Part. 40

"Mana Dion?! Suruh dia keluar!" teriak Alren rahangnya mulai mengeras dan napas yang memburu. "Bangsat, keluar lo!" teriaknya kedua kali lebih kencang.

Sungguh ia sudah tidak bisa bersabar lagi. Laki-laki sialan itu sudah mengotori gadisnya. Rasanya Alren ingin menghilangkan nyawanya sekarang juga hingga laki-laki itu memohon padanya untuk hidup, ia sudah tidak peduli.  

Mendengar teriakan dari luar tempat kumpul anak Genk Riko itu, beberapa orang mulai menghampirinya dan mengurumi Alren yang hanya seorang diri. Dua laki-laki angkuh mendekatinya dengan menampakkan senyum miring. 

"Wih, ada bocah sok jagoan. Lo ngapain ke sini? Hah? Mau ngajak balapan?!" ucap Dion lalu menghisap rokok yang tersisa sedikit, setelah itu membuang asal. "Alrenzo ketua genk motor Alrzy, kan? Yang dikenal suka balapan liar dan tawuran. Kalo dari yang gue liat, lo itu cowo nggak benar ya. Ck, bergaya pacaran sama cewe gue, mimpi lo."

"Lo Dion?" Alren melangkah mendekati Dion yang sangat terlihat santai itu. "Cowo bangsat yang berani sentuh cewe gue. Keberanian dari mana lo? Sadar lo cuma mantan, anjing!" 

Dion mendecak kesal melihat wajah laki-laki yang sekarang adalah kekasih mantannya. Benar-benar sangat menyebalkan. Wajah bocah itu membuat Dion ingin memukuli bila perlu sampe tergeletak tidak berdaya di hadapannya. Sungguh menyenangkan.

"Seenggaknya gue udah 'pake,' gue cuma mantan tapi dia lebih sayang sama gue. Daripada sama lo, cuma boongan. Bocah, lo itu cuma dimanfaatin, banyak sabar aja. Nanti juga dia balik sama gue lagi, setelah semua selesai."

"Lo ngomong apa, sih, njing? Ngomong yang jelas!"

"Gue nggak peduli, lo mau percaya atau nggak."

Rahang Alren mulai mengeras, tatapannya tajam. Wajah laki-laki brengsek yang tega melecehkan kekasihnya, sungguh membuat Alren ingin menghantam wajah itu. Dion benar-benar membuatnya muak.

Bhak. 

Alren melayang bogeman keras, menghantam pipi laki-laki itu hingga tersungkur jatuh. Dion menyeka cairan merah di sudut bibirnya, kemudian ia kembali bangkit berdiri. Ia masih terlihat santai, bahkan setelah ditonjok seperti tadi. Ia tidak berniat melawan Alren, Dion ingin melihat kemampuan anak itu sampai mana. 

"Gue akui pukulan lo lumayan. Tapi, masih kerasan gue, ini terlalu lemah buat gue."

Alren yang masih tidak puas dengan pukulan itu mendekati Dion dan menarik kerah kemejanya.

"Manusia sampah kaya lo, nggak akan cocok sama cewe gue. Lo pikir, dengan apa yang lo lakuin, bisa buat gue pisah sama dia?!" bentak Alren.

Bhak.

"Lo pasti masih marah karna cewe kotor itu, kan? Duh, sori cewe lo nggak bisa diem. Jadi, gue 'coba' dikit," balas Dion dengan senyumam menjijikan itu.

"Lo bilang apa?! Coba dikit! Bangsat!"

"Sori, tapi gue duluan. Lo mau tau, rasanya—"

Bhak.

Ketiga kalinya Alren mendaratkan bogeman kuat. Baru saja akan menonjok laki-laki itu kembali. Tiba-tiba ia jatuh ke depan. Riko memukulnya dengan balok kayu tepat di punggungnya.

"Lo masuk kandang singa sendiri? Berani mati juga," ucap Riko lalu menginjak punggung Alren. "Cewe lo itu nggak bener. Mendingan cari yang lain."

Baru saja Alren berusaha bangun. Ia kembali mendapat pukulan dengan balok kayu dari Dion.

Bhak.

"Gue rasa ini pilihan Risha. Dia lebih milih gue dari pada lo," lontar Dion menginjak kepala Alren. "Tunggu aja, bentar lagi lo juga bakal diputusin sama dia."

"Risha?" batin Alren.

"Lo itu di begoin," sahut Riko. "Dia itu punya pacar lain, dari dulu pas SMA. Dia emang dikenal cewe nggak bener."

"Bacot, lo anjing!" balas Alren.

"Ck, banyak rahasia yang lo nggak tau. Karna anak kaya lo itu gampang dibegoin. Banyak sahabat yang tusuk dari belakang.  Lo tau bocah, semua orang akan melakukan apapun demi uang," lontar Dion. 

"Alren, jangan dengerin!" teriak seseorang laki-laki yang baru saja datang bersama segerombolan laki-laki seumuran mereka. "Lo dihasut sama mereka."

"Kayanya malam ini, bakal ada pesta berdarah," gumam Dion. 


***


"Maaf banget, Marry. Aku sampe telat begini, nunggu Risha dandan lama," ucap Martha kemudian terduduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan Marry—Mami Alren.

"Aduh, padahal Risha udah cantik banget," puji Marry tersenyum lebar. "Jadi, gimana persiapan kembali kuliah, sayang?" beralih pada Rinzy.

"Kak Risha, udah kuliah, ya? Wah, keren banget. Kuliah jurusan apa, Kak?" sahut Inzy bersemangat.

