Part. 24

Laki-laki yang terduduk di atas motor sportnya itu tengah sibuk dengan ponselnya. Entah sudah berapa lama kekasihnya itu memesan makanan di salah satu rumah makan itu. Padahal Alren bilang kalau tidak apa-apa, jika tidak anak ayam bakar atau ayam kecap kesukaannya. Bahkan, mereka sudah mendatangi lima rumah makan dan ini yang ke enam.

Sembari menunggu kekasihnya memesan makanan. laki-laki itu membuka Instagram membalas beberapa komen karena foto yang di-postingnya kemarin. Alren memandangi layar ponsel terlihat foto Rinzy yang diambil semalem. Kenapa ia baru menyadari, jika gadis itu sangat manis.

Baru saja akan menaruh kembali ponsel dalam tas. Tiba-tiba seorang gadis kecil kira-kira umur empat tahun, datang menghampirinya. Alren membuka helm dan tersenyum pada anak kecil itu.

“Hai, cantik,” sapa Alren kemudian mengusap puncak kepala anak kecil itu.

“Kakak kelen,” jawab anak itu seraya menengadah.

Alren terkekeh kecil. “Makasih, cantik,” balasnya.

Seorang wanita paruh baya memanggil anak kecil itu. “Ayo, sayang,” panggilnya. Melihat Alren ia tersenyum sedikit menunduk.

“Da da,” ucap gadis kecil berambut seperti Dora itu. Ia melambaikan tangan pada Alren dengan senyuman lebar.
Laki-laki itu ikut melambaikan tangannya, kemudian melempar senyum tipis pada wanita paruh baya itu.

Tanpa disadari kekasihnya sudah berdiri di sebelahnya. Rinzy memandangi Alren yanb masih saja melihat anak kecil itu, ia sedikit terkejut dengan tingkah Alren yang sepertinya sangat menyukai anak kecil.

“Bocil, lo mau culik anak itu ya?” celetuk Rinzy sontak membuat Alren menoleh. “Liatin mulu.”

“Kamu udah selesai?”

“Kamu?”

“Iya, emang kenapa? Kan kita udah pacaran, harus pake aku kamu dong, sayang.”

“Iya, nih gue udah—“

“Aku, kamu.”

Rinzy menatap datar Alren, menghela napas panjang. “Iya, iya. Ini aku udah dapet ayamnya,” lanjut Rinzy seraya mengangkat kresek plastik berisi ayam kecap.

“Padahal, aku bilang nggak apa-apa. Kalo nggak ada ayam kecap sama bakar, samain aja sama kamu,” ujar Alren tersenyum tipis kemudian kembali memakai helm.

“Ck, kamu nggak inget, waktu itu nggak mau makan karna apa? Apresiasi, dong. Udah dibeliin nih,” ucap Rinzy sedikit memajukan bibirnya sebal.

“Iya, makasih ya, sayang.” Alren mengusap gemas puncak kepala Rinzy, lalu memberikan helm padanya.

“Iya, sama-sama, bocil. Bentar, pegang dulu. Aku mau masukin ini dulu.” Rinzy memberikan helm itu kembali dan memasukkan plastik kresek itu ke dalam tas.

“Sini aku pakein.” Alren menarik sebelah tangan Rinzy agar lebih mendekatinya, kemudian memakaikan helm. “Helmnya, ngga kegedean kan? Kalo kegedean kita beli lagi.”

Rinzy membetulkan sedikit helm itu. “Apa? Beli lagi? Gampang banget ngomongnya.”

Laki-laki tertawa geli. “Ya, kan ngomong emang gampang. Ayo, naik nanti kesorean.”

“Kayanya dia suka banget sama anak kecil, sampe dipanggil cantik gitu,” gumam Rinzy terdengar oleh Alren. “Gue aja ceweknya belum pernah.”

“Oh jadi, kamu cemburu sama anak kecil?”

Rinzy terkejut, astaga. Ternyata laki-laki itu mendengar suaranya. Bukan cemburu, hanya merasa aneh saja. Maksudnya, ia kan kekasihnya. Entahlah, Rinzy merasa seperti orang bodoh sekarang.

“Ya, masa cemburu sama anak kecil? Gila kali.”

“Bukannya kita udah sepakat nggak ada yang ngomong kasar sekarang? Padahal aku udah berusaha nggak ngomong, lho.”

“Iya, iya. Sori ya, bocil.”

Alren yang tengah fokus mengendarai motor seketika terkekeh melihat Rinzy yang tengah sebal itu bibir seperti bebek, sangat menggemaskan.

“Bete kenapa, hm? Aku salah?” tanya Alren tiba-tiba setelah beberapa saat terdiam. “Sampe mulut dimonyongin gitu.”

