Part. 42

"Recil, semalam kamu ke mana? Nggak pulang ke rumah? Aku nungguin kamu," tanya Rinzy berdiri di sebelah meja Alren.

Seharian ini Alren hanya diam, sejak pagi tadi Rinzy berangkat sekolah lebih pagi. Ternyata laki-laki itu datang bersama mobil yang ia tahu itu bukan mobil keluarga Alren. Ia berusaha bertanya pada Dewa, Givon dan Ervin tapi mereka tidak ada yang tahu keberadaan Alren semalam.

Laki-laki itu tidak berniat merespons apapun. Bahkan, ia meletakkan kepalanya di atas meja dengan tangannya menjadi bantal. Ini sudah kelima kalinya Rinzy menghampiri mejanya dan kekasihnya itu selalu mengabaikan dirinya.

"Recil, sampe kapan kamu diemin aku begini?!" ujar gadis itu dengan nada yang meninggi hingga membuat suasana kelas saat istirahat itu mendadak hening.

"Kalo kamu jawab, aku nggak akan sampe marah gini. Aku tanya Dewa, kamu nggak di sana, tanya Givon sama Ervin juga nggak," lanjutnya.

Sungguh perkataan itu membuat Alren kesal. Kenapa Rinzy malah meneriakinya begini. Bukankah seharusnya dia yang marah. Ini sungguh membuatnya muak.

Brak.

Tiba-tiba Alren menggebrak meja itu, hingga berbunyi sangat keras.

"Diem, bisa nggak?!" bentak Alren.

"Hah?"

"Nggak denger?!"

"Recil, kenapa kamu jadi gini?"

Tidak ingin berurusan dengan gadis itu. Alren lantas keluar dari kelas.

Napas Rinzy memburu, ia sangat kaget melihat sikap Alren yang mendadak berubah seperti itu. Ia menyugar rambutnya frustrasi.

"Dia kenapa? Kenapa jadi mendadak berubah gini?" gumamnya.

Dhea yang terduduk di baris sebelah, lantas menghampiri temannya itu. "Zy, sabar, ya. Gue juga bingung si Alren bener-bener aneh dari tadi pagi. Mendingan lo kasi dia waktu sendiri dulu, sekiranya dia udah tenang baru lo ngomong lagi."

"Thanks, Dhe. Kayanya gue mesti ke toilet dulu," ujar Rinzy kemudian beranjak pergi seraya berlari kecil.

"Eh, Zy ini ketinggalan," panggil Dhea sembari mengambil selembar kertas yang terlipat itu.


***


"Ren, lo terlalu berlebihan," ucap Dewa. "Kita nggak bisa simpulin gitu aja. Bisa aja itu Abangnya sepupunya? Lo harus tanya biar lebih pasti."

"Iya, Bos. Bener kata Dewi, eh maksud Dewa," sahut Givon sembari membuang puntung rokok sembarangan. "Gue nggak tega, kasian Bu bos.

Ervin yang bereda di sebelah Givon mengangguk kecil, sibuk menghisap rokok di sela jarinya. "Betewe, Paduka beneran di jodohin sama anak temen nyokap tiri lo itu? Seriusan?"

Alren menghembuskan asap rokok itu, kemudian setelah menyisakan ujungnya. Ia buang sembarang puntung rokok itu. "Pelakor itu bener-bener bikin gue muak. Abis rebut semua, sekarang ia mulai ngontrol hidup gue. Gue nggak akan mau tunangan sama tuh cewe."

Rinzy yang berdiri di belakang mereka, hanya terdiam mendengar penuturan Alren. Seharusnya laki-laki senang, bisa dijodohkan dengan gadis sebaik dan selembut Inzy. Tatapan Rinzy bertemu dengan Dewa, ia mengisyaratkan untuk memintanya pergi sebentar bersama Givon dan Ervin. Dewa mengangguk mengerti, kemudian menarik Givon dan Ervin pergi.

"Lo pada mau ke mana?" tanya Alren.

"Gue sama dua orang ini, mau ke kantin dulu. Laper, yuk," jawab Dewa seraya melirik bergantian pada Givon dan Ervin.

"Ah, i-iya bos mending gue makan dulu, dari pada ngantri pas istirahat kedua, ya kan?" sahut Givon pura-pura tersenyum, lalu menyenggol lengan Ervin.

"Iya, kita ke kantin sebentar," tambah Ervin.

