Part. 16

Gadis berkuncir kuda itu seketika menoleh, terlihat laki-laki dibelakangnya yang tersenyum sumringah. Ia sembari mengangkat ransel Rinzy yang terlihat sangat penuh.

“Lo ngapain?” tanya Rinzy lantas berbalik.

“Gue mau bantu. Kasian gue, nanti lo malah tambah pendek kaya kurcaci,” balasnya membuat gadis itu jengkel.

Rinzy mendecak. “Kalo gue makin pendek, itu gara-gara lo.”

“Lah, ini gue bantu. Lo malah nggak mau.”

“Nggak perlu, gue bisa sendiri.”

“Hm, oke,” lanjut Alren lantas menaiki anak tangga mendahului Rinzy.

Gadis itu mendengus kesal. Benar, ini semua karena bocah itu. Kalau saja tadi pagi, dia sarapan, Rizny tidak mungkin bawa bekal sebanyak ini. Terkesan seperti akan bertamasya. Dia sangat orang membawa banyak buku, ia malah membawa banyak makanan berjenis ayam.

“Bocil,” panggil Rinzy tepat saat mencapai lantai dua.

Baru saja ia akan menghampiri Alren tiba-tiba terdengar dari belakangnya seorang gadis cantik yang juga memanggil laki-laki itu.

“Ren,” panggil seorang gadis berkulit putih susu dengan rambut panjang yang terurai. Ia berlari kecil melewati Rinzy dan menghampiri Alren.

Rinzy mengernyit heran. “Tuh, cewek yang tadi? Siapa sih?”

Alren yang mendengar panggilan itu tersenyum manis.

“Eh, lo nggak jadi ke UKS? Kalo sakit nggak usah sekolah,” ujar Alren.

Gadis bernama Nessa itu tiba-tiba memeluk lengan Alren dengan manja. Rinzy yang berdiri tidak jauh dari sana hanya ternganga setengah melihat pasangan itu.

“Lo salah, kalo suka sama bocil,” gumam Rinzy lantas buru-buru menghampiri mereka berdua.

Gadis berkuncir itu langsung mendekati Alren dan mendorong Nessa dengan ranselnya yang besar.

“Awh, sakit.” Terdengar Nessa meringis.

“Lo ngapain meluk tangan cowok gue. Siapa sih lo?”

Alren mengernyit heran. “Siapa cowok lo? Sejak kapan?”

Rinzy menarik tangan Alren dan memeluknya dengan manja seperti yang dilakukan Nessa tadi.

Kemudian gadis itu berbisik. “Sejak gue jadi pembantu lo. Udah diem aja.”

“Ren, kamu udah punya pacar nggak bilang sama aku?” tanya Nessa dengan raut wajah mendadak sedih.

“Dia ini—“

“Ya, kenapa mesti bilang? Emang lo siapanya?” potong Rinzy seraya mendorong Alren menjauhi Nessa. “Lo siapa sih?”

“Aku temannya.”

“Heh! Lo apa-apaan sih?!” sahut Alren lantas menarik Rinzy dengan kasar.

“Bocil, ih sakit.” Rinzy meringis. “Lepas!”

“Nes, nanti lo calling gue aja.”

Alren lantas menarik Rinzy menjauhi Nessa.

“Jangan sampe, gue liat lo sama bocil gue lagi. Awas lo!” teriak Rinzy seraya menatap tajam Nessa yang masih kebingungan dengannya.

Sejujurnya Alren sedikit ingin tertawa dengan tingkah Rinzy tadi. Dengan percaya dirinya, gadis itu mengatakan dia adalah kekasihnya. Apakah segitu sukanya Rinzy dengannya?

Alren menarik tangan Rinzy hampir dekat dengan kelasnya.

“Lo jangan dekat sama tuh cewek,” ujar Rinzy penuh penekanan.

“Gue mau deket atau nggak, urusan gue.”

“Hm, gini ya bocil.”

“Kenapa?”

“Ya, gue kan suka sama lo. Masa lo tega sama gue.”

“Gila nih cewek.”

Rinzy meraih sebelah tangan Alren. “Ini tuh demi kebaikan lo dan keuangan gue.”