Rinzy langsung menutup kaca helmnya. Ia benar-benar merutuki kebodohannya. Sungguh ia benar-benar tidak sadar mengatakan hal tadi. Astaga, urusannya bisa panjang, kalau begini. Dalam hati, ia selalu mengingat bahwa hubungan ini hanya untuk uang.

Setelah beberapa saat, gadis itu kembali menaikkan kaca helmnya. “Lupain yang tadi, aku nggak cemburu sama sekali. Cuma kurang suka sama anak kecil.”

“Dari sekarang kamu harus mulai suka.”

“Buat apaan?” 

“Soalnya kalo kita udah nikah. Niatnya aku mau punya sepuluh anak, lima cewe, lima cowo.”

Rinzy yang sedang tidak minum pun terbatuk, mataya melotot. Laki-laki ini sudah gila, siapa yang ingin menikah? Bahkan, ia saja tidak pernah memikirkan hal itu.

“Astaga bocil! Kamu pikir anak ayam? Bikin satu aja, jadinya lama.”

“Kalo sama aku langsung jadi.”

“Iya iya, omongin itu sama Istri kamu nanti.”

Alren menarik tangan Rinzy yang sebelumnya hanya memegang jaket, laki-laki mengarahkan agar memeluknya. Hingga gadis itu menubruk tubuh kekasihnya itu.

“Kamu kan calon istri aku.”

Rinzy mengerjab seraya mengelus dada berusaha menenangkan detak jantungnya itu. “Mami, tolong anakmu membahayakan jantungku.”

***

Ini sudah pakaian ke sepuluh yang dilipat Rinzy. Jika dipikir-pikir pekerjaan sebagai pembantu lumayan melelahkan. Kalau tahu akan lelah seperti ini, seharusnya ia terima saja agar pembantu datang ke sini. Tapi, ia tidak enak jika hanya pergi sekolah dan memantau Alren. Jadilah ia selain menjadi guard juga pembantu, bisa dibilang penyamarannya ada dua profesi.

Sembari melipat beberapa potong baju Alren, terdengar dering ponsel. Ternyata panggilan dari Fira—stafnya di BEM, jika kalian belum tahu, Rinzy ini ketua departemen komunikasi dan informasi di BEM untuk fakultas ekonomi dan bisnis.

“Halo, Kak Sha.”

“Ya, ampun, Fir. Aku pikir siapa, telpon malam-malam.”

“Iya Kak, sori banget.”

“Iya, nggak masalah, kok. Kenapa-kenapa?”

“Ini soal proker kita, Kak. Si Dwi bilang, kalo mau diundur aja, karna banyak narsum yang mendadak nggak bisa, Kak. Gimana ya kak, baiknya? Aku juga WKP nya bingung.”

“Hm, kita nggak bisa mutusin sendiri, Fir. Mendingan kamu atur rapat aja, bareng struktur panitianya. Nanti aku ikut via online.”

“Iya, Kak, tapi kalo ...”

Rinzy menutup kembali tas berisi potongan baju itu, dengan bahu yang mengapit ponselnya sembari mendengarkan Fira. Tiba-tiba Indra penciumannya diganggu dengan wangi segar, baunya terkesan sangat cool. Dengan refleks gadis itu berbalik hingga membuat ponselnya terjatuh.

Kalah cepat dengan laki-laki di hadapannya itu, Alren langsung mengulurkan tangannya memberikan ponsel kekasihnya itu.

“Hati-hati.” Sembari mengambil ponsel dan langsung mematikan panggilan telepon tadi. Nanti ia akan telpon lagi stafnya itu, bisa bahaya jika Fira dengar.

Sorot mata Rinzy memandangi pemandangan indah di hadapannya. Bola matanya melihat dari atas sampai bawah. Bagaimana bisa laki-laki yang dipanggil bocah itu? Memiliki bentuk tubuh seperti itu, dia memiliki ini sangat—astaga pikiran kotor apa ini.

“Masih lama liatnya, hm?” goda Alren dengan celana panjang training dan bagian atasnya hanya yang tertutup handuk dibagian punggung. Bagian dada dan perut dibiarkan terekspos jelas.

Buru-buru Rinzy memalingkan wajahnya. Menutup matanya dengan telapak tangan. Sepertinya pipi gadis itu sudah merona sekarang.

“Kenapa tiba-tiba muncul, sih? Bikin kaget tau nggak?”

Alren terkekeh geli. “Kayanya kamu seneng liat—“

“A-aku udah beresin, tuh bajunya. Aku taruh paling atas.”

