Part. 43

“Gue bener-bener jahat, pasti Alren sakit hati banget,” tutur Rinzy.

“Gue tau ini berat banget buat lo. Tapi, apa lo nggak sakit hati juga? Maksud gue, lo putus sama Raka dan lo juga mau putus sama cowo lo yang sekarang, kan? Lo nggak apa-apa, Sha?”

“Nggak apa-apa. Ya, walaupun gue nggak sepenuhnya dari duit itu. Seenggaknya gue bisa bantu orang, kan? Gue tetep bahagia, kok.”

“Gue tau, lo sakit hati, Sha. Plis banget, kalo lo kenapa-napa itu bilang. Gue siap bantu apapun, selagi gue bisa. Bakal gue bantu, Risha.”

“Dia mau masuk kampus kita, lo tolong bantu persiapannya bisa nggak, Lus? Kalo ada informasi tentang pendaftaran, lo kasi tau dia, ya.”

“Kenapa nggak sama lo? Kan sama aja.”

“Hm, ada sesuatu. Tolong bantu, Lus.”

Lusy meraih gelas cold cappucino, lalu mengesapnya sedikit demi sedikit. “Sha, lo sayang banget sama pacar boongan itu? Sampe minta bantuan gue.”

Rinzy mengangguk kecil. “Kayanya gue emang udah terlanjur sayang. Terus sekarang gue disuruh ninggalin dia. Jujur, gue nggak bisa. Tapi, gimanapun juga gue mesti pergi.” Gadis itu terdiam sejenak, lalu melanjutkan perkataannya. “Gue salah, Lus. Gue jahat banget.”

“Kata siapa? Lo lakuin itu karna terpaksa keadaan yang suruh pacaran itu Mami itu kan bukan lo. Ya, bukan salah lo. Gini ya, Sha. Kalo lo udah jodoh sama dia. Mau lo pergi jauh ke ujung dunia pun kalian bakal ketemu.”

“Gue mau dia jangan jodoh sama gue. Gue nggak pantes.”

“Gue jadi lo juga serba salah, Sha. Kalo lo butuh temen cerita, kasi tau gue. Langsung telpon gue, oke.”

“Lus, temenin gue ke makam Ibu, yuk.”

“Boleh, mumpung gue masih di sini. Buat hari ini gue yang traktir. Biasanya, kan lo yang traktir.”

“Jangan Lus, biar gue aja.”

“Sssttt, nggak denger. Pokoknya gue yang bayar.”

***

Hembusan angin yang cukup kencang menerpa kulitnya. Panas yang bergitu terik, menimbulkan rasa seperti tersengat. Beruntunglah, Lusy membawa payung dalam bagasi motornya. Jadi, mereka tidak berlalu merasa panas.

Rinzy menaburkan bunga-bunga di atas gundukan tanah itu. Keseluruhan bagian, Lusy pun ikut menaburkan bunga-bunga itu sembari memegang payung di sebelah tangannya.

Setelah selesai, Rinzy segera berjongkok di sisi kanan diikuti dengan Lusy. Gadis itu mengatup kedua tangannya dan mulai memanjatkan doa. Namun, tanpa di sadari netra mengalir air mata, Lusy yang melihat itu merasa begitu sedih. Sungguh matanya mulai berkaca-kaca.

Sha, maaf kalo gue nggak bisa jadi temen yang baik. Gue beruntung bisa kenal lo. Gue harap kita bisa sama-sama terus, sampai kapanpun,” batin Lusy.

Setelah selesai, gadis itu mulai menaburkan bunga-bunga di atas makam dengan nisan di ujungnya.

“Ma, maaf aku jadi jahat banget. Demi uang aku sampe sakitin hati orang lain. Aku mau cerita semua tapi takut, aku takut Alren marah dan pergi ninggalin aku,” tutur Rinzy berjongkok di samping sebelah Lusy.

Air matanya mulai mengalir deras.

“Ma, rasanya sakit banget kalo begini. Tante juga nggak kaya dulu, dia lebih mentingin uang itu daripada mama. Maaf ya, Ma aku belum rapihin makam Mama. Nanti kalo ada uang langsung aku rapihin. Aku juga mau nanti kalo meninggal di makamin deket mama.”

Rinzy menyeka air matanya. Ia berusaha agar tidak menangis di depan makam sang Ibu. Lusy mengelus punggung Rinzy.

“Sha, lo udah lakuin yang terbaik. Semua ini bukan salah lo, kok. Kalo Alren sayang sama lo, dia pasti bakal ngertiin. Gue yakin itu,” tutur Lusy sembari tersenyum.

Lagi-lagi air matanya kembali mengalir. Ia mengerjap, kembali menyeka bulir air mata itu.

“Gue terlanjur sayang sama dia. Tapi, kayanya dia nggak ngertiin gue, Lus.”

“Lo kan belum cerita sama dia, Sha. Gue yakin, kalo lo coba ceritain semuanya. Pasti dia bakal ngertiin.”

Rinzy tersenyum tipis. Kemudian pandangannya beralih kembali ke makam di hadapannya. Mengusap lembut nisan itu.

“Maaf, Ma. Aku nangis lagi, padahal aku udah janji sama Mama. Kalo nanti kita ketemu, aku mau peluk Mama,” tutur Rinzy pelan lalu bangkit berdiri. “Aku pamit pulang, ya, Ma.”

