Part. 5
"Zy, lo keren banget bisa dapet nilai hampir sempurna. Padahal itu kan ekonomi, kenapa nggak jurusan IPS aja?" tanya Dhea sebelum meneguk jus alpukat.
Rinzy tersenyum tipis. "Gue emang jurusan ekonomi, Dhea," batinnya.
Bukannya ingin sombong tapi Rinzy atau yang biasa Risha oleh teman dekatnya juga keluarganya. Itu termasuk gadis pandai di kelasnya sesuai dengan jurusan yang diambil.
Seharusnya ia tidak boleh dapat nilai hampir sempurna begitu. Melihat reaksi teman sekelasnya tadi membuatnya merasa sedikit aneh. Pasti mereka merasa aneh, bagaimana bisa jurusan MIPA mendapat nilai kecil di jurusannya, tapi mendapatkan nilai besar di jurusan sebelah. Sedikit lucu memang, sepertinya ia harus menelepon Mami untuk membereskan hal itu.
"Kebetulan kakak gue kuliah ekonomi. Jadi, ya gue paham lah dikit-dikit," balasnya kemudian menyambar jus mangga pesanannya.
Dhea mengangguk kecil. "Pantesan. Keren lho, Zy. Lo bisa dua jurusan gitu."
"Ya, gitulah." Rinzy terkekeh kecil.
Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba seseorang laki-laki berkacamata datang menghampiri meja mereka, seraya meletakkan selembar kertas di atas meja.
"Sori, ini surat apaan, ya?" tanya Rinzy sembari menggeser gelas jusnya. "Dari siapa?"
"Katanya dari penggemar rahasia lo."
Gadis berkuncir itu mengernyit heran. "Lo salah kasi kali, gue baru pindah kemarin. Ya kali, ada yang suka sama gue. Coba diperiksa lagi."
"Pokoknya harus terima!" laki-laki itu tiba-tiba meneriaki mereka berdua. Hingga membuat mereka terkejut. "Plis, terima aja, ya."
Rinzy menatap kesal. "Ya, biasa aja kali. Gue cuma tanya aja. Mana sini."
"Ini." Laki-laki itu menggeser lembaran kertas.
"Thanks," balas Rinzy dengan wajah datar.
Tanpa berpamitan laki-laki berkacamata itu beranjak pergi.
"Lo kenal cowok tadi, Zy?"
Rinzy menoleh sekilas. "Nggak, Dhe. Temen gue baru lo doang."
"Gue kaya pernah liat cowok itu."
"Di mana? Atau mungkin ini surat buat lo, kali Dhe."
Sejenak Dhea berpikir, jika diperhatikan dengan baik. Sepertinya ia pernah bertemu dengan laki-laki itu tengah bersama geng Alrenzo tadi. Ia jadi takut kalau ada hubungannya dengan ketua geng motor itu.
"Jangan dibuka kertasnya, buang aja, Zy."
"Yah, udah terlanjur di baca, Dhe." Rinzy terkekeh geli.
"Apa bacaannya?"
Rinzy membuka lembaran itu dan memperlihatkan pada Dhea. "Lantai 4 kelas 12 IPS 6."
"Itu, tuh kelas kosong, Zy. Jangan ikutin, takutnya ada apa-apa."
Kata jangan itu berarti harus menurut Rinzy. Jiwa penasaran gadis itu mengatakan harus ikut sesuai surat itu. Lagipula sekadar memastikan sepertinya tidak masalah.
***
"Nah, gitu dong. Disuruh tuh cepet," ujar Givon seraya menepuk keras pundak laki-laki berkacamata itu beberapa kali.
"Lo beneran udah pastiin dia bakal datang kan?" tanya Alren seraya menangkup wajah laki-laki itu dengan kasar. "Kalo sampe dia nggak datang. Lo yang gue kunciin di sana."
Laki-laki itu hanya mengangguk pasrah. "I-iya, b-bang."
"Ngomong yang bener, nyet!" sahut Ervin seraya menepuk kepala adik kelas itu.
"I-iya, Bang."
Mereka bertiga tertawa geli melihat laki-laki cupu di hadapannya. Hanya Dewa saja yang tidak peduli dan terduduk sembari merokok memerhatikan tiga temannya itu.
"Belajar ngomong dulu, deh. Bisa-bisanya lo mau ikut kita. Sadar, blokgo!" timpal Givon.
