Part. 20

“Ah, sialan banget. Buang waktu aja, gue mesti ikut. Kalo bukan disuruh, gue nggak bakal mau,” gumam Rinzy  sebelum keluar toilet.

Ini semua karena gadis bernama Nessa itu, ia terpaksa mengikuti pasangan itu ke Mall. Hampir dua jam mereka putar-putar dari mulai lantai satu sampai lantai lima, lalu balik lagi. Astaga, gadis itu membuatnya kepalanya pening, sebenarnya apa yang dicari. Sepertinya sehabis ini, ia harus mampir ke warung membeli obat sakit kepala.

Belum lagi tingkah manja Nessa, yang membuat Rinzy ingin muntah. Pasalnya, sepanjang jalan gadis itu terus memeluk lengan Alren dan laki-laki itu tidak menolak sekalipun. Padahal gadis itu sudah punya kekasih dan keadaan sekarang sangat menyedihkan. Ia harus  berjalan di belakang mereka seperti pembantu. Tapi, ia memang pembantu.

“Ren, bajunya cocok nggak?” tanya Nessa seraya memegang dress selutut dengan bagian dada yang cukup terbuka. “Warna pink atau warna krem?”
Rinzy yang tengah berdiri lemas sebelah Alren hanya menatap malas gadis itu. Sekali ketemu toko baju, dua jam lamanya Nessa memilih warna dress itu dan hanya mondar mandir di toko ini.

“Ya ampun, dua-duanya sama aja kali. Beli dua-duanya aja. Cepet kek, gue mau pulang,” sahut Rinzy geram.

“Aku tanya Alren bukan kamu,” sahut Nessa.  “Gimana, Ren?” Seraya kembali beralih pada laki-laki itu.

“Kalo cantik, pasti pake apa aja juga udah cantik,” lanjut Alren tersenyum tipis, hingga membuat Rinzy tak tahan ingin muntah. Sangat menjijikkan.
Melihat reaksi Rinzy disebelahnya membuat ia terkekeh kecil.

“Makin enek gue,” gumam Rinzy.

“Oke, aku beli dua-duanya, deh,” balas Nessa tersenyum manis. Kemudian melangkah menuju kasir.

Buru-buru Rinzy menarik tangan Alren menuju ke luar toko. Kemudian gadis berkemaja kotak hijau botol itu mengeluarkan ponselnya, terlihat sudah pukul sembilan malam. “Bocil, mendingan kita balik aja."

“Balik sendiri.”

“Gue mesti sama lo terus. Gue takut lo kenapa-napa, bocil.”

Alren cukup tersentak akan perkataan Rinzy. Ia lantas menoleh pada gadis itu sejenak terdiam, lalu angkat bicara.

“Nggak cocok, lo suka sama majikan kaya gue.”

Tiba-tiba Rinzy mengeluarkan pulpen dari dalam tas sling bag-nya. Kemudian mengetuk dahi laki-laki itu cukup keras.

“Anjir, sakit woy!”

“Makanya dibilangin, tuh dengerin.”

“Bisa sehari aja ngga usah getok pala gue? Kalo nggak getok, lo pukul.”

Melihat reaksi Alren yang kesal, membuat Rinzy tertawa geli. “Mungkin kaya gini, kalo punya Ade laki-laki. Ya, nggak, bocil?”

Alren menautkan kedua alisnya bingung. “Gue nggak paham. Kalo lo mau pulang, pulang sana.”

Tepat saat gadis itu tengah menceramahinya. Muncul anak kecil yang tengah berlari mengejar bola ke arah Rinzy yang berdiri berhadapan dengannya.

Buru-buru Alren menarik tangan gadis itu hingga menabrak dadanya.

Bola mata gadis itu membulat sempurna. Parfum khas Alren menyeruak, wanginya benar-benar sangat enak. Ini sedikit memabukkan sepertinya Rinzy akan menyukainya.

Kemudian gadis itu menengadah, sorot matanya bertemu dengan kedua mata laki-laki itu yang juga terlihat terkejut. Aneh, rasanya kenapa dalam saat-saat seperti ini. Rinzy selalu merasakan degup jantungnya yang lebih cepat.

Tunggu, ini bukan degup jantungnya saja tapi bocah ini juga. Tidak mungkin, ia menyukainya. Tidak, itu tidak mungkin. Sepertinya hanya karena terkejut saja.
Buru-buru Rinzy menjauhkan tubuhnya, bersamaan dengan Alren melepaskan tangannya. Tidak ingin terlihat aneh, gadis itu lantas merapikan sedikit pakaian dan kuncirannya.

