Part. 21
Hari ini cukup tenang Rinzy berangkat sekolah seperti biasa. Tidak seperti hari itu dihukum lari keliling lapangan. Tapi, bedanya hari ini Alren benar-benar mengajak berangkat bersama. Ternyata laki-laki itu tidak berkilah, ia pikir bocah itu akan membohonginya lagi.
Malam tadi tepat setelah Alren sampai di rumah. Hujan turun begitu deras, ia memang tidak mengikuti laki-laki itu, setelah terakhir ia menuju kafe tempat mereka nongkrong. Rinzy benar-benar khawatir pada laki-laki itu, masalahnya Alren tipe orang yang mudah flu.
Beruntunglah ia pulang menggunakan jas ujan jadi bisa meminimalisir agar tidak kena flu. Rinzy membuat kopi hitam hangat dan roti selai kacang kesukaannya. Tapi ia meletakkannya diam-diam saat Alren tengah mandi. Bukannya malu tapi ia malas harus bertengkar dengan bocah itu. Jadilah lebih baik ia langsung masuk kamar.
Asap rokok hampir memenuhi seluruh isi ruangan, sudah hampir tiga batang habis. Sejujurnya tubuhnya sedikit lemas karena kelelahan semalam. Hari ini benar-benar membuatnya banyak pikiran, rasanya ingin menyerahkan karena gadis yang dia cari belum ditemukannya juga. Apa mungkin Tuhan menyuruhnya menyerah? Kata Pamannya gadis itu pindah ke Bekasi, tepat saat Ibunya sakit waktu itu.
Namun, beberapa bulan setelah itu Ibunya meninggal karena sakit karena tidak ada biaya. Dari situlah Zyzy dititipkan ke salah satu panti asuhan di kota Bekasi. Hanya itu informasi yang dia tahu. Ia hanya berharap semoga gadis itu masih hidup, bagaimanapun caranya ia harus menemukan Zyzy.
Alren yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba terkejut saat mendengar suara gadis yang berteriak memanggilnya begitu kencang dan semakin dekat.
“Bocil!” teriak seorang gadis dari balik pintu. Kemudian membuka knop pintu.
Alren yang tengah terduduk di sofa, lantas bangkit berdiri. Buru-buru mematikan rokoknya dan membuangnya ke dalam asbak.
“Bocil, lo sakit nggak bilang gue? Kenapa cewek itu yang lo kasi tau? Gue khawatir tau nggak? Lo sakit apa? Sakit perut? Sakit kepala? Sakit apa?” Rinzy melontarkan banyak pertanyaan seraya mengatur napasnya yang masih terengah-engah.
Rasanya Alren ingin tertawa melihat gadis itu benar-benar khawatir berlebihan. Lihat saja, Ia sampai berkeringat karena lari dari lantai dasar hingga lantai empat ini.
Alren tersenyum tipis, kemudian menghampiri Rinzy. Ah, benar ia lupa kalau punya pembantu nan cerewet ini. Entah rasanya gemas ingin mendiamkan bibir kecilnya itu. Baiklah, Alren sepertinya sudah mulai tertarik sekarang.
“Bocil, lo jangan diam aja. Gue takut, sialan.”
“Peluk gue bentar,” balas Alren tepat di hadapan gadis itu.
“Hah?” Mulut Rinzy ternganga setengah. Ia bingung dengan sikap Alren hari ini. Lihatlah bisa-bisanya laki-laki itu memintanya peluk. Aneh.
“Bocil, kalo pusing, mendingan kita ke UKS.”
Rinzy yang baru saja menarik lengan Alren, tepat saat laki-laki itu juga menarik tangannya. Kemudian membawa gadis itu dalam dekapannya.
Netranya terbelalak, degup jantungnya berdetak begitu cepat dan pipinya memanas.
Beberapa detik awal, ia masih gugup. Namun, lama-lama rasanya hangat dan nyaman. Rinzy belum pernah memeluk siapapun, kecuali almarhum sang Ibu. Bahkan pacarnya saja, hanya sebatas pegangan tangan.
