Part. 2
"Hai, perkenalkan nama saya Rinzy," tutur gadis berkuncir kuda itu seraya tersenyum manis.
Sebagian besar murid menjawab sapaannya kecuali laki-laki yang terduduk di pojok sana.
Wanita paruh baya berhijab krem itu tersenyum manis padanya.
"Rinzy, siswa pindahan dari Jakarta. Kalian berteman baiklah ya." Sorot matanya mengarah pada laki-laki yang tengah tertidur di meja. "Alrenzo, kamu bisa bantu Rinzy keliling sekolah nanti?"
Laki-laki itu mengangkat kepalanya dan menoleh ke sumber suara. "Yang lain juga bisa."
"Ibu minta tolong sama kamu."
Laki-laki mendecak kesal. "Mendingan lo pindah kelas," lontar Alren menatap tajam gadis di depan kelas itu. "Repot."
Rinzy menahan kegeraman dengan senyuman terpaksa.
"Nggak apa-apa, Bu. Nanti saya sendiri," sahut Rinzy.
Wanita paruh baya itu tersenyum tipis. "Baiklah, kalau gitu. Hari ini ada rapat dengan kepala sekolah. Jadi, kalian kerjakan soal lanjutan Minggu kemarin," tutur Bu Aini sebelum melesat keluar kelas.
Setelah itu Rinzy lantas beralih ke mejanya tepat di depan meja Alren. Gadis itu mengambil ranselnya dan mengeluarkan satu buku kosong juga buku paket dengan tempat pensil berwarna abu-abu itu.
Baru saja ia membuka beberapa lembar buku paket tertulis matematika itu. Gadis itu terasa sedikit mengganjal dari tempat duduknya itu.
Rinzy bangkit berdiri seraya meraba rok belakangnya.
"Permen karet?" Rinzy lantas menoleh pada Alren yang tengah bersandar seraya mengangkat sebelah alisnya. "Jangan bilang, kerjaan nih bocil?"
Alren memajukan tubuhnya. "Lo nunduh gue? Kurang kerjaan banget."
Gadis itu menatap kesal, wajah tidak merasa bersalah itu. "Muka ganteng, kelakuan kaya setan, percuma," gumamnya sembari melepaskan permen karet.
Alren hanya tersenyum miring seraya memundurkan tubuhnya, kembali bersandar. Tanpa memerdulikan gadis itu, ia kembali merebahkan kepala di atas meja.
Rinzy melirik sekilas mendapati laki-laki itu sudah tertidur. "Ada anak modelan dia. Rese, nih anak."
Gadis itu yang terus-terusan mengumpati Alren. Mendengar itu membuat laki-laki itu tersenyum tipis seraya memejamkan matanya.
Setelah selesai mencopot permen karet itu, ia membungkus dengan tisu dan membuangnya.
Baru hari pertama saja sudah banyak cobaan begini. Rinzy masih teringat jelas perkataan laki-laki bernama Alren tadi. Dia mengatakan kalau cucu yang punya yayasan. Bagaimana bisa cucu pemilik yayasan buruk sepertinya? Namun, sesuai yang diketahui. Kalau laki-laki itu hampir tidak ada sisi kebaikannya.
Rinzy kembali masuk kelas dan mendapati bangkunya sudah terganti. Tidak ada bekas permen karet sama sekali.
"Siapa yang ganti?" tanya Rinzy seraya menoleh ke sekelilingnya. Namun, tidak ada yang memerdulikan.
Terlihat dua laki-laki yang terduduk di deretan bangku belakang, memandangi dengan tatapan mengejek.
Gadis itu lantas beralih, kemudian menepuk pelan gadis di depannya. "Eh, lo tau siapa yang ganti kursi gue?"
Namun gadis itu menggerakkan bahunya seperti menyuruhnya untuk tidak menyentuhnya.
Rinzy mengangkat tangannya, samar-samar terdengar beberapa orang menertawakannya.
"Thanks."
Wah, sepertinya kelas MIPA 1 ini dipenuhi murid kutu buku dan pendiam kecuali geng tidak berguna yang terduduk di deretan belakang itu.
