1. Bintang-nya Alrescha
"Ryota Alrescha Nataya!"
"Iya, Bia Sayang. Alres juga kangen sama Bia. Nanti malam Alres pulang."
"Benar?! Awas kalau kamu nggak pulang lagi, Alres! Bia akan menjemput kamu ke kampus, dan seret kamu pulang!"
"Jangan dong, Bia! Nanti fans Alres pada kabur kalau mereka tahu Alres ini anak Bia!"
"Kan kamu memang anaknya Bia! Memangnya kamu mau jadi anaknya siapa?!"
"Hahaha. Udah dong Bia, jangan marah-marah terus! Nanti cepat keriput loh! Masa belum punya cucu udah keriput?"
"Bia nggak peduli! Pokoknya hari ini Alres harus pulang! Kalau nanti Alres menginap lagi di kampus, biar Ayah yang jemput Alres nanti!"
"Siap! Nanti sebelum jam 9 Alres sudah duduk manis di samping Bia. Udah dulu ya Bia! Alres banyak tugas hari ini. Miss you, Bia Sayang."
"Baik-baik di sana! Miss you too, Adek. Bia tunggu di rumah!"
"Siap! Assalamualaikum, Bia."
"Wa'alaikumsalam."
Langkah Alrescha tertahan saat melewati lautan mahasiswa baru yang berada di pelataran balairung kampus. Kedua mata tajamnya memerhatikan para mahasiswa baru yang sedang mengantri presensi kehadiran dan meletakkan pot kecil berisi tanaman di sekitar halaman balairung. Benda yang wajib dibawa pada hari kedua PEKKA (Pengenalan Kampus) untuk program penghijauan kampus. Senyumnya tersungging ketika melewati sekompok mahasiswi baru yang sedari tadi mengamatinya dari jauh. Kasak-kusuk pun terdengar seiring langkah Alrescha yang menjauhi kelompok mahasiswi baru itu.
"Gosh! Mas Ryo ganteng banget!" seru mahasiswi baru yang dikucir dua dengan pita berbeda warna.
Gadis berhijab putih dengan tempelan pita yang sama menambahkan, "Ganteng, pintar, saleh lagi. Menantu idaman Mama!"
"Senyumnya, masya Allah! Bikin ketar-ketir!" seru yang lain.
"Imam-able banget!" imbuh mahasiswi baru yang tampak imut dan lucu.
"Gue belum dapat tanda tangannya coba," keluh yang lain.
Kedua tangan Alrescha merapikan jas almamaternya. Lalu mengalungkan ID card mahasiswa-nya seraya memasuki balairung. Setelah memenangkan PEMIRA (Pemilihan Mahasiswa Raya) akhir tahun kemarin, kegiatan Alrescha semakin sibuk. Terlebih dengan acara rutin penyambutan Maba. Ia harus mengontrol dan mengawasi semua kegiatan dari semua fakultas yang ada. Ia pun tak sungkan meminta bantuan kepada seluruh BEM F untuk acara hajatan tahunan itu.
"Bagaimana? Lancar?" tanya Alrescha kepada salah satu rekannya, Brian.
Brian mengangguk, "Lancar. Tapi tadi panitia kewalahan dengan jumlah pot bunga yang begitu banyak."
"I see. Pasokan oksigen akan bertambah nantinya. Jadi Lo nggak akan engap sebagai jomblo besok!"
"Anjiiir! Mulut Lo, Res!"
Alrescha tertawa, "Gue ketemu anak-anak dulu. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi gue!"
"Siap!"
Kedua tangan Alrescha dimasukan ke dalam saku jas almamaternya. Ia memandang para Maba yang sangat antusias mengikuti kegiatan PEKKA selama beberapa terakhir. Dominasi warna hitam dan putih tampak memenuhi setiap sudut balairung. Warna pakaian khas yang dikenakan Maba ketika mengikuti kegiatan pertama mereka sebagai mahasiswa baru. Warna yang akan dilihat Alrescha hingga beberapa hari ke depan.
Semua kegiatan tampak berjalan dengan lancar. Rasa bangga terselip pada diri Alrescha. Ia tak menyangka jika dirinya akan berada di tengah-tengah sivitas akademika sebagai seseorang yang memiliki peran penting sebagai penyalur aspirasi para mahasiswa di kampusnya.
Melanjutkan pendidikan di universitas, tak pernah ada dalam cita-cita Alrescha. Ia ingin seperti ayah dan juga kakak-kakaknya yang bergelut sebagai abdi negara. Namun kegagalan selalu saja datang menghampirinya. Hingga ia memutuskan untuk membunuh kejenuhannya dengan berkuliah. Meski kedua orangtuanya tak pernah memaksakan kehendak, namun ia ingin setara dengan kakak-kakaknya di mata keluarganya sendiri.
"Oke! Sembari menikmati coffee break, kita akan membacakan beberapa surat cinta terpilih dari adik-adik semua," kata Sinta, salah satu panitia PEKKA.