“Jangan tahan napasnya,” goda Alren kemudian terkekeh kecil.
Namun, beberapa saat setelah itu terdengar samar-samar suara isakan tangis dari gadis itu. Pelan-pelan, Rinzy memejamkan matanya dan menikmati kehangatan itu. Kedua tangannya memeluk pinggang Alren, hingga membuat laki-laki itu terkejut.
“Lo nangis?” tanya Alren khawatir sembari menepuk pelan punggung Rinzy. “Kenapa, hm? Ada yang jahatin lo? Bilang sama gue.”
Rinzy menggeleng kecil. “Bisa lebih lama sedikit, ngga bocil? Gue kangen ....”
“Gue kangen sama Ibu.”
Alren tersenyum tipis sesekali mengusap rambut kuncirnya. Gadis cerewet dihadapannya ini, benar-benar menyukai. Padahal ia hanya tidak enak badan sedikit, tapi, Rinzy sangat mengkhawatirkan lebih dari ayahnya. Kalau boleh jujur, Alren merasa sedikit senang.
“Boleh, kalo lo minta. Nangis jangan ditahan, abis itu lo balik lagi, oke?”
Ingatan demi ingatan tentang sang Ibu kembali datang. Namun, bukan bagian bahagia tapi bagian yang membuatnya tersiksa. Hidup dengan keterbatasan tanpa kepala keluarga.
Setiap hari wanita itu bekerja pabrik dan gadis kecil yang berjualan donat di sekolah. Uang dihasilkan tidak seberapa tapi tenaga yang dikeluarkan sangat ekstra. Rasanya sakit sekali saat mengingat almarhum sang Ibu.
Sekarang ia hanya berjuang sendiri, mengorbankan semuanya hanya demi lembaran kertas untuk membiayai kuliahnya. Sungguh, hidup seperti ini sangat menyiksa. Bahkan, kata bahagia itu sudah mati.
Perlahan Rinzy melepas pelukannya seraya menyeka air matanya. Ah, ini benar-benar membuatnya malu. Bagaimana bisa ia menangis dipelukan bocah ini? Baiklah, ini sangat memalukan.
“Jadi, apa rasa kangen lo udah terobati?” goda Alren tersenyum manis.
Tuk.
Lagi-lagi ketukan pulpen andalan Rinzy kembali melayang di dahinya.
“Awh, sakit woy.”
Rinzy terkekeh kecil masih dengan mata dan hidung yang merah. Kemudian ia mengusahakan wajahnya.
“Lo nggak cocok begitu sama gue, bocil. Lo cocok ngeselin daripada manis “
Alren masih mengusap dahinya. Beruntunglah ia tengah baik kali ini. Jadi, ia hanya butuh banyak sabar menghadapinya pembantunya itu.
“Untung gue lagi baik.”
“Bagus, jangan terlalu banyak ngomel. Nanti lo darah tinggi, terus stroke gimana? Mana masih muda,” canda Rinzy lalu tertawa geli.
Alren memandangi wajah gadis itu. Cantik, manis dan mandiri. Rinzy benar-benar sudah membuatnya tertarik sekarang. Bahkan, malam tadi, ia terus memikirkannya. Sepertinya ini adalah definisi cinta muncul karena sering bertemu.
“Nanti pulang gue jemput, awas lo kalo balik duluan,” ujar Alren sebelum beralih menuju sofa dan kembali terduduk di sana. “Gue nggak suka ditolak.”
“Gue nggak nolak, malah bagus. Jadi, irit ongkos, dong. Gimana keadaan lo?” tanya Rinzy mengikuti Alren dan juga terduduk di sofa sebelah laki-laki itu.
“Gue cuma puyeng dikit. Sana, balik bikin gue jantungan, anjir.”
Rinzy menautkan kedua alisnya bingung. Buru-buru ia mendekati Alren. Kemudian meletakkan telapak tangannya di dada bidang laki-laki itu. Benar saja, degup jantungnya berdetak kencang.