Sebelum terduduk Rinzy melirik sekilas laki-laki yang masih merebahkan kepalanya di atas. Tanpa diketahui Alren terbangun dan memundurkan mejanya.
Tepat saat beberapa detik setelah Rinzy terduduk sempurna. Bangku itu terasa sedikit bergoyang, tiba-tiba ia terjatuh ke belakang.
Brak.
Satu kelas yang sebelumnya sunyi senyap mendadak terdengar tawaan yang cukup ramai. Apalagi dua laki-laki deretan belakang tadi. Mereka tertawa terbahak-bahak hingga memegang perutnya.
Beginilah risiko kembali ke masa yang tidak seharusnya. Rasanya ingin melakban mulut mereka.
Rinzy bangkit berdiri perlahan, seraya mengusap bokongnya. "Ingin kuberkata kasar, sialan."
"Itu ucapan selamat datang dari kita, lho. Nggak ada ucapan terima kasih gitu," ujar laki-laki berdasi kecil padanya bernama Givon.
Rinzy tertawa mengejek. "Gue baru tau, sekolah sebagus ini. Ada murid-murid yang kelakuan minus."
"Apa? Kelakuan minus?" sahut Givon.
Rinzy melangkah mendekati laki-laki itu tepat samping meja Alren.
"Bukannya orang kaya begini seharusnya pindah aja. Cuma sampah doang, buat apa?" balasnya.
"Apa sampah? Nih, cewek bener-bener pedes mulutnya," sahut Givon.
"Dia anak baru mana tau." Laki-laki tidak berdasi itu menyahut seraya menoleh padanya.
Sorot mata Rinzy berhenti pada laki-laki yang tengah asyik memakai earphone.
"Lo temannya kan? Kenapa cuma diem?" teriak Rinzy pada laki-laki bernama Dewa dengan pakaian seragam yang paling rapi menurutnya.
Respons laki-laki hanya menoleh seraya mengerjap.
"Dan lo Alrenzo," ujar Rinzy berbalik pada laki-laki itu.
Alren lantas mengangkat kepalanya dan menggebrak meja.
Brak.
"Kenapa sih anjing?! Lo pikir siapa, bisa bentak gue?" bentak Alren.
Tuk.
Rinzy mengetuk dahi Alren dengan pulpennya.
"Gue Rinzy. Apa gue perlu perkenalan lagi?" balas gadisnya itu terlihat tidak takut sama sekali.
Laki-laki itu masih terdiam seraya mengusap dahinya.
"Lo pikir gue takut, sayangnya nggak," tambahnya tersenyum miring seraya sedikit menengadah menatap laki-laki yang tinggi itu.
"Lo-"
Baru saja ingin membalas perkataan gadis itu. Mendadak Bu Aini muncul dari balik pintu.
"Alren, kamu ngapain?" tanya Bu Aini seraya menuju mejanya dan meletakkan tas.
"Enggak, Bu, tadi saya yang salah. Izin tanya Bu saya mau ambil kursi baru di mana ya?" sahut Rinzy meninggalkan pulpennya di atas meja seraya menuju ke depan meja Bu Aini.
"Di gudang lantai dasar pojok dekat pintu samping. Nanti kamu bisa tanya sama Mang Udin di sana," ujar Bu Aini.
"Oke, Bu. Makasih, Bu."
***
"Gila, tuh cewek nyalinya gede juga," ujar Ervin seraya merapikan dasinya. "Keliatannya agak bar-bar nggak, tuh?"
"Kaya tau aja lo arti bar-bar," sahut Dewa terkekeh kecil.
"Jangan bikin gue emosi, Dew."
"Nama gue Dewa njir bukan Dewi," balas Dewa.
"Dew, kan Dewa juga. Salah gue di mana, nyet?" sahut Ervin.
"Berisik banget, nih anak blokgo berdua," timpal Givon santai seraya menaikan ponsel menggulirkan layar ponsel.
"Lo ngomong terbalik mulu, hati-hati otak lo kebalik juga, baru tau rasa lo, nyet," lontar Ervin menyambar es jeruk milik Givon.
