Part. 15

Sepertinya alat pendengaran Alren sudah mulai terganggu. Pasalnya selama perjalanan pulang tadi, gadis muda itu terus menceramahi. Ingin rasanya membalas perkataan gadis itu. Apalah daya bibirnya terasa perih.

Laki-laki itu hanya tersenyum kecil menanggapi gadis bernama Rinzy itu.

Sejujurnya bisa saja, ia menutup kaca helm agar tiap kata yang dilemparkan tidak terdengar. Namun, Alren malah membuka kaca helmnya dan menurunkan kecepatan motornya. Tiap kata yang dilontarkan seperti cuitan riuh burung-burung.

Kira-kira pukul setengah dua pagi, mereka berdua sampai ke rumah. Selepas memasukkan motor ke teras dan Rinzy mengunci pintu pagar. Gadis itu lantas menarik tangan Alren, menyuruh terduduk di lantai depan TV.

“Lo mau ngapain?” tanya Alren seraya menyentuh luka di ujung bibirnya. “Nggak ada plester atau apa gitu?”

“Ini gue mau ngambil,” jawab Rinzy seraya melepaskan longgarkan ikatan rambutnya.

“Ngambil apaan?”

Seketika pertanyaan bodoh yang keluar dari mulut laki-laki yang dipanggil bocil itu.

“Gue mau ambil batu ulekan mau geprek pala lo,” balas Rinzy lantas berlalu menuju dapur.

Respons gadis itu malah mengundang kekehan kecil dari Alren. Sungguh terkadang mengerjai Rinzy sedikit menyenangkan untuknya.

“Gila! dikira gue ayam kali digeprek.”

Rinzy membawa baskom kecil berisi air. Kemudian berlutut di hadapan Alren yang tengah terduduk meluruskan kakinya.

“Sini muka lo majuan,” ujar Rinzy seraya menyelupkan kain lembut ke dalam air. Kemudian memeras kain itu.

“Lo aja yang maju lah, badan gue sakit.”

Rinzy melirik sekilas. “Siapa yang bikin sakit? Gue?”

“Lo jangan galak kek, orang sakit nih,” balas Alren sembari membuka sarung tangan.

Melihat itu Rinzy meletakkan kain itu dipinggir baskom. Kemudian membantu Alren membuka sarung tangan.

“Udah lepas, gue aja.”

Alren menyadarkan punggung, seraya memandangi wajah gadis itu. Tanpa ia sadari senyuman tipis terlukis di sana.

“Ngapain senyam-senyum?”

Alren menarik sebelah tangan Rinzy dan meletakan di dahi. Gadis itu tersentak, bola matanya mengerjap. Merasakan degup jantungnya yang lebih cepat.

Laki-laki ini sering membuatnya terkejut. Tidak mungkin bukan ia menyukai bocah tengil itu.

Baru saja Rinzy akan menarik tangan, Alren menahannya lebih kuat.

“Kayanya gue sakit.”

Gadis dihadapannya itu mengernyit.

“Anget nggak?” lanjut Alren memajukan wajahnya.

“Sedikit. Bocil, lo seriusan sakit?” Rinzy lantas menarik tangannya seraya meraba pipi dan dahi laki-laki itu bergantian.

Niatnya ingin membuat gadis itu salah tingkah, tapi malah dirinya mendadak gugup. Ini sedikit memalukan.

“Nggak, gue boong,” balasnya datar.

Rinzy menjauhkan tubuhnya. Lantas memukul pundak Alren.

Bhak.

Bhak.

“Sakit woy!” teriak Alren seraya meraba pundaknya.

“Rasain, cocok buat bocil kaya lo.” Rinzy meraih kain itu, sedikit diremas agar sedikit kering. Kemudian mulai membersihkan luka Alren.

“Gue agak kurang enak badan aja.”

Sejenak Alren terhenti. Melihat reaksi gadis itu.

“Lagian gaya-gayaan balap kan jadi masuk angin. Kalo gini siapa yang ribet? Kan gue bocil,” balas Rinzy masih fokus luka di sudut bibir Alren.

Alren memundurkan wajahnya. “Kan badan gue, kenapa lo yang repot?”

Setelah menurut Rinzy cukup membersihkan luka itu. Lantas, gadis itu menuju ke kamarnya. “Ya karna gue kan pembantu lo.”

“Akhirnya ngaku juga,” gumam Alren seraya menatap gadis itu keluar kamar dengan salap juga plaster.

Terdengar decakan kesal lolos dari mulut gadis itu. Sebelum ia kembali terduduk di hadapan Alren.

“Majuan muka lo.” Seraya menarik dagu laki-laki itu.

“Lo mau godain gue apa gimana?”

“Daripada gue Jambak? Pilih yang mana?”