“Lo ngomong apaan sih njing?” balas Alren seraya melepaskan tangan gadis itu.

“Lupain yang tadi. Pokoknya lo jangan deket sama dia. Sama gue aja ngga apa-apa,” ujar Rinzy lantas beranjak masuk kelas.

Lagi-lagi Alren mengernyit heran, ia sungguh tidak paham maksudnya.

“Kepedean banget tuh cewek.”

***

Bel istirahat berbunyi nyaring, membuat beberapa siswa lantas bergegas keluar kelas dengan perut yang sudah keroncongan. Belum lagi ditambah otak yang memanas karena mata pelajaran hari ini yang menurutnya sangat sulit. Entah, apa hanya dirinya saja atau ada siswa lain yang berpikir seperti itu.

Ketua kelas bernama Saskia itu sepertinya akan menjadi orang yang paling tidak ia sukai. Pasalnya sifat sombong dan gila nilai itu membuat banyak orang sakit hati karena ucapan dan membuat Rinzy muak.

Belum lagi dengan wakilnya—Gita mereka berdua itu seperti tidak ada bedanya. Sebenarnya ia di sekolah ini hanya ingin cari aman dan melakukan pekerjaan dengan baik dan menerima uang yang banyak. Tapi, mulut mereka itu membuatnya ingin menarik dan menceramahi dua anak remaja itu.

Dia bukan seperti Dhea yang akan diam dan tersenyum tipis seraya menahan sakit di hati. Sepertinya selagi ia tidak mendapatkan masalah tidak apa-apa. Jika memberikan mereka sedikit teguran kecil.

“Rinzy, nilai lo kenapa mendadak dapet nilai kecil? Nggak belajar?” tanya Saskia seraya memberikan buku tulis mata pelajaran matematika minat.

Senyuman itu benar-benar terlihat meremehkannya.

Thanks,” jawab Rinzy baru saja akan berdiri seraya membawa kantong plastik berisi kotak bekal.

“Kelas kita itu cuma terima anak-anak cerdas. Kalo nggak mampu, mendingan pindah ke sebelah,” sambar Gita yang menoleh dengan senyuman miring penuh arti ke arah Rinzy dan Dhea.

Rinzy bangkit berdiri seraya menatap dua gadis tadi yang tengah bersiap ke kantin, sembari merapikan seragamnya.

“Gue tau, gue di sini cuma akting. Tapi, ya kali nilai juga. Gue mau belajar lah,” batinnya.

Buru-buru Dhea menahan tangan Rinzy agar tidak mencari masalah pada dua anak itu. Ia menggeleng kecil.

“Dia lagi capek aja. Lo nggak inget, dia ngalahin lo kemarin?” lontar Dhea tiba-tiba  sedikit terlihat takut.

Membuat dua gadis itu langsung menoleh padanya. Terdengar suara decakan kesal.

“Gue takut? Seharusnya lo yang takut, Dhea anak tukang cuci,” sahut Saskia diiringi tawaan remeh. “Mentang-mentang udah punya temen, sekarang lo berani berkoar.”

Rinzy membanting kantung plastik ke atas meja dengan cukup keras, hingga membuat beberapa orang yang masih dalam kelas terkejut dan menoleh ke arahnya.

Sungguh dia sudah tidak bisa bersabar lagi. Remaja sekarang benar-benar berbeda dengan jamannya dulu.

Terlihat senyuman miring mengarah pada gadis bernama Saskia itu. Rinzy melangkah mendekati mereka dengan kedua tangan di lipat ke depan dada.

“Santai aja kali. Gue tau, sebenarnya lo takut sama gue kan? Apalagi Dhea yang rangking tiga. Lagian gue bukan tipe yang mau keliatan pinter cuma karna nilai. Lo mau balap? Silakan, gue sih capek belajar terus ngga istirahat,” ujar Rinzy seraya tertawa remeh. Kemudian berbalik.

Terdengar juga beberapa siswa yang menertawakan ketua dan wakil ketua kelas itu. Menurut mereka perkataan Rinzy sangat benar.

Dua gadis itu terlihat mulai kesal dengannya. Toh dia juga tidak peduli, intinya ia hanya ingin melindungi orang, selama ia bisa.

