Part. 19
Semalam seperti biasa mengikuti Rinzy dengan motor matic-nya itu, pergi mengikuti Alren. Walaupun ia sudah berusaha melarang. Ya, percuma saja pasti tidak berguna. Mungkin lain kali ia akan mencoba cari cara lain.
Namun, selama Rinzy mengikutinya semalam. Ada satu hal yang membuatnya kepikiran, bahkan hingga tidak bisa tidur nyenyak. Laki-laki itu berbohong yang katanya ingin balapan, tapi malah pergi ke panti asuhan. Jaraknya pun cukup jauh, sampai Rinzy terpaksa mengeluarkan uang sakunya besok pagi, untuk pergi ke pom bensin.
Banyak hal yang dipikirkan Rinzy semalaman suntuk. Apakah Alren punya saudara kembar atau adik yang dititipkan di panti asuhan? Tapi, yang ia tahu Alren itu anak tunggal. Tidak mungkin wanita paruh baya yang baik itu berbohong padanya. Ah, ini sangat menguras energi otaknya.
Tadinya Rinzy ingin juga datang ke panti asuhan itu untuk bertanya soal apa yang dicari laki-laki itu. Tapi, ini sudah terlalu malam, mungkin nanti ia akan datang kembali. Entah, karena ia terlalu sibuk berpikir hal itu atau waktu yang berlalu lebih cepat?
Pagi ini Rinzy sudah berlari maraton dari depan gerbang. Ini semua karena laki-laki yang menjadi majikannya itu. Bisa-bisanya Alren berangkat pagi dan meninggalkan diri sendirinya. Padahal gadis itu meminta tolong agar mereka berangkat dan pulang bersama. Dasar bocah menyebalkan.
"Sialan! Gara-gara tuh bocil gue hampir dikunciin," omel Rinzy seraya mengatur napasnya saat berada di tengah anak tangga. "Mana gue pake kaos kaki panjang sebelah lagi, udah kaya orang stupid gue, ih."
Dengan tenaga yang tersisa gadis berkuncir kuda itu, berlari kencang menuju ruang kelas. Ah, benar dia baru ingat, kalau hari ini ada mata pelajaran yang sangat menyeramkan. Bukan mata pelajaran yang lebih tepatnya adalah pengajarnya. Itu kata Dhea.
"Siapa kamu?" tanya wanita tua dengan rambut yang di konde, seraya menurunkan sedikit kacamata bulatnya. "Kamu murid kelas ini?"
Rinzy mengangguk kecil seraya mengatur napasnya. Ia mengusap keringat di pelipis dengan tisu dari saku bajunya.
Wanita tua itu bangkit berdiri, melangkahkan mendekati Rinzy yang masih berada di ambang pintu.
"Saya belum pernah liat kamu."
"Saya anak pindahan Bu, baru beberapa hari."
"Apa kesalahan kamu?"
"Hah? S-saya Bu?"
Wanita paruh baya itu menuruni sedikit kacamatanya. Kemudian memukul pelan, pundak Rinzy dengan spidol.
Mendadak suasana kelas menjadi dingin dan sunyi, kecuali tiga laki-laki bodoh dibarisan belakang itu. Mereka bertiga tertawa cekikikan, Alren. Dia yakin pasti ini rencana bocah itu.
"Ya, kamu."
"Oh, maaf Bu. Saya tadi mesen ojol di cancel terus, mau naik angkot nggak ada, yang nganterin juga nggak ada. Maaf ya Bu," ujar Rinzy sedikit menunduk.
"Tiga puluh putaran."
"Hah? Saya lari bu?"
"Tolak, tambah dua puluh putaran."
"I-iya Bu. Tiga puluh aja ya Bu."
"Satu, dua, ti-"
"Iya Bu," potong Rinzy sebelum melepaskan ranselnya. Kemudian ia beralih pada Dhea. "Dhe, tas gue tolong ya." Buru-buru ia meletakkan tas di sebelah pintu. Kemudian beranjak pergi, sesekali berlari kecil.
Rasanya ia ingin menggetok dahi Alren sampai biru bila perlu sampai amnesia. Bisa-bisanya laki-laki itu sengaja membuat dirinya terlambat dan berlari di pagi yang cerah ini. Sebenarnya tidak masalah kalau lari pagi seperti ini, tapi entah kenapa rasanya sangat lelah dan mengantuk. Efek sering tidur pagi dan bangun pagi.
"Bocil sialan! Gara-gara dia, gue dihukum," umpat Rinzy sembari berlari dengan kecepatan sedang mengitari lapangan itu. Untungnya lapangan itu tidak terlalu besar.
Bukan sekali dua kali dia dihukum berlari di lapangan. Dulu sekitar tiga tahun lalu, ia pernah dihukum seperti ini karena tidak mengerjakan tugas dan juga berisik saat upacara. Tapi, tidak pernah dihukum sendiri melainkan satu kelas. Benar-benar tidak bisa dipercaya, padahal satu kelas berisi anak perempuan semua.