Alren terpaksa memajukan wajahnya. Baru kali ini iya menuruti perkataan gadis selain Zyzy juga Nessa. Sungguh ada rasa dongkol sekaligus geram dengan sifat gadis bernama Rinzy ini.

Entah perasaannya saja atau bagaimana. Rasanya ia dengan mudah mengikuti perkataannya. Walaupun awalnya Alren sudah menolak mati-matian. Tetap saja tidak bisa.

“Lo ngerti nggak ngobatinnya?” tanya Alren.

Rinzy yang tengah mengambil salap dengan cotton bud itu hanya tersenyum tipis. “Ngertilah, bocil. Ngomong mulu, emang nggak perih?”

“Nggak usah pake salep. Percuma.”

“Terus Ibu gue obatin lo berantem itu pake apa?”

“Kalo Bi Yuni pake salep, kalo sama lo jangan pake salep.”

“Ya, terus pake tanah gitu?”

“Cukup pake itu,” ujar Alren sedikit memajukan wajahnya, seraya menatap bibir merah muda gadis itu. Membuat Rinzy sedikit memundurkan tubuhnya. “Cium gue, pake bibir cerewet lo itu.”

Plak.

Refleks tangan Rinzy mengayun ke arah sebelah pipi Alren tepat letak luka itu.

“Awh, gue cuma bercanda malah di gampar.”

“Astaga, bocil. Gue nggak sengaja. Tapi, lo nggak apa-apa, kan ya?”

“Nggak apa-apa, mata lo! Sakit lah, abis di gampar gue.”

Rinzy menangkup wajah Alren seraya melihat intens wajah Alren bekas tamparannya tadi.

“Lagian, lo kalo bercanda ngagetin. Sori ya bocil,” ucap Rinzy tersenyum manis.

Alren mendehem kecil. “Sok manis lo, enek gue.”

“Heh! Gue minta maaf lo malah begitu.” Gadis itu lantas bangkit berdiri.

“Cewek pulpen lo ke mana?” tanya Alren seraya menengadah. “Ini belum diobatin.”

“Gue mau mandi terus tidur. Lo obatin lah sendiri.”

Alren menarik tangan Rinzy hingga gadis itu tidak sengaja terjatuh di dada bidang laki-laki itu.

“Bocil!” buru-buru Rinzy menjauhkan tubuhnya.

“Kenapa, hm?” Laki-laki itu terlihat tersenyum puas. “Tanggung amat lo obatinnya. Nih, lanjutin. Cepet, gue ngantuk.” Seraya memberikan salep ke dalam telapak tangan Rinzy.

Sebenarnya ada masalah apa jantung Rinzy itu. Bahkan ia sampai takut jika laki-laki itu mendengarnya.

“Kenapa malah liatin gue?”

“Kepedean lo, bocil.”

***

Rinzy yang baru saja menuruni angkutan umum. Tidak sengaja melihat laki-laki dengan baju seragam keluar, tidak memakai dasi. Tidak lupa jaket kulit berwarna hitam yang dikenakan, membuatnya terlihat lebih garang. Padahal menurut Rinzy laki-laki itu biasa saja tidak terlalu tampan.

Gadis itu berlari kecil menuju Alren yang baru saja memarkirkan motornya.

“Bocil.”

“Ren.”

Tiba-tiba terdengar seorang gadis yang juga memanggil Alren. Lantas menghampiri laki-laki itu. Rinzy menghentikan langkahnya.

“Eh, Nessa. Gimana keadaan lo?”

Gadis yang lebih tinggi dari Rinzy itu tersenyum manis. “Udah mendingan, gue denger semalem lo balapan sama Rico lagi. Sori ya Ren. Rico emang suka gitu.”

Alren terkekeh samar. “Santai aja, Nes. Gue tau banget, dia gimana.”

Nama gadis itu terdengar sedikit familiar. Benar, bukankah Nessa itu gadis yang diributkan Alren juga laki-laki dengan tampang menyeramkan itu? Rinzy tersenyum tipis dengan sorot mata mengarah ke kedua orang itu tengah bercakap-cakap.

“Sok cakep, tapi emang cakep,” gumam Rinzy. Lantas melangkahkan kaki meninggalkan Alren. Karena gadis itu, ia jadi lupa hal apa yang ingin di katakan pada laki-laki itu.

Gadis itu menaiki tiap anak tangga seraya memegang kedua tali ranselnya agar tidak terlalu berat. Ini karena isi bekal untuk bocah itu, karenanya ia seperti membawa batu bata.

“Kalo gini gue gagal jadi tinggi,” tuturnya tepat berada di tengah anak tangga.

Baru saja akan menaiki anak tangga berikutnya. Mendadak ranselnya tidak terasa berat sama sekali.

“Eh, kok.” Rinzy menoleh.

Alren tersenyum manis, seraya mengangkat ransel Rinzy dengan sebelah tangannya. “Cewek pendek bukannya imut ya?”







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top