14. Gugusan dilema

Alrescha membetulkan posisi topinya setelah mengenakan kacamata hitam. Ia berjalan santai di samping Tama yang sedang menelepon sembari menyeret koper. Pun Alrescha. Menarik koper besar berwarna navy blue kesayangannya yang telah dipenuhi sticker dari beberapa negara yang telah dikunjungi. Keduanya berjalan menghampiri supir kantor yang telah menunggu di area parkir Bandara Soekarno Hatta.

"Langsung ke kantor, Pak?" tanya Pak Budi, supir pribadi Alrescha di Ryotasoft.

Tama dan Alrescha serempak menjawab, "Iya, Pak."

Pak Budi tersenyum melihat kekompakan dua bos besarnya itu. Perlahan, ia melajukan mobil SUV mewah milik Alrescha keluar dari tempat parkir. Sedang Tama menolehkan kepala ke belakang. Memerhatikan Alrescha yang sedang mengaktifkan smartphone. Sesaat setelah smartphone-nya aktif, Alrescha menatap lekat layar datar smartphone itu. Memandang foto Bintang yang diambil saat menemaninya di apartemen. Foto yang selalu menjadi lock screen wallpaper sejak saat itu.


"Kalau kangen, samperin. Jangan cuma natap fotonya doang," kata Tama mengulang nasehatnya beberapa hari lalu.

"Kangen, tapi nggak pengen ketemu sekarang," sahut Alrescha.

Alrescha membuka semua notifikasi yang muncul di smartphone pribadinya. Ia membaca semua pesan Bintang yang telah dikirim sejak keberangkatannya ke Jepang seminggu lalu. Alrescha sengaja menon-aktifkan smartphone pribadinya selama berada di Jepang. Ia hanya menggunakan smartphone yang biasa dipakai untuk urusan pekerjaan. Seakan ingin menghindar dari segala hal yang berhubungan dengan Bintang.

Tama terkekeh mendengar sahutan lucu dari Alrescha, "Kangen rasa gengsi?"

"Bukan gengsi, Mas. Tapi kesel aja," tutur Alrescha yang masih menyimpan rasa kesal kepada Bintang, "cuma diakuin sebagai temen. Nyesek tahu, Mas!"

"Kamu bilang, Bintang kayak gitu karena sudah janji sama Mamanya buat nggak pacaran selama kuliah." Tama mengingat kembali cerita Alrescha beberapa hari lalu.

Alrescha menyahut malas, "Huum."

"Harusnya kamu memakluminya, Alres. Itu tandanya, Bintang itu anak yang penurut sama orang tua. Kalau menikah, dia juga pasti akan menurut sama suaminya. Mungkin Bintang masih takut, atau nggak mau bikin Mamanya kecewa. Dia butuh waktu, Alres. Apalagi kamu ngajaknya langsung serius, Mamanya bisa shocked nanti kalau tahu," ujar Tama menasehati.

"Pacaran nggak boleh. Diajak nikah, alasannya banyak. Ribet banget, sih!" gerutu Alrescha yang membuat Tama dan supirnya tersenyum.

"Sabar, Alres. Kalau Bintang memang jodoh kamu, pasti ada jalan nanti."

"Jalan berliku, Mas!"

"Nyerah?"

"Enggak!!! Pantang menyerah sebelum berperang."

"Kalau begitu, buktikan sama Mamanya Bintang kalau kamu benar-benar serius sama Bintang."

Alrescha bergeming. Tak berniat menyahuti perkataan Tama. Tama kembali membuat Alrescha bungkam dengan kalimat pamungkasnya. Hal yang dibenarkan oleh Alrescha sendiri. Hanya pembuktian yang mampu membuat seseorang luluh dengan sendirinya. Seperti saat Alrescha mencoba mendapatkan hati Bintang kala itu.

Senyum simpul Tama tersungging. Ia sangat mengetahui bagaimana sifat Alrescha ketika amarah masih menyelimuti hati. Jiwa muda Alrescha tak bisa dihilangkan begitu saja. Meski Alrescha tampak dewasa saat bekerja, namun ia belum terlalu mampu mengontrol emosi dengan baik. Dan saat itu terjadi, Tama yang akan selalu mengingatkan Alrescha agar fokus kembali kepada pekerjaannya.