Rinzy berhenti sejenak saat putaran ke dua puluh lima. Gadis itu mengatur napasnya, bulir cairan mengalir di dahi. Kemudian ia menyeka keringatnya dengan tisu.
"Kak Rinzy," panggil seseorang laki-laki bertubuh setara dengan Rinzy. Wajahnya sedikit familiar.
"Iya, lo panggil gue?" sahut Rinzy menoleh, seraya menunjuk dirinya sendiri.
Laki-laki itu berlari kecil menghampirinya. "Ini buat kakak, diminum ya," ujarnya tersenyum simpul.
"Lo itu-"
"Aku Putra kak yang kemarin kakak tolongin."
"Oh, ya ampun. Sori gue lupa, thanks ya." Rinzy lantas mengambil botol air mineral, lalu meneguk hingga tersisa setengah botol.
"Dihukum kenapa kak?"
"Kita ngomongnya sambil duduk aja kali ya. Gua cape banget."
Rinzy menuju tempat duduk terdekat, diikuti dengan langkah Putra. Mereka berdua pun terduduk di sana tepat di pinggir lapangan.
"Jadi, kenapa dihukum kak? Kayanya Kak Rin nggak keliatan anak yang suka masuk BP."
Rinzy terkekeh kecil. "Ya gitulah klise, gara-gara telat masuk kelas."
"Kakak mau aku beliin sesuatu?" tanya Putra.
Rinzy benar-benar terkejut dengan sikap adik kelas ini. Sangat berbeda dengan bocah anak majikannya itu. Bertolak belakang sekali.
"Nggak perlu, kok. Ini gue mau lanjut lari lagi."
Putra mengangguk kecil. Dari jarak yang cukup jauh tidak sengaja sorot matanya, melihat laki-laki bertubuh tinggi yang melotot tajam ke arahnya.
Buru-buru Putra menunduk. Bodohnya dia lupa, kalau gadis manis ini dekat dengan ketua geng motor Alrzy, cucu pemilik yayasan sekolah ini. Baiklah, entah bagaimana keadaannya setelah ini.
"Hm, Kak Rin, aku pergi sekarang ya."
Rinzy yang tengah menghabiskan air mineral itu, buru-buru menyudahi dan menoleh.
"Iya, betewe makasih banyak ya."
Putra hanya tersenyum sekilas, kemudian bangkit berdiri dan lantas beranjak dengan cepat.
"Dia kenapa? Senyuman gue seserem itu?"
"Iya, serem banget anjir sampe setan aja kabur," sahut seseorang yang tiba-tiba muncul, kemudian terduduk di sebelahnya.
"Lah, bocil lo ngapain? Masih jam kelas, balik sana."
"Minum," lontar Alren singkat dengan pandangan wajah ke depan. Namun, tangannya mengulurkan botol air mineral ke samping pada Rinzy.
"Lo pikir gue stupid banget. Racun apa aja yang lo masukin? Ngeri gue, bocil."
"Negatif aja lo, ini dari Dhea."
"Eh, serius?"
"Nggak, gue boongan."
"Dari lo kan ngaku?"
"Apaan sih anjir? Nggak ada kerjaan, gue beliin lo minum. Yang ada lo yang beliin gue."
Rinzy terkekeh kecil. "Hm, iya bocil. Nggak ngaku pun, nggak masalah."
Laki-laki itu terlihat salah tingkah dan langsung bangkit berdiri. "Udahlah gue pergi, nih minumnya. Jangan lupa di abisin, buang di tong sampah."
"Iya buruan sana. Nanti lo dihukum juga, kasian bocil gue kepanasan," ujar Rinzy tersenyum manis seraya menepuk pelan bahu Alren.
Alren mendehem kecil. Laki-laki itu terlihat salah tingkah dengan apa yang dikatakan Rinzy tadi. Ia melempar pandangan menghindari tatapan mata gadis itu.
"Kenapa lagi?" tanya Rinzy.
"Nggak ada, gue balik," ujar Alren sebelum beranjak pergi.
Ada apa lagi dengan laki-laki itu? Ada yang tidak beres. Pasalnya baru saja Dhea menghampiri saat baru lari tadi dan memberikan sebotol air mineral. Kenapa Dhea meminta tolong Alren? Temannya itu paling tidak suka berurusan dengan bocah menyebalkan itu.
"Cape banget, gue mikirin tuh bocil."
***
Gadis berkuncir kuda itu melangkah malas memasuki kelas. Sesekali Rinzy menghela napas panjang, sangat melelahkan. Rasanya keduanya kakinya itu mati rasa. Berdiri saja kakinya bergetar. Rambutnya yang sebelumnya rapi, sudah berantakan dan lepek karena keringat.
Yang membuat Rinzy tidak habis pikir adalah wanita tua berkacamata-guru yang menyuruhnya dihukum tadi benar-benar terlihat sangat membencinya. Bagaimana bisa dia menambahkan hukuman dua puluh putaran lagi? Sedangkan Rinzy baru istirahat sekitar sepuluh menit. Menyebalkan.
