Part. 9
Sudah hampir pukul delapan malam laki-laki itu masih belum terbangun. Mulai dari men-scroll beberapa media sosial hingga membaca novel. Belum ada tanda-tanda akan bangun. Apakah orang pingsan bisa selama ini? Ia jadi curiga, kalau sebenarnya laki-laki ini tertidur.
Rinzy yang sebelumnya terduduk bersila di atas karpet berbulu. Kemudian ia berlutut melihat keadaan Alren di atas ranjang miliknya.
"Segalak-galaknya, nih ketua geng motor, tetap aja masih bocil. Ck, padahal nggak ada seremnya," ujar Rinzy tersenyum seraya memandangi wajah tenang Alren.
Ia tidak munafik kalau laki-laki itu memang tampan. Ia juga sangat pintar, yang ada dibayangkan Rinzy jurusan MIPA itu jurusan yang paling susah. Beruntunglah dulu ia tidak masuk SMA. Dapat disimpulkan kalau Alren ini anak cerdas tidak sepertinya.
Rasanya ia ingin mengetuk otaknya, lalu mengomeli. Bisa-bisanya ada anak kurang ajar seperti dia. Laki-laki mengumpat orang tuanya, namun tidak bisa menyalahkan Alren seratus persen. Ia juga korban di sini. Ini masalah cukup besar, apakah ia bisa membantu laki-laki itu dalam waktu satu bulan.
Gadis itu bangkit berdiri dengan sorot matanya masih memandang wajah tampan Alren.
"Bocil, bangun kek. Lo nggak laper apa?" Rinzy merendahkan tubuhnya seraya mengetuk pelan dahinya. "Cil, bangun yuk."
Beberapa detik setelah itu, terlihat kelopak mata Alren sedikit berkedut.
"Bocil?"
Netra laki-laki lantas terbelalak melihat wajah gadis yang sering membuat kesal itu tengah depan wajahnya.
Alren langsung terbangun, tidak sengaja kepalanya kejedot kepala Rinzy.
Mereka berdua sama meringis pelan seraya mengusap kepalanya.
"Astaga, bocil!" teriak Rinzy.
"Lo ngapain di kamar gue?"
"Nyawa kumpulin dulu. Coba liat sekeliling lo, di mana ini?"
Alren melihat sekeliling, benar ini bukan kamarnya. Dari warna cat saja sudah berbeda, sudah pasti cat kiloan beberapa bagian sudah terkelupas.
"Lo ngapain di sini?" tanya Alren.
"Bocil, ini kamar gue. Kalo udah selesai pingsannya, cepet bangun gue mau rebahan pegel."
"Lo culik gue karna gue tolak lo kan? Cewek sikopat, njing." Alren menarik selimut hingga sedada.
Rinzy ternganga setengah. Astaga, laki-laki ini benar-benar membuatnya dongkol.
"Heh, bocil. Lo pikir gue seobsesi itu sama lo? Suka ya suka aja, nggak segila itu," balas gadis dengan rambut dicepol seraya berkacak pinggang.
"Gue kan ganteng kelewatan, kali aja kan. Lo obsesi sama gue."
Rinzy memutar bola matanya. "Bodo amat deh, bocil. Cepat turun."
Alren menuruni ranjang, kemudian gadis itu terduduk di atas ranjang seraya bersandar dinding.
"Ini di mana, sih?" tanya Alren seraya mencari ponselnya di atas meja nakas samping ranjang. "Lo nggak liat hape gue?"
"Ini di rumah gue, buat hape lo gue nggak tau. Gue nemuin lo terkapar tak berdaya di pinggir jalan sama tas isi baju doang. Selebihnya gue nggak tau."
"Gue dipinggir jalan? Lo kalo ngomong yang bener lah."
"Buat apa gue boong? Terserah, kalo mau percaya atau enggak."
Alren tidak merespons apapun. Laki-laki menyugar rambutnya seraya berusaha mengingat kejadian sebelumnya.
"Ah, bangsat gue lupa!"
"Lupa makan?" tanya Rinzy santai seraya menuruni ranjang, lalu meletakkan ponsel di atas meja nakas. "Laper kan? Ayo makan dulu."
"Bukan njing. Gue nggak lapar."
Rinzy terkekeh geli. "Mikir juga butuh energi kali. Lo mau keluar apa gue seret keluar?"
