Part. 3

Gadis itu benar-benar tidak menyangka bisa kembali ke sekolah menengah atas lagi. Setelah hampir dua tahun lalu lulus, walaupun pekerjaan terbilang mudah. Tapi, banyak yang dikorbankan termasuk kesehatan. Baru hari pertama saja, ia harus begadang menunggu telpon yang bisa saja muncul.

Bisa-bisanya ada anak senakal laki-laki itu. Rasanya ia ingin menceramahi dan memukuli otaknya dengan pulpen.

Seraya mengunyah roti keju yang dibelinya di kantin. Rinzy berdiri di ujung lantai dua sembari memandangi langit dan angin sepoi-sepoi.

"Bocil, buat gue sakit kepala," gumamnya sebelum menggigit habis rotinya.

"Ini buat lo," ujar seorang gadis yang lebih pendek darinya mengulurkan sebotol teh manis. Kemudian berdiri di sebelahnya.

Rinzy menoleh seraya tersenyum tipis. "Thanks."

Gadis itu mengangguk kecil. "Soal tadi, maaf gue nggak bisa bantu."

Rinzy menggeleng kecil seraya meneguk teh dingin itu. "Nggak masalah, emang tuh orang aja yang nggak jelas. Lo Dhea bener?"

"Iya bener, tapi tau dari mana?"

Rinzy sedikit terkejut dengan pertanyaan Dhea. Mulutnya itu terkadang sering kelepasan. Bisa-bisa ia ketahuan.

"Dari buku pas dikumpulin tadi."

Gadis itu mengangguk kecil. "Tadi yang kejadian di kantin. Maaf, gue nggak bisa bantu."

"Santai, nggak apa-apa, kok."

"Di kantin kita mesti jaga jarak satu meja dari geng Alrzy. Dari sisi kiri, kanan, depan sama belakang."

Rinzy ternganga setengah. Wah, apakah ini rasanya di dalam drama atau novel. Laki-laki itu memang sudah kelewatan.

"Jadi, kalo yang telat nggak dapet meja di kantin. Kalo nggak makan di kelas, ke roof top atau ke lantai empat di lapangan indoor," sambungnya.

"Nggak ada yang mau ngomong ke kepsek atau apa gitu?"

"Dia itu cucu yang punya yayasan. Bahkan kepsek aja nunduk sama dia, kalo Alren yang ngomong langsung dituruti."

"Wow, luar biasa bocil itu. Selama tiga tahun, dia seenaknya begini? Gila, udah gila tuh orang."

Dhea mengangguk kecil. "Iya, kalo kita mau aman, lebih baik nggak usah diurusin, Zy."

"Ini saatnya keluar dari zona aman, Dhe."

"Bukannya zona nyaman?"

"Kan ini ceritanya beda. Orang-orang kaya gitu, kalo didiemin makin menjadi."

"Emang lo mau ngapain? Gue agak takut."

"Gue cuma jalani sesuatu yang udah jadi jalan gue."

Dhea mengernyit heran. "Gue nggak paham."

Rinzy terkekeh. "Nggak usah dipahami. Gue boleh tanya-tanya nggak?"

"Soal apa?"

"Kegiatan Alren di sekolah selain kelas sama makan di kantin apa aja?"

"Hm, setau gue biasanya dia suka nongkrong di warung samping sekolah deket pintu samping sekolah. Atau enggak, ke ruangan khusus geng Alrzy di lantai empat pojok. Dia sering balapan hampir tiap malam kadang juga tawuran," ujarnya panjang.

"Lo bisa antar gue ke ruangan mereka nggak?" tanya Rinzy.

"Jangan ke sana. Bahaya," lanjut Dhea.

"Gue cuma mau tau aja."

***

Sekarang gadis itu tengah terduduk di anak tangga menuju lantai empat. Seharusnya sekarang ia mengikuti kelas mata pelajaran kewirausahaan. Melihat laki-laki keluar dari kelas begitu saja, ia pun mengikutinya. Ternyata laki-laki menuju lantai empat.

"Oke, udah gue catat." Rinzy meletakan kembali pulpen di saku roknya.

Terdengar derap langkah kaki seseorang. Gadis itu mengintip Alren tengah menuju atas. Buru-buru Rinzy naik tangga menuju lantai empat. Lalu bersembunyi di ruang kosong tertulis koperasi sekolah.

Laki-laki menaiki anak tangga seraya memasukkan tangannya ke saku celana.

Dari balik kaca Rinzy melirik kanan dan kiri memastikan agar laki-laki itu sudah pergi. Gadis itu pun memutuskan keluar ruangan itu.

"Astaga, dia lewat aja hawanya mendadak serem gitu."

Perlahan ia mengintip dari balik tembok. Laki-laki itu menunju ruangan pojok, Rinzy menduga itu pasti ruang Alrzy.

"Gue jadi kepo itu ruangan apa? Apa ada makanan? Atau tempat tidur gitu?" gumamnya seraya melipat kedua tangannya depan dada.

Dengan langkah kecil Rinzy mengikuti langkah lebar Alren.

Mendadak laki-laki itu menghentikan langkahnya.

"Astaga, mati gue." Gadis itu lantas membuka salah satu pintu di situ dan memasukinya.