"Ini catatan mapel tadi, Zy." Dhea berbalik seraya memberikan buku catatannya. "Lo nggak apa-apa?"
Rinzy yang tengah meletakkan kepalanya di atas meja, masih terdiam seraya melepas penat.
Setelah beberapa saat terdiam Rinzy pun membalas. "Ya, gitulah. Kayanya gue nggak bisa pulang. Ini bener-bener pegel, sialan banget gurunya."
"Awas aja, kalo nanti dia minta maaf. Gue suruh lari, pingsan tuh guru. Jahat banget lagian," batinnya.
"Mau gue pijit nggak? Kebetulan gue bisa dikit-dikit."
"Boleh, ini nggak ada guru, Dhe?"
"Nggak, katanya dia lagi ada urusan apa gitu."
"Bagus kalo gitu. Gue juga males mapelnya dia, suka bikin emosi."
Dhea menarik salah satu kursi kosong dan diberikan pada Rinzy agar meletakkan kedua kakinya di atas. Perlahan gadis itu memijit kaki sebelah kanan, kemudian di sebelah kiri secara bergantian.
Rinzy yang mulai mengantuk, mendadak terkejut saat Dhea mengatakan ada seseorang gadis tidak jelas yang menghampiri Alren.
"Ngapain sih?" tanya Rinzy geram. "Tuh cewek caper banget sama bocil gue."
"Dia emang biasa ke sini, Zy kalo sama-sama jamkos gini."
Rinzy melotot melihat tingkah gadis itu. Astaga, katanya hanya teman kenapa sampai berlebihan seperti itu? Dasar gadis tidak jelas.
"Terus dia ngapain ke sini, Dhe? Cuma caper gitu aja? Bukannya dia punya pacar?"
"Jangan bilang lo cemburu." Dhea terkekeh geli. "Kan gue udah bilang, jangan suka sama Alren. Kasian gue sama lo, Zy."
"Dibilang cemburu bukan lebih tepatnya kesel aja, liatnya."
"Sama aja, Zy."
Sorot mata Rinzy tidak sengaja bertemu dengan bola mata gadis itu. Samar-samar terlihat senyuman miring yang diberikan padanya.
"Oh tuh cewek ngajak berantem lagi? Gue sih terima aja. Awas kepala lo mendadak botak, jangan salahin gue."
Rinzy menurunkan kedua kaki, bangkit berdiri seraya mengikat kembali kuncirannya.
"Zy, jangan berantem. Nanti lo-"
"Dhe, ini urusan hati. Tuh, cewek dibiarin malah makin jadi."
Setelah itu Rinzy lantas melangkah mendekati meja Dewa di sana ada Alren, Dewa serta dua temannya. Sebenarnya ia tidak seharusnya bertindak seperti ini. Entahlah wanita itu malah menyuruh, ya sudah dia ikuti saja.
"Lo nggak ada kerjaan?" tanya Rinzy dengan suara yang meninggi. "Gatel banget jadi cewek, balik kelas sana!"
Nessa yang tengah terduduk di sebelah Alren hanya menoleh pada laki-laki itu. Seakan ia meminta Alren untuk mengusir. Hal yang membuat Rinzy jijik adalah kenapa tangannya itu sering sekali memeluk lengan Alren.
"Wow bakal ada gelut nih," ujar Givon.
Ervin yang terduduk di sebelah meja Alren menyahut. "Kayanya tuh cewek demen sama paduka kita ini."
"Aku biasa ke sini, kamu anak baru mana tau," lontar Nessa setelah sejenak terdiam. "Bukannya seharusnya kamu yang pergi? Kalo sama majikan mesti sopan."
Alren yang terduduk di antara dua gadis itu hanya menatap datar. Kemudian merebahkan kepalanya di atas meja. "Bacot banget."
Rinzy melangkah mendekati Nessa, tepat depannya adalah Alren. "Gue nggak suka bocil gue, di peluk mulu sama lo. Dia itu pacar gue."
Nessa terkekeh kecil. "Kamu itu pembantunya."
"Urusan gue kali, mau gue pembantu atau enggak. Balik kelas sana!"
"Nggak," balas Nessa seraya melipat kedua tangannya depan dada. "Aku bakal pergi sama Alren."
"Hah?" sorot mata Rinzy menuju Alren yang baru saja mengangkat kepalanya. "Mau ke mana lo, bocil?"
"Lo nggak liat gue di sini?" balas Alren.
"Kita jadi ke Mall kan, Ren?" lanjut Nessa sembari menarik tangan Alren. "Kamu udah janji."
"Lo sama Rico emang nggak bisa?" tanya Alren seketika membuat Nessa terdiam.
"Hm, gini Ren, aku-"
"Udah punya pacar kan? Ya udah pergi sama pacar lo sana," potong Rinzy lantas menarik lengan baju Alren. "Gue udah janji sama cowok gue."
Hayiii (≧▽≦)
Votmennya jangan lupa (。•̀ᴗ-)✧
Terima kasih (◍•ᴗ•◍)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top