°°°

Setelah memarkirkan motor di depan indekos Bintang, Alrescha segera melepas helm. Lalu bergegas masuk ke dalam indekos yang terbuka dan ramai oleh candaan anak-anak kos. Semua perkataan Tama masih terngiang di benak Alrescha. Membuat Alrescha tak tenang dan tak fokus saat bekerja.

"Assalamu'alaikum," salam Alrescha seraya menyisir rambutnya dengan tangan.

Enam orang perempuan yang sedang makan siang bersama langsung menjawab, "Wa'alaikumsalam."

"Bintangnya ada?" tanya Alrescha yang tak ingin berlama-lama di sarang perempuan tanpa Bintang.

"Bintang nggak ada, Mas," sahut Shinta.

"Kemana? Kalau nggak salah, Bintang ada kuliah jam setengah tiga sore nanti," sahut Alrescha.

"Bintang kerja, Mas." Puri keceplosan, dan langsung mendapat cubitan dari Mega, kakak kos yang sekamar dengan Bintang.

Alrescha terperanjat mendengarnya, "Bintang kerja?!"

Semua kakak-kakak kos Bintang terdiam. Takut dan bingung harus bagaimana menjelaskannya kepada Alrescha.

"Dimana Bintang kerja?" tanya Alrescha lugas.

Mega berdeham, "Maaf, Mas Alres. Kita nggak bisa kasih tahu dimana Bintang bekerja. Kalau Mas Alres mau tahu, lebih baik tanya langsung sama Bintang. Maafkan kita, ya, Mas."

Alrescha mengangguk. Mencoba mengerti posisi mereka yang mungkin sudah berjanji kepada Bintang untuk menjaga rahasia. Ia mengambil dua paper bag dari dalam tas ranselnya.

"Tolong kasihkan ini sama Bintang," kata Alrescha sembari meletakkan paper bag besar di atas meja.

Kemudian meletakkan paper bag berukuran sedang di sampingnya, "Dan yang ini buat anak-anak kos, oleh-oleh dari Jepang. Titip Bintang, ya! Kalau ada apa-apa, telepon aja," ujar Alrescha sebelum berpamitan.

Mega menghela napas lega setelah motor Alrescha pergi. Ia memandang teman-temannya yang sedang menerka-nerka isi paper bag besar untuk Bintang.

"Disegel, guys!" seru Puri saat melihat lakban cokelat dengan huruf-huruf Jepang, "Boneka kayaknya."

"Mehong pasti," imbuh Shinta.

"Ya kali Mas Alres beli barang KW," tambah Ayu menimpali.

"Mas Alres bakalan marah nggak, ya, sama Bintang? Kasihan Bintang," ujar Mega yang mengetahui bagaimana hubungan Bintang dan Alrescha beberapa hari terakhir.

Ayu menyenggol Puri, "Lo, sih! Pake acara keceplosan lagi."

"Ya, Maaf. Emang kasihan kenapa, Bintang? Mas Alres baik banget gitu. Emang Mas Alres suka marah-marah sama Bintang?" tanya Puri ingin tahu.

Shinta menyahut, "Mas Alres marah kalau di mata dia ada yang salah. Tapi semua yang di mata Mas Alres salah, ya, emang bener salah, sih. Mas Alres jadi bikin kita sadar aja."

"Cokelat," gumam Ayu setelah membuka paper bag untuk anak-anak kos.

"Gagal diet ini mah," kata Puri.

Dewi mengambil benda-benda berbentuk mirip sushi, "Apaan ini? Lucu banget."

"Flashdisk itu," terang Shinta mengambil salah satu sushi itu, lalu membuka penutupnya, "ini flashdisk dari Jepang. Mehong gila!"

"Aku yang ini." Puri mengambil flasdisk yang berbentuk onigiri.

"Aku yang ini!"