“Seenaknya lo ngomong,” lanjut Saskia setelah beberapa detik terdiam.

Rinzy kembali mengambil kantung plastik itu.

“Sejak kapan ngomong nggak enak, apalagi lo yang sering rendahin orang. Pasti enak kan merasa paling cerdas di sini," balas Rinzy.

Dhea sungguh tidak menyukai adu mulut seperti ini, apalagi harus berurusan dengan dua gadis pintar ini.

“Zy, kantin aja yuk,” ajak Dhea.

“Yuk.” Kemudian ia beralih pada Saskia dan Gita. “Lo berdua, jangan lupa makan. Biar bisa mikir lancar buat ngalahin gue sama Dhea, oke? Bye,” pungkas Rinzy lantas berlalu pergi seraya ditarik oleh Dhea.

“Udah ayo, Zy.”

Benar-benar membuatnya dongkol, hari ini menjadi sangat tidak mood. Ia harus berada dalam kelas anak sombong, ditambah ia juga harus ekstra berjaga-jaga dengan bocah itu.

Kalau boleh jujur, sebenarnya jika sudah masuk kategori menyangkut perasaan seperti pacaran atau gebetan bocah itu. Seharusnya ia tidak perlu ikut campur, tapi kalau sudah berhubungan dengan money, apa boleh buat. Ia terpaksa harus mengikuti kemauan wanita paruh baya itu.

“Zy, gue tuh udah nahan kesel lama banget. Kesel sama sifat mereka yang begitu,” ujar Dhea sembari menuju angkringan lantai dua yang tidak terlalu jauh dari kelas mereka.

“Lo kesel cuma buang waktu aja. Mereka tuh diluar kendali lo, jadi yang lakuin yang dalam kendali aja. Percuma juga mau marah. Mendingan lo fokus belajar, buat diri lo sendiri. Bukan kaya mereka, buat keliatan pinter aja,” lanjut Rinzy.

“Zy,” ujar Dhea mendadak menghentikan langkahnya membuat Rinzy pun ikut terhenti.

“Lah, lo kenapa nangis?”

“Gue terharu banget.”

“Perasaan gue ngomong biasa aja,” balas Rinzy santai.

“Zy, jangan-jangan di kehidupan sebelumnya kita tuh kakak ade ya?” lanjut Dhea.

“Dhe, lo kesambet atau kenapa nih? Dahlah gue laper.” Rinzy langsung melangkah pergi meninggalkan Dhea yang menatapnya kagum.

“Zy, tungguin,” teriak Dhea sembari berlari kecil. 

***

Dua laki-laki yang tengah terduduk berhadapan saling melempar pandangan. Bahkan Dewa yang biasanya tidak peduli, kini terlihat khawatir dengan keadaan Alren sekarang. Apalagi Givon dan Ervin yang menatap ketua geng motor itu dengan heran.

Tidak biasanya Alren memesan cukup banyak makanan hari ini. Biasanya ia tidak makan sebanyak ini.

“Pin, lo ngerasa si bos agak aneh nggak?” tanya Givon seraya melirik pada Alren.

“Pon, jangan-jangan paduka kerasukan setan kelaperan?” balas Ervin. “Kaya beda aja gitu, gue liatnya.”

Alren masih sibuk menghabiskan nasi plus ayam bakar kesukaannya. Bahkan ayam yang dipesan besar dan dihabiskan sendiri.

“Ren, semalem lo nggak makan pasti?” tanya Dewa. “Emang masakan Bu Yuni berubah?”

“Gara-gara tuh cewek, gue nggak napsu makan,” balas Alren tepat setelah menyelesaikan makanannya, kemudian meneguk gelas es teh.

“Bos, katanya lo lagi nggak ada money, tapi lo makan banyak banget,” sahut Givon.

“Nggak, uang gue dipegang tuh cewek pulpen.”

“Terus, makanan lo siapa yang bayarin?” lanjut Ervin mulai merasa tidak enak. Sudah pasti dia menjadi sasaran kali ini. Pasalnya terakhir kali ia meminjam uang Alren untuk traktir makan saat giliran dirinya yang mentraktir.

“Ya, lo bertiga lah, pelit amat lo. Bukannya lo utang sama gue? Pas banget sekalian bayarin.”