Tubuh laki-laki itu mendadak membeku. Sejenak ia menahan napasnya, seraya memundurkan tubuhnya. Lalu menjauhkan tangan gadis itu. Ini sangat tidak sehat untuk jantung.
“Lo ngapain?!” tanya Alren terdengar sedikit kikuk.
“Gue cuma mau periksa takutnya lo—“
“Me-mendingan lo keluar!” perintah Alren.
“Oke, tapi lo nggak sakit—“
“Nggak, udah keluar,” potong Alren mengusir gadis berkuncir kuda itu keluar.
“I-iya, sabar.”
Rinzy langsung bangkit berdiri dan beranjak dari ruangan itu.
Alren menghela napas, ia mengelus dadanya. “Bisa-bisa gue masuk rumah sakit.” Mengingat wajah gadis itu hari ini membuatku sangat senang. “Anjir, kenapa tuh cewek pulpen manis banget?”
***
Seorang gadis dengan rambut yang dicepol, kaos big size dengan celana training panjang. Tengah sibuk mencuci piring. Sejujurnya Rinzy sempat kepikiran dengan tingkah laku Alren yang mendadak berubah ini. Tidak sepenuhnya juga, tapi sedikit berubah. Tumben sekali dia tidak pulang bersama Nessa itu, gadis yang sering membuat kesal.
Rasanya sedikit aneh, tapi ia juga bahagia kalau laki-laki sedikit berubah. Ya, kalau bisa secepatnya, agar dia juga cepat keluar dari sini.
Jika dipikir-pikir waktunya tersisa tiga minggu lagi. Tapi, Rinzy belum bisa merubah sifat Alren dan memintanya tidak balapan lagi. Ah, memikirkan itu membuatnya sakit kepala.
Rinzy yang tengah menggosok piring, merasa terganggu dengan lengan baju panjangnya yang terus saja turun.
“Ya ampun, nih baju kenapa, sih? Udah gue gulung, turun lagi,” gumam Rinzy sebal seraya menaikan lengan bajunya dengan bibirnya.
Tanpa diduga Alren sudah berdiri di belakangnya. Kemudian menarik pelan sebelah tangan kanan Rinzy dan menggulung lengan baju, juga di sebelah kiri.
“Minta tolong pake mulut cerewet lo itu,” ujar Alren melirik Rinzy sekilas seraya tersenyum tipis. “Sini.”
“Bentar, bocil. Gue mesti memeriksa sesuatu,” lanjut Rinzy sembari membersihkan tangan, kemudian di keringkan dengan bajunya.
Gadis itu menjengket berusaha menyamakan tingginya dengan laki-laki itu. Melihat Rinzy yang berusaha menyamakan tingginya, Alren tersenyum tipis. Kemudian sedikit merendahkan tubuhnya.
“Mau ngapain, hm?” tanya Alren seketika membuat degup jantung Rinzy kembali ingin meledak. “Kenapa malah diem?”
Sorot mata laki-laki itu menatap lekat Rinzy. Jika lama-lama begini, ia bisa jatuh cinta sungguhan pada Alren. Itu tidak boleh.
Tidak ada sahutan dari Rinzy. Alren memegang telapak tangan gadis itu dengan dahinya. Masih setia tersenyum manis, seraya memandangi gadis itu.
“Gimana? Gue nggak sakit kan?” ucapnya santai lalu kembali berdiri tegak. Alren mengusap lembut puncak kepala Rinzy gemas. “Nggak perlu khawatir lagi, cewek pulpen gue.”
“Hah?”
Baiklah, sekarang otaknya pun tidak berfungsi dengan baik. Apa Rinzy tidak salah dengar? Laki-laki itu sebenarnya kenapa.
“Kenapa lo kaget?” tanyanya kembali.