Alren mengeluarkan korek api, menyelipkan sebatang rokok disela jari. Kemudian membakar ujung rokok itu. "Lo bawa pergi nih orang."
Kemudian ia terduduk sebelah Dewa.
"Siap, bos," jawab Givon.
"M-makan saya gimana?" Laki-laki menahan diri agar tidak ditarik pergi. "Saya belum makan."
"Lo pikir gue emak lo, bodo amat urusan lo," sahut Ervin seraya menarik tubuh laki-laki itu bersama Givon.
"Bang Alren," panggil laki-laki itu memohon. "Seenggaknya balikin uang saya tadi."
Alren tersenyum miring lalu menoleh. "Lo yang kasi, kenapa minta lagi?"
"Bang itu yang saya-"
"Seret atau apa kek. Repot, nih anak cengeng," lanjut Alren mengusir laki-laki itu.
Buru-buru Givon dan Ervin membawa laki-laki itu pergi.
Dewa menoleh. "Semua perbuatan ada risikonya, Ren."
Laki-laki sebelahnya itu hanya melirik sekilas seraya tersenyum miring. "Gue nggak bunuh orang, santai aja, sat."
***
Seraya membaca lembar kertas itu, Rinzy mulai menaiki lantai empat. Untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu gadis itu sudah membawa ponsel juga power bank. Biasanya situasi ponsel lowbat itu sering terjadi bukan? Jadi, ia sudah persiapan.
"Jadi di mana kelas 12 IPS 6?" ujarnya tepat saat sampai di lantai 4.
Ia melangkah perlahan menoleh kiri kanan seraya memerhatikan tiap nama kelas yang tercantum di sana.
Padahal hari ini jadwal pulang cepat. Tapi, karena gurunya sangat luar biasa rajin dan baik hati. Wanita paruh baya yang cerewet di mata pelajaran bahasa Indonesia tadi. Menyuruh mereka mengerjakan soal latihan dan langsung di kumpulkan.
Ia sudah tidak peduli jawaban tadi sudah benar atau belum. Setidaknya sudah berusaha.
Kelas itu terletak di ujung belok kiri berbeda dengan ruangan geng Alrzy sebelah kanan. Setelah beberapa menit gadis itu berputar mencari, akhirnya ketemu juga.
"Nah, ketemu." Rinzy membuka knop pintu perlahan.
Terlihat beberapa meja panjang juga kursi yang sudah dibiarkan lama. Di kelas itu sangat berdebu, kaca jendela yang buram tertutup debu, sarang laba-laba, dan juga papan tulis yang banyak coretan.
"Dia pikir gue stupid kali. Penggemar rahasia apanya? Gue inget muka tuh laki berkacamata. Awas aja, kalo ketemu gue besok."
Tidak ingin berlama-lama di sana, Rinzy lantas berbalik keluar kelas.
Namun, nasib sial mendatanginya.
"Eh, kenapa, nih pintunya?" Ia masih berusaha membuka knop pintu yang sudah berkarat itu. "Nggak lucu. Kalo gue kekunci di sini."
Seraya mencoba buka pintu ia berteriak keras berharap ada yang mendengarnya dan menolong gadis itu.
"Gue curiga, ini kerjaan si bocil. Woy, Alren bocil, buka pintunya!" teriak Rinzy.
Tidak sampai di situ, gadis itu menoleh ke belakang melihat salah satu kursi kayu. Ia lantas mengambil dan memukul pintu itu dengan sangat keras.
Tetap saja percuma. Benar, ia baru ingat kalau bawa ponsel dan power bank. Buru-buru Rinzy merogoh ponsel dan power bank kemudian men-charge baterai.
"Eh, jangan bilang semaleman nggak ke cas PB-nya. Astaga, ingin gue berkata kasar, sialan."
Gadis itu mencoba men-charge baterai ponselnya dan ternyata tidak terisi. Entah, bagaimana ia bisa keluar dari kelas ini.
Langit sudah mulai gelap karena awan mendung yang beramai-ramai menutupi langit sore yang biasanya masih cukup panas, mendadak menjadi sedikit dingin.
Rinzy meletakkan sembarang ponsel dan power bank-nya. Lantas berlari menuju jendela, sembari berusaha membuka jendela itu.
"Kalo gue lompat nanti gue masuk berita lagi. Ah, gue nggak mau, tapi gue nggak bisa di sini sampe besok."
Btw, pantengin terus cerita ini yaa
Terima kasih udah membaca (◍•ᴗ•◍)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top