"Tukeran dong!"

"Masih banyak itu."

"Sisa satu, nih."

"Dodol! Buat Bintang berarti."

"Cokelatnya bagi rata."

°°°

Langkah Alrescha tertahan ketika melihat Bintang sedang melayani pelanggan di Grey Cafe. Ia mengurungkan niatnya untuk masuk ke cafe melalui pintu depan. Memilih masuk melalui pintu samping, pintu khusus yang biasanya digunakan para karyawan dan pemilik cafe. Tangan kanannya mengambil smartphone dari saku jaket. Alrescha langsung mengangkat panggilan itu dengan emosi, sembari berjalan menuju ruangan di lantai atas.

"Dimana?" tanya Alrescha to the point.

"Saya di jalan, Pak. Maaf," sahut si penelepon.

"Kenapa kamu nggak kasih kabar terbaru Bintang kepada saya kemarin?"

"Maaf, Pak. Tapi Bapak susah sekali dihubungi selama di Jepang."

"Saya nggak mau tahu. Kalau memang itu penting, kabari saya. Gimana pun itu caranya. Mau makan gaji buta kamu?!"

"Maaf, Pak. Seminggu ini Mbak Bintang sibuk ke kampus dan bekerja di Grey Cafe. Saya lihat Mbak Bintang baik-baik saja, Pak."

"Kalau saya pergi, kamu yang harus menjaga Bintang. Mengerti kamu?!"

"Siap, Pak."

Alrescha segera memutus panggilan itu secara sepihak. Lalu membuka pintu ruangan di lantai atas tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia masuk tanpa menunggu si pemilik ruangan mempersilakannya.

°°°

"Chocomatcha, cappucinno, red velvet jar, dan tiramisu," kata Bintang ketika mengantarkan makanan dan minuman ke meja pelanggan cafe. "Selamat menikmati."

"Terima kasih, Mbak." Pelanggan itu tersenyum setelah pesanannya diantar.

Bintang tersenyum, lalu menunduk sebelum berpamitan. Ia masuk ke dalam bar kopi tempat di mana minuman-minuman andalan cafe diracik. Senyumnya tersungging melihat Rafa, salah satu barista cafe, sedang membuat seni latte.

Seni latte merupakan cara menyiapkan kopi dengan menuangkan susu panas ke secangkir espresso dan menciptakan pola atau desain di permukaan latte. Rafa menggambar seorang wanita berambut pendek sedang tersenyum di lapisan atas busa latte. Kepalanya mendongak, lalu tersenyum kepada Bintang.

Rafa memberikan kopi itu kepada Bintang, "Kopi Selamat Datang buat Bintang."

"Buat Bintang?" kata Bintang tak percaya, lalu mengambil cangkir itu dengan sangat hati-hati. "Terima kasih, Mas Rafa. Tapi aku nggak bisa minum kopi, Mas. Punya maag."

"Mungkin bisa Bintang foto buat kenang-kenangan. Karena baru ketemu Bintang hari ini, jadi Mas Rafa baru bikin buat Bintang," tutur Rafa yang dibalas seulas senyum dari Bintang.

Happy, teman sekelas dan teman dekat Bintang, yang baru saja masuk langsung bergabung, "Ih! Mas Rafa mah curang. Dulu gue cuma dikasih gambar hati doang. Giliran Bintang digambarin mukanya."

"Mas Rafa baru belajar itu, Hap. Kemarin Mas Jodi bilang latte art akan hadir di Grey Cafe. Jadi semua barista harus bisa gambar apa pun di atas latte," terang Rafa.

Jodi datang untuk menggantikan shift kerja Rafa, "Sudah sana pada makan siang. Mumpung masih sepi. Bentar lagi rame."

"Siap, Mas." Bintang, Happy dan Rafa menyahut serempak.

Bintang, Happy dan beberapa karyawan cafe lainnya makan bersama dalam ruangan istirahat yang berisi perabotan lengkap seperti sebuah rumah. Mereka duduk menyebar untuk menikmati makan siang mereka. Nasi box yang setiap hari selalu hadir dengan menu berbeda.

