Part. 27
“Jadi, sampe kapan lo boongin dia? Gue tau Sha, sebenarnya gue ngga berhak ngomong kaya gini. Tapi, lo mikir perasaan dia nggak?” lontar Lusi setelah beberapa saat mereka berdua terdiam.
Lagi-lagi Rinzy hanya menghela napas panjang. Ia tahu bagaimana, ia mencoba menutupi pekerjaannya ini pasti akan ketahuan juga. Benar perkataan Lusi, entah sampai kapan ia harus membohongi Alren. Bagaimana bisa ia tidak memikirkan perasaan bocah itu.
“Gue tau, lo pinter. Pasti lo tau risiko yang bakal lo tanggung nanti kan? Kenapa lo nggak bilang dari awal? Bukannya waktu itu gue pernah nawarin lo kerja di kafe?” lanjut Lusi kemudian menyambar secangkir teh hangat.
“Sori, waktu itu gue dipaksa sama Bibi Martha. Gue nggak enak nolak, gue juga udah kenal baik sama Mami. Ya, gue pikir nggak bakal gini.”
“Lo beneran suka sama Alren? Terus Raka?”
“Gue nggak tau, Lus. Lagian, bentar lagi pekerjaan gue ini udah mau selesai.”
“Risha, lo bikin gue emosi tau nggak? Seharusnya lo nolak permintaan itu. Maksud gue, bukannya pekerjaan lo sebatas jagain dan buat dia mandiri aja? Kenapa malah jagain calon tunangan orang? Aduh, Sha. Gue pusing.”
Rinzy tersenyum miris kemudian menyambar secangkir teh dan meneguk sedikit demi sedikit. Menjaga calon tunangan orang? Apakah benar itu nama yang cocok yang disematkan untuknya. Sedikit terasa sesak.
“Bener, kadang gue lupa siapa gue di sini, Lus? Kalo menurut lo, gue mesti gimana?”
Lusi menyandarkan punggungnya, sembari melipat kedua tangannya depan dada.
“Kalo menurut gue ada dua pilihan. Pertama, jujur sama dia soal ini dan bilang perasaan lo yang sebenarnya. Tapi, lo bisa aja putus, seenggaknya bisa selesai pekerjaan. Mungkin lo dibayar nggak penuh. Kedua, perlahan lo mulai jauhin dia. Selesain pekerjaan ini dan dibayar penuh.”
“Ternyata risikonya segede ini. Gue liat situasi, mungkin gue bakal buat pilihan lain.”
“Gue dukung apapun pilihannya. Tapi, lo harus buat pilihan yang nggak rugiin dua pacar lo itu.”
Rinzy tersenyum tipis menyadarkan punggung seraya menyugar rambutnya. “Aduh, Lus. Gue pusing.”
“Aduh, temen gue ini udah cantik, pinter, baik, istriable lagi. Pantes aja, kabem sama ketua geng motor suka.”
Rinzy menoleh sekilas, kemudian terkekeh kecil. “Lo juga cantik Lus, sampe kapar pun jatuh hati.”
“Eh, betewe cowok gue beli martabak belum balik-balik. Jangan-jangan kecantol cewek sini lagi.”
Rinzy memukul pelan lengan Lusi. “Heh! Nethink aja lo. Cowok lo cuek gitu, nggak mungkin diladenin. Gue tau banget, dia dari dulu.”
“Lo kaya nggak tau aja. Sekarang tuh pelakor ada aja caranya buat dapetin apa yang mereka mau. Hati-hati cowok lo kan ramah, tuh.”
Rinzy tertawa terbahak-bahak. “Malah gue takut Raka disangka permainan cewek, saking baiknya sama semua cewek, Lus. Aman cowok gue.”
“Bener juga, Sha. Bentar gue chat dia dulu. Kayanya ngantri banget, nih.”
“Bentar,” ujar Rinzy terhenti. Kemudian kembali melanjutkan perkataannya. “Kok, lo bisa tau rumah ini? Tau dari mana?”
Lusi tersenyum lebar. “Ya, karna gue penasaran. Gue ikutin lo dari pas lo beli bakso tadi.”
“Ya, ampun, Lus. Kenapa lo nggak chat atau nelpon gitu?”
“Eh, gue tau lo bakal ngomel. Ya, makanya gue nggak nge-chat.”
“Bener, sih. Tau aja lo,” balas Rinzy seraya terkekeh geli.
“Tadi gue sempet liat Alren pelukan sama cewek depan minimarket, Sha. Dia selingkuh, Sha? Gila, tuh cowok.”
Sejenak Rinzy terdiam. Mengingat kejadian tadi membuatnya sakit. Entah rasanya apa yang sedang dialaminya. Seharusnya ia tidak merasa seperti ini, mengingat dia hanya berpura-pura menyukai Alren.
Ini semua hanya memenuhi keinginan wanita paruh baya yang dipanggil Mami itu. Rasanya cukup menyakitkan dan membuatnya sesak. Hingga hampir menangis.
“Kalo pun, dia selingkuh nggak apa-apa. Lagian gue nggak berhak sama sekali. Ingetkan, gue cuma jagain calon tunangan orang?”
