Part. 35

Plak.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Gadis itu meringis kesakitan. Ia menahan rasa nyeri di sana. Hingga meninggalkan bekas merah yang cukup perih.

"Kamu anggap Tante apa?! Tante yang udah besarin kamu sampe sekarang. Tante cuma minta uang itu, kamu nggak kasi!" hardik Martha begitu murka dengan Rinzy yang terus menghindari percakapan soal uang itu.

Sungguh ia sangat membenci kekerasan seperti ini. Setelah beberapa tahun lalu ia mendapat tamparan ini karena tidak memenangkan perlombaan jurusan. Sekarang ia mendapat seperti ini hanya karena uang hasil kerja kerasnya selama ini.

Rinzy berusaha menahan amarahnya. "Sampai aku mati pun, uang itu nggak akan aku kasi."

Perkataan itu semakin membuat Martha murka. Anak kakaknya itu benar menyusahkan dirinya.

"Dasar anak durhaka! Kamu pikir uang itu buat siapa? Itu buat nenek kamu yang sekarat. Dia yang lahirkan Ibu kamu yang udah mati itu!" balasnya seraya mendorong kepala Rinzy dengan ujung jarinya.

Terdengar decakan kecil dari mulut Rinzy. Ia melirik sekilas, kemudian menahan dan menepis tangan wanita paruh baya itu dari kepalanya.

"Nenek udah mati, kan? Tante jangan bohong sama aku. Tante pikir, aku nggak tau!" ujarnya dengan nada tinggi.

Seketika Martha terdiam. Ia mengerjap, mendadak terkejut dengan lontaran kata-kata Rinzy itu. Yang sebelumnya wanita itu berdiri, kemudian ia langsung terduduk di sofa panjang itu.

"Kamu tau dari mana?" sahut Martha.

"Kenapa Tante masih ke sini? Apa aku punya utang sama Tante? Kenapa cuma karena uang dari Mami Alren itu. Tante sampe nampar aku gini?!" teriak Rinzy tanpa disadari air matanya mulai terjatuh.

Martha tersenyum miring, kemudian terduduk dengan sebelah kakinya memangku kaki lainnya. Sorot matanya beralih pada gadis muda yang berdiri di depannya.

"Ingat, kamu itu Tante yang besarin dari SMP. Kamu itu nyusahin Tante. Cuma uang segitu aja, kamu nggak kasi saya. Kamu ini anak yang tidak tau belas kasih."

"Udah berapa kali aku bilang Tante. Uang itu mau aku pakai buat Ibu. Uang semester juga aku nunggak."

"Ibu kamu udah mati. Mau ngurus apa lagi, Risha? Kamu ini bodoh atau gimana?" balas Martha santai. "Lagipula Tante tau, kalo uang semester sampai wisuda dibayarin, sama Mami Alren itu kan? Apa lagi yang kamu tutupi, Risha?"

"Aku nggak akan kasi uang itu. Nggak akan."

"Oke, kalo gitu. Jangan salahin Tante, kalo nanti pacar SMA kamu itu tau siapa kamu sebenarnya. Lumayan juga, Tante minta uang ke dia."

Rinzy menelan saliva dengan sorot mata mengikuti gerak gerik Martha yang sekarang sudah bangkit berdiri.

"Kalo sampe minggu depan kamu belum transfer ke rekening Tante. Kamu tau kan, apa akibatnya?" ancam Martha langsung melenggang pergi begitu saja.

Tubuh Rinzy terasa lemas, hingga akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya dan jongkok. Ia menyugar rambutnya frustasi. Masalah dengan mantannya belum selesai, sekarang Tantenya-Martha muncul. Sungguh rasanya ingin menghilang.

Tiba-tiba terdengar dering ponselnya yang terletak di atas meja tamu itu. Pelan-pelan gadis itu meraih ponsel. Tertera nama sang mantan di sana. Kemudian ia bangkit berdiri.

"Halo, by."

"Jangan pernah lo hubungi gue."

"By, kamu masih marah ya, karna waktu itu? Masih sakit ya, tangan kamu. Maaf, ya by."

"Ck, lo itu cowo gila, Dion! Gue udah bilang, kita udah putus dari dua tahun lalu."

