash yang dibalas seulas senyum dari Bintang.

"Baik-baik. Nanti sore kalau Abang nggak sibuk, kita ketemu lagi," tutur Alrescha seraya mengusap pucuk kepala Bintang.

Bintang mengangguk sebelum turun dari mobil Alrescha. Ia segera berlari kecil mengejar Happy. Tak mengindahkan tatapan ingin tahu orang-orang yang melihatnya turun dari mobil mewah Alrescha. Mencoba membiasakan dirinya dari tatapan orang-orang yang membuatnya kesal setiap saat saat bersama Alrescha.

Setelah tubuh mungil Bintang menghilang dari pandangannya, Alrescha kembali memberi tatapan tajam kepada Arash, "Jangan main-main lagi, Bang!"

"Enggak, Adek. Kapan Abang pernah main-main sama cewek? Yang ada, Abang yang dimainin sama mereka. Terus ditinggal karena kesibukan Abang," pungkas Arash sebelum melajukan mobil meninggalkan tempat dimana adiknya berkuliah.

Alrescha bungkam. Ia tahu mengapa Arash sering bergonta-ganti pasangan. Bukan karena Arash serakah ingin memiliki semua wanita yang dekat dengannya, namun karena mereka sering menyalahgunakan kepercayaan yang Arash berikan. Dalam hati, Alrescha selalu berdoa. Semoga Arash bisa menemukan tulang rusuknya yang hilang, seperti ia yang telah bertemu dengan Bintang.

°°°

Dengan lemas, Bintang membasuh muka setelah memuntahkan nasi yang baru saja dimakannya. Ia pun teringat kejadian beberapa hari lalu saat mandi pagi. Ia sempat muntah berwarna kuning dan terasa pahit. Setelah kejadian itu perut Bintang sering merasa sakit, dan badannya pun juga lemas diikuti meriang. Dan tadi malam, suhu tubuhnya kembali memanas. Beruntung obat dari Archie mampu menurunkan demam tersebut.

Bintang kembali ke meja makan, sembari mengingat-ingat gejala-gejala aneh yang terjadi di tubuhnya selama beberapa hari terakhir. Diare, sakit perut, sakit kepala, tubuh lemah hingga mual dan muntah. Berharap penyakit langganannya tidak kambuh saat ini. Karena minggu depan mid-term test sudah mulai dilaksanakan.

"Kamu muntah, Dek?" tanya Puri saat Bintang keluar dari kamar mandi.

Mega ikut menyahut, "Iya. Tadi suaranya kayak orang muntah."

"Iya, Kak," jawab Bintang singkat sambil membungkus nasi rames yang tak ingin dimakannya kembali.

"Mau Kakak antar ke klinik kampus?" tawar Mega kala memandang wajah Bintang yang sudah pucat.

"Enggak usah, Kak. Obat yang kemarin masih, kok. Bintang istirahat dulu, ya, Kak. Lemas rasanya," pamit Bintang sebelum beranjak pergi ke kamar.

"Mau makan roti? Perut kamu kosong itu, Dek," kata Puri.

Bintang kembali menggeleng, "Nanti aja, Kak. Mual."

Mega dan Puri memandang Bintang yang berjalan menuju ke arah kamar. Keduanya saling berpandangan sebelum akhirnya kembali memakan sarapan mereka. Berharap Bintang baik-baik saja, dan akan sembuh setelah meminum obat yang ada.

Tangan kanan Bintang mengambil smartphone setelah meminum obat. Ia seakan tak memedulikan perutnya yang masih kosong. Ia merebahkan tubuh lemasnya sembari menatap layar smartphone yang menyala karena panggilan dari Alrescha. Alrescha kembali membuat smartphone Bintang menjadi sibuk sejak kemarin sore. Ditambah dengan ketidakhadiran Alrescha yang telah berjanji akan bermain ke kos kemarin malam karena ada pekerjaan mendadak. Hal yang semakin membuat smartphone Bintang dipenuhi oleh pesan dan panggilan dari Alrescha.