***

Gadis dengan rambut yang di cepol tengah menuangkannya makanan yang sudah selesai dimasak. Setelah pulang dari makam, Lusy menemaninya ke pasar untuk membeli beberapa sayur juga ayam potong. Sebelum ia pergi hari Senin nanti, Rinzy ingin memasak makanan kesukaan Alren untuk terakhir kalinya.

Rinzy masih mengingat jelas, jika Alren ingin sekali mencicip masakan. Semoga saja ini bisa menjadi cara agar Rinzy menjelaskan semuanya.

Terdengar suara mesin motor sport yang dimatikan. Dengan cepat gadis itu melepaskan karet rambutnya agar terurai. Alren sangat menyukai jika rambut terurai sepele ini. Setelah selesai merapikan sedikit rambutnya, gadis itu langsung berlari kecil menuju ruang tamu.

“Recil,” sapa Rinzy tepat saat Alren membuka pintu. “Kamu dari mana? Baru pulang jam segini?”

Namun, laki-laki itu sama sekali tidak peduli dengan pertanyaan Rinzy itu. Tapi, gadis itu tidak menyerah, itu terus mengikuti Alren hingga ke kamarnya.

“Recil, pasti kamu laper, kan? Kita makan malam dulu, yuk. Aku masak hari ini, buat besok juga,” ujar Rinzy masih mengekori Alren. “Aku masak ayam kecap, lho. Abis kamu mandi, baru kita makan bareng.”

Alren yang tengah mengambil beberapa potong baju, masih tidak peduli dengan gadis itu.

Rinzy mendadak terdiam melihat laki-laki yang masih berstatus kekasihnya itu. Tiba-tiba mengemas pakaian ke dalam tas ransel. Gadis itu lantas berjongkok mendekati laki-laki itu.

“Recil, k-kamu mau ke mana? M-mami yang minta pindah sekarang?” Rinzy menahan tangan Alren. “Recil, jawab aku. Kamu mau ke mana? Mami nyuruh kamu pindah?”

“Lepas!” Alren menepis tangan Rinzy kasar. Lalu bangkit berdiri. “Bisa diem nggak?!”

Rinzy ikut berdiri dengan cepat menarik tangan Alren dengan kedua tangannya.

“Recil, plis jawab aku. Kamu mau ke mana? Aku bingung, kalo kamu diem begini,” balas Rinzy.

“Kamu nggak perlu tau. Urus sana pacar kamu, aku nggak peduli sama kamu. Mati pun aku nggak peduli,” hardiknya membuat Rinzy tersentak. Lalu melepaskan tangan Rinzy.

“Recil, o-oke aku nggak apa-apa, kalo kamu nggak kasi tau aku. Tapi, seenggaknya kamu temenin aku makan malam ini.”

“Ah, lupa. Kita udah putus. Aku lupa, bilang lagian .... Lo juga nggak peduli sama rasa sakit gue dan rasa sayang gue selama ini, kan? Tololnya, gue bisa ketipu sama cewe murahan kaya lo.”

Dadanya terasa sesak, netranya mulai memanas. Alren yang sebelumnya menggunakan aku kamu, mendadak berubah. Sungguh terasa perih, menyakitkan.

Rinzy menunduk menahan tangisnya.

“A-aku terima, kamu bilang aku cewe murahan. Tapi, semua itu aku lakukan karna ada alasan.” Gadis itu mengangkat sedikit wajahnya. “Recil, plis kamu harus dengerin aku.”

“Cewe, tuh begitu. Kalo udah ketauan bilangnya punya alasan. Lo tau, gue nggak suka orang yang gampang ingkar janji dan pembohong!”

“Aku serius, b-beneran—“

“Minggir!” Alren mendorong Rinzy ke samping karena menutup langkahnya.

Hiks.

Hiks.

Hiks.

“Recil—“

“Nggak usah nangis! Lo merasa paling tersakiti? Gue lebih sakit di sini!”

Rinzy menutup mulutnya rapat-rapat agar suara tangisnya tidak terdengar.
Alren berbalik. “Jangan pernah lo panggil gue Recil.”

“A-alren, plis jangan pergi malam ini. A-aku beneran takut. Aku mohon,” tutur Rinzy dengan mata yang berkaca-kaca. “Malam ini aja.”

“Dasar cewe nggak tau diri!”

Rinzy menarik lengan Alren. “Hari ini aku ulang tahun.”

“Lepas!” bentak Alren, menutup dan membanting pintu utama dan melesat pergi.

Tubuh gadis itu melemas, terjatuh ke lantai. Rinzy tertuduk seraya menatapi nasibnya. Sungguh menyakitkan, setelah ditanggalkan sang Ibu dan Raka sekarang Alren juga ikut meninggalkannya.

Dalam dirinya ia terus bertanya-tanya, sebenarnya apa tujuan hidupnya setelah ini. Hanya seorang diri begini, apa sebenarnya makna hidup. Kesepian sungguh sangat menyiksa dirinya.

Alren, aku sayang banget sama kamu. Maaf.”









Terima kasih udah baca cerita ini. (人 •͈ᴗ•͈)

Seperti biasa, jangan lupa vote, komen dan share cerita ini. (。•̀ᴗ-)✧

Nantikan part berikutnya. (◍•ᴗ•◍)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top