"Iya, bulan depan semester lima. Aku di Universitas Tri, jurusan D3 Akuntansi," jawab Rinzy tersenyum tipis.

"Waktu itu aku sempet tanya sama Kak Alren. Kayanya dia mau kuliah di sana juga. Hm, kayanya aku bakal ikut juga," ujar Inzy.

Rinzy tersenyum kecut. Ia merasa seperti orang bodoh. Bahkan ia tidak memikirkan perasaan Alren sejak awal. Sungguh ini sangat berat baginya. 

"Boleh cerita tentang Kak Alren? Kayanya aku mulai suka. Kakak kan udah hampir sebulan tinggal bareng. Mungkin keseharian gitu? Bebas, deh. Yang penting tentang Kak Alren," tanya Inzy.

Gadis muda ini terlalu baik untuk dibenci. Bahkan rasa tidak suka dalam hatinya sangat tidak pantas.

"Mungkin lain kali, aku bakal ceritain, ya," jawab Rinzy. 

"Oke, Kak Risha."

Martha mendehem tiba-tiba membuat Marry lantas menoleh padanya. "Hm, Marry. Aku lupa bilang, kalo Minggu kemarin Nenek Risha meninggal. Karena di kampung banyak Adikku yang masih kerja tidak jelas. Aku mau minta izin honor Risha—"

"Aku akan kirim lebih, turut berduka cita buat Neneknya. Semoga dia ditempatkan di sisi Tuhan ya."

"Terima kasi banyak, Marry. Kamu baik banget," ujar Martha pura-pura terharu. "Oh, iya mungkin untuk uangnya bisa langsung di transfer ke aku."

"Tunggu sebentar," balas Marry seraya meraih ponselnya kemudian ia langsung mengirimi uang. "Sudah saya transfer, sepuluh juta. Bisa di cek dulu."

"Sudah masuk, kok. Terima kasih banyak, Marry. Aku juga makasih karna udah bayar uang semester Rinzy sampe akhir. Aku bingung mau ngomong apa lagi."

Rinzy melirik sekilas pada Martha. Wanita paruh baya itu ternyata sangat licik. Dia sengaja mengatakan hal itu seakan dia bekerja. Bodohnya lagi-lagi Rinzy hanya bisa terdiam. Tidak mungkin juga dia membentak Martha di sini.

Sungguh, Martha memang hanya menginginkan uang. Bahkan dia mengabaikannya keadaan Rinzy sekarang. Tubuhnya masih sangat sakit karena kejadian kemarin. Ia sampai harus pakai hoddie dan memakai foundation cukup banyak untuk lebam di wajahnya.

"Risha, Mami bener-bener berhutang banyak sama kamu. Karna kerja keras kamu, Alren sudah lebih baik. Jadi, gimana persiapan kuliah kamu?" ucap Marry tersenyum manis. "Apa ada yang perlu Mami beliin? Mungkin buku atau beberapa baju buat kamu."

Rinzy menggeleng kecil. "Makasih banyak Mami. Persiapan kuliah Minggu depan, mungkin hari Minggu ini aku harus beberes buat balik ke Jakarta."

"Ya, ampun. Cepet ya, ternyata Minggu depan. Soal sekolah dan lain-lain, kamu nggak perlu khawatir, biar Mami yang urus, ya sayang. Jadi, Sabtu atau Minggu, kamu bisa langsung ke Jakarta, ya."

"Hm, Mami ini soal Alren—"

"Mami percaya kamu bisa selesaiin dengan baik, kan? Nggak susah, kok, sayang. Kamu cukup putusin dia," potong Marry.

Seketika Rinzy menutup rapat mulutnya. Entahlah, ini rasanya sangat berat. Bagaimana bisa Mami mengatakan tidak susah. Sedangkan, sekarang ia benar-benar sudah menyayangi Alren.

"Baik, Mami," balas Rinzy tersenyum tipis. "Gue bakal coba."

Pertemuan makan siang ini, sungguh membuat Rinzy tidak tahan dan ingin cepat mengakhiri ini. Setelah selesai Mami Alren bersama Inzy calon tunangan Alren beranjak pergi.

Martha dan Rinzy mengantarkan hingga depan Mall itu. Ternyata tersenyum untuk menutupi kesakitan sangat membuatnya tersiksa. Belum lagi sama Inzy yang terus membicarakan Alren selama makan siang tadi.

Rinzy dan Martha pulang dengan taksi. Selama berada di dalam taksi gadis itu memcoba membicarakan soal uang yang didapatkan itu.

"Uang kamu bakal Tante transfer," ucap Martha tiba-tiba seraya menoleh pada ponakannya itu.

"Semuanya," balas Rinzy.

"Uang segitu banyak buat apa, hah? Lebih baik, buat Tante. Kamu masih muda, bisa cari uang lagi. Kalo bisa kerjaanya yang gampang, tapi gajinya gede."

"Kalo gitu kenapa Tante nggak balik kerja lagi aja?"

"Terus gunanya Tante besarin kamu itu buat apa? Kalo bukan kerja buat Tante."

"Tapi, Tante makam Ibu—"

"Makam aja terus yang kamu pikirin. Ngapain dipikirin, Ibu kamu itu udah seneng di sana. Kenapa kamu repot banget, sih?"











Kesel ngga sih sama Tantenya Rinzy? 🥲

Oh, iya. Malam ini aku update dua kali lho. Ceritanya udah detik-detik terakhir nih, kok agak sedih gitu ya ಥ_ಥ

Btw, aku ada cerita baru. Silakan kalian mampir  (。•̀ᴗ-)✧

Terima kasih udah baca, jangan lupa vote, komen dan share cerita ini ya. (人 •͈ᴗ•͈)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top