"Assalamu'alaikum, Abang," salam Bintang kala mengangkat panggilan dari Alrescha.

"Wa'alaikumsalam, Sayang. Sedang apa? Sudah makan?" tanya Alrescha yang berada di kantor.

Bintang menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi, "Lagi di kamar aja. Bintang sudah makan, kok, tadi. Abang lagi apa? Sudah selesai meeting-nya?"

"Abang lagi telepon Bintang," canda Alrescha.

"Serah Abang, deh." Bintang menyahut dengan malas karena merasa lemas.

Alrescha tertawa, "Bener, ya, terserah Abang? Siap-siap nanti malam, pulang kerja Abang ke kos. Sekarang Abang sedang menyiapkan bahan untuk meeting jam sepuluh nanti. Makan sama apa tadi?"

"Makan sama nasi rames. Nitip sama Kak Mega. Beneran mau ke kos? Nanti zonk lagi, kayak tadi malam."

"Enggak, Sayang. Malam ini Abang sudah kosongkan jadwal buat Bintang. Mau jalan-jalan? Sudah nggak demam lagi, kan?"

Bintang menggigit bibirnya sebelum menjawab pertanyaan Alrescha. Ia khawatir jika nanti malam demam akan kembali menyerang seperti malam-malam sebelumnya. Setiap sore menjelang malam, tubuhnya menjadi meriang hingga berakhir demam. Salah satu gejala jika penyakit langganannya akan kambuh.

"Di kos aja, ya, Bang. Bintang capek kalau habis kuliah sore. Pak Toyo pasti kasih tugas banyak buat minggu depan," ujar Bintang tak menjawab pertanyaan terakhir Alrescha.

"Oke. Nanti Abang bantu kalau ada tugas atau PR. Masih demam atau enggak?" tegas Alrescha kembali.

"Sudah sembuh, kok," dusta Bintang.

"Bener?!"

"Iya, Abang."

"Nanti malam Abang cek," kata Alrescha tak ingin dibantah. "Ya, sudah. Nanti Abang telepon lagi. Baik-baik, ya, di kos. Kabari Abang kalau mau berangkat ke kampus!"

"Iya, Abang."

"Abang siapa?"

"Abang Alrescha-nya Bintang."

Alrescha tersenyum di tempatnya, "See you, Sayang. Assalamu'alaikum."

"See you soon, Sayang. Wa'alaikumsalam."

Helaan napas lega Bintang berembus setelah Alrescha menutup panggilan. Kedua matanya menutup saat kepala mulai terasa berat. Setitik air mata Bintang menetes kala teringat dengan mamanya yang selama hampir tiga bulan lebih belum sempat bertemu. Tugas-tugas kampus yang selalu menumpuk, membuat Bintang tak memiliki waktu untuk pulang ke rumah.

"Mama, Bintang kangen," ucap Bintang sebelum menangis.

Rasanya Bintang ingin segera pulang. Memeluk mamanya untuk bermanja-manja di saat ia merasa sakit. Dalam hati Bintang selalu berdoa, agar tidak sakit saat ini dan bisa secepatnya pulang ke rumah.

°°°

Alrescha segera turun setelah memarkirkan mobil di depan kos Bintang. Ia bergegas masuk ke kos untuk menemui Bintang. Senyum Alrescha tersungging saat bertemu dengan teman-teman kos Bintang beserta kekasihnya masing-masing. Lalu menyerahkan dua kotak martabak kesukaan anak-anak kos.

"Terima kasih, Mas Alres," ucap Mega, Puri, Shinta, Ririn dan yang lain dengan serempak.

Alrescha mengangguk, "Sama-sama. Jangan bersisa pokoknya."

"Siap, Mas!" Mereka serempak menyahut.

"Bintang sudah pulang?" tanya Alrescha setelah melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

"Bintang nggak kuliah Mas hari ini. Bintang sakit," jawab Mega takut.

"Sakit?" Alrescha terkejut, hingga membuat anak-anak kos terdiam.