"Kamu inget awal kita pacaran? Cuma aku yang berhak mutusin kamu, by. Jadi, kamu masih pacar aku. Kamu nggak tau, betapa sakit hati aku. Selama dua tahun nunggu kamu putus. Tapi, ternyata kamu punya pacar dua. Hah, ternyata kamu nggak ada bedanya sama aku."

"Lo nggak tau apa-apa. Lo nggak berhak ikut campur kehidupan gue!"

"Cukup, aku nunggu selama ini. Aku mau kita balikan."

"Gue nggak mau Dion."

"Temuin aku di kafe waktu itu kita ketemu. Kalo nggak cowo kamu, bocah itu. Akan hilang."

"Dion lo jangan gila."

"Aku gila, karna kamu sayang."

Laki-laki itu langsung menutup panggilan telepon sepihak. Sungguh ia tidak ingin bertemu dengan mantannya itu. Tapi, ia takut jika laki-laki melakukan sesuatu pada Alren. Terpaksa ia harus mengikuti perkataan Dion.

***

"Sweetie, aku pulang. Aku bawa kue, nih," panggil Alren seraya membuka pintu utama. Kemudian membuka helm.

Merasa tidak ada orang ia langsung menuju kamar kekasihnya itu. "Sayang."

Terlihat sisa gelas berisi teh juga nampan di sana. Pasti seseorang baru saja bertamu atau mungkin ia pergi bersama orang itu. Tapi dengan siapa semalam ini.

Buru-buru laki-laki merogoh ponsel dan menelpon Rinzy. Namun tidak ada jawaban dari kekasihnya itu. Setelah hampir sepuluh kali panggilan, sekarang ponselnya tidak aktif. Ia lantas menelpon Dewa, Givon, Ervin dan anak geng Alrzy. Untuk mencari keberadaan Rinzy.

Cepat-cepat Alren meletakkan paper bag berisi cup cake itu. Kembali memakai helm dan langsung beranjak pergi dengan motor. Entah, kenapa perasaan Alren sangat tidak enak. Laki-laki itu mengendarai motornya begitu cepat, ditambah dengan rintik-rintik hujan yang mulai membasahi jalanan.

Setelah mencari ke beberapa tempat dan kafe. Alren menepikan motornya, ia mendapatkan panggilan telepon dari salah seorang geng Alrzy. Ia mengatakan ada kecelakaan di jalan besar menuju salah satu Mall terbesar di sini. Kemudian orang itu mengirim foto.

Sungguh Alren sangat terkejut dengan foto yang dikirim itu. Tubuhnya mendadak tegang, tangannya melemas hingga membuat ponselnya hampir terjatuh. Detak jantungnya berdetak begitu cepat. Ini sangat tidak mungkin.

Tidak percaya dengan foto itu. Alren langsung melesat pergi menuju tempat yang di foto itu. Ia harus memastikan siapa korban kecelakaan itu.

Setelah beberapa saat, Alren pun sampai kemudian menepikan motornya dan membuka helm. Di sana sudah ada Dewa dan dua temannya yang juga baru datang. Laki-laki semakin pucat dari jauh ia melihat seorang terbaring dengan tubuh yang bersimbah darah.

Perlahan Alren mendekati gadis yang sudah terbaring tidak bernyawa itu. Tepat saat salah seorang membuka koran yang menutup jasad itu. Terlihat wajah gadis itu sudah hancur dengan darah yang yang mengalir. Bajunya pun berubah warna merah kehitaman.

Seketika napasnya terasa sesak, kala melihat jaket dan motor yang kendarai gadis ini sangat mirip dengan kekasihnya. Ini sungguh tidak mungkin. Alren menyugar rambutnya, sembari mencoba menelpon Rinzy. Tanpa disadari netranya berkaca-kaca.

"Sweetie, ini nggak mungkin kamu, kan? Nggak, kamu nggak mungkin ninggalin aku begitu aja," batinnya.










Lagi rajin nih, diriku wkwkwk. Niatnya aku mau selesai sebelum akhirnya bulan ini. Jadi, pantengin terus cerita ini yaaa.

Jangan lupa vote, komen dan share cerita ini ya. (。•̀ᴗ-)✧

Terima kasih banyak ya. (人 •͈ᴗ•͈)

Nantikan part berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top