Part. 6
Bunyi dering ponsel Alren mengisi ruangan kamarnya yang cukup luas dengan nuansa abu-abu gelap. Sembari mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Laki-laki itu lantas menyambar ponsel itu seraya terduduk di pinggir ranjang.
“Bos, tuh cewek nggak datang. Kita udah nunggu sampe malam gini.”
“Balik aja, biar gue yang urus besok.”
“Siap, bos.”
Alren mengakhiri panggilan teleponnya. Meletakkan ponselnya di atas meja nakas cukup keras.
“Tuh, cewek bener-bener,” gumam Alren.
Terdengar ketukan dari balik pintu.
“Tuan silakan turun makan dulu,” tutur wanita paruh baya berjilbab krem. “Sudah ditunggu nyonya dan tuan besar.”
Laki-laki mendecak kesal. “Iya nanti aku turun, Bi.”
“Baik, Tuan,” pamit wanita paruh baya itu kemudian beranjak pergi.
Saat-saat seperti hal yang paling ia benci pria tua itu kembali ke rumah dan mengajaknya makan bersama dengan embel-embel bersama keluarga agar terlihat lebih hangat yang nyatanya sudah membeku.
Berlagak menjadi orang paling baik hati. Namun, sebenarnya sangat jauh dari kata baik sepertinya hatinya hanya tertuju wanita yang sekarang terduduk seraya melihat dirinya mendekati meja makan.
“Yuk, sayang makan dulu. Bibi Yuni buatin makanan favorit kamu,” tutur Mary seraya menyendokkan nasi ke piring Alren.
Berbeda dengan laki-laki itu hanya menatap tidak minat seraya menyandarkan punggungnya. Kemudian mengambil paksa sendok nasi itu.
Alren tersenyum miring. “Lo nggak usah sok perhatian,” balasnya.
“Kamu ini bisa jaga sikap dengan Mamimu tidak?” sahut pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih. “Mami kamu berniat baik.”
Namun laki-laki tidak merespons hingga semua lauk yang ingin dimakan sudah berada di atas piring.
“Papi lagi ngomong sama kamu,” lanjut pria paruh baya itu.
Alren tetap diam tidak memerdulikan perkataan Ayahnya.
“Sayang udah, kasian Alren mau makan,” ujar Mary seraya memegang lengan suaminya itu. Kemudian ia beralih ke kulkas mengambil buah apel yang sudah dipotong tanpa kulit untuk Alren.
“Mami udah potongin buah apel buat kamu.” Seraya meletakkan di atas meja dekat dengan piring Alren.
Alren melepas sendoknya dengan keras menghantam piring hingga membuat orang tuanya terkejut. “Bisa berenti caper nggak? Percuma, gue nggak bakal peduli.”
Mary merapatkan mulutnya sejenak melihat kilatan mata Alren yang terlihat membencinya.
“Alren kamu—“ sahut Theo—ayah Alren terhenti.
“Mami nggak peduli kamu anggap apa. Tapi, Mami mencoba yang terbaik untuk jadi Mami kamu,” jawab Mary dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Laki-laki itu tertawa mengejek. “Pelakor mana ada yang baik. Mereka udah rusak rumah tangga orang. Gue tanya masih bisa disebut baik nggak, Ibu Mary?”
“Mami bukan—“
Seketika Alren kehilangan nafsu makan, lantas bangkit berdiri. “Gue jijik sama drama nggak jelas. Mami gue cuma satu, berenti pake kata Mami.”
“Alren, duduk kembali,” perintah Theo mulai geram dengan sikap anak semata wayangnya itu.
Namun, laki-laki itu lantas berlalu pergi.
Mary tersenyum tipis menatap kepergian anak laki-laki itu.
“Maafin saya Alren, tapi suatu saat kamu pasti tau,” batin Mary seraya menyeka air matanya mengalir cepat di pipinya.
***
Kipas angin sedang mengarah padanya, kasur empuknya. Ditambah bola-bola coklat di sebelah, wah benar-benar nyaman. Gadis itu merebahkan tubuhnya seraya men-scroll Tik tok, beberapa saat ia merasa takut terkadang tertawa besar.