Mega menyahut mewakili semua teman-teman kosnya, "Bintang demam, Mas. Tadi sudah minum obat, tapi belum turun panasnya. Dari tadi pagi juga sudah muntah-muntah. Tiap makan, pasti keluar lagi."

"Terus tadi minum obat perutnya kosong?!"

"Enggak, Mas. Saya paksa makan pisang sedikit biar perutnya nggak kosong. Alhamdulillah nggak muntah tadi."

Alrescha menghela napasnya dengan kasar, "Boleh saya masuk?"

"Boleh, Mas." Mega mengizinkan sebelum mengantar Alrescha ke kamarnya.

Alrescha mengikuti Mega dengan tak sabar. Ia ingin segera melihat keadaan Bintang sekarang. Ia bergegas masuk ke kamar sesaat setelah Mega membukakan pintu.

Langkah Alrescha terhenti kala melihat Bintang sedang tertidur sambil mengigau. Bintang mengigau memanggil-manggil mamanya. Membuat Alrescha hanya terpaku sedih memandangnya. Sedang Mega menatap Alrescha dengan cemas. Khawatir jika Alrescha akan marah karena tak ada yang mengabari tentang kondisi Bintang.

"Sudah beberapa hari ini Bintang sering demam tiap malam. Saya sudah beberapa kali mengajak Bintang ke klinik kampus, tapi Bintang nggak mau. Katanya sudah ada obat dari Bang Archie, Abangnya Mas Alres," cerita Mega.

"Tiap malam?" Alrescha kembali bertanya seraya menatap wajah pucat Bintang.

Mega mengangguk, "Mulai sore sampai malam, Mas. Paginya Bintang seperti biasa. Tapi tadi pagi, Bintang mulai muntah-muntah sampai lemas. Karena nggak ada makanan yang bisa dia makan."

"Mama," igau Bintang kembali.

"Bi, bangun. Ini Abang," kata Alrescha mencoba membangunkan Bintang sambil berjongkok. "Sayang, bangun. Kita ke dokter, yuk."

Perlahan kedua mata Bintang mengerjap, lantas memandang Alrescha yang sudah berada di sampingnya, "Abang."

"Kita ke dokter, yuk," ajak Alrescha yang disambut dengan tetesan air mata dari Bintang.

"Bintang nggak mau dirawat di rumah sakit," ujar Bintang yang tak ingin menginap kembali di rumah sakit.

Alrescha mengusap air mata Bintang, "Abang akan menemani Bintang nanti. Bintang mau, kan, cepat sembuh? Minggu depan sudah mulai ujian tengah semester."

"Mama," kata Bintang takut.

"Nanti Abang yang menghubungi Mama."

"Nanti Mama marah."

"Enggak. Abang janji, Mama nggak akan marah nanti. Abang akan bicara baik-baik sama Mama. Oke?"

Bintang menangis. Ia takut ketika membayangkan mamanya akan marah saat mengetahui siapa Alrescha. Alrescha kembali mengusap air mata Bintang. Lalu mengecup kening Bintang untuk menenangkannya. Semua yang Alrescha lakukan tak luput dari kedua mata Mega. Mega tersenyum. Mengucap syukur karena Bintang mendapat perhatian besar dari seorang Alrescha, lelaki yang menjadi idola semua perempuan di Kampus Biru.

Tbc.

15Oct.18

I come back. 😆
Thank you buat yang masih setia menunggu Alrescha selama ini.
Seperti yang selalu saya katakan, bahwa saya bukan seorang penulis. Saya hanyalah penghayal yang sedang mencoba menceritakan semua khayalan di otak saya kepada kalian semua tanpa paksaan apa pun. Terima kasih untuk kode-kode cantiknya, baik di wattpad atau instagram selama ini. Berapa banyak kode-kode cantik yang datang kepada saya, saya nggak akan bisa secepat itu mengabulkan permintaan kalian. Hehe.

See you next time, and thank you so much more buat kalian yang tampak dan tidak tampak #ketjupbasahatuatu

😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top