"Es jeruk gue, nyet," ujar Givon dengan tatapan yang masih fokus ke layar ponsel. "Eh, gue ketemu, ini Instagram Rinzy bukan? Namanya Zysha."
Givon menunjuk layar ponselnya ke pada ketiga temannya.
"Bukan, nyet. Mirip tapi beda," sahut Ervin. "Coba lo liat dia ada tahi lalat di ujung area mata, kalo Rinzy nggak ada."
"Kalian merhatiin sampe sedetail itu?" timpal Dewa.
"Iya sih bener, beda. Namanya juga beda." Givon menarik ponselnya dan memasukkan ke dalam saku bajunya. "Si bos kenapa, tuh? Galau nanti malam mau main sama siapa?"
"Main apa, nyet? Ambigu amat," sahut Ervin.
"Paling mikirin yang ngetuk jidatnya tadi," timpal Dewa fokus dengan layar ponselnya.
"Tiga tahun gue sekolah di sini. Baru pertama kali ketemu cewek gila kaya dia," ujar Alren setelah beberapa saat hanya terdiam.
"Selagi nggak rugiin kita, nggak masalah, Ren," sahut Dewa santai.
"Rugilah sat. Harga diri gue turun gara-gara tadi. Sampe satu sekolah tau."
Givon dan Ervin ternganga mendengar hal itu. "Kok bisa cepet amat," ujar Ervin.
"Lo kaya kaga tau aja, mulut para ciwi-ciwi itu tajam bisa menembus antar kelas," lontar Givon.
"Muak gue bahas tuh cewek," balas Alren terlihat sangat geram, membayangkan kejadian tadi saja membuatku kesal tingkat tinggi. "Nanti malam ajak Rico balapan."
"Nanti malam?" Dewa menyahut terkejut.
"Gas," balas Ervin terlihat bahagia.
"Gue ngikut ajalah," imbuh Givon.
Dewa menyahut, "nanti lo digembok lagi, Ren."
"Ngapain dipikirin, santai," jawab Alren santai.
"Ren, lo kabur-kaburan mulu," imbuh Dewa.
"Tuh pelakor ada di rumah gue. Males gue liat mukanya."
Sorot mata Ervin menuju gadis berkuncir yang tengah menuju meja di belakang Alren dan terduduk di sana.
"Bos tuh liat," tutur Givon membuat tiga temannya menoleh ke arah gadis itu.
Alren mendapati gadis yang membuatnya kesal hari ini tengah terduduk tepat di kursi belakangnya.
Seketika terlintas ide, laki-laki itu menundurkan kursinya menabrak belakang kursi Rinzy. Hingga membuat bakso kembali masuk mangkuk.
Rinzy menoleh. "Lo kurang kerjaan?"
"Iya gue kurang kerjaan, kenapa hah?!"
"Lucu." Rinzy bangkit berdiri dan menghadap laki-laki itu yang ikut berdiri. "Mentang-mentang cucu pemilik yayasan, seolah-olah semuanya punya lo! Gila nih bocil."
"Bocil?"
Alren melangkah mendekati Rinzy hingga tubuh gadis itu menabrak meja. Bahkan ia seperti akan duduk di atas meja.
"Lo buat gue muak," lanjut Alren semakin mendekati wajah gadis itu.
Laki-laki ini membuatnya kesal. Pasti Alren tengah berusaha membuatnya merasa takut sayangnya gadis itu tidak takut sama sekali.
Rinzy mendekati wajahnya hingga hanya berjarak sekitar sepuluh senti dari wajahnya.
"Bocil kaya lo, mana bisa buat gue takut." Rinzy tersenyum miring.
Alren sempat terkejut saat gadis itu mendekati wajahnya. Bisa-bisanya ia tidak merasa terpukau atau apapun. Ia hanya melihat keberanian dari Rinzy.
Alren kembali mendekatkan wajahnya, kemudian berbisik di telinga gadis itu. "Ngomong itu nanti."
"Sialan, dia hampir bikin gue jantungan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top