"Surat cinta yang terpilih ini telah melalui berbagai seleksi dari kita. Yang terpilih adalah surat cinta termanis, terbaik, dan terindah," tambah Angga, rekan Sinta.
"Are you ready?!" teriak Sinta.
"Yes, we're ready!!!" seru para Maba serempak.
"Harus ready ya! Nama yang dipanggil, silakan maju ke depan. Dan bacakan suratnya di depan kakak senior yang kalian tuju, secara langsung!"
"Waaah!!!"
"Kita mulai ya! Surat yang pertama," ujar Angga.
Sinta tersenyum seraya membolak-balikkan amplop yang digenggamnya, "Surat cinta beramplop biru. Seperti julukan kampus kita, Kampus Biru. Dari Bintang Manessa. Fakultas Ilmu Komputer, Program Studi Sistem Informasi. Silakan Bintang, untuk segera maju ke depan!"
Semua Maba menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Pandangan mereka berpendar ke arah di mana para Maba Fakultas Ilmu Komputer berada. Mereka seakan tak sabar menunggu nama yang sudah dipanggil oleh Sinta. Tak terkecuali Alrescha. Tatapan tajamnya tampak fokus memerhatikan mahasiswa dan mahasiswi baru yang sedang tertuju kepada sosok perempuan bertubuh mungil. Rambutnya dikuncir dua dengan hiasan kepang kecil yang dibuat seperti bando.
"Bintang Manessa, silakan maju ke depan!" panggil Angga mengulang.
Dengan ragu dan menahan malu, Bintang berjalan ke tengah balairung. Jantungnya berdebar kencang mengiringi langkah beratnya menuju panggung. Ia menghela dan mengembuskan napasnya berulang kali. Mencoba meredakan degup jantungnya yang semakin tak terkendali. Ia merasa risi ketika menjadi pusat perhatian. Terlebih perhatian dari seluruh orang di kampus yang belum semuanya dikenal.
"Selamat datang, Bintang," sapa Sinta sebelum menjabat tangan Bintang.
Setelah bersalaman dengan Bintang, Angga berdecak, "Duh! Tangannya Bintang dingin banget."
Bintang tersenyum kikuk. Berdiri kaku di tengah panggung di samping Sinta dan Angga. Suara tawa dan kekehan terdengar menggema di balairung. Membuat kegugupan Bintang semakin bertambah.
"Baiklah! Karena Bintang sudah di sini, sekarang kita panggil kakak senior yang tertulis di surat Bintang ini," kata Sinta, "Untuk My Pres BEM."
Sorak sorai terdengar ketika nama Presiden BEM dipanggil. Suasana balairung menjadi semakin ramai ketika semua orang meneriakkan Pres BEM yang entah ada di mana.
"Oke. Pres BEM kita, silakan maju ke depan!" panggil Angga seraya mencari keberadaan teman sekelasnya yang juga Pres BEM U.
"Ayo, Mas! Adiknya sudah menunggu ini. Jangan sampai mukanya makin pucat nunggu kamu datang, Mas!" seloroh Sinta yang disambut sorak sorai para Maba.
Alrescha berjalan ke depan. Tatapan tajamnya menatap lurus ke arah Bintang yang sedang memandangnya balik. Ia memandang wajah pucat Bintang yang sedang menunggu kedatangannya. Gadis kecil itu tampak sangat manis di mata Alrescha. Kemeja putih yang dilipat lengannya sampai ke siku, dengan rok sepan selutut dan sepatu pentofel hitam, membuat penampilan Bintang semakin bernilai plus bagi Alrescha. Terlebih kuncir dua yang membuat Bintang semakin terlihat imut.
"Jantungnya masih sehat, My Pres BEM?!" seloroh Angga meledek.
Alrescha menyunggingkan senyumnya, "Alhamdulillah sangat sehat," ucapnya yang menambah keriuhan di balairung.
Bintang menunduk. Memutus pandangannya kepada Alrescha. Ia merasa sangat malu di hadapan Alrescha saat ini. Ia tak menyangka jika surat itu akan dibacakan di atas panggung dan disaksikan oleh semua teman-teman yang belum dikenalnya.
"Bintang, silakan dibaca!" Sinta memberikan surat beramplop biru itu kepada Bintang.
Dengan tangan yang gemetar, Bintang membuka amplop itu. Mengambil selembar kertas berwarna biru dengan gambar hati yang memenuhinya. Setiap gerakan Bintang tak luput dari penglihatan Alrescha. Jika bisa, ia akan menghentikan acara ini sebelum Bintang jatuh tak sadarkan diri karena menahan takut dan malu. Namun, hal ini memang sudah disetujuinya di hadapan semua panitia PEKKA beberapa bulan lalu.
"Dear My Pres BEM." Bintang membaca suratnya sendiri dengan suara gemetar.
Suara sorak sorai kembali terdengar jelas di telinga Bintang. Membuat kedua tangan Bintang semakin dingin dan bergetar. Ditambah dengan detak jantungnya yang semakin kencang di dalam sana. Helaan napas berat Bintang berembus sebelum melanjutkan membaca surat cintanya kepada Alrescha.