Seorang wanita tua berlari mendekati mereka. “Astaga, Mas maaf tadi itu cucu saya,” ujarnya. Kemudian beralih pada Rinzy. “Maaf ya, mbak.”

“Eh, nggak apa-apa kok Bu.” Rinzy tersenyum manis sembari menggeleng kecil. Lalu merendahkan tubuhnya mendekati anak kecil itu. “Lain kali, hati-hati ya.”

Anak laki-laki itu mengangguk cepat seraya tersenyum lebar. “Okey kakak cantik.”

Rinzy tersenyum simpul, mengusap puncak kepala anak itu. “Makasih sayang.”

Tanpa sadar Alren tersenyum tipis. Selain cerewet, ternyata gadis ini suka pada anak kecil. Entah, rasanya senang, ya walaupun anak kecil itu menyebalkan. Tapi, jika bertemu dengan orang yang tepat beda cerita.

Kemudian Rinzy menengadah sedikit beralih pada wanita yang adalah nenek anak ini. “Bu, si adek boleh makan permen yupi nggak?”

“Dia suka banget, kalo permen yang itu.”

Rinzy berlutut, lalu mengambil semua permen dari dalam sling bag-nya. “Aku punya permen, ini buat kamu.”

“Makacih,” tutur anak kecil itu dengan senyum sumringah.

“Ih, kamu gemes banget. Sama-sama sayang,” balas Rinzy sebelum kembali berdiri. “Umurnya berapa, Bu?”

“Empat tahun, mbak,” lanjut wanita tua itu. “Mbak, udah nikah berapa bulan? Masih muda ya.”

“Eh, kita—“

“Baru bulan lalu, Bu,” potong Alren tersenyum, seraya melirik pada Rinzy yang sangat terkejut.

“Haduh, ternyata pengantin baru. Semoga cepat ngisi ya, mbak.”

Alren tersenyum manis. “Iya Bu, terima kasih.”

Rinzy menginjak sebelah kaki Alren, sembari tetap tersenyum. “Maaf Bu, kita pamit duluan ya.” Gadis itu lantas menarik tangan Alren dan melambaikan tangan pada anak kecil tadi.

Alren hanya pasrah ditarik Rinzy menuju eskalator menuju lantai bawah. Sesekali ia terkekeh kecil.

“Bocil lo ngapain, sih? Emang muka gue tua banget apa?” tanya Rinzy menoleh pada Alren tepat saat mereka di eskalator yang mengarah turun.

“Tua banget.” Alren tertawa geli. “Semoga cepat ngisi ya, mbak,” ujarnya mengikuti wanita paruh baya tadi.

“Ngisi? Di kira gue ban, ngisi angin,” lanjut Rinzy kesal seraya melipat kedua tangannya depan dada. Dengan mulut yang sedikit maju.

Tiba-tiba Alren kembali menariknya, namun kali ini pada pinggang Rinzy. Sungguh ini tidak nyaman, karena ia harus menahan malu dan agar tidak terlihat salah tingkah.

Lalu laki-laki menoleh ke samping dan mendekatkan bibirnya dengan sebelah telinga Rinzy.

“Nanti di rumah, kita langsung proses pengisian aja gimana?” goda Alren, lalu terkekeh geli.

Gila, satu kata yang cocok untuk bocah ini. Rinzy sejenak terdiam mematung, ia mengerjap dengan kondisi kedua pipinya mendadak memanas. Kemudian menoleh pada Alren yang makan tertawa geli.

“Misi-misi,” teriak seorang pria paruh baya yang menuruni eskalator dengan cepat.

Buru-buru Rinzy mendekatkan tubuhnya dengan Alren agar pria paruh baya itu bisa lewat.

“Nggak usah kepedean. Siapa juga yang mau dekat sama lo, tuh liat karna bapak-bapak itu,” ujar Alren sembari melepas tangannya di pinggang Rinzy.

“Kenapa nggak bilang? Kan gue jadi deg degan deket sama lo, bocil.”

“Deg degan kenapa?” goda Alren malah membuat Rinzy geram sekaligus malu.
Setelah sampai di lantai satu. Gadis itu lantas beranjak pergi mendahului Alren.

“Astaga, nggak boleh, Ris,” gumam Rinzy seraya menepuk dahinya pelan.

***

Terdengar ketukan pintu tepat saat Alren pergi beberapa menit yang lalu. Gadis yang tengah scroll salah satu aplikasi social media itu. Lantas, bangkit berdiri dan melangkah malas meraih knop pintu.