"Lo lanjutin, galau-galaunya," balas Dewa lalu menarik baju seragam Givon dan Ervin. Kemudian melesat pergi dari rooftop itu.

Alren sama sekali tidak sadar, jika kekasihnya sudah berdiri di belakangnya. Ia bersandar di pembantas rooftop melihat pemandangan deretan rumah dengan perbukitan di ujungnya.

Tepat saat akan mengambil sebatang rokok lagi, tiba-tiba Rinzy muncul dan langsung menahan tangannya.

"Ternyata kamu gampang langgar perjanjian, ya," ujar Rinzy.

"Apa bedanya sama kamu?" tanya Alren seraya menepis tangan Rinzy. "Kalo kamu nggak suka sama aku dari awal, buat apa kita pacaran?"

"Siapa bilang aku nggak suka kamu?"

Alren tersenyum miring, lalu mendecak kesal. "Kamu tau, sebesar apa rasa percaya aku sama kamu?"

"Aku nggak ngerti arah bicara kamu. Coba kamu ceritain, a-aku bener-bener nggak ngerti."

"Kemarin, kamu pergi ke rumah Dhea bener? Kenapa nggak mau aku antar? Kamu takut ketauan, kalo kamu selingkuh?"

"A-aku bener ke rumah Dhea. Kamu bisa tanya Dhea langsung."

"Rinzy!" bentak Alren membuat gadis itu tersentak, lalu menyugar rambutnya. "Kenapa kamu boong? Aku liat langsung semalem, kamu di kafe sama cowo sampe pelukan. Kamu masih mau boong?"

"I-itu .... aku nggak selingkuh, Recil. Percaya sama aku."

"Terus kamu mau bilang, kalo dia sepupu kamu? Kamu pikir aku tolol?!"

"Recil, aku punya alasan buat itu. Intinya aku udah nggak ada hubungan apapun sama dia. Aku nggak boong."

"Udah nggak ada hubungan? Jadi, selama ini ada hubungan sama dia? Berapa lama kamu selingkuh begini?!"

"Recil, a-aku punya alasan sendiri. Aku belum bisa cerita sama kamu. Plis, tunggu sebentar lagi, aku bakal jelasin semuanya."

"Aku nggak peduli," pungkas Alren lalu melangkah pergi. 

Rinzy terdiam membeku, bibir tertutup rapat untuk menoleh ke belakang ia tidak sanggup sama sekali. Benar, kata Alren benar secara tidak langsung ia sudah selingkuh darinya. Entah bagaimana Rinzy harus menjelaskan hal ini. Ia tidak tahu, jika Alren akan mengikutinya kemarin. 

Langit mulai menggelap, satu per satu butir air mulai terjatuh. Seakan langit tahu perasaan yang sedang dirasakan Rinzy sekarang. Tepat saat butir air semakin banyak, air mata gadis itu juga jatuh membasahi pipi. Ia merasa beruntung karena hujan, ia tidak terlihat menangis.

Hiks.

"Alren, maaf. Tapi, aku bakal ceritain semua. Aku nggak peduli sama uang itu."


***


"Gimana udah enakan sekarang, Zy?" tanya Dhea seraya meletakkan secangkir teh hangat di meja sebelah ranjang.

"Thanks, Dhe."

"Lo kenapa sampe ujan-ujanan gini? Kurang ajar banget, si Alren. Bisa-bisanya, dia nuduh selingkuh. Gila, emang," omel Dhea sembari meletakkan kotak obat di atas meja itu.

"Gue juga salah, gue beneran pacaran sama yang lain. Pas gue udah pacaran sama Alren," tutur Rinzy pelan.

"M-maksudnya? Lo selingkuh beneran, Zy?" tanya Dhea kembali terduduk di kursi sebelah ranjang itu.

"Lebih tepatnya, punya pacar dua."

"Plis, Zy jangan bercanda."

Rinzy menunduk sedikit."Nggak, Dhe. Gue serius."

Sontak Dhea menutup mulut dengan tangannya. "Astaga, Rinzy! Nggak mungkin. Gue tau, lo nggak bakal sejahat itu, kan? Zy, sumpah, gue nggak suka bercanda."

Rinzy tersenyum tipis, lalu menggeleng kecil. "Nggak, Dhe. Gue yang salah, seharusnya nggak gini."