"Hari lalu, Semesta telah mempertemukan kita.
Kita yang dulu berserak, dan berjarak.
Kita yang dulu terasing, tanpa mengenal rasa satu sama lain.
Kita adalah sepasang orang asing yang Semesta satukan dalam satu rasa.
Rasa rindu yang terbelenggu oleh cinta semu.
Meski Semesta telah membuat kita menjadi satu, namun rasa rindu itu masih saja menggebu.
Aku tak akan meminta balasan rasa itu kepadamu.
Karena aku tahu, kamu tak akan mampu mewujudkan rasa asaku dalam satu waktu.
Tetapi jika Semesta setuju, aku akan tetap menunggu.
Menunggumu membalas rasa itu, seraya berdoa agar kita tak bersekat di suatu waktu."
Semua bertepuk tangan ketika Bintang selesai membacakan suratnya untuk Alrescha. Ia melirik Alrescha yang sedari tadi menatapnya dengan lekat. Lalu segera menunduk kembali. Helaan napas leganya berembus. Beban berat yang dibawanya seakan berkurang saat ini.
"Luar biasa isi surat cinta kamu, Bintang!" puji Angga, "Abang meleleh ini Dek! Tulisan kamu benar-benar cantik. Secantik orangnya."
"Jatuh hati, Kak?" tanya Sinta mencairkan suasana.
"Sepertinya begitu," sahut Angga memandang Bintang yang masih saja kikuk.
Sinta terkekeh, "Maafkan Kakak kamu ini ya, Bintang! Dia memang sering error begitu," canda Sinta yang disambut gelak tawa para hadirin di balairung.
"Gimana, My Pres BEM?" tanya Angga berseloroh, "Sudah bisa berkedip belum?"
Sorak sorai yang bersahutan kembali riuh. Semua Maba menunggu pergerakan Alrescha yang sedari tadi hanya terdiam memandang Bintang membacakan surat cinta untuknya. Alrescha memajukan langkahnya, sembari mengambil bolpoin di saku kemeja. Ia memberikan bolpoin itu kepada Bintang.
"Tulis nomor telepon kamu di sini!" perintah Alrescha seraya mengulurkan tangan kanannya kepada Bintang.
"Ihiiiy!"
"Suit! Suit!"
"Modus, woy!"
"Aaaaa!!!"
"Mas Ryo!!!"
Teriakan-teriakan dari para Maba dan seluruh orang di balairung terdengar keras. Alrescha menunduk. Memandang lekat Bintang yang sedang menuliskan nomor telepon di tangan kanannya. Ia seakan tak menghiraukan teriakan-teriakan tak jelas yang sedang mengarah kepadanya. Ia tak tahu, ide gila yang tiba-tiba terlintas di otaknya beberapa menit lalu. Yang ia tahu, ada rasa aneh ketika mendengar Bintang membacakan isi surat cinta itu kepadanya.
"Itu nomor telepon buat apa, Kak?" tanya Sinta ingin tahu.
Alrescha tersenyum sebelum menjawab, "Dia akan masuk seleksi untuk mengikuti lomba sastra antar universitas nanti."
Angga tertawa, "Luar biasa jawaban Pres BEM kita ini! Kita tunggu kabar selanjutnya, Pres."
"Thank you, Bintang-nya Alrescha!" kata Alrescha yang membuat jantung Bintang seakan lupa untuk berdetak dalam beberapa detik.
Sorak sorai kembali terdengar. Mengiringi langkah Alrescha yang merangkul Bintang sebelum keduanya di foto bersama oleh panitia seksi dokumentasi. Sentuhan sederhana Alrescha sangat mampu membuat Bintang lupa untuk bernapas. Tatapan iri dari para teman-temannya yang mengidolakan Alrescha, membuat kesadaran Bintang kembali. Dalam hati berdoa, semoga ia bisa pulang ke kos dengan selamat dari tatapan cemburu para mahasiswi kampus atas tindakan tak terduga Alrescha kepadanya.
Tbc.
13Feb.18
Hai semua,
Apakah bisa dinikmati cerita aneh ini?!
Well, ini cerita penyeimbang dari cerita asaology yang katanya selalu menyedihkan. Di sini, saya akan berbagi kemanisan dari kehidupan kampus. Cerita ini ada karena saya merindukan suasana kampus dan berbagai cerita seru yang ada di sana. Semoga tidak mengecewakan ya ke depannya nanti!
Jika ada kritik dan saran, silakan tulis di sini! Saya adalah mantan mahasiswi di jaman old. Apabila ada perbedaan atau istilah yang berbeda di jaman now, mohon dimaklumi. Jika ada yang salah, silakan perbaiki.
Jangan menunggu cerita ini update! Berat! Kamu nggak akan kuat! Karena aku pun nggak kuat, kalau kalian minta next cepat setiap saat! 😂😂😂
Bye! Thank you and See you next time.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top