Part. 29

“Zy, gue ke kelas duluan ya?” ujar Dhea seraya mencuci tangan sembari bercermin. “Kayanya gue selesai ngerjain PR ekonomi, deh. Gue liat punya lo ya, Zy. Gue samain.”

Rinzy yang tengah mengirimkan chat pada kekasihnya—Raka. Entah, lelaki itu tidak bisa dihubungi beberapa hari terakhir ini. Padahal biasanya Raka akan mengirimkan chat tiap hari dan jika ia tidak sibuk. Laki-laki itu akan menelpon atau video call. Mungkin saja, ia sibuk di kafe milik pamannya itu.

“Oh, iya, Dhe. Duluan aja, buku gue ada di laci,” sahut Rinzy dari balik pintu salah satu bilik toilet itu. “Kalo Alren tanyain gue, bilang gue sakit perut.”

Dhea mengerutkan keningnya bingung. “Lo sakit perut kenapa, Zy? Gara-gara temenin gue makan mie ayam tadi, ya? Sori, ya, Zy.”

Rinzy sedikit terkekeh. “Nggak, kok. Udah lo duluan aja, Dhe.”

“Oke, kalo lo butuh sesuatu chat aja, Zy. Nanti gue telpon Alren,” sahut Dhea setelah itu beranjak pergi dari sana.

Rinzy terduduk di atas closet duduk itu. Ia terus menatap layar ponselnya berharap Raka membalas pesannya. Entah, perasaan tidak enak. Ia masih  terkejut saat melihat salah satu story Instagram teman kampusnya. Di sana terlihat Raka tengah asik mengobrol dengan salah satu adik tingkatnya.

Tidak mungkin Raka selingkuh, sifat laki-laki itu memang sangat ramah dengan siapapun sama seperti dirinya. Hanya saja Rinzy sedikit menjaga jarak dengan laki-laki, berbeda dengan Raka.

“Nggak mungkin cowo gue gitu. Oke, tenang, Sha. Nggak boleh nethink, namanya juga KABEM pasti kenal sama siapa aja,” tutur Rinzy menenangkan pikirannya.

Gadis itu memutuskan untuk keluar dari toilet itu. Ia meletakkan ponselnya di atas wastafel, sembari membasuh muka. Rinzy mengambil beberapa lembar tisu untuk menyeka air di wajahnya. Berharap pikiran negatifnya itu pergi.

Tepat saat selesai mengeringkan wajahnya. Sontak ia terkejut melihat seorang laki-laki yang berdiri di daun pintu toilet perempuan.

“Astaga, Dew. Lo ngapain di situ? Tunggu di luar, kan bisa?” ujar Rinzy kemudian merendahkan tubuhnya merapikan ikatan sepatunya. “Kenapa, Dew? Mau ngomong sesuatu?”

Laki-laki itu menghampiri Rinzy. “Tadi kata Dhea lo sakit? Sakit apa? Perlu gue panggilin Alren?”

Rinzy tersenyum tipis seraya menengadah. “Nggak apa-apa, kok. Santai aja, kayanya mau datang bulan aja.” Kemudian gadis itu kembali berdiri. “Ngomong itu aja, Dew?”

Tiba-tiba ponsel Rinzy bergetar, terlihat panggilan telepon dari seseorang  tertulis My Ka dan emoticon love. Dewa yang melihat itu, sontak membuat gadis itu langsung mengambil ponselnya dan menggenggamnya kuat.

“Udah nggak ngomong apa-apa, kan? Lo duluan aja.”

“Kayanya dari orang penting. Nggak diangkat?"

Rinzy mengerjab kikuk. Ia langsung menyembunyikan ponsel di dalam saku rok. “Dari Bibi gue.”

Laki-laki itu menyimpitkan matanya, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan. “Hm, gue duluan. Cowo lo ada di lantai empat.”

Dengan cepat Rinzy mengangguk. “Oh, oke. Thanks, Dew.”

Setelah merasa Dewa sudah benar-benar pergi. Gadis itu langsung menerima panggilan telepon itu.

“Halo, Ka. Sori, aku agak lama angkatnya.”

“Nggak apa-apa, sayang.”

“Aku kangen banget, Ka.”

***

Nessa menunduk, tetesan air mata terus saja terjatuh. Ia menatap Alren dengan mata yang berkaca-kaca. “Berkali-kali aku coba bilang sama Papa. Tapi, Papa tetap nggak mau, Ren. Aku mesti apa lagi? Aku benci dia, Ren.”

Gadis itu menjambak rambutnya sendiri. Temannya itu benar-benar terlihat sangat putus asa. Sifat ayah Nessa memang sangat keras. Apapun keputusan yang dibuat harus terlaksana. Bahkan harus menyakiti hati Nessa.

“Lo tenang, Nes. Pasti ada cara supaya nggak dijodohin sama anak bangsat itu,” balas Alren kemudian meraih botol mineral tersisa setengah di atas meja depannya itu. “Lo bisa ceritain kejadian enam bulan lalu itu. Gue yakin, Papa lo pasti—“

Nessa tersenyum ketir, tiba-tiba ia kembali membayangkan kejadian beberapa hari lalu itu. Saat itu ia mulai memberanikan untuk menceritakan kejadian yang hampir merenggut mahkotanya itu. Perlahan dia jelaskan pada Ayahnya dengan detail, hingga tidak sanggup menahan bulir air mata.