Rebahan dan menghasilkan uang. Satu kesempatan yang tidak bisa datang dua kali. Beruntunglah waktu itu ia menerima permintaan Martha. Mungkin kalau tidak, dia harus banting tulang mencari lowongan kerja yang tidak bisa menjamin ada untuk gadis itu.
Hampir satu jam ia merebahkan dirinya. Rinzy melempar ponselnya sembarang, lalu terduduk menyambar segelas air dan meneguk habis.
Sorot matanya menuju jam dinding sudah tepat pukul sepuluh malam.
“Kok, Bibi nggak nelpon gue? Gue jadi curiga, kalo tuh bocil biasa-biasa aja gini.”
Tiba-tiba dering ponsel terdengar kencang.
“Ish, kok nelpon. Gue mau diam-diam dahal.”
Gadis itu kembali merebahkan tubuhnya, meraih ponsel dan menerima panggilan telepon itu.
Mami Endra calling.
“Halo, Mami.”
“Kamu udah tidur ya, sayang?”
“Belum, kok, Mi. Ada apa, Mi?”
“Alren kabur dari rumah, sayang.”
“Hah? Gimana ceritanya, Mi? Barusan, Mi?”
“Mami nggak tau, tapi kayanya dari tadi.”
“Oke, Mami tenang aku coba cari. Mami tau kan tempat nongkrong, Alren?”
“Nanti Mami kirimin ya.”
“Iya, Mi.”
Panggilan telepon diakhiri wanita paruh baya itu.
Rinzy menyugar rambutnya frustrasi. “Bocil, bikin orang khawatir aja. Gue tau dia laki tapi tetep aja. Dia yang kenapa-napa, gue bisa mampus.”
***
Sudah hampir pukul tengah malam, tapi ia belum bisa bertemu laki-laki itu. Mulai dari kafe terdekat dari perumahannya, hingga beberapa jalanan tempat mereka balapan. Tetap saja belum ditemukan wajah menyebalkan itu.
Seraya mengendarai motor matic-nya, gadis itu terus bergumam dongkol. Sesekali ia melirik ponsel yang tertempel di depannya. Jika tidak fokus ia bisa tewas karena laki-laki itu. Sungguh menyebalkan.
Hingga motor mengarah pada daerah perkampungan, ia baru ingat ini jalan buntu yang waktu itu.
Rinzy menepikan motornya dengan pagar rumah berbahan bambu dengan dedaunan yang hampir menutup pagar itu.
“Ini jalan yang waktu itu,” tutur Rinzy membuka helm seraya menuruni motornya dan mengambil ponsel. Kemudian dimasukkan ke dalam saku hoddie berwarna hijau botol itu.
Samar-samar sorot matanya melihat motor sport yang terlihat familiar. Gadis itu mendekati kendaraan itu.
Ia menyalakan senter dari ponselnya mengarah pada plat motor itu.
“Ini motornya bocil. Lah, dia di mana? Jangan-jangan diculik.”
Rinzy lantas berlari kecil menuju warung kopi kecil tidak jauh dari sana.
“Malam, permisi Bu,” ujar Rinzy pada wanita paruh baya itu.
“Iya, Neng. Ada apa?” Wanita paruh baya itu pun menghampiri Rinzy.
“Saya izin tanya, Bu yang punya motor itu ke mana ya?” lanjut Rinzy seraya menunjuk motor besar tepat di depan warung kopi itu.
“Oh itu, si Masnya deket rel, Mbak. Ini Mbak istrinya, ya? Jangan ditinggal atuh suami, kasian.”
“Eh, b-bukan Bu. Kita—“
“Cepet samperin Mbak, di sana tuh banyak kecelakaan, takut ada apa-apa,” potong wanita paruh baya itu.
“Makasih, Bu,”
“Iya, Neng.”
Rinzy lantas berpamitan dan menghampiri laki-laki itu dekat pinggiran rel.