Dhea menghela napas panjang. Ia benar-benar terkejut dengan ucapan temannya itu. Ia tahu, Rinzy sangat cantik. Tapi, bagaimana bisa ia memiliki dua pacar. Pasti akan ada salah satu yang disakiti. Sungguh ia bingung dengan situasi sekarang. Namun, Dhea percaya Rinzy pasti punya alasan.

"Gue nggak tau tujuan lo. Tapi, gue percaya lo punya alasan yang logis, kan? Walaupun kita baru satu bulan temanan, tapi gue tau lo bukan cewe aneh-aneh, kok." Dhea tersenyum tipis seraya menepuk pelan sebelah pundak.

"Dhea, gue minta maaf banget."

"Nggak apa-apa, Zy. Oh, betewe, tadi gue nemu ini," ucap Dhea seraya memberikan selembar kertas yang dilipat. "Kenapa nggak bilang, kalo lo secret guard, Alren?"

"Gue tau, pasti bakal ketauan juga."

"Gue tau dari Dewa. Pas mau balikin kertas, Dewa cegat gue dan dari situ gue tanya semuanya. Jadi, nama lo itu Risha bukan Rinzy? Eh, sori Kak Risha maksudnya."

"Nggak usah pake embel-embel kak, juga nggak apa-apa. Nama gue juga ada Rinzynya, tapi tulisan beda. Sebutannya tetep sama."

"Sejujurnya gue agak kesel dibohongi gini. Tapi, mau gimana, ini emang pekerjaan lo."

"Pekerjaan aneh, cukup pertama dan terakhir begini. Gue nggak akan mau lagi, lagian gue juga nggak dapet sepeserpun."

"Maksudnya Mamanya Alren nggak bayar sama sekali? Gila banget! Kok, lo nggak demo aja."

"Bukan, tapi semua uang ada di Tante gue dan dia nggak mau kasi. Dia yang besarin gue selama ini. Gue itu anak panti asuhan, Tante gue ngasuh karena dia nggak bisa punya anak dan suaminya selingkuh. Jadi, dia kaya Mama gue."

"Sori, Tante lo jahat banget. Bukannya kebutuhan kuliah juga banyak? Lo harus ambil duit itu, lo kerja selama ini kan nggak gampang."

"Nggak tau kenapa ...," tutur Rinzy terhenti sejenak. "Rasanya, gue nggak perlu minta. Mami Alren udah bayar semuanya sampe gue lulus. Gue cukup minta tolong, Tante gue buat makam Ibu gue."

"Rinzy, lo kuat banget. Lo bener-bener panutan gue." Dhea memeluk Rinzy. "Gue beruntung bisa kenal sama lo, Risha. Makasih banyak, ya."

"Makasih juga, Dhe." Dhea melepaskan pelukannya.

"Betewe, Zy. Dewa bilang Alren dijodohin, maksudnya dijodohin sama lo? Atau orang lain?"

"Gue cuma jaga dia aja. Biar nggak ada yang pacaran sama dia."

"Sori, Zy. Tapi lo lebih bego dari gue. Kenapa lo ngga bilang sama Mami itu, kalo lo cukup fokus jagain dia? Kalo gini lo sakit hati pun, tuh orang nggak peduli, Zy."

"Mendingan gue yang sakit hati daripada dia. Lagian nggak ada yang tau, kalo gue mendadak mati."

"Zy, jangan ngomong gitu, deh. Jadi, sisa waktu lo berapa lama sekolah di sini?"

"Hm, sekitar dua hari. Minggu depan gue udah masuk kuliah."

"Seriusan, Zy? Kok, cepet banget. Terus gue gimana nasibnya? Sedih banget."

"Yah, sori banget, Dhe. Nanti kalo waktu gue lagi kosong kita makan ayam bareng, deh."

"Janji, ya, Zy? Nanti ajakin ke Jakarta ke tempat bagus gitu, ya?"

"Boleh, banget. Gue traktir."

"Makasih, ya, Zy. Kalo lo butuh sesuatu bilang gue nanti gue bantu."

"Hm, ada satu."










Hai hai, hari ini aku up dua bab lagi (≧▽≦)

Terima kasih banyak udah baca cerita ini yaa (◍•ᴗ•◍)

Jangan lupa vote komen dan share cerita ini. (人 •͈ᴗ•͈)

Setelah vote komen dan share. Silakan next part berikutnya. (。•̀ᴗ-)✧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top