Baru saja hendak pergi Rinzy malah hampir menabrak tembok karena sembari menutup mata. Ia salah berbelok, Alren langsung menahan dahi Rinzy dengan telapak tangannya. Terdengar suara ringisan kecil.

“Kamu nggak apa-apa? Aduh, sori ya, bocil.”

Alren malah terkekeh melihat Rinzy yang mendadak panik berlebihan begitu.

“Heh?! Kenapa ketawa? Aku panik, tau nggak?” omel Rinzy sembari menahan agar tidak terlihat salah tingkah.

Laki-laki langsung menarik sebelah pergelangan tangan Rinzy dan membawa ke dalam dekapannya.

“Kaya gini aja, cepet sembuh, kok,” tutur Alren merendahkan suaranya.

“Yang sakit kan tangan bukan semuanya.”

“Ya, nggak apa-apa, ini cuma alasan aku.” Alren terkekeh kecil.

Karena sering peluk seperti ini membuat Rinzy merasa terbiasa. Kehangatan yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya. Sebelumnya dengan Raka juga, hanya saja terasa berbeda.

“A-aku mau cuci piring dulu,” ujar Rinzy setelah beberapa saat terdiam. Kemudian langsung melesat pergi.

“Aku jadi makin sayang, kalo liat kamu gemesin,” gumam Alren tersenyum lebar.

Sudah cukup ia harus berpura-pura depan Bibi Yuni saat tadi sore. Beruntunglah, Bibi tidak berlama-lama hanya mengecek pakaian kotor dan beberes. Sebenarnya Alren ingin sekali memberitahukan Bibi Yuni karena ia sangat dekat sejak kecil. Tapi, entahlah Rinzy tidak ingin dia melakukannya.

“Mau dibantu nggak?” tanya Alren tiba-tiba muncul di sebelah Rinzy.

Gue sengaja ngehindar, dia malah nyamperin. Kan bikin jantung nggak aman," batinnya.

Rinzy menoleh. “Eh, bocil. Nggak perlu, kok. Cuma sedikit.” Sembari tersenyum tipis.

“Nggak apa-apa, sini aku bantu.”

“Agak aneh ya, kalo kamu mendadak baik begini. Nggak apa-apa, aku bisa sendiri.”

“Kayanya nama panggilan aku mesti ganti. Masa dipanggil bocil?”

Rinzy terkekeh. “Udah cocok, bocil.”

“Nggak, harus ganti.”

“Mau ganti apa? Balita?”

“Ya, nggak gitu juga. Aku udah ada nama panggilan buat kamu nih.”

“Apa?”

“Sweetie.”

Rinzy sontak menoleh dengan mulut yang sedikit ternganga. “Hah? Sweetie?”

Sungguh ini agak menggelikan bagi Rinzy. Mungkin karena ia jarang mendengar kata yang terlewat imut itu. Saat bersama Raka ia hanya memanggil sayang.

“Ini tuh pertama kali aku pacaran jadi agak gitulah,” sahut Rinzy masih sibuk membilas piring.

“Ya, pelan-pelan aja. Kalo kamu gimana?”

“Hm, gimana kalo ... Recil?” lanjut Rinzy tepat saat selesai membilas piring terakhir.

“Recil? Ada artinya?”

“Alren bocil,” jawab Rinzy seraya tertawa geli. “Gimana cocok kan?”

“Tetep ada kesan bocahnya ya?”

“Ya, gimana? Aku maunya gitu. Minggir mau beresin piring,” perintah Rinzy seketika Alren sedikit menjauh.

“Iya, boleh,” balas laki-laki itu dengan wajah pasrah membuat Rinzy yang tengah membereskan piring terkekeh geli.

“Kita jalan yuk,” ajak Alren.

“Nggak,” sahut Rinzy saat sudah selesai merapikan piring-piring tadi. “Besok ulangan harian, harus belajar.”

“Bentar aja, kita makan atau kamu mau ke mall?”

“Tadi kan udah makan. Kalo ke Mall, nanti lama.”

“Jam segini udah nggak macet, Sweetie.”

Rinzy sedikit terkejut saat Alren mengucapkan panggilan sayangnya untuk pertama kali. Apakah Rinzy berlebihan? Rasanya ia sedikit bahagia, berbeda saat dengan Raka.

“Banyak godaannya, hoddie, skincare, boneka. Jangan ke sana, nanti aku khilaf.”

Alren tertawa. “Ya tinggal beli aja, kalo gitu.”

“Gampang banget ngomongnya.”

“Beneran nanti aku beliin.”

“Nggak perlu. Kita ke kafe aja.”

“Boleh.”













(◍•ᴗ•◍)
Ria sheria
13/11/21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top