Part. 7

“Lo kaya kucing kecebur. Dari mana aja lo? Kaya anak kecil kabur-kaburan,” ujar Dewa seraya memberikan handuk kecil dan teh hangat.

“Gue males jawabnya. Bokap gue makin perhatian sama tuh pelakor yang sok sokan mau jadi Mami gue,” balas Alren.

“Otak lo itu mesti digetok pake pulpennya Rinzy biar kebuka.” Dewa terkekeh seraya menyesap secangkir teh.

Alren mendecak kesal. “Gue ketemu tuh cewek pulpen tadi.”

“Semalam ini? Dia nggak keliatan tampang main malam.”

“Nggak tau, njing. Tiba-tiba dia muncul pas gue nongkrong di warkop deket rel itu. Sok akrab banget.”

Dewa hanya tersenyum tipis. “Jangan-jangan dia suka sama lo. Sahabat gue ini kan, cakep. Masa dia nggak suka.”

“Dih, cewe cerewet kaya dia. Nggak suka gue. Gue tuh lebih suka cewek pendiam, adem gitu liatnya terus nurut.”

“Emang, tuh cewek kenapa? Menurut gue dia baik.”

“Mata lo mesti dicolok, Wa. Pokoknya nggak suka lah, gue sama tuh cewek.”

“Jadi sampe kapan lo ghostingin banyak cewek? Buat seneng sesaat doang kasian cewek itu.”

Alren terkekeh. “Gue belum ketemu yang cocok dan gue juga belum ketemu sama Zyzy.”

Dewa menepuk pundak Alren. “Ren, kalo emang takdir lo ketemu lagi. Pasti ketemu tapi jangan mainin cewek kasian.”

“Abang Dewa kalo udah ngomong bikin gue mendadak bisu.” Alren tertawa geli. Sebelum beralih ke secangkir teh. “Nggak ada kopi item apa?”

“Lo udah dikasi malah mengelunjak.”

“Besok balapan sama gue gimana?”

“Nggak nanti lo kalah.”

“Dih, gue nggak mau sombong tapi pasti gue yang menang. Ayo sekarang.”

“Ujan, njir. Nggak usah ngadi-ngadi.”

***

Setelah kelas selesai lima belas menit sebelum istirahat murid kelas 12 MIPA 1 diberi waktu untuk mencari novel untuk tugas bahasa Indonesia. Kebetulan Rinzy sudah memiliki beberapa novel teenfict di rumah, jadi ia tidak ikut mencari.

Gadis itu hanya mengikuti Alren pergi, beruntunglah laki-laki hanya di dalam perpustakaan. Ia lebih mudah memantau.

Rinzy mencatat di buku kecil kegiatan Alren hari ini dengan pulpen kesukaannya.

“Baru tiga hari sekolah, rasanya remuk badan gue. Apalagi sebulan,  fix abis itu gue tewas,” ujar Rinzy seraya memijit pelipisnya.

Gadis itu menghela napas panjang. “Jadi, gimana caranya?” tanya Rinzy pada dirinya sendiri seraya mendongak.

Tanpa disadari tiba-tiba satu buku tebal, jatuh menimpa puncak kepalanya. Rinzy meringis kesakitan seraya mengusap ujung kepalanya.

“Siapa sih? Sialan.” Gadis itu lantas bangkit berdiri.

Samar-samar terdengar kekehan kecil dari balik rak buku itu. Seraya menjengket Rinzy melihat seseorang itu, ternyata adalah Alren. Wajah tertawa menyebalkan itu semakin membuatnya kesal.

Rinzy meminggirkan beberapa buku, perlahan memasukkan tangan kanannya dan mengetuk belakang kepala Alren dengan keras.

“Anjing!”

“Lo pikir kepala gue nggak sakit?”

“Heh, cewek pulpen! Lo ada masalah apa sama gue?”

Lagi-lagi Rinzy mengetuk dahi Alren.

“Sakit, woy.”

Gadis itu tersenyum miring. “Lo yang ada masalah sama gue, dari awal gue masuk sekolah ini. Lo yang cari gara-gara.”

“Gue?”

“Bukan, setan!”

Baru saja Rinzy akan pergi, memasukkan tangannya di antara buku-buku. Kemudian menarik rambut gadis itu.

“Awh, sakit bocil!” teriak Rinzy cukup keras.

Tiba-tiba terdengar suara wanita paruh baya berkacamata penjaga perpustakaan. “Siapa itu yang teriak?” Seraya menghampiri sumber suara yang diketahui dekat dengan Rinzy.

Gadis itu merapikan sedikit kunciran. Ia terkejut dengan kemunculan penjaga perpustakaan itu.

“Kamu yang teriak?” tanyanya seraya membenarkan kacamata.

“Maaf, Bu,” jawab Rinzy sedikit menunduk. “Tadi nggak sengaja.”