“Bocil, bikin gue khawatir mulu.” Gadis itu melangkah seraya melihat ke bawah yang sedikit becek belum lagi tanah merah yang membuat sepatunya sedikit kotor.
Hampir mendekati rel kereta api Rinzy mengarahkan senter ponsel pada laki-laki yang tengah merokok di pinggir rel. Ia terduduk santai dekat dengan anak tangga untuk menyebrangi rel.
“Bocil, lo ke mana aja, sih?” teriak Rinzy berlari kecil menghampiri Alren. “Bikin khawatir aja, lo.”
Laki-laki itu menutup matanya dengan lengannya. “Woy, ngapain nyeterin ke gue!”
Rinzy memukul pundak Alren cukup keras. “Bocil, lo ngapain di sini? Ketabrak mampus lo!”
Alren bangkit berdiri seraya membuang puntung rokok ke saluran air yang cukup besar dengan air yang juga deras efek limbah pabrik.
“Elo, ngapain ke sini?”
“Panggilan alam. Cepet turun bahaya, bocil.” Rinzy menarik tangan Alren yang berdiri lebih atas dari tempatnya berdiri.
Gadis itu menarik lengan Alren.
“Pergi sana!” Ia menghempas tangan Rinzy.
Tidak sengaja gadis itu menginjak beberapa batu kerikil yang sedikit licin. Dengan cepat Alren menangkap tubuh gadis itu, menarik pinggang Rinzy.
Dengan cahaya yang cukup minim kedua orang itu saling memandangi wajah satu sama lain.
Walaupun cahaya remang, Alren masih jelas melihat bola mata gadis itu. Memandangi gadis itu membuatnya mengingat, seorang gadis manis beberapa tahun lalu.
“Hm, bocil lo masih lama liatin guenya?”
Wanita paruh baya pemilik warung kopi itu mengarahkan senter ke mereka.
“Mas, mbak kalo mau pacaran jangan di sana. Nanti malah ada yang ngikut,” teriaknya.
Buru-buru Alren menarik tangan dari pinggang gadis itu. Rinzy lantas menuruni batu kerikil itu meninggalkan Alren. Sungguh sangat menyeramkan berada di tempat seperti itu. Apalagi tengah malam begini.
Sepertinya mereka tidak diijinkan pulang padahal sudah pagi sekarang. Lebih tepatnya hampir pukul satu pagi.
Rinzy menyuruh Alren untuk menunggu sebentar sebelum pulang. Ia tahu sekali kalau laki-laki ini terkena hujan, ia akan langsung terserang flu.
“Makasih, Bu,” ujar Rinzy tersenyum manis. Kemudian beralih pada Alren, seraya mendekatkan segelas kopi hitam untuknya. “Ini kopi lo. Nggak manis.”
Alren mengernyit. “Tau dari mana?”
“Tau aja, muka lo kan pait. Cocok kopi nggak manis.”
Wanita paruh baya itu hanya terkekeh geli sebelum terduduk di depan Rinzy.
“Mas sama mbaknya udah nikah berapa lama?” tanya wanita paruh baya itu membuat Rinzy ternganga setengah.
“Kita temenan aja, Bu,” jawab Rinzy.
“Bulan lalu,” sahut Alren seketika membuat gadis itu menoleh melihat wajah Alren yang terlewat santai.
Baru saja Rinzy menginjak kakinya, buru-buru Alren menggeser kakinya. Kemudian melempar senyuman tipis.
Rinzy mendengkus kesal.
“Baru nikah masih sering bercanda, ya?” tanya wanita paruh baya itu lagi.
“Bu, emang muka saya tampang tua?” sahut Rinzy.
“Pas mbak kalo nikah,” jawab Ibu itu.
“Astaga, tua dong, Bu,” balas Rinzy terkekeh geli diikuti wanita paruh baya itu.
Tanpa disadari Alren laki-laki menyebalkan itu ikut terkekeh geli hingga matanya sedikit menyipit.
“Ketawa lo, bocil! Kalo ada pulpen, gue getok otak lo.”
Tidak merespons laki-laki tersenyum tipis, lantas menyambar lalu menyeruput kopi itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top