"Lo ngancem gue?"
"Gue kasi pilihan bukan ngacem, prasangka buruk aja, bocil."
Rinzy lantas menarik tangan Alren keluar kamar.
Tepat saat itu wanita paruh baya berkerudung krem tengah menyajikan beberapa lauk pauk untuk santapan makan malam.
"Tuan, udah bangun? Saya udah siapkan makan kesukaan-"
"Bibi, kenapa bisa di sini?" potong Alren seraya terduduk di atas karpet.
"Kakak, jelasin Ibu mau ke dapur sebentar," sahut Bibi Yuni sebelum beranjak ke dapur.
Alren mengernyit. "Lo--"
"Oke, kita perkenalan ulang aja kali ya. Gue Rinzy, anak bontot Ibu yang lo panggil Bibi itu."
"Bibi, bukannya cuma punya dua anak?"
"Yang punya anak Ibu gue, kenapa lo repot? Gue dari luar jawa, gue lahir besar di sana, terus gue pindah ke sini. Sekalian kuliah nanti. Kenapa ada masalah?"
"Nggak."
Setelah dari mengambil beberapa piring juga sendok. Wanita paruh baya itu kembali lalu terduduk perlahan, mengambilkan nasi dan lauk untuk Alren.
"Aku nggak mau makan, Bi."
Rinzy yang tengah mengambil lauk itu melirik sekilas. "Kenapa? Udah di masakin, tuh makan aja. Nggak usah banyak omong, bocil." Lantas ia kembali mengambil lauk lalu mulai makan.
"Nih, cewek pulpen bacot banget," balas Alren.
"Bibi tau, kamu nggak suka kalau lagi makan ngomong. Jadi, makan dulu."
"Bi, kenapa aku bisa di sini? Ini ada hubungannya sama tuh wanita tua kan?"
"Nanti Bibi jelaskan."
"Bi, jelasin sekarang!"
Rinzy memukul lengan Alren cukup keras. "Lo kalo ngomong biasa aja bisa nggak? Kan Ibu gue bilangnya nanti."
"Lo nggak tau apa-apa. Udah diam aja."
Rinzy tersenyum miring. "Oke, gue diam. Kalo lo bentak Ibu gue lagi. Nih, garpu, siap melayang ke mata lo."
"Ini kenapa jadi ribut?" tanya Yuni meletakkan piring di lantai. "Tuan, akan tinggal di sini selama satu bulan ke depan."
Alren terbelalak mendengar perkataan itu. "Maksudnya Papi ngusir aku?"
"Bukan, beliau meminta Bibi bantu kamu biar mandiri dan irit. Karna kamu akan tetap kuliah di Yogyakarta nanti."
Laki-laki itu tersenyum miring, sejenak itu berpikir. Bahkan ayah kandung tidak memikirkannya sama sekali. Pria tua bangka itu malah mengusirnya dengan embel-embel agar mandiri dan lain-lain.
"Aku mau telpon Papi."
"Hape aja nggak punya," sahut Rinzy sebelum menyendokkan sesendok nasi dan tumis kangkung. "Abis makan juga bisa kali. Nanti gue pinjemin."
"Tuan besar nggak akan mau angkat telpon," jawab Bibi Yuni semakin membuatnya tambah terkejut.
"Bangsat, mana bisa gue hidup gembel begini?" batinnya.
***
Setelah selesai makan malam laki-laki itu berusaha mencari ponselnya. Namun tidak ditemukan yang ia temukan malah dompet kosong berisi satu lembar seratus ribu rupiah. Ia benar-benar dibiarkan menderita sekarang.
Melihat Alren terduduk sendiri di teras rumah membuat Rinzy sedikit cemas.
"Lo ngapain?" tanya seorang gadis dengan baju tidur berwarna hijau tosca. "Masih nggak bisa terima tidur di tempat begini?"
Laki-laki itu menoleh. "Gue males ribut."
Rinzy terduduk di sebelah Alren. "Gue cuma mau nemenin aja."
Tidak ada respons dari laki-laki itu.
"Lo tau, kadang hidup banyak kejutan. Makanya mesti siap-siap, jangan terlalu sedih. Selama ortu lo niat baik ya nggak masalah."
"Lo tau apa, sok ceramahin gue?"
Rinzy menoleh seraya tersenyum tipis. "Gue tau semua, bahkan yang lo nggak tau."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top