"Bi, sore nanti gue sama temen-temen mau main ke gedung BEM. Ikut nggak?" ajak Happy sembari mengunyah nasi kuningnya.

Bintang melepas apron berwarna cokelat yang bertuliskan 'Grey Cafe', "Enggak, ah. Males."

"Kali aja bisa daftar jadi anggota BEM. Bisa ketemu Mas Alres tiap hari nanti."

"Sebentar lagi ada E-Pemira, Hap. Masa jabatannya Bang Alres akan habis. Bang Alres bilang, setiap mahasiswa hanya diperbolehkan menjabat dalam satu periode."

"Apa itu E-Pemira? Masa Pres BEM-nya ganti. Nggak seru! Enggak ada pemandangan indah nanti tiap ada acara kampus."

"Pemira itu singkatan dari Pemilihan Mahasiswa Raya. Pemira biasanya diadakan rutin pada setiap akhir tahun. Pemira tu mirip kayak Pemilu Presiden."

"Duh! Hapal banget agenda kerjanya calon suami."

Bintang terkekeh menyambut gurauan Happy. Ia kembali menikmati makan siangnya dalam diam. Saat sedang santai seperti ini, Bintang selalu teringat kepada Alrescha yang sudah satu minggu ini tak memberi kabar kepadanya. Membalas pesan Bintang pun tidak. Membuat pikiran Bintang bercabang-cabang. Tugas kuliah, kerja part time, dan Alrescha.

"Dek Bintang, dipanggil Mas Jodi," ucap Bella, salah satu pelayan cafe.

"Iya, Mbak." Bintang segera beranjak setelah menutup nasi kotaknya.

Dengan tergesa-gesa, Bintang menghampiri Jodi yang sedang menyelesaikan gambar di lapisan atas  busa latte.

"Tolong antarkan ini ke ruangan Ibu," perintah Jodi sesaat setelah meletakkan secangkir kopi dan secangkir teh hijau beserta desert.

"Ibu siapa, ya, Mas?" tanya Bintang bingung.

Sudah satu minggu Bintang bekerja paruh waktu di Grey Cafe. Bintang mendapat kesempatan bekerja karena direkomendasikan oleh Happy, teman sekelas sekaligus teman dekat Bintang di kampus. Selama itu pula, Bintang selalu belajar melayani para pelanggan cafe dengan baik dan sopan.

"Ibu Aresh, pemilik cafe ini. Ruangannya ada di lantai atas," terang Jodi. "Ibu ingin berkenalan dengan kamu."

Bintang mengangguk, "Iya, Mas."

"Hati-hati, ya!" peringat Jodi sebelum Bintang pergi.

Dengan hati-hati, Bintang mengetuk pintu ruangan yang berada di lantai atas. Ia melangkah masuk ketika seseorang mempersilakan untuk masuk. Langkah Bintang melambat kala melihat Alrescha sedang menatap intens ke arahnya. Ia menerka-nerka ada hubungan apa di antara Alrescha dan pemilik cafe tempat dirinya bekerja.

"Sini masuk," kata Aresh seraya tersenyum menyambut karyawan barunya.

Bintang tersenyum kikuk. Lalu meletakkan makanan dan minuman yang dibawanya. Aresh membaca name tag yang terpasang di apron karyawan barunya. Ia langsung menatap Alrescha yang sedang memandang Bintang dalam diam.

"Nama kamu, Bintang?" tanya Aresh penasaran.

Bintang mengangguk, "Iya, Bu. Saya Bintang. Mohon bimbingannya."

"Bia, bisa tinggalkan Alres dengan Bintang di sini? Ada yang mau Alres bicarakan dengan Bintang," pinta Alrescha lugas, membuat bulu kuduk Bintang merinding.

"Bia nggak bisa meninggalkan Adek dengan Bintang berdua di sini," kata Aresh yang mengetahui emosi putra bungsunya akan meledak, hingga Bintang sadar saat mengetahui siapa dirinya.