***
Laki-laki itu melepaskan helm dan meletakkan pelan. Sorot matanya beralih pada gadis manis yang tengah tertidur pulas. Dengan lengan sebagai bantalannya. Seulas senyuman terukir di wajah Alren. Kemudian laki-laki itu melepas jaket dan berlutut, seraya menyelipkan helai rambut ke belakang telinga.
“Sweetie, I love you,” tutur Alren.
Perlahan laki-laki itu mendekatkan wajah Rinzy, menempelkan bibirnya dengan lembut. Memberikan kecupan singkat di sana. Lalu beralih ke dahi, ia menempelkan bibirnya di sana.
“Kamu yang pertama aku cium, sayang. Jadi, aku harap. Aku juga yang pertama.”
Sungguh Rinzy tahu tepat saat Alren menciumnya tadi. Ingin rasanya ia bangun, tapi mungkin nanti akan muncul rasa canggung. Gadis itu sangat membencinya situasi itu.
Alren bangkit berdiri, namun tertahan oleh Rinzy. Gadis itu menarik pergelangan tangan laki-laki itu. Entah, dia bingung kenapa dia bisa menarik tangan bocah itu.
“Kenapa, hm?” tanya Alren kembali merendahkan tubuhnya. Rinzy pun terduduk. “Aku ganggu kamu tidur? Maaf ya, sayang.”
“J-jangan gitu lagi.”
Alren menautkan kedua alisnya. “Gitu lagi apa, Sweetie?”
Rinzy menunjukkan bibirnya kikuk. Sekarang ia tengah salah tingkah dengan perlakuan ketua geng motor itu.
“I-ini.”
Alren terkekeh kecil kemudian mengacak rambut Rinzy gemas. Lalu terduduk sebelah kekasihnya itu.
“Kenapa? Kamu marah, ya? Maaf, kalo gitu.”
Rinzy menggigit bibir bawahnya. “Bukannya marah, Recil. Cuma itu bahaya, tau nggak?”
“Apanya yang bahaya?” goda Alren seraya mendekatkan wajahnya pada gadis itu.
Dengan cepat Rinzy memundurkan tubuhnya, lalu bangkit berdiri. “G-gue lagi marah. Jangan deket-deket. Udah, sana mandi,” usir gadis itu lantas berlari kecil menuju kamar.
Alren yang setia terduduk di sofa bingung dengan tingkah Rinzy tadi dan sedikit cemas karena gadis itu terlihat marah.
“Gue salah ngomong atau gimana?” batin Alren.
Tidak ingin membuat gadisnya itu marah. Alren langsung menuju kamar Rinzy. Ia mengetuk pintu beberapa kali. Namun, tidak ada jawaban dari dalam. Tidak mungkin gadis itu langsung tertidur.
“Sweetie, kamu marah sama aku? Maaf ya, sayang.”
Alren masih belum berhenti mengetuk pintu. Rinzy di dalamnya pun membuka pintu kamarnya.
“A-apa lagi? Makanan lo udah ada di meja,” balas Rinzy.
Tepat saat gadis itu akan menutup pintu kembali. Alren menahan pintu itu.
“Tunggu, kamu marah gara-gara aku cium. Maaf, sweetie.”
“Niat gue mau marah. Jadi, gagal,” batin Rinzy.
“Plis, jangan marah. Nanti, kalo aku mau cium. Aku izin dulu, deh. Maafin ya, sayang,” lanjut Alren seraya menunduk.
Rinzy menatap laki-laki itu datar. “Mode gemasnya kalo udah keluar. Gue nggak bisa nolak.”
“Lagian siapa yang marah sama lo? Gue nggak marah.”
“Tapi, itu ngomongnya pake lo gue? Masih marah ya?”
Rinzy pun keluar dari kamar kemudian menutup pintunya. “Iya, sori, Recil. Gue nggak marah.”
“Aku izin peluk.” Alren langsung menarik pergelangan tangan gadis itu. Membawa ke dalam dekapannya.
“Aku kedinginan,” lanjut Alren. “Aku peluk sebentar.”
Rinzy mengangguk kecil. Ia mengusap lembut punggung Alren. Sembari bersandar di dada bidang laki-laki itu. Seperti biasa pelukannya selalu membuatnya hangat.
“Recil, udah belum peluknya? Nanti makin malam kamu mandi. Besok sekolah.” Perlahan Rinzy melonggarkan pelukannya.
“Kenapa aku makin sayang sama kamu, ya?”
“Masa, sih? Aku atau cewek lain?”
Alren mencubit gemas hidung gadis itu. “Ya, kamu, dong. Pokoknya cuma Rinzy, seorang.”
“Kamu sengaja buka jaket biar aku nggak cium parfum cewek kan? Nggak ngaku, nggak apa-apa.”
“Kayanya kamu punya mata-mata ya? Nanti aku ceritain. Aku tau, kamu di sana tadi.”
Rinzy memegang pergelangan tangan Alren. “Jangan bohong. Aku nggak suka.”
“Kamu ingetkan, kamu itu berharga buat aku setelah Mama. Jadi, nggak mungkin aku bohongin kamu."
(◍•ᴗ•◍)
Ria sheria
28/11/21
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top