Namun, apa yang didapatkan. Nessa malah dimarahi habis-habisan. Ayahnya bilang, kalau ia berbohong dan perkataannya sangat berbeda dengan apa yang dikatakan Riko. Laki-laki brengsek itu, bilang pada Ayah Nessa jika ialah yang menyelamatkan dirinya.

Sungguh rasanya Nessa ingin menampar mulut laki-laki. Ia benar-benar bisa mati, jika harus hidup bersama Riko, laki-laki itu sangat toxic. Nessa sangat benci saat mantan kekasihnya itu main tangan padanya.

“Ren, Papa aku sekarang lebih percaya sama Riko, daripada sama anak sendiri. Aku tau, Ren aku bukan anak kandung. Tapi, apa aku segampang itu dijual begini? Ren, aku nggak sanggup.”

Alren memegang kedua pundak Nessa dengan perlahan, kemudian turun ke lengannya. “Pasti ada cara. Tenang, gue sama yang lain pasti bantu lo.”

Nessa mengangkat sedikit wajahnya dan langsung memeluk tubuh Alren dengan sangat erat. Alren yang terkejut hanya bisa diam, setelah beberapa saat ia menepuk pelan punggung gadis itu.

“Ren, tolong bantu aku. Aku harus gimana sekarang? Aku nggak mau dijodohin sama dia.” Nessa melonggarkan sedikit pelukannya. “Ren, kamu sahabat aku kan. Plis, bantu aku, ya.” 

“Iya, gue bantu, Nes.” Kemudian Alren memundurkan tubuhnya. Ia tidak enak berpelukan lama dengan gadis lain selain Rinzy.

“Ada satu cara paling gampang biar gue batal dijodohin sama Riko. Kamu gantiin posisi dia.”

“Maksud lo gue yang nikah sama lo?”

Mendadak seorang gadis berkuncir tengah berdiri di ambang pintu seraya melipat kedua tangannya. “Dia udah ada calonnya. Ngapain lo ngajak nikah? Gampang banget mulut lo.”

Alren yang terkejut lantas bangkit berdiri dan menghampiri kekasihnya itu. “Bukan apa-apa, sayang.”

Nessa yang masih terduduk di sana, tiba-tiba terkekeh kecil. “Kamu pasti nggak mau bantu aku, karna pacar kamu ini, Ren? Oke, nggak apa-apa. Aku pergi dulu.” Gadis itu langsung bangkit berdiri dan pergi ke luar. Sengaja ia menabrak sebelah pundak Rinzy.

Rinzy mendecak kecil. “Tuh, cewe kenapa, sih? Gila!”

Tepat saat ia menoleh, tiba-tiba Alren langsung mengecup sebelah pipinya dengan lembut. Benda kenyal itu benar-benar membuat gadis itu melotot seketika. Perlahan ia menoleh pada laki-laki itu.

“K-kamu ngapain? Kenapa sampe cium-cium segala? Nggak izin dulu lagi,” omel Rinzy menahan salah tingkah. “Kenapa kamu begitu? Aku masih punya malu, ya.”

Alren terkekeh geli, ia mengusap lembut rambut Rinzy ke arah belakang agar rambutnya tidak berantakan.

“Satu kali ngomong kasar, dapet hukuman, kan? Kamu nggak inget perjanjian kita di kafe?”

Sesaat Rinzy terdiam mencoba mengingat tiap kata yang tertulis dalam dua lembar kertas perjanjian mereka. Benar, padahal jelas-jelas ia menulis bagian itu. Tapi kenapa hukumannya harus di kecup begini? Ini sangat berbahaya bagi keseimbangan perasaannya pada bocah ini.

“Iya, aku inget ada bagian itu. Tapi, hukumannya nggak harus cium juga. Aku nggak suka, kamu tiba-tiba begitu, aku deg degan.”

“Bukannya bebas hukumannya apa? Aku mau hukumannya gitu aja.” Alren mendekati sebelah telinga Rinzy, lalu berbisik. “Kalo bisa sering-sering ngomong begitu, biar dapet hukuman dari aku terus, sayang.” Ia langsung melangkah menuju sofa dan terduduk di sana.

Rinzy yang menahan napas karena terlalu dekat dengan Alren. Kembali menghembus napas seperti biasa. Sungguh ia salah tingkah sekarang, padahal niatnya ia ingin marah. Kenapa jadi seperti ini. Dasar bocah.

“Recil, aku lagi marah.”

“Sini, duduk dulu baru marah,” sahut Alren menepuk sebelahnya. “Sini, sayang.”






Hayiii ...
Balik lagi dicerita Alren ini. Makasii banyak ya udah baca. (つ≧▽≦)つ

Nantikan part berikutnya. (人 •͈ᴗ•͈)


Rinzy vs Nessa



(◍•ᴗ•◍)
Ria sheria
12/12/21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top