Ia membekap mulutnya. Setelah di rasa aman, Rinzy membuka perlahan knop pintu. Gadis itu keluar, lalu menutup kembali pintu. Ia menoleh ke arah kanan mencari keberadaan Alren.

"Eh, tuh orang cepet banget?"

"Ngapain ngikutin gue?" tanya Alren yang tiba-tiba sudah berada di sebelahnya.

"Astaga!"

Alren menarik tangan Rinzy membelakangi tembok dan mengunci pergerakan gadis itu dengan dua tangannya.

"Kata siapa suruh pergi? Gue tanya ngapain ke sini?" tanya Alren menatap kedua matanya.

Buru-buru Rinzy menyelipkan selembar kertas tadi ke belakang roknya.

"Apa yang lo sembunyiin? Sini!" Alren menurunkan tangannya.

"Gue nggak sembunyiin apa-apa," ujar Rinzy seraya memeriksa saku baju dan roknya.

"Lo kalo mau boong liat orang. Nggak percaya gue, sini."

Buru-buru Rinzy menyilang tangan di depan dadanya. "Mau mati lo!"

"Kepedean, lo pikir gue mau ngapa-ngapain lo? Kecil begitu," pungkas Alren lantas pergi seraya tersenyum puas.

Rinzy mengerjap. Ia benar-benar tidak percaya dengan perkataan Alren. Pertama kalinya ada yang mengatakannya kecil. Astaga begini saja sudah cukup besar untuknya. Sialan sekali bocah itu. Semakin membuatnya kesal.

"Dia bilang kecil? Wah, sialan. Segini, tuh gede. Bodo amatlah," tutur Rinzy seraya menatap punggung Alren yang semakin menjauh.

Bukan Rinzy namanya kalau mudah menyerah. Setelah dilihatnya, Alren memasuki ruangan paling pojok itu. Cepat-cepat ia berlari kecil seraya mengeluarkan selembar kertas dan pulpen.

Saat berada di depan pintu, perlahan Rinzy mengintip Alren. Namun pemandangan di dalam sana membuatnya sangat terkejut.

Gadis itu membekap mulutnya dengan telapak tangannya.

"Astaga, bocil! Dia kiss depan gue yang jomblo akut ini?"

Terlihat dua orang di dalam sana sangat menikmati permainan mulut mereka.

Buru-buru Rinzy memotret dan menulis pada kertasnya. "Luar biasa sekali anak SMA sekarang." Setelah selesai ia lantas melesat pergi.

***

Rinzy memasuki rumah dengan langkah malas. Hari ini sudah cukup membuatnya lelah. Bagaimana satu bulan ke depan bisa-bisanya ia kurus karena jarang makan. Gadis itu hanya mengikuti ke mana Alren pergi kecuali ke toilet.

Ia merebahkan tubuhnya di sofa seraya mengatur napas.

"Ponakan Tante yang cantik ini, gimana rasanya balik ke SMK? Eh, SMA maksudnya," ujar Martha seraya membawa segelas air.

"Aduh, aku capek mikirin anak itu. Banyak hal yang buat aku syok." Rinzy terduduk dan meneguk habis segelas air.

"Kenapa anak itu?"

"Wah, aku sampe terkejut pokoknya, Tan. Anak jaman sekarang tuh beda banget."

"Ya, jelas beda."

"Aku mau mati aja." Rinzy kembali merebahkan tubuhnya. "Udah, aku segala ikut belajar, matematika lagi. Astaga, aku anti belajar itu."

Martha terkekeh kecil. "Tahan aja, toh cuma sebentar kamu di sana."

Ponsel Rinzy bergetar di atas meja.

"Dari mamanya Endra," ujar Martha memberikan ponsel pada ponakannya.

"Sore Mami, iya ada apa Mi?"

"Gimana hari ini?"

Rinzy kembali terduduk. "Lancar, Mi. Catatannya nanti aku kirim."

"Bagus kalo gitu, seragam yang Mami kirim pas atau kebesaran?"

"Pas Mi, makasih banyak. Maaf aku ngerepotin terus."

"Nggak apa-apa. Oh iya mulai besok Mami berikan uang saku, jadi kamu nggak perlu naik angkot. Kamu bisa naik ojol atau mau dibeliin motor aja ya?"

"Jangan Mi, nggak apa-apa. Jalan juga sehat kok, agak pegel dikit, sih."

"Udah kamu naik ojol aja, ya."

"Makasih banyak, Mi."

"Kamu itu udah saya anggap kaya anak sendiri. Kalo kamu butuh sesuatu langsung hubungi Mami."

"Aku bingung mau bilang apa lagi. Makasih lagi Mi."

"Mami tutup ya."

"Iya, mi."

Setelah selesai Rinzy meletakan kembali ponselnya di atas meja.

"Tuh, kamu mesti jadi orang baik juga kaya mamanya Endra."

"Endra? Kalo dipikir-pikir kaya mirip nama anak tetangga aku dulu pas masih tinggal di Priok."

"Oh, anak nakal itu?"

"Iya bener, mungkin namanya aja kali yang sama."

"Hape jangan sampe mati. Nanti malam Tante shift malam, jangan lupa gembok pintu."

"Siap Tante."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top