“Jangan berteriak lagi. Ini perpustakaan.”

Gadis itu mengangguk cepat. “Iya, Bu, siap.”

Setelah merasa penjaga perpustakaan itu sudah beranjak pergi. Buru-buru Rinzy menoleh ke kiri mencari keberadaan Alren.

“Bocil, gara-gara lo.”

***

Tepat hari ini ada mata pelajaran PKN salah satu mata pelajaran yang tidak disukainya. Bukan karena isi materinya yang selalu sama membahas Pancasila, hanya saja guru pengajar yang membuatnya ngantuk. Lebih baik ia bolos dari pada mendengar dongeng pria paruh baya itu.

“Kalian ke kelas aja, gue ngantuk,” ujar Alren sudah merebahkan tubuhnya di sofa panjang.

“Ya elah, si bos gue juga mau bolos. Gue nggak suka belajar PKN ngantuk, Njir,” sahut Givon kembali menyadarkan punggung di sofa kecil dekat Alren.

“Gue juga ikut lah,” timpal Ervin sebelum meneguk abis botol air mineral. “Kita kan mesti solid ya nggak?”

“Itu lo, Pin. Gue mau balik kelas aja,” ujar Dewa kemudian terhenti depan pintu lalu menoleh ke belakang. Jangan salahin gue kalo bokap nyokap lo dipanggil besok.”

“Dih, si Dewi ngeselin kaya cewek,” balas Ervin.

Laki-laki berseragam rapi itu pun lantas keluar dari ruangan mereka.

“Aduh, gue pengen rebahan tapi—gue juga balik lah.” Dengan malas Givon bangkit bangun diikuti Ervin.

“Pengen rebahan aja, banyak banget halangan,” lanjut Ervin..

“Bos, kita balik kelas.” Givon melempar bantal kecil ke wajah Alren.

“Pon, lo ngajak ribut,” sahut Alren membuat kedua temannya itu, lantas buru-buru keluar seraya terkekeh.

Terkadang mengerjai laki-laki seperti Alren sedikit menghibur dua temannya yang masih sering bertengkar itu. Walaupun dikenal sedikit kasar dan suka marah. Alren tipikal laki-laki yang tidak main tangan dengan perempuan siapapun itu.

Ada satu kalimat yang tidak pernah ia lupakan.

“Kamu kalo udah besar jangan kaya Papa aku suka mukul. Kamu bisa elus rambut aku aja, gini.”

Perkataan gadis kecil bernama Zyzy tepat saat duduk di bangku sekolah dasar kelas  kelas tiga beberapa tahun lalu.

Alren menutup kedua matanya dengan lengannya.

Pikirannya tertuju pada mata indah gadis berambut pendek dora itu. Banyak hal dia pelajari dari gadis manis itu.

“Bisa-bisanya gue suka sama anak SD sedangkan gue masih TK. Gila emang gue.” Alren tersenyum tipis.

Mendadak pikiran buyar karena ketukan pintu yang cukup keras.

“Siapa sih, njing? Ganggu aja.” Alren menuruni sofa itu dan menuju pintu.

Tepat saat Alren membuka knop pintu. Terlihat gadis berkuncir kuda tersenyum manis padanya.

“Hai, bocil,” sapa gadis itu seraya melambaikan tangan.

Laki-laki itu hanya memasang wajah datar. Lantas menutup kembali pintu, namun gadis itu sudah menahan dengan lengannya hingga terjepit.

“Awh, sakit bocil!” ringis Rinzy mengusap lengannya. “Untung nggak putus tangan gue.” 

“Lo ngapain ke sini? Suka banget lo ikutin gue," balas Alren sedikit kesal.

“Gue mesti ngomong sama lo, nih.”

“Ngomong apa? Buruan gue nggak punya waktu buat cewek macam lo.”

“Pertama kalinya gue ngomong gini," ujar gadis itu.

“Apaan?”

“Gue suka sama lo, kita pacaran aja ya,” ucap Rinzy dengan satu tarikan napas.

Alren hanya terdiam sejenak seraya memandang datar gadis dihadapannya itu. Berbeda dengan Rinzy yang tersenyum lebar menunggu jawaban Alren.

“Jadi, gimana? Mau pacaran sekarang aja?” tanya gadis itu lagi.

“Lo bawa pulpen kan? Getok kepala lo.”

Rinzy mengambil pulpen dan mengetuk dahinya sendiri.

“Udah. Lo mau kan?”

“Ya, lo pikir aja sendiri. Gue nggak suka cewek modelan kaya lo. Pergi sana!”

Alren lantas menutup pintu cukup keras. Gadis itu hanya mendengus kesal.

“Bocil sialan, gue udah nahan malu ngomong gitu. Malah ditolak mentah-mentah. Ya, seenggaknya kasi tau gitu, tipikal ceweknya kaya gimana.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top