"Lima menit aja, Bia," mohon Alrescha seraya mengepalkan salah satu tangannya.

"Oke. Tanpa kata-kata kasar, dan tanpa teriak. Bisa?" pinta Aresh yang tak ingim dibantah.

Alrescha mengangguk tanpa kata. Aresh pun dengan terpaksa keluar dari ruang kerjanya. Meninggalkan Bintang bersama dengan Alrescha yang sedang emosi.

"Ngapain Bintang di sini?" tanya Alrescha tak suka, sambil menatap apron dan name tag yang dipakai Bintang.

Bintang menelan salivanya dengan susah payah, "Bintang sedang bekerja di sini."

"Kenapa nggak cerita sama Abang?" tanya Alrescha kesal.

"Bintang mau cerita sama Abang. Tapi pesan Bintang aja nggak dibaca sama Abang. Bintang telepon Abang juga nggak bisa."

"Bintang butuh uang berapa?" tanya Alrescha tanpa basa-basi. "Abang akan kasih apa pun yang Bintang butuhkan. Asal Bintang keluar dari cafe ini!"

Kedua mata Bintang merebak. Ia mengeratkan genggamannya pada nampan kayu yang dipegang, sembari menatap Alrescha dengan takut.

"Bintang nggak akan pernah meminta apa pun dari Abang. Bintang bekerja paruh waktu di sini, karena Bintang mau membantu Mama. Bintang nggak bisa terus-terusan meminta uang sama Mama untuk urusan jajan dan tugas kuliah," tutur Bintang menahan air matanya.

"Papa dan Mama pernah bilang, selama masih mampu untuk berusaha, jangan pernah meminta-minta. Bintang nggak mau jadi manja dan tergantung sama Abang. Seperti kemarin waktu Abang pergi, Bintang nggak tahu mau minta tolong siapa. Sedang Abang nggak bisa dihubungi. Bintang di sini karena ingin belajar mandiri. Izinkan Bintang buat tetap bekerja di sini, Bang," pinta Bintang diiringi tetesan air matanya.

Alrescha berdiri. Ia menatap kesal Bintang yang sedang menangis. Ia menahan diri untuk tidak memeluk Bintang. Melihat Bintang menangis, selalu membuat Alrescha menjadi marah kepada dirinya sendiri. Ia seakan tak mampu membuat Bintang bahagia di sisinya.

"Fine! Silakan lakukan apa yang mau Bintang lakukan. Abang nggak akan pernah ikut campur lagi," kata Alrescha yang membuat Bintang menangis. "Baik-baik!"

Bintang menangis tergugu ketika mendengar suara pintu tertutup dengan keras. Ia segera menghapus air matanya sebelum keluar dari ruangan Aresh.

"Bintang, maafkan Bang Alres, ya," tutur Aresh menghampiri Bintang.

Bintang menggeleng sambil mencoba menghapus air matanya, "Bintang yang salah, Bu. Seharusnya Bintang cerita sama Abang terlebih dahulu."

"Bang Alres seperti itu karena sayang sama Bintang. Bang Alres nggak mau Bintang kecapekan dan jatuh sakit," kata Aresh menenangkan sambil menyeka air mata Bintang.

Bintang menangis memandang Aresh. Ia teringat dengan mama yang selalu ada untuknya dulu. Hampir tiga bulan dirinya belum pulang ke rumah karena kuliah dan tugas-tugas yang menumpuk. Aresh segera memeluk Bintang. Mencoba menenangkan Bintang yang tampak terlihat takut atas kemarahan Alrescha.

"Bintang bisa cerita apa saja sama Bia, ya?" tutur Aresh yang sangat bahagia bisa bertemu dengan kekasih dari Alrescha.

Ini kali pertama Aresh bertemu dengan salah satu kekasih putranya. Selama ini baik Aksa, Archie, Arash dan Alrescha tidak pernah ada yang membawa kekasihnya pulang ke rumah untuk diperkenalkan kepada keluarga. Kehadiran Bintang seakan mengobati kerinduan Aresh untuk memiliki seorang putri.

Tbc.

010818

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top