“Kan bener gue. Untung gue lagi banyak money,” ucap Ervin mendapatkan kekehan dari Givon. “Kalo nggak bisa, miskin gue.”

“Ren, hape lo getar, angkat telponnya mungkin aja penting,” ujar Dewa.

Alren meraih ponsel, sorot matanya terhenti tepat saat melihat nama yang tertera di layar itu.

Cewek pulpen gila is calling ...

“Ngapain nih cewek telpon mulu,” gumam Alren sebelum menerima panggilan telepon itu.

Tepat saat menerima panggilan telepon itu, suara teriakan nyaring terdengar sangat keras hingga terdengar oleh Givon yang terduduk di samping Alren.

“Buset, teriakan sampe kedengaran gue,” ujar Givon seraya terkekeh geli.

“Gue jadi paduka bisa rusak telinga gue, manaan mereka serumah,” lanjut Ervin.

“Bocil!”

“Lo mau bikin gue bolot?!”

“Bocil, baca chat gue.”

“Males.”

“Oh, duit lo ada ditangan gue. Beneran nggak mau ambil?”

“Bodo amat. Cuma gocap buat apaan?”

“Lima lembar warna merah, lo nggak mau?”

“Nggak percaya.”

“Makanya ke sini dulu, beneran gue kasi bocil.”

“Heh! Lo—“

Belum selesai Alren berbicara, Rinzy lantas mematikan panggilan teleponnya.

“Bikin emosi bangs*t,” umpat Alren. Lantas bangkit berdiri seraya menghabiskan minumannya.

“Lo mau katanya Nessa mau ke sini?” tanya Ervin.

“Nanti gue kabarin dia lagi.” Laki-laki buru-buru pergi menuju angkringan lantai dua.

Sungguh menyebalkan bisa-bisanya gadis itu menyuruhnya juga mengancam. Bahkan pria paruh baya yang biasa dipanggil Papi itu terlihat sangat tidak peduli padanya.

Bisa-bisanya uang sakunya diberikan pada Rinzy yang notabenenya adalah pembantunya. Gadis cerewet itu terkadang membuatnya kesal, walaupun terkadang menghiburnya. Tapi, lebih banyak membuatnya marah.

“Woy! Mana duitnya?!” teriak Alren tepat saat sampai di depan Rinzy dan Dhea yang tengah sibuk makan bekalnya.

“Hah?”

“Gue nggak bisa lama, cepetan!” lanjutnya.

“Lo nggak liat gue lagi makan?”

“Lo suruh Dhea kek ambil,” perintah Alren.

Rinzy berkedip pada Dhea menyuruhnya untuk membiarkan dirinya berbicara dulu pada laki-laki itu.

“Zy, gue ke toilet bentar,” tutur Dhea lantas buru-buru pergi.

Rinzy itu hanya mengangguk kecil, sebelum beralih pada Alren yang masih berdiri tegak di depannya.

“Sini makan.”

“Lo cuma kasi duit susah banget apa?”

“Bocil, kalo dikasi tau tuh nurut dikit napa. Nanti kalo lo sakit gimana?”

“Nggak.”

“Ini gue udah buatin makanan kesukaan lo makan dulu nih,” ujar Rinzy seraya membuka kotak bekal berwarna biru dongker itu.

“Gue nggak nyuruh.”

“Ya, gue inisiatif aja. Emang salah?”

“Salah, lo suka sama gue juga salah.”

“Suka sama orang itu nggak salah, yang salah itu terlalu berharap sama orang yang salah,” tutur sembari membuka plastik berisikan ayam  kecap makanan favorit Alren setelah ayam bakar. Tidak lupa ia langsung menyendokkan nasi untuk laki-laki itu.

“Ngapain berdiri terus? Sini duduk samping gue. Kalo lo males makan, gue suapin gimana?” lanjut Rinzy tersenyum manis.

Seketika membuat degup jantungnya berdetak kencang. Ada apa dengannya? Tidak mungkin ketua geng motor tampan sepertinya, menyukai pembantu seperti gadis ini.

 


Halo aku balik lagi, setelah beberapa hari aku nggak up karna ada sesuatu. Semoga dipart ini temen-temen suka yaa

Terima kasih 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top