“Iya, sebentar,” sahut Rinzy dengan rambut yang berantakan.

Wanita paruh baya dengan hijab berwarna hitam itu tersenyum manis dengan buah tangan yang dibawanya.

“Bu Yuni, akhirnya datang. Ya ampun, aku laper banget dari tadi,” ujar Rinzy seraya menutup kembali pintu. “Hujan, ya Bu?”

“Tadi sempet gerimis sedikit. Tapi, nggak gede,” jawab wanita paruh baya itu langsung menuju dapur dan menyiapkan makanan yang dibawanya.
Rinzy mengikuti dan tengah berdiri di sebelah Bibi Yuni dengan mata yang sudah mulai mengantuk.

“Padahal aku cuma laper sedikit, mau beli kecap sama sosis di minimarket depan.”

Bibi Yuni tersenyum tipis. “Bu Yuni tau, kamu capek ngikutin Nak Alren kemana-mana. Jadi, diantar makanan.”

Rinzy menggeleng cepat. “Aturan nggak usah, jadi ngerepotin Bu Yuni. Jaraknya kan jauh, tadi juga udah makan nasi ayam sama sayur sop, kok. Ya, walaupun beli.”

“Nggak coba masak aja buat makan malam?”

“Mau, sih. Cuma dia kan lidah orang kaya. Mana bisa makan masakan aku. Lagian aku belum bisa masak ayam bakar kesukaan dia itu.”

Bibi Yuni tertawa kecil. “Kata siapa? Nak Alren itu, makan makanan kaya kita. Makanan yang Bibi masak tiap pagi buat kalian itu, kan makanan orang biasa.”

“Ya, kan orang yang masak beda, Bu. Nanti, deh aku coba, biar nggak usah beli.”

Bibi Yuni memberikan piring berisi potongan ayam juga tumis sayur kangkung.

“Aduh, enak banget, ayo Bu temenin aku makan. Atau makan bareng aja?”

“Nggak usah, ayo di depan,” ujar wanita paruh baya itu sembari mengajak Rinzy duduk di rumah tengah.

Sejak bertemu Bibi Yuni pertama kali. Ia sangat baik padanya, sejujurnya sebelum menjadi penjaga rahasia Alren anak orang kaya cucu pemilik yayasan sekolah itu. Rinzy sudah bertemu dengan wanita paruh baya itu datang ke rumahnya mengantarkan makanan untuknya dan Bibi Martha.

Bibi Yuni sudah menjadi pembantu rumah tangga di rumah Alren sejak laki-laki masih sekolah dasar. Selain dengan sang Ibu yang sudah meninggal, laki-laki itu hanya dekat dengan Bibi Yuni. Jadi, hampir semua kesukaan bahkan hal sekecil apapun itu ia pasti tahu.

“Gimana? Apa udah ada kemajuan?” tanya Bibi Yuni melirik Rinzy yang tengah serius makan. “Kamu nggak kena masalah kan?”

Rinzy menghabiskan makanan di dalam mulutnya sejenak, lalu mulai angkat bicara.

“Cuma guru yang waktu itu, Bu. Dia bikin aku pegel-pegel. Tapi, udah mendingan, kok.”

“Kalo ada apa-apa langsung hubungi Bu Yuni. Nak Alren, beneran ke kafe?”

“Iya Bu, aku udah hubungi temannya. Aman kok. Oh iya, Mami lagi sibuk ya? Tumben nggak telpon hari ini.”

“Iya, yang pesen catering lagi banyak banget.”

“Owh, ada kurang pekerja nggak? Nanti aku bisa bantu dikit-dikit, kok.”

“Kata nyonya, nggak perlu. Kamu fokus sama Alren aja. Inget waktu kamu sedikit.”

Benar, tidak ada waktu lagi. Ia harus cepat-cepat mencari cara supaya Alren bisa keluar dari hobi gilanya itu. Agar Rinzy bisa lebih mudah untuk mengontrolnya nanti, ia harus mengambil hatinya. Menjaga Alren  sesuai dengan perintah, sedikit merepotkan. Bahkan hingga melibatkan hati. Baiklah, itu tidak apa-apa, ini hanya sementara.







Hayiii (≧▽≦)

Balik lagiii ke cerita si bocil Alren dan cewek pulpen Rinzy

Terima kasih sudah membaca ಥ_ಥ

Jangan lupa votmen yaaa


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top