“Bentar, kayanya lo agak aneh hari ini. Lo salah makan sesuatu atau ... lo, siapa lo? Mana bocil? Lo bukan bocil kan?” tanya Rinzy seraya menatap Alren dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Alren tertawa geli membuat Rinzy semakin kebingungan. Gila, laki-laki ini sudah gila.
“Nggak lucu, gue tanya lo bocil atau bukan? Jangan-jangan lo kerasukan hantu baik? Astaga, gue nggak bisa keluarin yang begitu-begituan.” Rinzy yang semakin panik buru-buru mengambil ponsel dalam kantung celemeknya. “Bentar, gue telpon Mami lo.”
Buru-buru Alren menghentikan tangannya. “Ngapain? Segitunya banget, gara-gara liat gue beda? Eh, cewek pulpen, gue tuh sebenernya baik. Cuma ya, gue milih-milih lah.” Kemudian melepaskan tangannya.
“Bocil, lo bikin gue panik. Abisnya lo beda banget, jangan gitu lagi lah,” balas Rinzy sedikit kesal, sebelum kembali mengambil spons dan kembali mencuci piring. “Mendingan lo belajar deh, besok ulangan harian kan? Walaupun lo rangking, mesti tetap belajar. Kali aja, gue ambil rangking lo itu.”
Alren melangkah mendekati Rinzy, lalu menoleh pada gadis itu. Terlihat laki-laki tengah memperhatikan wajah Rinzy dari sebelah, seraya tersenyum simpul.
Rinzy melirik sekilas masih fokus membersihkan piring yang terakhir.
“Jadi, lo ngapain masih di sini bocil? Ke kamar sana.”
“Sabar, gue mau liat sesuatu. Diem dulu, kek.”
“Liat apaan? Liat kran air?”
“Liat—“
Belum sempat Alren menyelesaikan perkataannya. Terdengar dering ponsel Rinzy yang nyaring, buru-buru gadis itu mengambil ponsel dari saku celananya. Kemudian menerima panggilan telepon dan beranjak pergi.
“Cewek pulpen, kayanya gue juga suka sama lo.”
***
Gadis itu tengah terduduk, seraya menatap layar ponselnya, tidak lebih tepatnya dua layar ponsel. Sesekali menghela napas panjang.
“Udah kaya orang kaya aja, gue punya dua hape,” ujarnya sembari melihat dua ponsel dikiri dan kanan. “Ka, lo kenapa nggak ada kabar? Ditunggu nggak ngechat, gue telpon juga nggak diangkat. Sejak kapan kabem sibuk kaya presiden, sih?”
Sejujurnya ponselnya itu yang jelak mereka biasa yang dibeli dari uang tabungannya dan juga kredit. Satu ponsel lain pemberian Mami yang dipakai sekarang.
“Oh iya laporan hari ini.”
Kemudian gadis itu mengambil binder sedang dan memasukkan kertas yang biasa dibawahnya tiap hari pada binder itu.
Sorot matanya terhenti melihat almet berwarna biru dongker tergantung di besi gantungan baju. Rasanya satu bulan benar-benar terasa lama. Padahal biasanya, satu bulan liburan ia ingin tambah lagi karena kurang. Kalau liburan semester begini, kegiatannya adalah organisasi HMJ juga BEM. Ditambah membantu Mami membungkus-bungkus makanan untuk catering.
Sejujurnya ia tidak tega karena secara tidak langsung mengganti identitasnya. Ya, walaupun hanya sedikit. Rasanya beban hidupnya bertambah. Terkadang ia juga sedih karena berbohong pada bocah itu dan juga Dhea. Gadis itu terlalu baik untuk ditipu.
Awalnya Rinzy sempat menolak karena ini sedikit berisiko, apalagi harus mengubah identitas bahkan orang tuanya juga. Tapi, dia bener-bener tercekik tagihan uang semester juga uang kost yang belum dibayar.
Ia hanya bisa berdoa agar kedepannya bisa berjalan lancar, sampai targetnya berhasil.
Tepat saat Rinzy membuka pintu kamarnya. Alren sudah siap dengan hoddie berwarna hitam, celana jeans juga helm kesayangannya itu.
“Mau ke mana lagi lo? Nggak usah balapan, mendingan lo diem di rumah. Belajar kek, atau apa gitu.”
“Gue mau balapan, bosen di rumah,” bales Alren menghembuskan asap rokok.
“Bocil, kali ini aja, lo dengerin gue. Nggak ada untungnya lo balapan. Cuma bikin cape, ngantuk. Mendingan lo belajar sama gue, gimana?”
“Sori, cewek pulpen. Ada sesuatu mesti gue selesaiin,” ujarnya mendekati wajah Rinzy kemudian mengusap pelan puncak kepala gadis itu.
Rinzy menarik tangan Alren. “Gue bukan bocah ya, lo usep palanya.”
Alren terkekeh pelan. “Eh, lo itu lebih muda enam bulan dari gue. Jangan sok tua lo.”
“Ck, lebih tepatnya tiga tahun enam bulan,” batin Rinzy.
“Lo mau balapan atau mau ke panti asuhan?” tanya Rinzy seketika membuat langkah Alren terhenti. “Kenapa lo ke tempat itu? Apa lo ada saudara di sana?”
Laki-laki itu berbalik. “Lo ikutin gue waktu itu? Ngapain ngikutin gue, hm?”
“Itu nggak penting. Jadi, lo kenapa ke sana?”
Laki-laki menyugar rambutnya. Alren benar-benar bingung diantara dua pilihan seperti ini. Sisi satu ia ingin menyudahi taruhan, tapi Rinzy selalu melarang. Sisi lain, ia juga masih harus mencari gadis bernama Zyzy itu.
“Gue nggak ada waktu,” tutur Alren.
“Tadi lo baik sama gue, sekarang balik lagi ke mode ngeselin. Emang lo nggak cocok baik.”
Alren mendorong pelan tubuh Rinzy ke samping. “Permisi, sayang. Ini penting banget.”
Sungguh melihat tingkah Alren mendadak manis ini, selalu membuat terkejut. Semoga wajahnya tidak sampai merona karena malu.
“A-apaan sih, bocil? G-gue nggak suka becandaan lo.”
Alren hanya terkekeh kecil. “Boleh aja, sih. Kalo mau ikut.”
“Oke, gue ikut.”
“Tapi ada syaratnya.”
“Lama-lama lo makin ngerepotin ya. Apaan?”
“Beberapa hari ke depan, jaga hati lo. Kayanya lo berhasil mancing gue.”
Gadis itu menautkan alisnya bingung. “Maksudnya? Gue nggak paham.”
“Jangan nungguin gue, gue balik pagi. Nanti gue ajak jalan aja.”
Alren lantas keluar menuju teras, membuka pintu pagar. Kemudian memakai helm dan beranjak pergi dengan motor sportnya itu.
Saat sebelum pergi laki-laki tersenyum dari balik helm hingga terlihat sedikit kerutan sembari melambaikan tangannya. Berbeda dengan Rinzy yang tidak berekspresi sama sekali.
“Jantung lo nggak usah ikutan ya. Kalo lo meledak ganti pake apa?” gumamnya seraya meletakkan telapak tangannya di puncak kepala. “Ck, bocil sialan. Bikin gue salting kaya orang stupid.”
Kemudian Rinzy menepuk kedua pipinya. “Heh, sadar lo gembel. Yang lo butuh itu duit, bukan cinta.”
Hayiii (≧▽≦)
Maaf, aku baru sempet up sekarang karna baru selesai uts juga. Tapi cerita ini udah tamat, kok. Cuma aku harus rapihin lagi sebelum up, jadi lama direvisi sebenarnya :,-)
Makasih banyak yaa yang udah baca cerita ini, love banyak-banyak buat kalian ಥ_ಥ
Jangan lupa vote dan komen, biar tambah semangat (≧▽≦)
(っ.❛ ᴗ ❛.)っ Terima kasih
(◍•ᴗ•◍)
Ria sheria
3/11/21
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top